• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESIDIVISME NARAPIDANA NARKOBA DARI PERSPEKTIF KOGNITIF SOSIAL BANDURA

Dalam dokumen Prosiding Temu Ilmiah (Halaman 169-180)

Sri Aryanti Kristianingsih

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Abstrak

Definisi residivisme dalam tulisan ini mengacu pada definisi residivisme secara khusus, yaitu pengulangan suatu tindak pidana yang sama oleh pelaku yang sama, di mana tindak pidana yang dilakukan sebelumnya telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap, serta pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu yang menjadikan orang tersebut kembali menjadi narapidana. Orang yang melakukannya disebut sebagai residivis. Jumlah residivis di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung mengalami peningkatan, secara khusus residivis narkoba. Residivisme narapidana narkoba dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Tulisan ini bertujuan untuk memahami residivisme narapidana narkoba dengan menggunakan perspektif kognisi sosial Bandura, yang menekankan bahwa proses sosial maupun proses kognitif adalah sentral bagi pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan manusia. Perspektif kognisi sosial ini didasarkan pada model Triadic Reciprocal

Determinism, yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara

tiga faktor yaitu : faktor perilaku (Behavior/B), faktor kognitif atau personal (Person/P), dan faktor lingkungan (Environment/E), yang masing-masing beroperasi secara mandiri sebagai faktor penentu bagi faktor-faktor lainnya. Model tersebut digunakan untuk memahami perilaku residivisme narapidana narkoba.

Kata kunci: Residivisme, narapidana narkoba, kognitif sosial Bandura, triadic

reciprocal determinism.

Pendahuluan

Kecenderungan perilaku kriminal di Indonesia masih cukup besar dan keterlibatan penjahat kambuhan (residivis) dalam pengulangan kejahatan masih relatif tinggi. Mantan narapidana masih mungkin mengulangi perilaku kriminal yang membuat mereka masuk kembali ke dalam rumah tahanan (RUTAN) maupun lembaga pemasyarakatan (LAPAS). Bahkan residivis pun bisa kembali masuk ke (RUTAN) maupun LAPAS untuk ke sekian kalinya, khususnya residivis narkoba (http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/flip_2011).

Residivisme secara umum adalah pengulangan tindak kejahatan atau perilaku kriminal, sementara orang yang melakukan disebut sebagai residivis. Namun, terdapat beberapa definisi yang berbeda tentang residivisme maupun

166

residivis itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (dalam http://kbbi.web.id/residivis) residivis adalah orang yang pernah dihukum mengulangi tindak kejahatan yang serupa atau penjahat kambuhan. Sementara, undang-undang sendiri tidak mengatur mengenai pengulangan umum yang artinya menentukan pengulangan berlaku untuk dan terhadap semua tindak pidana. Namun, di dalam Kitab Undang -undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal ada beberapa sistem kambuhan atau recidive. Sebagai sistem pokok, ada dua sistem revidive yaitu : 1). Kambuhan Umum (General Recidive), yaitu apabila seseorang setelah melakukan tindak pidana dan atas tindak pidana yang dilakukan itu, telah dijatuhi pidana kemudian melakukan tindak pidana lagi, baik tindak pidana yang sama, sejenis maupun tindak pidana lainnya; 2) Kambuhan Khusus (Special Recidive), yaitu apabila seseorang setelah melakukan tindak pidana dan atas tindak pidana yang dilakukan itu telah dijatuhi pidana, kemudian melakukan tindak pidana yang sama. Wang, Hay, Todak, & Bales (2013) dalam penelitiannya mendefinisikan residivis sebagai mantan narapidana yang dihukum kembali di penjara karena kejahatan yang baru setelah selama masa 2 tahun pembebasan dari penjara. Sementara di lapangan juga terdapat pendefinisian yang berbeda terhadap residivisme maupun residivis. Misalnya, di Rutan Salatiga yang disebut sebagai residivis adalah mantan narapidana yang dihukum kembali di penjara setelah selama masa 1 tahun pembebasan dari penjara karena kejahatannya yang baru maupun yang sama dengan yang pernah dilakukannya (berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Pembinaan Rutan Salatiga, 16 Mei 2014). Di sisi lain, LAPAS Klas II A Wirogunan Yogyakarta menetapkan residivis adalah mantan narapidana yang dihukum kembali di penjara karena kejahatannya yang baru maupun yang sama dengan yang pernah dilakukannya (berdasarkan wawancara dengan Staf Bagian Registrasi LAPAS Klas IIA Wirogunan Yogyakarta, 13 Juni 2014). Namun, secara umum residivisme dapat dikatakan sebagai pengulangan tindak kejahatan atau perilaku kriminal yang menjadikan seseorang kembali menjadi narapidana, sementara orang yang melakukan disebut sebagai residivis.

Banyaknya residivis menunjukkan bahwa banyak orang yang melakukan pengulangan tindak kejahatan/kriminalitas meskipun mereka sudah pernah mendapatkan hukuman maupun pembinaan di Rutan maupun Lapas. Hal tersebut dapat berdampak negatif pada negara, masyarakat, keluarga, dan

167

pribadi. Kartono (2005) menyatakan bahwa maraknya tindak kejahatan akan memberikan efek yang mendemoralisir/merusak tatanan; menimbulkan rasa tidak aman, kecemasan, ketakutan, dan kepanikan di tengah masyarakat; banyak materi maupun energi yang terbuang sia-sia karena gangguan kriminalitas; menambah beban ekonomis yang makin besar pada sebagian masyarakat; adanya pemberitaan kriminal akan menyebabkan peningkatan kejahatan dengan mengundang orang yang bernaluri jahat, melukai perasaan keluarga dari pelaku maupun korban, dan menimbulkan kengerian pada masyarakat.

Banyak penelitian yang mencoba memahami faktor-faktor perilaku kriminal dan perilaku residivis (individu atau kelompok untuk mengulangi perbuatan tercela walaupun ia sudah pernah dihukum karena melakukan perbuatan itu). Perilaku residivis merupakan produk dari karakteristik individual & karakteristik konteks sosial (Wang, Hay, Todak& Bales, 2013). Studi residivisme banyak yang berfokus pada karakteristik individual. Misalnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa resiko residivisme lebih tinggi pada laki-laki, orang kulit hitam, narapidana muda, narapidana dengan catatan kriminal yang luas. (Gendreau, Little, & Goggin,1996; Langan & Levin,2002). Selain itu, Gottfredson & Hirschi (1990) juga menekankan pada karakteristik individual sebagai pendorong perilaku kriminal daripada karakteristik lingkungan sosialnya. Menurut Gottfredson & Hirschi, orang-orang dengan kontrol diri rendah, seperti impulsif, tidak peka, menekankan fisik, pengambilan resiko dan pandangan pendek, serta menekankan non verbal cenderung mengarah ke perilaku kriminal dan perilaku residivis. Senada dengan hal tersebut, Kjelsberg & Karnik (2009) menemukan bahwa wanita dengan skor kendali diri yang rendah hampir tiga kali lebih mungkin untuk kembali melakukan pelanggarandaripada wanita dengan skor kendali diri dengan tinggi. Dam, Janssens & Bruyn (2005) mengeksplorasi hubungan antara profil kepribadian Psychoticism, Extraversion, Neuroticism (PEN), dengan kenakalan, dan residivisme di pelaku kejahatan usia muda. Meskipun kepribadian berpengaruh, namun hasil menunjukkan bahwa Profil PEN tidak dapat membedakan antara residivis dan non residivis. Parhar, Champion, Chow, Paris, Whtam (2013) juga melakukan penelitian untuk mengidentifikasi bagaimana pelaku kejahatan dapat melakukan kejahatan kembali dan apakah tingkat motivasi berhenti dapat memprediksi dari kejahatan. Meskipun temuan tidak signifikan dan memiliki keterbatasanseperti ukuran sampel yang kecil, studi

168

eksplorasi yang dilakukan Parhar dkk (2013) ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana motivasi dan keyakinan pelaku berdampak pada residivisme. Selain itu, Vught, Gibbs, Stams, Bijleveld, Hendriks, Laan, (2011) menemukan bahwa terdapat hubungan terbalik antara perkembangan moral yang lebih matang dengan residivisme. Merrill, Alterman, Cacciola, & Rutherford (1999) memaparkan bahwa sejarah pengobatan sebelumnya berpengaruh negatif pada residivisme.

Selain hal-hal tersebut di atas yang berhubungan dengan karakteristik individual pada residivisme, beberapa penelitian juga mencoba memahami peran lingkungan sosial pada perilaku kriminal dan residivisme. Felipe & Sharp (2010) menyatakan bahwa perilaku kriminal dapat dipengaruhi oleh interaksi dengan orang lain melalui belajar sosial. Sementara, Visher & Travis (2003),melakukan studi multilevel terhadap proses integrasi mantan narapidana, karena konteks sosial penting untuk mantan narapidana yang dibebaskan ke komunitas dengan ketersediaan pekerjaan yang terbatas, akses yang kurang terhadap layanan sosial, adanya sub kultur kriminal yang besar, yang kemungkinan besar mengarah ke perilaku residivis. Beberapa penelitian lainnya menjelaskan lingkungan sosial antara lain meliputi kelompok sebaya yang melakukan kejahatan, ikatan keluarga, serta konteks lingkungan yang dapat memoderasi kecenderungan perilaku kriminal. (Doherti,2006; Hay & Forrest,2008; Hay,Fortson, Hollist, Altheimer & Schaible,2006; Wikstrom & Loeber,2000; Wright, Caspi, Moffitt & Paternoster,2004; Tenibiaje, 2013). Cottel & Heilbrun (2001) dan Derson (2010) juga menyatakan bahwa faktor keluarga yang bermasalah berpengaruh pada perilaku bermasalah, termasuk perilaku kriminal maupun residivisme. Selain itu, Urbaniok, Endras, Rossegger,Noll, Gallo, Angst, (2006) menjelaskan bahwa tahap proses peradilan memiliki faktor resiko perilaku residivis yang berbeda (misalnya apakah subyek pada proses didakwa, pada pembebasan bersyarat, pembebasan bersyarat, atau tidak lagi di bawah pengawasan papan pembebasan bersyarat). Sementara menurut Wang, Hay, Todak & Bales (2013) karakteristik struktural komunitas (komunitas yang tidak menguntungkan) juga dapat meningkatkan kejahatan dan residivisme, seperti status sosial ekonomi, mobilitas kediaman, dan heterogenitas ras.

Residivisme juga dipengaruhi oleh efektivitas program treatmen koreksional di penjara. Beberapa peneliti (dalam Murray, 2002) berusaha

169

membuktikan tentang efektivitas program treatmen koreksi pada narapidana di penjara untuk mengurangi kemungkinan peluang menjadi residivis. Para peneliti yang pada awalnya memperdebatkan tentang ketidakberhasilan program tratmen koreksi, seperti dalam penelitian Pritikin (2009), kemudian berbalik arah dan berfokus pada hal-hal yang berhubungan dengan keberhasilan program. Andrews dan Bonta (1998) merumuskan tiga prinsip umum klasifikasi untuk assessment dan treatmen koreksional yang efektif bagi narapidana, meliputi: prinsip resiko, kebutuhan kriminogenik, & responsivitas (model RNR). Dalam treatmen koreksional di penjara tersebut variabel-variabel prediktor residivisme dibagi menjadi dua, yaitu variabel statis (variabel yang tidak dapat berubah/diubah) dan dinamis (yang dapat berubah/diubah). Kedua variabel tersebut berguna dalam memprediksi residivisme (Andrews dan Bonta,1998; Philipse, Koeter, Staak, & Brink ,2006; Cottle, Lee & Heilbrun,2001). Sementara, Harding (2000) juga menjelaskan bahwa keberhasilan program treatmen di penjara untuk mengurangi residivisme dipengaruhi: penerimaan lingkungan dalam masyarakat, penjara yang memiliki terapeutik yang eksklusif, adanya komunitas terapi di penjara konvensional, penjara konvensional yang mendorong partisipasi narapidana, kemandiriandan, dan aman bagi tahanan.

Faktor internal dan eksternal prediktor residivisme secara khusus kasus narkoba sangat kompleks. Oleh karena itu, penulis perlu membatasi penelitian ini supaya lebih fokus, yaitu faktor internal dalam konteks psikologis dan faktor eksternal dalam konteks sosial. Berdasarkan wawancara dengan Kasie Pembinaan dan Kasie Keamanan Rutan Salatiga pada tanggal 17 November 2014, residivis narkoba cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu tidak adanya penerimaan dalam masyarakat dan tidak adanya dukungan dari keluarga karena berasal dari keluarga yang bermasalah, sehingga mereka tetap melakukan kontak dengan lingkungan sosial negatif dan akhirnya kembali melakukan perilaku kriminal. Di sisi yang lain, para residivis cenderung memiliki karakteristik internal, yaitu kontrol diri yang lemah, memiliki rasa bersalah dan rasa malu yang rendah, serta menyukai hal-hal yang bersifat instan (harapan akan hasil yang cepat).

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika residivisme narapidana residivis narkoba.Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Forensik, dalam hal ini yang berhubungan

170

dengan perilaku residivis narkoba. Selain itu, dengan memahami dinamika residivisme narapidana residivis narkoba, diharapkan dapat menjadi salah satu sarana untuk meminimalkan terjadinya pengulangan perilaku kriminal, khususnya pada residivis narkoba.

Teori Kognitif Sosial Bandura

Tulisan ini menggunakan perspektif kognitif sosial yang dikembangkan oleh Albert Bandura, didasarkan atas proposisi bahwa baik proses sosial maupun proses kognitif adalah sentral bagi pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan manusia (Bandura,1978)

Bandura (1978) percaya bahwa manusia memiliki kapasitas untuk mengarahkan diri sendiri melalui kontrol terhadap proses berpikir, motivasi dan tindakan diri sendiri.

Lima kemampuan kognitif dasar yang merupakan karakteristik manusia :

1) Symbolising capability. Manusia memiliki kemampuan untuk mentransformasikan pengalaman-pengalamannya menjadi simbol-simbol dan kemampuan untuk memproses simbol-simbol ini. Mereka dapat menciptakan ide-ide yang melampaui pengalaman penginderaannya. Kenyataanbahwa manusia memiliki kemampuan simbolisasi tersebut tidak berarti bahwa mereka selalu rasional. Hasil pemikiran itu dapat baik ataupun buruk, tergantung pada seberapa baik keterampilan berpikir orang itu dan tergantung pada kelengkapan informasi yang dimilikinya.

2) Forethought capability. Sebagian besar perilaku manusia diatur oleh pemikiran antisipatifnya bukan oleh reaksinya terhadap lingkungannya. Individu mengantisipasi konsekuensi perbuatannya dan menentukan tujuannya sendiri. Pemikiran ke depan ini bukan akumulasi konsekuensi-kosekuensi terdahulu, melainkan hasil pemikiran.

3) Vicarious capability. Hampir seluruh kegiatan belajar pada manusia itu bukan melalui pengalaman langsung, melainkan hasil pengamatannya terhadap perilaku orang lain beserta konsekuensinya. Belajar melalui pengamatan ini memperpendek waktu yang dibutuhkan manusia untuk belajar berbagai keterampilan.

171

4) Self-regulatory capability. Manusia mengembangkan standar internal yang dipergunakannya untuk mengevaluasi perilakunya sendiri. Kemampuan untuk mengatur diri sendiri ini mempengaruhi perilakuselanjutnya.

5) Self-reflective capability. Kemampuan refleksi diri ini hanya dimiliki oleh manusia. Orang dapat menganalisis berbagai pengalamannya dan mengevaluasi apakah proses berpikirnya sudah memadai. Jenis pemikiran yang paling sentral dan paling mendalam yang terjadi dalam refleksi diri ini adalah penilaian orang tentang kemampuannya sendiri untuk mengatasi berbagai macam realitas.

Emergent interactive agency merupakan model bagi teori kognitif sosial. Emergent interactive agency didasarkan pada model Triadic Reciprocal Determinism. Model ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan timbal balik

antara tiga faktor yaitu : faktor perilaku (Behavior/B), faktor kognitif atau personal (Person/P), dan faktor lingkungan (Environment/E), yang masing-masing beroperasi secara mandiri sebagai faktor penentu bagi faktor-faktor lainnya. Pengaruh-pengaruh tersebut bervariasi kekuatannya dan tidak terjadi secara berbarengan. Perilaku manusia (action maupun decision) merupakan hasil interaksi timbal-balik antara faktor-faktor eksternal seperti lingkungan fisik, sosial, budaya, dan faktor-faktor personal seperti kompetensi kognitif, emosional, maupun genetiknya. Orang bebas sebatas kemampuannya untuk menggunakan pengaruhnya terhadap dirinya (self-influence) dan menentukan tindakannya sendiri.

Reciprocal Determinism adalah konsep yang penting dalam teori belajar

sosial Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar sosial memakai

reciprocal determinism sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena

psikososial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi interaktif dari organisasi dan sistem sosial (Bandura, 1978).

Teori belajar social dari Bandura (1978) menekankan pentingnya mengamati dan pemodelan perilaku, sikap, dan reaksi emosional dari orang lain. Adapun proses komponen yang mendasari belajar observasional adalah: (1) Perhatian, termasuk peristiwa yang dimodelkan (kekhasan, valensi afektif, kompleksitas, prevalensi, nilai fungsional) dan karakteristik pengamat (kemampuan indera, tingkat gairah, sekumpulan persepsi, penguatan

172

sebelumnya), (2) Retensi, termasuk kode simbolik, organisasi kognitif, latihan simbolis, latihan motorik), (3) Motor Reproduksi, termasuk kemampuan fisik, reproduksi pengamatan diri, keakuratan umpan balik, dan(4) Motivasi, termasuk eksternal, perwakilan (seolah-olah mengalami sendiri) dan penguatan diri.

Prinsip-prinsip dalam Teori Belajar Sosial (1978) , yaitu : 1). Level tertinggi dari belajar observasional dicapai dengan pengorganisasian pertama dan melatih perilaku model secara simbolis, kemudian memberlakukan itu nyata (terang-terangan). Penyandian perilaku dimodelkan ke dalam kata-kata, label atau gambar hasil retensi lebih baik dari sekedar mengamati. 2). Individu cenderung lebih mengadopsi perilaku dimodelkan jika menghasilkan hasil yang mereka hargai. 3). Individu lebih cenderung mengadopsi perilaku dimodelkan jika model mirip dengan pengamat dengan status dikagumi, dan perilaku tersebut memiliki nilai fungsional.

Bandura (1978) mengatakan bahwa perilaku manusia sebagian besar merupakan self-regulated behavior. Manusia belajar suatu standar performa

(performance standards), yang menjadi dasar evaluasi diri. Apabila tindakan

seseorang bisa sesuai atau bahkan melebihi standar performa, maka ia akan dinilai positif, tetapi sebaliknya, bila dia tidak mampu berperilaku sesuai standar, dengan kata lain performanya di bawah standar, maka ia akan dinilai negatif. Selain itu, perceived self-efficacy juga berperan besar dalam self regulated

behavior. Perceived self-efficacy ini adalah keyakinan seseorang bahwa dia

mampu untuk melakukan sesuatu. Dari anggapan ini, muncul motivasi orang untuk berprestasi (apabila anggapannya positif) atau bahkan dismotivasi untuk melakukan suatu hal (apabila anggapannya negatif). Terkadang, Perceived

self-efficacy seseorang tidak sesuai dengan real self-self-efficacy. Seseorang terlalu yakin

dia dapat melakukan sesuatu, tetapi pada kenyataannya sebenarnya dia tidak mampu. Bila hal ini terjadi, maka orang akan merasa frustasi dan rendah diri.

Bandura (1978) menjelaskan seseorang akan mempelajari kode moral (moral code) dari model. Kode moral ini menentukan perilaku mana yang boleh dilakukan dan perilaku mana yang akan mendapat sangsi bila dilakukan dan perilaku mana yang tidak. Apabila seseorang melanggar kode moral, orang tersebut akan mengalami self-contempt (menyalahkan/jijik pada diri sendiri), yang merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Namun dalam perkembangannya, Bandura melihat sebuah mekanisme dimana seseorang bisa

173

melakukan pelanggaran moral tanpa mengalami self-contempt. Mekanisme ini seperti :

Justifikasi Moral (Moral Justification): seseorang membenarkan pelanggaran moral karena alasan yang lebih mulia.

Pelabelan Eufemistis (Euphemistic Labelling): seseorang menyebut hal yang tercela sebagai suatu ungkapan yang halus.

Perbandingan yang Menguntungkan (Advantageous Comparison): seseorang membandingkan perilaku pelanggaran moral dengan pelanggaran lain yang lebih berat, sehingga orang tersebut bisa membenarkan diri.

Pengalihan Tanggung Jawab (Displacement of Responsibility): seseorang membenarkan pelanggaran moral karena ada perintah dari pihak otoritas yang lebih tinggi.

• Difusi Tanggung Jawab (Diffusion of Responsibility):

pertanggungjawaban atas suatu pelanggaran moral memudar (bias) atas pelanggaran moral karena ditanggung bersama-sama.

Pengabaian atau Distorsi Konsekuensi (Disregard or Distortion of

Consequences): seseorang mengabaikan bahaya yang akan

ditimbulkan dari perbuatannya.

Dehumanisasi (Dehumanization): menganggap manusia lain sebagai makhluk yang lebih rendah, pelanggaran moral bisa dilakukan tanpa

self-contempt.

Atribusi Kesalahan (Attribution of Blame): seseorang menyalahkan pihak lain atas pelanggaran moral yang telah diperbuatnya.

Bandura (1978) menekankan bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh keteraturan konsekuensi respon. Konsekuensi respon itu mempengaruhi perilaku terutama melalui nilai informatif dan insentifnya. Terdapat tiga insentif penting yang berfungsi sebagai sistem pengatur perilaku, yaitu yang didasarkan pada konsekuensi eksternal (external motivator), konsekuensi tak langsung (vicarious motivator), dan konsekuensi yang dihasilkan oleh diri sendiri (self-regulatory motivator).

174

Residivisme Narapidana Narkoba Ditinjau dari Perspektif Teori Kognitif Sosial Bandura

Residivisme Narkoba dipengaruhi oleh faktor internal individu, faktor eksternal individu, maupun interaksi antara faktor internal dan eksternal (Gottfredson & Hirschi, 1990; Visher & Travis, 2003; Wang, Hay, Todak & Bales, 2013; Andrews, 1989.Perspektif Kognitif Sosial Bandura digunakan untuk memahami bagaimana proses seseorang menjadi residivis narkoba, dengan melihat faktor internal dan eksternal maupun interaksinya.

Menurut teori Belajar Sosial (Bandura, 1978) manusia memiliki kapasitas untuk mengarahkan diri sendiri melalui kontrol terhadap proses berpikir, motivasi dan tindakan diri sendiri. Dalam konteks residivis narkoba, dapat diprediksi bahwa kemampuan kognitif residivis narkoba cenderung rendah. Symbolising

capability residivis narkoba cenderung rendah di mana informasi yang dimiliki

kurang lengkap, sehingga hasil pemikiran cenderung buruk. Forethought

capability residivis narkoba juga cenderung rendah. Residivis narkoba cenderung

kurang mampu mengantisipasi konsekuensi perbuatannya dan menentukan tujuannya sendiri. Self-regulatory capability residivis narkoba juga cenderung rendah, di mana residivis narkoba tersebut kurang mampu mengembangkan standar internal yang dipergunakannya untuk mengevaluasi perilakunya sendiri. Kemampuan untuk mengatur diri sendiri yang rendah ini akan mempengaruhi residivisme narkoba. Self-reflective capability residivis narkoba juga cenderung rendah, dimana kurang mampu menganalisis berbagai pengalamannya dan mengevaluasi apakah proses berpikirnya sudah memadai. Penilaiannya tentang kemampuannya sendiri untuk mengatasi berbagai macam realitas juga cenderung rendah. Hal tersebut sangat memungkinkan residivisme narkoba menjadi tinggi. Selain itu, kemungkinan besar residivis narkoba memiliki Perceived self-efficacy yang tidak sesuai dengan

real self-efficacy-nya.

Bandura (1978) menjelaskan seseorang akan mempelajari kode moral (moral code) dari model. Kode moral ini menentukan perilaku mana yang boleh dilakukan dan perilaku mana yang akan mendapat sangsi bila dilakukan dan perilaku mana yang tidak. Dalam konteks residivis narkoba, kemungkinan besar residivis narkoba kurang mampu mempelajari kode moral dari orang lain (model). Ketika seseorang melanggar kode moral, orang tersebut akan mengalami

self-175

contempt (menyalahkan/jijik pada diri sendiri), yang merupakan pengalaman

yang tidak menyenangkan. Namun, residivis narkoba cenderung melakukan sebuah mekanisme sehingga bisa melakukan pelanggaran moral tanpa mengalami self-contempt. Mekanisme yang banyak dilakukan residivis narkoba adalah Justifikasi Moral (Moral Justification), yaitu membenarkan pelanggaran moral karena alasan yang lebih mulia; Perbandingan yang Menguntungkan (Advantageous Comparison), yaitu membandingkan perilaku pelanggaran moral dengan pelanggaran lain yang lebih berat, sehingga orang tersebut bisa membenarkan diri; Pengalihan Tanggung Jawab (Displacement of Responsibility), yaitu membenarkan pelanggaran moral karena ada perintah dari

pihak otoritas yang lebih tinggi; Difusi Tanggung Jawab (Diffusion of

Responsibility), yaitu pertanggungjawaban atas suatu pelanggaran moral

memudar (bias) atas pelanggaran moral karena ditanggung bersama-sama; Pengabaian atau Distorsi Konsekuensi (Disregard or Distortion of Consequences), yaitu mengabaikan bahaya yang akan ditimbulkan dari

perbuatannya;Atribusi Kesalahan (Attribution of Blame), yaitu menyalahkan pihak lain atas pelanggaran moral yang telah diperbuatnya.

Di sisi lain residivis narkoba cenderung memiliki Vicarious capabilityyang tinggi. Perilaku kriminal termasuk narkoba dipelajari melalui pengamatan terhadap model. Residivis narkoba akan mengamati dan melakukan pemodelan perilaku, sikap, dan reaksi emosional dari orang lain di luar LAPAS maupun selama di dalam LAPAS. Secara observasional, melalui pemodelan terhadap orang lain: dari mengamati orang lain, satu bentuk gagasan tentang bagaimana perilaku baru dilakukan, dan pada saat ada kesempatan kemudian informasi kode ini berfungsi sebagai panduan untuk bertindak.

Selain itu, kejahatan/kriminalitas termasuk narkoba menurut teori belajar sosial (Boduszek, Hyland, Pedziszczak, Kielkiewicz, 2013) merupakan fungsi dari sosialisasi individu, bagaimana individu dipengaruhi oleh pengalaman mereka atau relasi dengan keluarga, kelompok sebaya, guru, gereja, figur otoritas, & agen-agen sosialisasi lain. Teori Belajar Sosial juga dapat menjelaskan penjara sebagai “sekolah kejahatan” (Gendreau, Cullen & Goggin, 1999; Sampson & Laub, 1993; Wermink, Blokland, Niewbeerta, Nagin & Tollenar, 2010). Memiliki teman kriminal membuat orang lebih mengembangkan norma yang menyukai kejahatan, dan dikuatkan untuk melakukannya, &

176

konsekuensinya membuat orang benar-benar berkomitmen pada kejahatan/kriminalitas. Kontak dengan “ikatan sosial negatif” mengarah pada

Dalam dokumen Prosiding Temu Ilmiah (Halaman 169-180)