• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Temu Ilmiah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Temu Ilmiah"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

Temu Ilmiah Ikatan Psikologi Sosial 2015

Peran Psikologi Sosial dalam Pembangunan:

Dari Teori ke Praktek dan Praktek ke Teori

P r o s i d i n g Te m u I l m i a h

Penyunting:

Dr. Mirra Noor Milla, M.Si

Dr. Bagus Takwin

Ardiningtiyas Pitaloka, M.Si

Subhan El Hafidz, M.Si

Whinda Yustisia, M.Sc

Ikatan Psikologi Sosial

Himpunan Psikologi Indonesia

(2)

i   

Prosiding Temu Ilmiah Ikatan Psikologi Sosial

Denpasar 21-23 Januari 2015

Peran Psikologi Sosial dalam Pembangunan: Dari Teori ke

Praktek dan Praktek ke Teori

iii, 181 halaman

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Copyright @2015

ISSN: 2503-0965

Penyunting:

Dr. Mirra Noor Milla, M.Si Dr. Bagus Takwin

Ardiningtiyas Pitaloka, M.Si Subhan El Hafidz, M.Si Whinda Yustisia, M.Sc Tata Letak:

Wahyu Cahyono, M.Si

Diterbitkan oleh:

Ikatan Psikologi Sosial - Himpunan Psikologi Indonesia

Alamat Penerbit: Fakultas Psikologi UI

Kampus Universitas Indonesia - Depok 16424 Website: http://ikatanpsikologisosial.org Psikologi.Sosial.Indonesia@gmail.com

(3)

ii   

DAFTAR ISI

Alienasi Diri Pada Komunitas Underground Ditinjau Dari Sikap Terhadap Prasangka Sosial oleh Teguh Yulianto dan Gusti Yuli Asih - Fakultas Psikologi Universitas Semarang

1

Dinamika Kelompok Minoritas dalam Mempertahankan Tradisi

Studi pada Keluarga Kerukunan Tabot di Bengkulu oleh Nelly Marhayati Program Doktorat Psikologi Universitas Airlangga

13

Gambaran Kepribadian Altrustik Pada Remaja: Suatu Studi Pada Mahasiswa Universitas HKBP Nommensen Medan oleh Asina Christina Rosito - Program Studi Ilmu Psikologi Universitas HKBP Nommensen Medan

25

Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak Yang Mengikuti Sekolah Bilingual oleh Lenny Veronika Purba dan Rahma Yurliani - Universitas Sumatra Utara  

34

Hubungan Antrara Pengetahuan dan Sikap Terhadap HIV/AIDS Pada Murid SMA Islam X Jakarta Timur oleh Fitri Arlinkasari - Universitas YARSI

45

Kekerasan Dalam Pacaran Pada Siswa SMA Ditinjau Dari Konformitas Teman Sebaya dan Efektivitas Komunikasi Dalam Keluarga oleh Anna Dian Savitri dan Fitria Linayaningsih - Fakultas Psikologi, Universitas Semarang

52

Motif Wirausaha, Identitas Wirausaha, dan Enterpreneurial Passion dalam Mencapai Keberhasilan Wirausaha oleh Ismarli Muis Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar

63

Nilai Budaya Lokal, Resiliensi, dan Kesiapan Menghadapi Bencana Alam oleh Wanda Fitri - IAIN Iman Bonjol

82   Orientasi Akulturasi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Yang

Tinggal di Jakarta (Berdasarkan Interactive Acculturation Model) oleh Clara Moningka dan Steven Wijaya - Universitas Bunda Mulia

94

Pengaruh Hardiness, Konsep Diri, dan Dukungan Sosial Terhadap Orientasi Masa Depan Pada Narapidana Remaja oleh Amirra Nur’indah

108

Peran Media Dalam Menumbuhkan Intensi Remaja Pengendara Motor Untuk Menggunakan Helm oleh William Cahyawan, Manuella Sarlita, Kanti Pernama, Asri Christine, Edira Putri, M. Th. Asti Wulandari, Nani Nurrachman Sutojo - Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

123 ISSN: 2503-0965

(4)

iii   

Persepsi Agama Pada Anak Dari Orangtua Yang Berbeda Agama oleh Muhammad Syarif Hidayatullah dan Helenda Yolanda Anjaryana - Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat

134

Representasi Sosial Atas Identitas Keindonesiaan Pada Muslim Yogyakarta Pasca Penetapan Status Keistimewaan oleh Muhammad Johan N Huda - Fakultas Psikologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

149

Residivisme Narapidana Narkoba Dari Perspektif Kognitif Sosial Bandura oleh Sri Aryanti Kristianingsih - Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

165

(5)

1

ALIENASI DIRI PADA KOMUNITAS UNDERGROUND DITINJAU DARI SIKAP TERHADAP PRASANGKA SOSIAL

Teguh Yulianto dan Gusti Yuli Asih Fakultas Psikologi Universitas Semarang

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas underground. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas underground. Semakin positif sikap terhadap prasangka sosial maka semakin tinggi alienasi diri pada komunitas underground, dan sebaliknya. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 42 subyek yang merupakan anggota komunitas

underground di Semarang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik

sampling insidental (incidental sampling). Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan dua skala yaitu Skala Alienasi Diri dan Skala Sikap terhadap Prasangka Sosial. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik Korelasi Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas underground dengan nilai r = 0,574 (p < 0,01), sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima.

Kata Kunci: Alienasi diri, sikap terhadap prasangka sosial, komunitas underground

Pendahuluan

Musik merupakan cara mudah untuk mengekspresikan diri. Berbagai jenis aliran musik mewarnai musik Indonesia sehingga tak menutup kemungkinan musik indi atau

underground juga ikut meramaikan musik indonesia. Keberadaan musik underground

memang menjadi salah satu fenomena yang melanda para remaja saat ini. Terdapat berbagai genre dalam musik underground, antara lain genre Metal, Grunge, Punk,

Skinhead, Reggae, SKA, Hardcore, dan Rock n Roll. Adanya paham kebebasan yang

ditawarkan untuk remaja, menjadikan remaja juga dapat terjerumus kepada hal-hal negatif seperti narkoba, free sex dan merusak moral. Banyak faktor yang menyebabkan remaja tergabung dalam komunitas underground baik faktor internal maupun eksternal. Ini disebabkan karena remaja memiliki pandangan, kebiasaan, latar belakang, keluarga dan

(6)

2

lingkungan sosial. Pertumbuhannya yang semakin pesat tentunya mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Penampilan anggota komunitas underground yang terkesan “urakan” seringkali menempatkan penilaian negatif pada dirinya. Hal ini dapat menyebabkan sulitnya anggota komunitas underground untuk dapat membaur dengan masyarakat pada umumnya.

Hasil penelitian yang dilakukan Suyatmo (2008) terhadap remaja anggota komunitas underground diketahui bahwa sebagian besar remaja mengenal musik

underground pada usia 14 tahun yang diperkenalkan oleh teman. Remaja mengartikan

musik underground adalah musik yang keras, penuh ekspresi namun punya maksud dan makna tersendiri. Adanya kesamaan hobi dalam bermusik sehingga mereka tergabung dalam suatu komunitas underground. Menurut remaja manfaat tergabung dalam komunitas

underground yaitu menambah banyak teman dan wawasan mengenai musik underground,

adapun hal-hal negatif dalam komunitas underground yaitu minum alkohol. Aktivitas yang dilakukan komunitas underground yaitu membuat parade musik, nongkrong, minum-minuman beralkohol dan latihan band. Aktivitas yang dilakukan itu memudahkan komunitas underground menambah teman dan keinginan bermusik juga dapat tersalurkan. Aktivitas komunitas underground berpengaruh terhadap bagaimana remaja membina hubungannya dengan lingkungan sosial, selain itu remaja underground seringkali merasa rendah diri dan kesulitan untuk dapat mengaktualisasikan diri dan potensinya dengan berbagai pandangan negatif dari masyarakat. Selain itu, remaja komunitas underground tidak setuju akan asumsi negatif masyarakat tentang keberadaan komunitas underground karena tidak semua remaja komunitas underground melakukan hal-hal negatif tersebut (straight-x). Straight-x merupakan gaya hidup dari anggota komunitas underground, dimana anggota komunitas underground menghindari minuman keras, narkoba, dan mengkonsumsi makanan yang bernyawa. Perilaku negatif yang ditunjukkan komunitas

underground tersebut dapat menimbulkan penolakan dari masyarakat, sehingga dapat

menyebabkan anggota komunitas underground mengalami alienasi diri. Anggota komunitas underground yang mengalami alienasi diri tersebut pada dasarnya telah dapat menyikapi secara positif dan tidak mempermasalahkan berbagai penilaian negatif yang muncul dari masyarakat terhadap keberadaannya.

Fakta yang diungkap berdasarkan hasil wawancara dengan anggota komunitas

underground menunjukkan bahwa ketidakpuasan dalam hubungan sosial dialami oleh

anggota komunitas underground, sehingga menyebabkan adanya perasaan kesepian, perasaan tertekan akibat kurangnya hubungan sosial. Anggota komunitas underground merasakan adanya perasaan kurang berharga ketika berada di lingkungan sosial. Kondisi

(7)

3

tersebut menjadikan anggota komunitas underground menarik diri dari lingkungan sosial. Anggota komunitas underground lebih senang dengan kehidupan pribadi dan kehidupan bersama komunitasnya. Anggota komunitas underground merasa tidak berarti bagi orang lain, sehingga menjadikannya menutup diri dari masyarakat pada umumnya. Perasaan kurang berarti yang dialami anggota komunitas underground menjadikannya pesimis dapat mencapai kesuksesan di masa depan. Hal tersebut disebabkan masyarakat dan norma sosial yang berlaku sangat bertentangan dengan perilaku yang ditunjukkan anggota komunitas underground. Alienasi diri yang dialami anggota komunitas underground menjadikan anggota komunitas underground berusaha mengisi waktu sehari-hari dengan aktivitas bermain musik, dengan lawan jenis, serta minum-minuman keras bersama dengan anggota komunitas yang lain. Namun, anggota komunitas underground pada dasarnya telah menyikapi secara negatif prasangka sosial, dan tidak merasa terganggu dengan berbagai penilaian dari masyarakat.

Fromm (dalam Subono, 2010) menyatakan bahwa keselarasan di antara keinginan dan harapan individu dengan moralitas sosial dapat tercapai dengan adanya karakter sosial. Karakter sosial tersebut merupakan serangkaian sikap, nilai, dan bentuk-bentuk perilaku bersama sebagian besar manusia yang berasal dari kebudayaan yang sama. Individu akan menunjukkan sikap yang berbeda satu sama lain, termasuk dalam mensikapi adanya prasangka sosial yang berkembang dalam masyarakat terhadap suatu kelompok tertentu.

Hanurawan (2012) menyatakan bahwa sikap adalah tendensi untuk bereaksi dalam cara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap merupakan emosi atau afek yang diarahkan oleh seseorang kepada orang lain, benda, atau peristiwa sebagai objek sasaran sikap. Keputusan bergabung dalam komunitas underground dapat menempatkan seseorang pada prasangka sosial yang dapat merugikan individu yang bersangkutan ataupun kelompoknya. Sikap negatif yang ditunjukkan anggota komunitas underground akan dapat menjadikan individu terhindar dari keterpurukan karena penilaian negatif dari masyarakat, sehingga dapat terhindar dari alienasi diri.

Walgito (2002) mengemukakan sikap sebagai organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg yang disertai adanya perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada individu untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. Individu dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek psikologi apabila individu suka (like) atau memiliki sikap yang favorable, sebaliknya individu yang dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap objek psikologis bila individu tidak suka (dislike) atau sikapnya unfavorable terhadap objek psikologis.

(8)

4

Prasangka sosial yang diberikan masyarakat terhadap komunitas underground akan dapat disikapi secara berbeda oleh masing-masing anggota komunitas underground. Sikap negatif terhadap prasangka sosial akan menjadikan anggota komunitas underground mampu menolak berbagai prasangka sosial yang diberikan, sehingga tetap dapat menjalani kehidupan tanpa teralienasi. Kenyataannya, anggota komunitas underground yang telah mempersepsikan secara negatif prasangka sosial, namun masih saja merasa teralienasi dari lingkungan sosial.

Alienasi Diri

Badudu (2003) menyatakan bahwa alienasi adalah keadaan terasing (terisolasi), penarikan diri dari kelompok atau masyarakat, atau pemindahan hak milik dan pengkat kepada orang lain. Lebih lanjut Petrovic (dalam Widodo, 2008) menyatakan bahwa alienasi merujuk pada pengertian dasar, seseorang atau sesuatu yang menjadi terasing atau terpisah dari seseorang atau sesuatu lainnya karena suatu tindakan tertentu atau karena akibat dari tindakannya. Alienasi kerap sekali dipakai untuk mengacu pada perasaan terpencil dan terkucil dari individu terhadap masyarakat, alam, dan orang lain atau dirinya sendiri. Maslow (dalam Hall & Lindzey, 1993) menyatakan bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan menjadikan seseorang mengalami alienasi diri. Hurlock (2012) menyatakan bahwa alienasi membuat orang lain tidak menyukai dan menolak individu.

Alienasi diri menunjuk pada pribadi yang sepenuhnya dan secara absolut terasing. Lebih lanjut Johnson (dalam Rosyadi, 2009) menyatakan bahwa alienasi diri merupakan perasaan keterasingan individu terhadap masyarakat, alam, orang lain dan dirinya sendiri. Alienasi diri sebenarnya merupakan sebuah tindakan manusia yang tidak berdasarkan pada kebebasan otonomi individunya, melainkan sebuah aktivitas yang berdasarkan pada kekuatan-kekuatan di luar diri individu. Ahmad, dkk (2009) menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari alienasi seringkali berarti menolak atau menjauh dari kawan-kawan atau kelompoknya. Dalam teori Sosial dan Politik, Sosiologi, dan Psikologi, alienasi biasanya dipergunakan untuk menunjuk pada perasaan keterasingan individu sendiri. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan alienasi diri adalah perasaan terpencil dan terkucil dari masyarakat, alam, orang lain atau dirinya sendiri yang disebabkan karena tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan.

Penulis akan menggunakan pendapat yang diutarakan oleh Seeman (dalam Mouton dan Marais, 1996) bahwa gejala-gejala alienasi diri adalah ketidakberdayaan (powerlessnes), keadaan moral dimana orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidupnya (normlessness), ketidakberartian (meaninglessness),

(9)

5

isolasi (isolation), serta pemisahan diri (self-estrangement). Gejala-gejala tersebut selanjutnya akan digunakan dalam penyusunan alat ukur untuk mengungkap alienasi diri. Alienasi disebabkan karena adanya perbedaan, sebab perbedaan adalah faktor penyebab permusuhan dan konflik, dimana konflik tersebut mendorong pada sikap fanatisme dan dogmatis, sekaligus menimbulkan permusuhan dan kebencian (Harb, 2004). Lebih lanjut Cozzarelli, dkk (dalam Delamater, 2006) menyatakan bahwa ideologi, nilai, dan sikap memengaruhi partisipasi individu dalam masyarakat dan perasaan individu terhubung dengan masyarakat. Sikap dan nilai merupakan faktor penting yang dapat memprediksi terjadinya keterasingan.

Sikap Terhadap Prasangka Sosial

Walgito (2002) mengemukakan sikap sebagai organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg yang disertai adanya perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada individu untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. Robbins dan Judge (2012) menyatakan bahwa sikap tersusun berdasarkan tiga komponen, yaitu: kognitif, afektif, perilaku.

Gea, dkk (2002) menyatakan bahwa prasangka sosial merupakan sikap negatif terhadap sesuatu yang lebih berada pada taraf individual. Jhonson (dalam Liliweri, 2005) menyatakan bahwa prasangka sosial adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotip individu tentang anggota dari kelompok tertentu, seperti halnya sikap, prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang diberikan. Allport (dalam Putra dan Pitaloka, 2012) menyatakan bahwa terdapat lima derajat tindakan yang merupakan wujud dari prasangka, yaitu sebagai berikut:

a. Antilokusi

Antilokuasi adalah kondisi dimana sebagian besar orang yang memiliki prasangka membicarakan kelompok lain. Individu membicarakan di dalam kelompok atau antar teman sebaya.

b. Menghindar

Biasanya jika prasangka mengenai kelompok lain telah sering dibicarakan dan jelas di ingatan, anggota kelompok akan berupaya untuk menghindar pada kelompok lain yang dipersepsikan negatif atau tidak disukai kelompok.

(10)

6

Pada derajat diskriminasi, anggota kelompok telah melakukan tindakan secara asimetri dan berbeda. Misalnya, kelompok lain yang dipersepsikan negatif akan ditolak menjadi karyawan, penduduk komplek rumah, rumah sakit, atau rumah ibadah.

d. Penyerangan fisik

Pada kondisi emosi yang sangat tinggi, seperti kebencian yang sulit ditahan lagi, anggota kelompok akan mengekspresikan kebenciannya dengan langsung menyerang fisik.

e. Eksterminasi

Eksterminasi merupakan tingkatan tertinggi dari ekspresi prasangka, yaitu dengan melakukan pembunuhan dan bahkan pemusnahan besar-besaran salah satu kelompok tertentu.

Komponen-komponen sikap terhadap prasangka sosial adalah adalah komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif dalam kaitannya dengan antilokusi, menghindar, diskriminasi, penyerangan fisik, dan eksterminasi.

Sikap terhadap prasangka sosial dan alienasi diri

Fromm menyatakan bahwa alienasi ditemukan pada seluruh lini kehidupan, dalam hubungan manusia dengan pekerjaan, dengan segala benda yang dikonsumsi, dengan negara, dengan sesama, dan juga dengan dirinya sendiri (Fromm, dalam Subono, 2010). Fromm (dalam Subono, 2010) menyatakan bahwa meskipun manusia berbeda, masyarakat dapat menampilkan suatu karakter sosial bersama. Karakter sosial adalah serangkaian sikap, nilai, dan bentuk-bentuk perilaku bersama sebagian besar manusia yang berasal dari kebudayaan yang sama. Karakter sosial memungkinkan keselarasan di antara keinginan dan harapan individu dengan moralitas sosial.

Maslow (dalam Hall & Lindzey, 1993) menyatakan bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan menjadikan seseorang mengalami alienasi diri. Alienasi merujuk pada pengertian dasar, seseorang atau sesuatu yang menjadi terasing atau terpisah dari seseorang atau sesuatu lainnya karena suatu tindakan tertentu atau karena akibat dari tindakannya. Cozzarelli, dkk (dalam Delamater, 2006) menyatakan bahwa ideologi, nilai, dan sikap memengaruhi partisipasi individu dalam masyarakat dalam masyarakat dan perasaan individu terhubung dengan masyarakat. Sikap dan nilai merupakan faktor penting yang dapat memprediksi terjadinya keterasingan.

Breckler, dkk (dalam Azwar, 2011) menyatakan sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu objek. Individu dikatakan memiliki sikap positif

(11)

7

terhadap suatu objek psikologi apabila individu suka (like) atau memiliki sikap yang

favorable, sebaliknya individu yang dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap objek

psikologis bila individu tidak suka (dislike) atau sikapnya unfavorable terhadap objek psikologis. Sikap terhadap prasangka sosial yang negatif akan dapat menghindarkan anggota komunitas underground dari terjadinya alienasi diri yang membuat anggota komunitas underground merasa terasing dari lingkungan sosialnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas

underground. Semakin positif sikap terhadap prasangka sosial maka semakin tinggi

alienasi diri pada komunitas underground, dan sebaliknya.

Metode

Partisipan

Partisipan penelitian adalah komunitas underground di wilayah Kota Semarang, dan berusia 18-24 tahun yang berjumlah 42 orang yang terbagi ke dalam genre Metal,

Grunge, Punk, Skinhead, Reggae, SKA, Hardcore, dan Rock n Roll. Dari 42 subyek yang

merupakan 30 orang anggota komunitas musik underground dari genre Grunge dan 12 orang anggota komunitas musik underground dari genre Skinhead. Pemilihan responden dilakukan dengan incidental sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, apabila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2010).

Instrumen Pengumpulan Data

Skala Alienasi diri. Skala ini dirancang berdasarkan gejala-gejala alienasi diri

meliputi ketidakberdayaan (powerlessnes), keadaan moral dimana orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidupnya (normlessness), ketidakberartian (meaninglessness), isolasi (isolation), serta pemisahan diri

(self-estrangement). Skala Alienasi Diri yang berjumlah 33 item. Koefisien validitas item berkisar

antara 0,323 sampai dengan 0,726. Uji reliabilitas item Skala Alienasi Diri diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,921.

Skala Sikap terhadap Prasangka Sosial. Skala ini dirancang berdasarkan

(12)

8

komponen afektif dan komponen konatif dalam kaitannya dengan antilokusi, menghindar, diskriminasi, penyerangan fisik, dan eksterminasi. Skala Sikap terhadap Prasangka Sosial awalnya berjumlah 54 item. Koefisien validitas item berkisar antara 0,386 sampai dengan 0,777. Skala Sikap terhadap Prasangka Sosial diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,967.

Hasil dan Analisis

Sebelum dilakukan uji hipotesis penelitian, dilakukan uji asumsi normalitas dan linieritas terhadap variabel alienasi diri dan variabel sikap terhadap prasangka sosial. Uji normalitas dilakukan terhadap variabel alienasi diri dan variabel sikap terhadap prasangka sosial dengan tujuan untuk mengetahui normal tidaknya skor variabel penelitian. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa sebaran data kedua variabel tersebut adalah normal.

Tabel Uji Normalitas

Variabel Z p

Alienasi diri 0,130 0,074 Sikap terhadap prasangka sosial 0,096 0,200

Hasil uji linieritas antara variabel sikap terhadap prasangka sosial dan variabel alienasi diri menunjukkan bahwa F sebesar 13,701 dengan (p < 0,05) menyatakan terdapat hubungan linier antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas underground. Berdasarkan hasil penelitian dilakukan, diketahui bahwa hipotesis yang diajukan peneliti bahwa ada hubungan positif antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas underground terbukti dengan nilai r = 0,574 (p < 0,01).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa alienasi diri pada komunitas

underground pada kategori tinggi dan sikap terhadap prasangka sosial tergolong pada

kategori positif. Berdasarkan hasil tersebut disarankan kepada anggota komunitas

underground agar dapat semakin berpikir positif bahwa tidak selamanya masyarakat

menganggap bahwa komunitas underground negatif, sehingga anggota komunitas

underground dapat lebih berani untuk berbaur dengan masyarakat sekitar, tanpa harus

merasa takut mendapatkan penolakan dari masyarakat. Anggota komunitas underground juga diharapkan dapat menjaga perilaku agar tidak bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat, sehingga pandangan masyarakat terhadap komunitas musik

(13)

9

underground dapat semakin baik dan anggota komunitas musik underground dapat

terhindar dari alienasi diri.

Sumbangan efektif variabel sikap terhadap prasangka sosial terhadap alienasi diri pada komunitas underground sebesar 33%. Sisanya sebesar 67% dari variabel lain seperti faktor internal, antara lain otoritas anonim – konformitas, prinsip non frustrasi, asosiasi bebas dan berbicara bebas, akal budi, kesadaran, dan agama, kerja, perbedaan, orientasi memiliki, orientasi mengada, ideologi, dan nilai.

Berdasarkan hasil data penelitian yang diperoleh, variabel alienasi diri pada komunitas underground diperoleh Mean Empirik sebesar 102,69, Mean Hipotetiknya sebesar 82,5 dan Standar Deviasi Hipotetiknya sebesar 16,5. Mean Empirik variabel Alienasi Diri pada area (+) 1SD hingga (+)2SD. Hal ini mengindikasikan bahwa alienasi diri pada komunitas underground pada kategori tinggi, bahwa komunitas underground mengalami perasaan terpencil dan terkucil dari masyarakat, alam, orang lain atau dirinya sendiri.

Pada variabel sikap terhadap prasangka sosial diperoleh Mean Empirik sebesar 162,98, Mean Hipotetiknya sebesar 135 dan Standar Deviasi Hipotetiknya sebesar 27.

Mean Empirik variabel sikap terhadap prasangka sosial pada area (+) 1SD hingga (+)2SD

dari Mean Hipotetiknya. Hal ini mengindikasikan bahwa sikap terhadap prasangka sosial tergolong pada kategori positif. Hal ini berarti bahwa anggota komunitas musik

underground menyetujui adanya prasangka negatif yang diberikan masyarakat terhadap

anggota musik underground. Komunitas underground menganggap bahwa masyarakat selama ini menilai negatif komunitasnya, sebagai kelompok yang identik dengan penampilan yang urakan, suka minum-minuman keras, dan hal-hal negatif lainnya.

Diskusi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas underground. Semakin positif sikap terhadap prasangka sosial maka semakin tinggi alienasi diri pada komunitas underground, dan sebaliknya. Hasil penelitian ini mendukung pendapat yang diutarakan oleh Cozzarelli, dkk (dalam Delamater, 2006) yang menyatakan bahwa sikap memengaruhi partisipasi individu dalam masyarakat dan perasaan individu terhubung dengan masyarakat. Sikap dan nilai merupakan faktor penting yang dapat memprediksi terjadinya keterasingan.

(14)

10

Breckler, dkk (dalam Azwar, 2011) menyatakan sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu objek. Individu dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek psikologi apabila individu suka (like) atau memiliki sikap yang

favorable, sebaliknya individu yang dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap objek

psikologis bila individu tidak suka (dislike) atau sikapnya unfavorable terhadap objek psikologis. Sikap terhadap prasangka sosial yang negatif akan dapat menghindarkan anggota komunitas underground dari terjadinya alienasi diri yang membuat anggota komunitas underground merasa terasing dari lingkungan sosialnya. Sebaliknya, sikap positif yang ditunjukkan anggota komunitas underground terhadap prasangka sosial, dapat menjadikan anggota komunitas underground terjebak dalam alienasi diri.

Hasil penelitian yang dilakukan Kurniawan dan Rois (2013) menunjukkan bahwa prasangka sosial terhadap kelompok lain dapat menyebabkan terjadinya tawuran yang lebih tinggi. Hasil penelitian tersebut menggambarkan dampak negatif dari prasangka sosial yang ditujukan terhadap suatu kelompok. Prasangka sosial yang disikapi secara positif dapat menjadikan anggota komunitas underground merasakan adanya diskriminasi dari masyarakat, sehingga dapat mengurangi kesediaan untuk lebih terbuka ketika berada di lingkungan masyarakat. Sikap positif terhadap prasangka sosial pada anggota komunitas underground dapat menjadikan anggota komunitas underground menutup diri dalam lingkungan sosial, sehingga dapat menyebabkan terjadinya alienasi pada anggota komunitas underground.

Hanurawan (2012) menyatakan bahwa sikap adalah tendensi untuk bereaksi dalam cara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap merupakan emosi atau afek yang diarahkan oleh seseorang kepada orang lain, benda, atau peristiwa sebagai objek sasaran sikap. Sikap negatif terhadap prasangka sosial akan menjadikan anggota komunitas

underground mampu menolak berbagai prasangka sosial yang diberikan, sehingga tetap

dapat menjalani kehidupan tanpa teralienasi.

Hasil penelitian yang dilakukan Kamil (2002) yang menggali teori Marx menunjukkan bahwa alienasi sebagai sesuatu yang inheren dalam industrialisasi atau modernisasi. Alienasi merupakan ciri sekaligus sindrom masyarakat modern. Individu terasing dari diri dan lingkungannya, menjadi pasif, tidak berdaya, dan senantiasa berada dalam situasi yang menjemukan. Anggota komunitas underground Semarang yang mengalami alienasi diri dapat menjadi tepuruk karena adanya berbagai penilaian negatif yang melekat pada dirinya. Anggota komunitas underground Semarang yang mengalami alienasi diri dapat merasa kesepian dalam lingkungan sosial yang ramai sekalipun,

(15)

11

sehingga dapat menjadikan anggota komunitas musik underground Semarang kurang dapat mengeksplorasi setiap potensi yang dimiliki.

.Daftar Pustaka

Azwar, S. (2011). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2. Cetakan XV. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

Badudu, J. S. (2003). Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Delamater, J. (2006). Handbook of Social Psychology. United State of America: Springer.

Gea, A.A., Wulandari, A. P. Y., Babari, Y. (2002). Relasi dengan Sesama. Jakarta: Gramedia.

Hall, C. S., dan Lindzey, G. (1993). Teori-teori Holistik (Organismik – Fenomenologis). Alih Bahasa: Dr. A. Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius.

Hanurawan, F. (2012). Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Harb, A. (2004). Kritik Kebenaran. Alih Bahasa: Sunarwoto Dema. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.

Hurlock, E. B. (2012). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Alih Bahasa: Dra. Istiwidayanti dan Drs. Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

Kamil, S. (2002). Pemikiran Karl Marx “Agama Sebagai Alienasi Masyarakat Industri” Suatu Apresiasi dan Kritik. Jurnal Universitas Paramadina. 1(2), 116-133.

Kurniawan, S., dan Rois, A. M. M. (2013). Tawuran, Prasangka terhadap Kelompok Siswa Sekolah Siswa, serta Konformitas pada Kelompok Teman Sebaya. Proyeksi. 4(2), 85-94.

Liliweri, A. (2005). Prasangka dan Konflik. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.

Mouton, J., dan Marais, H.C. (1996). Basic Concepts int the Methodology of the Social

Sciences. South Africa: Human Sciences Research Council.

Putra, I. E., dan Pitaloka, A. (2012). Psikologi Prasangka: Sebab, Dampak, dan Solusi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Robbins, S. P., dan Judge, T. A. (2012). Perilaku Organisasi. Alih Bahasa: Diana Angelica, Rica Cahyani, dan Abdul Rosyid. Jakarta : Salemba Empat.

(16)

12

Subono, N. I. (2010). Erich Fromm: Psikologi Sosial Materialis yang Humanis. Depok: Penerbit Buku Kepik Ungu.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: ALFABETA.

Suyatmo, W. (2008). Profil Remaja Anggota Komunitas Musik Underground. Tesis. Tidak Diterbitkan. Malang: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

Walgito, B. (2002). Psikologi Sosial : Suatu Pengantar. Yogyakarta: ANDI.

(17)

13

Dinamika Kelompok Minoritas dalam Mempertahankan Tradisi Studi pada Keluarga Kerukunan Tabot di Bengkulu

Nelly Marhayati

Program Doktorat Psikologi Universitas Airlangga

Abstrak

Tabot adalah tradisi keagamaan yang telah mengalami perubahan menjadi tradisi local masyarakat di provinsi Bengkulu dan dilakukan satu tahun sekali dari tanggal 1-10 Muharram. Pelaku tradisi ini harus berasal dari keluarga keturunan tabot atau sering disebut dengan KKT. Budaya tabot telah bertahan lebih dari 300 tahun dan sampai sekarang keluarga dari keturunan tabot yang disebut dengan masyarakat keturunan Sepoy mampu bertahan melestarikan tradisi tersebut walaupun berada di bawah tekanan baik dari masyarakat di luar KKT maupun dari pemerintah, dimana anggapan miring terhadap tradisi ini sebagai syirik, syiah dan mubazir terus mengiringi berlangsungnya tradisi tabot setiap tahun sehingga kemampuan survive keluarga kerukunan Tabot sebagai kelompok minoritas dalam melestarikan tradisi mereka menarik untuk diteliti. Untuk menjawab fenomena tersebut dari sudut pandang ilmu Psikologi Sosial peneliti menganalogikan KKT sebagai kelompok minoritas yang berusaha tetap bertahan walaupun dibawah tekanan kelompok mayoritas dalam hal ini masyarakat dan pemerintah. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimanakah model bertahan (survival) KKT dalam mempertahankan atau melestarikan tradisinya. Tulisan ini merupakan prelimenary research atau kajian awal sebelum melakukan kajian utama, peneliti masih terus mencari dan menelusuri teori yang berhubungan dengan kelompok minoritas dan kemampuan mereka dalam mempertahankan kelompoknya, sehingga akan ditemukan grand teori dari perilaku bertahan kelompok minoritas. Informan dalam preliminary adalah tokoh dari pelaksana tradisi tabot. yang telah memberikan beberapa masukan dan saran beberapa informan lain yang bisa memberikan data untuk research selanjutnya.

Kata kunci: Kelompok minoritas, survival, tradisi, tabot, keluarga kerukunan tabot,

Latar Belakang

Tradisi adalah suatu ide, keyakinan atau perilaku dari suatu masa yang lalu yang diturunkan secara simbolis dengan makna tertentu kepada suatu kelompok atau masyarakat. Karena itu makna “tradisi” merupakan sesuatu yang dapat bertahan dan berkembang selama ribuan tahun dan seringkali tradisi diasosiasikan sebagai sesuatu yang mengandung atau memiliki sejarah kuno. Dalam banyak hal, konstruksi tradisi selalu mengacu pada nilai-nilai atau material khusus seperti kebiasaan, peraturan atau hukum

(18)

14

tertulis yang berlaku dalam konteks tertentu setelah melewati suatu generasi (Liliweri, 2014).

Kata tabot dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai peti yang terbuat dari anyaman bambu atau burung-burungan buroq yang terbuat dari kayu, biasanya dibawa berarak pada peringatan Hasan dan Husein (tanggal 10 Muharram). Sementara Kartomi (dalam Poniman, 2014) bahwa tabot diartikan berasal dari sebuah ritual sederhana yang ada di Irak, Persia dan India Selatan yang disebut dengan takziah, takziah adalah tampilan tradisional bangsa Iran sebagai ungkapan kesedihan untuk memuji pahlawan legendaris mereka yaitu Husen bin Abi Thalib.

Di Indonesia perayaan tabot dapat dijumpai di Aceh, Pariaman (Sumatra Barat) dan Bengkulu. Pada awalnya tabot dianggap oleh masyarakat penyelenggaranya sebagai tradisi keagamaan yang bernuansa Islam. Namun saat ini hanya di Pariaman dan Bengkulu yang melangsungkan tradisi ini. Tabot yang ada di Pariaman pun adalah berasal dari Bengkulu. (Permana, 1997). Sejarah menyebutkan bahwa tabot dibawa oleh para pekerja India Selatan (Madras dan Bengali) yang memiliki paham Syi’ah pada tahun 1718. Mereka membentuk komunitas Sipah/sepoy yang sampai saat ini melanjutkan dan menghidupkan tradisi Tabot. Tabot yang mengandung ajaran syi’ah hanya diterima oleh orang sepoy tetapi tidak oleh masyarakat Bengkulu yang mayoritas menganut ajaran Suni. Semenjak pemerintah Kota Bengkulu ikut terlibat dalam pelaksanaan tradisi tabot. Tradisi ini telah berubah konsep menjadi festival budaya dengan segala kegiatan wisata yang ada, sehingga upacara tabot bagi masyarakat Bengkulu mengandung dua tujuan yang pertama adalah sebagai perayaan menyambut tahun baru Islam. Kedua tradisi ini dengan semua ritual yang ada tujuannya adalah untuk mengenang kisah heroik dan wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husen Bin Ali yang wafat di Padang Karbela Irak.

Gumay (2011) dalam penelitiannya mengatakan bahwa upacara Tabot sebenarnya dapat menumbuhkan kultur individu yang berlebihan dimana pada prinsipnya tidak cocok dengan falsafah Pancasila. Namun, dari sudut pandang kebudayaan daerah dan kebudayaan bangsa Indonesia pada umumnya, tradisi tabot dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk kesenian daerah yang punya potensi tersendiri dalam agenda kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Selain penelitian Gumay (2011) dan Permana (1997), Poniman (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa pertama, secara keseluruhan upacara tabot yang dilaksanakan di Bengkulu bukan lagi dalam konteks ajaran keagamaan syiah, tetapi sebagai ornament budaya. Kedua, kalangan keluarga muslim suni di Indonesia tidak begitu asing lagi dengan upacara-upacara hari Asyura (tanggal 10 Muharam). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran makna upacara tabot yang tidak lagi dalam

(19)

15

konteks keagamaan syiah, tetapi sebagai budaya. Bahkan sudah dianggap sebagai lokal

indigenous masyarakat Bengkulu. Sejak upacara tabot diwariskan kepada keturunan

orang-orang Sepoy yang telah berasimilasi dengan penduduk asli Bengkulu, maka sejak itu telah terjadi akulturasi dari teologi Syi’ah dan tradisi Islam masyarakat Bengkulu.

Pada tahun 1993, masyarakat dari keturunan keluarga tabot membentuk persatuan atau bisa disebut juga dengan organisasi atau kelompok yang di dalamnya terkumpul kelompok-kelompok keluarga penyelenggara tradisi tabot atau lebih sering dikenal dengan KKT. Dibentuknya kelompok KKT tujuannya adalah untuk mengorganisir dan mempertahankan kelestarian ritual tabot dan kesinambungan penyelenggaraan tabot sakral. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya (Permana, 1997; Yuliati, 2010; Gumay, S, 2011; Poniman, 2014), peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh lagi tentang konteks tradisi tabot, namun tentunya berbeda sudut pandang dari penelitian sebelumnya. Penelitian ini tidak akan membahas tentang apa itu tradisi Tabot, namun yang akan menjadi fokus dari penelitian ini adalah pelaku dari tradisi tabot tersebut. yaitu keluarga keturunan tabot atau sering disingkat dengan KKT. Penelitian ini melanjutkan saran dari penelitian sebelumnya (Permana, 1997) yang menyarankan untuk tidak hanya peduli dengan upacara atau tradisi Tabot tetapi perlu adanya penelitian lebih mendalam tentang pelaku dari tradisi tersebut. Sehingga peneliti terdorong untuk meneliti tentang bagaimana metode survival pada kelompok minoritas, yaitu kelompok Keluarga Kerukunan Tabot dalam mempertahankan tradisi di Bengkulu.

Kelompok biasanya diartikan sebagai sekumpulan orang yang setidaknya memilki salah satu dari karakteristik berikut: 1) adanya interaksi langsung dengan orang lain, 2) keanggotaan dalam sebuah kelompok biasanya didasari oleh atribut-atribut seperti, jenis kelamin, ras ataupun etnis, 3) saling berbagi dan memiliki kesamaan tujuan (Suryanto, dkk: 2012). Kelompok mayoritas dan minoritas tidak hanya terkait besar kecilnya jumlah anggota dalam suatu kelompok tetapi juga berdasarkan kepada dominasi kekuasaan dan pengaruh yang di timbulkan.

Ketika individu berada dalam kelompok yang minoritas beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang besar akan mempengaruhi kelompok yang kecil.(Thompson. I Stephen, 1974; Maass & Clark, 1984; Betts, K. R.& Hinsz, V. B, 2013). Selain itu, Plaut (2002) menyatakan beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat perbedaan akulturasi antara kelompok mayoritas dan minoritas. Dovidio dkk. (2008), (dalam Al Ramiah, 2011) kelompok yang anggotanya banyak biasanya cenderung mempengaruhi akuturasi kelompok yang jumlahnya sedikit.

Mengenai pengaruh kelompok mayoritas ke minoritas atau sebaliknya dapat melihat pada Teori konversi Moscovici (1980) dan Devil Advocate dari Nementh (2001).

(20)

16

Pada teori ini kehadiran seseorang dalam suatu kelompok khususnya minoritas dengan memiliki pendapat yang bertentangan dengan anggota kelompok lainnya adalah bertujuan untuk menguji argument yang telah ada dan juga untuk memunculkan pendapat anggota kelompok lainnya sehingga musyawarah menjadi lebih efektif. Dalam penelitian selanjutnya menunjukan bahwa ternyata perbedaan pendapat juga dapat meingkatkan kreativitas dan performa yang lebih baik dalam kelompok minoritas dan membuat kelompok dapat bertahan. (Ng dan Van Dyne, 2001; Nementh, dkk. 2004; Frid, 2009)

Pembahasan tentang identitas sosial dalam suatu kelompok terutama kelompok minoritas juga penting untuk dibahas dalam menentukan model survival pada kelompok minoritas. Terutama yang berhubungan dengan mempertahankan tradisi. Al Ramiah, dkk (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa identitas memilki perbedaan pengaruh pada kelompok minoritas dan mayoritas. Ada kecenderungan pada asimilasi kelompok bahwa kelompok yang mayoritas berharap kelompok yang minoritas mau mengadopsi identitas mereka dan mengintegrasikan kelompok minoritas kedalam kelompok mayoritas.

Menurut para ahli psikologi sosial, perasaan individu terhadap identifikasi kelompok akan kuat apabila penilaian individu terhadap kelompoknya bernilai dan menguntungkan terhadap dirinya (Tajfel, 1986). Pada individu terjadi perubahan yang secara langsung dipengaruhi dari didapatkannya keuntungan akibat adanya perubahan sistem pada kelompok. Dengan melihat bahwa diri mereka adalah bagian yang bernilai dari keanggotaan kelompok. Identifikasi suatu kelompok dapat diperoleh melalui penerimaan keuntungan pada anggota kelompok, hal ini akan meningkatkan pandangan positif anggota kelompok sehingga terjadi kohesivitas dan persatuan yang pada akhirnya akan meningkatkan persepsi kelompok terhadap solidaritas kelompoknya (Willer, Flynn dan Zak, 2012). Identitas individu dapat membentuk identitas kelompok, demikian pula sebaliknya. Munculnya identitas baru akibat saling pengaruh antara identitas individu dengan identitas kelompok akan mempengaruhi perkembangan kelompok (Worchel. S dan Coutant. D, 2003).

Forsyth (2010) mengatakan bahwa setiap kelompok selalu berhubungan dengan

entitativity walaupun dalam kelompok tersebut anggotanya kurang kohesif. Entitativity

dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana suatu kelompok menjadi satu kesatuan unit yang koheren sehingga anggota kelompok tetap terikat tidak hanya dalam hal-hal tertentu tetapi dalam segala hal. Dapat diartikan juga entitativity sebagai kekompakan dalam kelompok. Jika suatu kelompok kompak dalam situasi apapun maka suatu kelompok akan dapat terus bertahan dan berkelanjutan (Johnson&Johnson, 2013). Pencetus awal dari ide

entitativity adalah Campbell (1958) dimana dikatakan bahwa terdapat tiga faktor

(21)

17

Douglas. T (1995), dalam bukunya survival in group menyebutkan bahwa ketika berbicara tentang kemampuan bertahan suatu kelompok tujuannya adalah tidak hanya sekedar tetap eksisnya suatu kelompok, tetapi tujuannya adalah kepada sesuatu yang lebih baik. Misalnya, keberadaan kelompok akan memberikan manfaat yang lebih banyak lagi kepada anggotanya. Berbicara tentang kemampuan bertahan suatu kelompok berarti kita harus memahami group process, mulai dari proses masuknya seseorang ke dalam kelompok, bertahan menjadi anggota atau meninggalkan kelompok, dan memahami perilaku yang sesuai dengan tujuan anggota kelompok untuk dapat sukses. Terdapat empat faktor yang harus ada supaya kelompok dapat bertahan dengan baik, yaitu: 1)

sensitivity; 2) signal, pattern and cues; 3) experience; dan 4) conscious use of learned behavior. Untuk mendapatkan keempat faktor tersebut Douglas membagi keanggotaan

suatu kelompok menjadi tiga bagian: joining a group, remaining a member and leaving the

group.

Berdasarkan paparan singkat di atas dapat dilihat bahwa banyak hal dapat diamati dari adanya sebuah kelompok. Mulai dari hubungan intergroup, hubungan anggota kelompok dengan outgroupnya, persepsi outgroup terhadap ingroup juga dari segi jumlah anggota kelompok. Minoritas dan mayoritas kelompok juga menarik untuk diamati.Namun, pada penelitian ini fokusnya adalah pada kemampuan bertahan (survival) kelompok minoritas khususnya kelompok yang ingin mempertahankan tradisi mereka. Dalam penelitian ini kelompok minoritas yang dimaksud adalah KKT dengan tradisi tabotnya.

Beberapa penelitian tentang strategi survival sebelumnya dilakukan dari bidang sosiologi dan antropologi antara lain, Andari (2013) melalui penelitiannya menemukan bahwa kemampuan bertahan pada anak jalanan adalah karena adanya solidaritas sosial diantara mereka. Weintre (2003) meneliti tentang kemampuan bertahan kelompok minoritas dalam hal ini suku Kubu dalam mempertahankan tradisi mereka. Sementara dalam bidang antropologi Selain itu, penelitian sebelumnya yang membahas tentang strategi survival juga lebih banyak dibahas pada bidang antropologi dan sosiologi. Beberapa penelitian tersebut antara lain kemampuan bertahan suku kubu (Weintre, 2003).

Sedangkan pembahasan untuk mengetahui bagaimana suatu kelompok minoritas dapat terus survive dari sudut pandang psikologi sosial. Dapat kita lihat dari dinamika kelompok (group dynamic) kelangsungan keberadaan suatu kelompok sangat tergantung dengan kemampuan anggotanya salah satunya adalah dengan melihat bagaimana suatu kelompok dapat membentuk cohesiveness antara anggota kelompoknya. Kelompok yang kohesif akan lebih mungkin berhasil dari waktu ke waktu karena dengan berhasil mempertahankan anggotanya akan memungkinkan mereka mencapai tujuan kelompok

(22)

18

daripada mereka sendiri-sendiri. Kelompok yang tidak memiliki sikap cohesion cenderung akan tidak survive. (Forsyth, 2010)

Selain melalui dinamika kelompok, Spoor, J. R., & Kelly, J. R. (2004) dalam penelitiannya menyarankan untuk menggunakan teori psikologi evolusi di dalam menjelaskan tentang peran kondisi emosi dan mood anggota kelompok dalam hubungannya dengan fungsi-fungsi dan kemampuan survival suatu kelompok. Alasannya adalah karena sebagai makhluk sosial dan emosional ketika melakukan hubungan diantara kelompok terutama yang minoritas dipengaruhi oleh mood dan emosi (Kelly, 2001; Kelly & Barsade, 2001).

Caporael, L.R (2007) menyatakan bahwa secara mendasar manusia adalah spesies sosial dan mereka tidak akan bisa melakukan reproduksi dan survive tanpa adanya kelompok. Dalam tulisannya Caporael (2007) menyarankan untuk menggunakan teori evolusi dalam memahami psikologi sosial dan budaya, alasannya dengan mengadopsi pandangan evolusi, psikologi, dan budaya ketiga bidang ilmu tersebut satu sama lain akan saling menginspirasi, memvalidasi, mengkoreksi, dan menginterpretasi. Masing-masing bidang pengetahuan tidak akan mengurangi bidang yang lain karena ketiganya saling berevolusi.

Metode

Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan metode wawancara. Responden yang digunakan adalah anggota kelompok Keluarga Kerukuran Tabot yang berada di Bengkulu.

Hasil dan Analisis

Keluarga Kerukunan tabot yang selanjutnya akan penulis sebut dengan KKT adalah pelaku utama dari tradisi tabot. Jika tidak ada KKT maka mustahil tradisi tabot akan berlangsung. Anggota KKT adalah terdiri dari keturunan Imam Senggolo dan masyarakat di luar keturunan Imam Senggolo yang mempunyai minat besar untuk mempertahankan dan mengembangkan tradisi tabot. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa untuk mempertahankan tradisi tabot sakral masyarakat dari keluarga keturunan tabot membentuk organisasi yang disebut dengan KKT. Pendapat ini didukung dari hasil wawancara peneliti dengan salah seorang ketua penyelenggara tabot sakral KKT dari kelurahan Berkas dimana dalam wawancara tersebut disampaikan bahwa:

“Salah satu alasan dibentuknya KKT adalah untuk mempertahankan tradisi tabot,

dan anggotanya tidak dibatasi hanya pada keturunan sepoy. Selama orang tersebut memiliki minat yang kuat untuk ikut melestarikan tabot bisa menjadi bagian dari anggota KKT. Hal ini dilakukan karena keturunan sepoy asli terutama generasi mudanya semakin sedikit yang memiliki minat dalam pelaksanaan tradisi tabot.

(23)

19

Selain itu sejak ada bantuan dana dari pemerintah sering muncul konflik, bahkan pernah terjadi kasus dimana ketua KKT dianggap menggelapkan dana bantuan pemerintah. Sehingga keberadaan KKT dapat menetralisir konflik-konflik yang muncul diantara anggota kelompok dan juga antara anggota kelompok lainnya”

(Wawancara dengan An, 5 Jan 2015)

Terjadinya perubahan pola perilaku tradisi tabot yang awalnya tidak terorganisir kemudian menjadi terorganisir merupakan langkah yang tepat dalam mengantisipasi adanya pengaruh akibat perubahan zaman dimana tujuannnya adalah untuk tetap mempertahankan tradisi tabot terutama tabot sakral. Untuk tetap dapat survive di dalam menghadapi perubahan zaman yang terjadi sangat diperlukan adanya kemampuan di dalam mengembangkan dinamika yang jauh lebih tinggi dari pada era sebelumnya. Keterbukaan terhadap semua perubahan diperlukan untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi. Sebenarnya, yang diperlukan untuk tetap survive dalam menghadapi perubahan bukan hanya sekedar penyesuaian diri tetapi lebih kepada kemampuan untuk mengantisipasi perubahan yang diperkirakan akan terjadi dimasa yang akan datang. Cara ini dianggap lebih efisien dari pada hanya sekedar penyesuaian diri. (Muhyadi, 2012). Dibentuknya organisasi KKT oleh masyarakat pelaku tradisi tabot penulis anggap sebagai antisipasi awal dalam menghadapi perubahan yang ada untuk tetap dapat mempertahankan tradisi tabot.

Lebih jauh Muhyadi (2012) menyebutkan bahwa dengan kehidupan kelompok potensi individu yang digabungkan dengan potensi individu lain akan mampu menghasilkan sesuatu yang baru dan luar biasa. Dengan dibentuknya KKT dapat menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dengan masyarakat pelaku tradisi tabot. KKT sebagai pemegang otoritas tunggal ritual upacara tabot harus menunjukkan profesionalitas mereka di dalam setiap penyelenggaraan tradisi tabot. Terutama dalam hal menjaga kesakralan upacara yang telah mentradisi dan sekaligus berupaya menjadikan upacara ini sebagai tontonan yang ditunggu masyarakat umum. Penafsiran ini penting sebagai cara untuk mempertahankan tradisi tabot sebagai lokal indigenous agar tidak terisolir dari masyarakat pendukunya, sekaligus mampu mempertahankan kesakralannya. (Poniman, 2014)

Saat ini dalam organisasi KKT terdiri dari 36 anggota/ kelompok yang terdiri dari 17 kelompok tabot sakral dan 16 kelompok tabot pembangunan.Yang perlu dipertahankan adalah keberadaan dari kelompok 17 sebagai pelaku dari tradisi tabot sakral. Karena untuk tabot pembangunan yang hanya berperan sebagai pendamping atau penyemarak upacara tabot ada kemungkinan untuk bertambah apabila semakin banyak minat masyarakat umum untuk ikut andil dalam perayaan tabot.

(24)

20

Telah dijelaskan di atas tentang pentingnya kelompok dalam pelaksanaan dinamika kehidupan keseharian masyarakat. Termasuk dalam hal ini masyarakat keturunan sepoy dengan membentuk KKT. Tanpa disadari ternyata kehidupan keseharian seseorang selalu terlibat dalam suatu kelompok tertentu. Misalnya dalam bekerja, bermain, bahkan dalam berpendapat dan bersikap terkadang dipengaruhi juga oleh kelompok. Seseorang akan langsung dapat menilai orang lain berasal dari kelompok mana ketika mendengar gaya bicara, aksen dan sikap orang lain. (Hogg dan Vaughan, 2011)

Dijelaskan di atas ternyata dalam suatu kelompok rentan terhadap adanya bias atau pertentangan antara anggota kelompok. Pertentangan ini dapat berupa prasangka (Newheiser & Dovidio, 2012) (Dovidio, 2011), dan ancaman yang muncul pada intergroup (Blake dkk, 2006). Jika bias atau pertentangan ini terjadi terus menerus maka suatu kelompok tidak akan bertahan lama.

Dalam KKT berdasarkan informasi awal yang peneliti dapatkan sejak berdirinya dari tahun 1992 pertentangan yang pernah terjadi adalah ketika antara sesama saudara yang masih keturunan Imam Senggolo saling berebutan untuk menjadi pelaksana dari tabot karena setiap perayaan tabot pemerintah akan memberikan bantuan yang tidak sedikit pada setiap kelompok penyelenggara tradisi tabot. Akhirnya akibat pertentangan yang terjadi, terpecahlah keluarga tabot dan munculah tabot tandingan atau lebih dikenal dengan istilah tabot pembangunan. Dapat juga dikatakan bahwa, pertentangan yang muncul antara anggota kelompok KKT adalah karena permasalahan dana atau anggaran yang didapatkan dari pemerintah. Selain itu telah terjadi perbedaan pandangan antara keluarga tabot yang senior dengan junior. Anggota keluarga tabot yang senior bertujuan ingin mempertahankan sakralisme tradisi sementara yang junior sudah berorientasi profit.

“Sekarang anak-anak muda keturunan sepoy sangat jarang yang ingin ikut dalam

perayaan tabot dan menjadi bagian dari keanggotaan KKT. Mereka menganggap perayaan tabot tidak menguntungkan. Kalaupun ada bantuan dari pemerintah hanya cukup untuk membuat tabotnya. Untuk beli rokok saja tidak bisa. Dan kalaupun ada yang ikut dalam perayaan tabot hanya ketika ada dana bantuan dari pemerintah. Mereka lebih memilih untuk membuat tabot pembangunan dari pada ikut bergabung untuk membuat tabot sakral”. (wawancara dengan An, 5 Jan 2015)

Kesatuan suatu kelompok tidak hanya dipengaruhi oleh kesolidan atau kesatuan orientasi tujuan dari semua anggota kelompok, tetapi juga tergantung kepada persepsi dari

outgroup. Terlebih lagi jika outgroup tersebut adalah kelompok mayoritas. (Stephan, W.G

dkk, 2002) proyeksi ingroup terhadap outgroup (Mullen, B. dkk. 1992). Pada kelompok KKT persepsi dari outgroup adalah berasal dari masyarakat Bengkulu non KKT. Dimana kebanyakan dari masyarakat saat ini lebih memandang tabot sebagai suatu festival saja tanpa memperhatikan ritual yanga ada. Sehingga sepertinya pandangan masyarakat non

(25)

21

KKT tersebut mempengaruhi persepsi generasi muda keturunan keluarga sipoy sebagai anggota inti dari KKT.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kelompok yang besar akan mempengaruhi kelompok yang kecil.(Thompson. I Stephen, 1974; Maass & Clark, 1984; Betts, K. R.& Hinsz, V. B, 2013). Namun pada kasus ini kelompok minoritas dalam hal ini KKT masih tetap bertahan untuk terus menjalankan tradisi yang mereka miliki, walaupun hidup dibawah prasangka dan tekanan dari berbagai pihak, baik itu dari masyarakat maupun pemerintah. Hal ini ada kemungkinan karena telah terbentuk identitas social kelompok KKT sehingga mereka tetap bisa bertahan walaupun banyak mendapatkan perilaku yang tidak mengenakan dari outgroupnya dalam hal ini masyarakat non KKT.

Kesimpulan

Berdasarkan kajian teoritik dan preliminary research berupa hasil wawancara kepada salah seorang tokoh utama dari keluarga KKT di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, pembentukan kelompok KKT oleh para pelaku tradisi tabot tujuannya adalah untuk mempertahankan tradisi tabot terutama tabot sakral yang semenjak pemerintah ikut campur tangan dalam pelaksanaanya mulai banyak menimbulkan beberapa masalah. Terutama masalah dana pembuatan tabot yang tidka jarang menimbulkan konflik di antara anggota kelompok.

Untuk menemukan seperti apa model dari kemampuan bertahan (survival) kelompok minoritas KKT ini masih perlu di lakukan kajian lebih jauh. Terutama pencarian grand teori dari model survivalnya yang selanjutnya akan dijadikan sebagai pisau analisis dalam penelitian lanjutan.

Daftar Pustaka

Al Ramiah, A., Hewstone, M., & Schmid, K. (2011). Social Identity and Intergroup Conflict.

Psychological Studies, 56(1), 44–52. doi:10.1007/s12646-011-0075-0

Al Ramiah, A. , Hewstone, M., Little, T. D., & Lang, K. (2014). The Influence of status on the relationship between intergroup contact, threat, and prejudice in te context of a Nation-building. Journal of Conflict Resolution. Journal of Conflict Resolution, Vol. 58 (7) 1202-1229doi:10.1177/0022002713492634

Betts, K. R., & Hinsz, V. B. (2013). Group Marginalization : Extending Research on Interpersonal Rejection to Small Groups. Personality and social psychology review. 17 (4) 355-270. doi:10.1177/1088868313497999

(26)

22

Blake M. Riek,Eric W. Mania and Samuel L. Gaertner. (2006). Intergroup Threat and Outgroup Attitude: A Meta Anaytic Review. Personality and Social Psychology Review. 10: 336-353 doi:10.1207/s15327957pspr1004

Campbell, Douglas T. (1958). Common fate, similarity, and other indicies of aggregates of persons as social entities. Behavioral Science.3: 14-24

Douglas.T., (2000). Survival In Group: The Basic of Group Membership. Buckingham. Open University Press

Dovidio, J. F., Eller, a., & Hewstone, M. (2011). Improving intergroup relations through direct, extended and other forms of indirect contact. Group Processes & Intergroup

Relations, 14(2), 147–160. doi:10.1177/1368430210390555

Forsyth. D.R, (2010). Group Dynamics. Fifth Edition. USA: Wodsworth Cengange Learning

Frid, Ralph. M. (2009). Creativity's Theoretical Relationship To Small Group Survival In Hostile And Competitive Environments. Dissertation. UMI Number: 3363824.

Gómez, Á., Dovidio, J. F., Gaertner, S. L., Fernández, S., & Vázquez, A. (2013). Responses to Endorsement of Sommonality by Ingroup and Outgroup Members: The Roles of Group Representation and Threat. Personality and Social Psychology

Bulletin. 39 (4).419-431. doi:10.1177/0146167213475366

Gumay, Syuplahan. (2011). Tradisi Tabut Sebagai Medium Pemersatu Masyarakat

Kelurahan Berkas Kecamatan Kota Bengkulu.Bengkulu: UNIB. Melalui <repository.unib.ac.id/140/1/7-Akses%20Vol%208%20no1.pdf> 19 April 2014

Hogg., M.A. dan Vaughan, G.M. (2011). Social Psychology. Sixth Edition. England: Pearson.

Jhonson dan Jhonson (2013). Joining Together. Group Theory And Group Skills. Boston: Allyn and Bacon

Kelly, J. R. (2001). Mood and emotion in groups. In M. A. Hogg & R. S. Tindale (Eds.), The

Blackwellhandbook of social psychology, Vol. 3: Group processes(pp. 164–181).

Oxford, UK: Blackwell.

Kelly, J. R., & Barsade, S. (2001). Emotions in smallgroups and work teams.

Organizational Behaviorand Human Decision Processes, 86, 99–130.

Liliweri, Alo. (2014) Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media.

Maass dan Clark III. (1984). Hidden Impact of Minorities: Fifteen Years of Minority Influence Research. Psychological Bulletin. Vol.95. No.3. 428-450

Martin, R dan Hewstone, M. (2003). Conformity and Independence in Group Majorities and

Minorities. Dalam M. A. Hogg & R. S. Tindale (Eds.), The Blackwell handbook of

social psychology, Vol. 3: Group processes (pp. 209–229). Oxford, UK: Blackwell.

Muhyadi. (2012). Dinamika Organisasi Konsep dan Aplikasinya Dalam Interaksi Sosial. Yogyakarta. Ombak.

(27)

23

Mullen, B., Dovidio, J. F., Johnson, C., & Copper, C. (1992). In-group-Out-group Differences in Social Projection, Journal of Experimental Social Psychology, 28. 422–440.

Moscovici, S dan Personnaz, B. (1980). V.Minority Influence and Conversion Behavior in a Perceptual Task. Journal of Experimental Social Psychology. 16 :270-282

Nemeth, C.J. dkk., (2004). The Liberting Role of Conflict in Group Creativity: A Study in Two Countries. European Journal of Social Psychology. 34. 365-374

Newheiser&Dovidio . (2012). Individual differences and intergroup bias: Divergent dynamics associated with prejudice and strotyping. Personality&Individual

Differencies. 53: 70-74

Ng.YK dan Dyne. (2001). Individualism-Collectivism as a Boundary Condition for Effectiveness of Minority Influence in Decision Making. Michigan State University.

Organizational Behavior and Human Decision Process. Vol. 84, No. 2, March, pp.

198–225, doi:10.1006/obhd.2000.2927

Plaut, V.C. (2002). Cultural models of diversity: The psychology of difference and inclusion. In R. Shwede, M. Minow, & H.R. challenge in liberal democracies (pp. 365-359). New York: Russel Sage Foundation Press

Permana, R Cecep Eka. (1996). Upacara Tradisional Tabut: Dampaknya Terhadap

Kebudayaan dan Budaya Pariwisata Budaya Daerah. Laporan Penelitian. Jakarta:

Doktor. Universitas Indonesia. Melalui

(www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-76668.pdf) diunduh 18 April 2014

Poniman. (2014). Dialektika Agama dan Budaya Dalam Upacara Tabut. Bogor: IAIN Press

Steele, R. R., Parker, M. T., & Lickel, B. (2014). Bias Within Because of Threat From Outside: The Effects of an Exterbal Call For Terrorism on Anti-Muslim Attitude in the United States. Social Psychological and Personality Science . 1-8 doi:10.1177/1948550614548727

Stephan, W. G. (2014). Personality and Social Psychology Review. Intergroup Anxiety: Theory, Research, and Practice. Personality and Social Psychology Review. Vol.18 (3) 239-255 doi:10.1177/1088868314530518

Suryanto, dkk. (2012). Pengantar Psikologi Sosial. Surabaya: Airlangga University Press.

Tajfel, H. and Turner, J. C. (1986). The social identity theory of inter-group behavior. In S. Worchel and L. W. Austin (eds.), Psychology of Intergroup Relations. Chigago: Nelson-Hall

Thompson. I Stephen. (1974). Survival of Ethnicity in the Japanese Community of Lima , Peru. Urban Antrhopology, 3(2), 243–261.

Weintre, Johan. (2003). Organisasi Sosial dan Kebudayaan Kelompok Minoritas Indonesia:

Studi Kasus Masyarakat Orang Rimba di Sumatra (Orang Kubu Nomaden):

(28)

24

Willer. Robb, Flynn. Francis J & Zak. Sonya. (2012). Structure, Identity and Solidarity : A Comparative Field Study of Generalized and Direct Exchange. Administrative

Science Quarterly. 57 (1)119–155.DOI: 10.1177/0001839212448626

Worchel. S dan Coutant. D. (2003). It Takes To Tango: Relating Group Identity to Individual Identity within The Framework of Group Development. Dalam M. A. Hogg & R. S. Tindale (Eds.), The Blackwell handbook of social psychology, Vol. 3: Group

(29)

25

GAMBARAN KEPRIBADIAN ALTRUSTIK PADA REMAJA: SUATU STUDI PADA MAHASISWA UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN

Asina Christina Rosito

Program Studi Ilmu Psikologi Universitas HKBP Nommensen Medan

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran kepribadian altruistik pada mahasiswa sebagai kelompok dengan tahap perkembangan remaja akhir. Kepribadian altruistik adalah suatu kombinasi variabel disposisional yang berhubungan dengan tingkah laku prososial, dimana komponen yang ada di dalamnya antara lain empati, kepercayaan pada dunia yang adil, penerimaan adanya tanggung jawab sosial, memiliki internal locus of

control, dan egosentrisme rendah (Baron & Byrne, 2005). Pendekatan penelitian adalah

pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif. Partisipan penelitian adalah 287 mahasiswa/i aktif di Universitas HKBP Nommensen, Medan, dengan usia 18-24 tahun, berasal dari berbagai angkatan dan berbagai program studi. Melalui pengolahan data deskriptif, diperoleh gambaran hasil sebagai berikut. Pertama, secara umum, kategori kepribadian altruistik berada pada kategori sangat tinggi (Mean Empirik: 29.11, Mean Hipotetik: 22.5, SD empirik : 3.03). Kedua, dari hasil analisis post hoct diketahui ada perbedaan signifikan dalam kepribadian altruistik pada beberapa kelompok responden berdasarkan program studi. Mahasiswa program studi Agroekoteknologi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan mahasiswa program studi Ilmu Hukum dan program studi Peternakan; mahasiswa program studi Pendidikan Matematika lebih tinggi skornya secara signifikan dibandingkan dengan mahasiswa program studi Ilmu Hukum, program studi Peternakan, dan program studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Ketiga, tidak terdapat perbedaan signifikan antara kelompok responden berdasarkan tahun masuk. Implikasi hasil ini dapat ditindaklanjuti secara teoritis maupun praktis.

Kata kunci: kepribadian altruistik , perilaku sosial, remaja akhir

Pendahuluan

Manusia tidak dapat hidup sendiri. Ungkapan ini menyatakan dengan jelas bahwa secara hakiki, manusia tidak dapat hidup dalam kesendirian. Dia adalah mahluk sosial, yang membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Jika dia kehilangan interaksi tersebut, maka dia bisa juga kehilangan jati diri dan identitasnya.

(30)

26

Interaksi sosial mengacu pada adanya kontak sosial antara minimal dua orang individu. Dalam interaksi dengan orang lain, terjalin berbagai hubungan antara lain hubungan pertemanan, hubungan karib, dan cinta yang bersifat suportif. Namun disisi lain, dalam interaksi dengan orang lain juga terjadi berbagai perilaku agresi, misalnya, perilaku yang bersifat mengganggu dan merusak.

Psikologi sosial mencoba menelusuri apa saja, bagaimana, dalam situasi seperti apa berbagai perilaku sosial (antara lain: tingkah laku prososial, agresi, dll) tersebut terjadi. Perilaku prososial (prosocial behavior) merupakan satu topik yang tidak pernah berhenti untuk dikaji dan dipelajari oleh berbagai ilmuwan psikologi sosial. Di tengah-tengah kondisi dunia masa kini yang semakin kompetitif dan individualis, perilaku prososial sepertinya semakin langka ditemukan.

Tingkah laku prososial merupakan suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong (Baron & Byrne, 2002). Satu konstruk yang relevan dalam pembahasan mengenai perilaku prososial adalah perilaku altruistik yang mengacu pada tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain.

Berbagai penelitian dan model teoretis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku prososial, telah dicoba untuk dibuktikan melalui banyak studi empirik. Satu faktor situasional yang dapat memberi kontribusi signifikan munculnya perilaku prososial antara lain jumlah bystander/orang yang menjadi saksi mata kondisi darurat, yang mana membutuhkan adanya perilaku prososial tertentu (Latane & Darley, 1968, 1970 dalam Baron & Byrne, 2002). Faktor situasional lain yang mendukung atau menghambat munculnya perilaku prososial antara lain sejauh mana bystander mengevaluasi korban secara positif (daya tarik), atribusi yang dibuat oleh bystander mengenai apakah korban bertanggungjawab terhadap situasi yang terjadi padanya, dan pengalaman-pengalaman

bystander terhadap model-model prososial baik di masa lampau maupun pada saat situasi

darurat terjadi.

Batson & Thompson (2001 dalam Baron& Byrne, 2002) menyatakan bahwa unsur motivasi juga sangat signifikan dalam menjelaskan muncul atau tidaknya respon perilaku prososial. Menurut mereka, terdapat tiga motif yang relevan dalam situasi ketika seseorang dihadapkan pada suatu dilema moral. Pertama, self-interest, yang disebut juga dengan egoisme. Kedua, integritas moral yang mengacu pada motivasi untuk bermoral dan

Gambar

Tabel Uji Normalitas
Tabel Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak yang Mengikuti Sekolah Bilingual  Variabel  Rentang Skor  Kategorisasi  Frekuensi (N)  Persentase (%)  Kompetensi  Sosial  X &lt; 43  Rendah  0  0 43≤ X &lt;60 Sedang 15  16,1  X  ≥ 60  Tinggi  78  83,9  Jumlah  9
Gambar 1. Grafik Hasil Skor Setiap Orientasi Akulturasi Pada Dimensi Budaya
Gambar 2. Grafik Hasil Skor Akulturasi Pada Dimensi Pernikahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seluruh aksesi plasma nutfah kapas yang dikarakterisasi, memiliki deskripsi morfologi yang berbeda, meski ada kesamaan pada beberapa karakter antar spesies yang berbeda..

KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dalam pembuatan kampanye sosial dan

Dentin kemudian melanjutkan pembentukannya setelah 'serangan' pulpitis sehingga odontoblast dan pulpa yang belum rusak secara ireversibel dan dapat melindungi pulpa dari jejas

Pencapaian lain yang terukur adalah telah diakuinya beberapa laboratorium di Malaysia untuk melakukan kerjasama riset yang bersifat International, dan peringkat universitas di

Dalam jumlah yang sedikit tanah dapat mengurai logam berat, namun secara terus menerus tanah akan terakumulasi dan tercemar logam berat tersebut (Priyanto dan Joko, 2010)..

keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Apabila penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial, maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau

Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat Retribusi adalah Pungutan Daerah sebagai Pembayaran atas jasa Pelayanan Peengujian Berkala Kendaraan

Struktur organisasi adalah suatu susunan dan hubungan antara tiap bagian serta posisi yang ada pada suatu organisasi atau perusahaan dalam menjalankan kegiatan