• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

B. Hubungan Salat Berjamaah dengan Tingkat Depresi

Hasil uji analisis menujukan bahwa lansia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 03 Margaguna Jakarta Selatan memiliki nilai rata-rata salat berjamaah yang baik (63,3%) yaitu 19 responden lansia dan sisanya sebanyak 11 responden lansia mendapatkan nilai buruk (36,7%). Rata-rata responden lansia tidak mengalami depresi (80%) yaitu berjumlah 24 responden, sedangkan 6 responden lansia mengalami depresi ringan (20%) dan tidak ada satupun lansia yang mengalami depresi berat (0%).

Hasil perhitungan uji statistik bivariat antara salat berjamaah dengan tingkat depresi pada lansia diperoleh P-value sebesar 0,000 yang berarti Ho ditolak, hal ini menunjukan bahwa ada hubungan antara salat berjamaah dengan tingkat depresi, selain itu didapatkan koefisien korelasi (r) -0,657 yang menggambarkan hubungan yang kuat antara salat berjamaah dengan tingkat depresi pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 03 Margaguna Jakarta Selatan dengan arah hubungan negatif (-) yang berarti semakin tinggi nilai salat berjamaah maka semakin rendah tingkat

depresi. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah nilai salat berjamaah maka semakin tinggi tingkat depresi.

Panti jompo merupakan institusi yang diselenggarakan pemerintah untuk melayani lansia yang miskin, tidak mempunyai tempat tinggal, keluarga, kerabat dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia juga bagi lansia yang mencari ketenangan dihari tuanya yang tidak bisa ia dapatkan di luar panti (Ihromi, 2004). Sutarto & Ismulcokro (2008) menjelaskan bahwa pada lansia yang masih memiliki keluarga, tinggal dipanti jompo tidak meyelesaikan masalah yang dialami lansia. Pada lansia akan timbul perasaan terbuang atau tersingkirkan dari lingkungan kasih sayang keluarga. Hal ini sejalan dengan penelitian Sari (2012) yang dilakukan untuk melihat gambaran depresi pada lansia, ia mendapatkan kesimpulan bahwa faktor yang dapat menyebabkan depresi pada lansia diantaranya adalah keadaan yang memaksa mereka sehingga harus hidup di panti bukan besama dengan keluarga yang seharusnya menjaga mereka, selain itu adalah faktor adaptasi gaya hidup, lingkungan sosial dan tempat tinggal dimana hal ini terjadi ketika lansia merasa jenuh dengan keadaannya sendiri serta situasi disekelilingnya yang menimbulkan rasa hampa dan rendahnya kepuasan hidup sehingga dapat memicu depresi.

Lansia memiliki mekanisme koping yang mempengaruhi keadaannya, lansia yang menggunakan mekanisme koping positif memungkinkan perubahan diri dengan merenungkan pengalaman hidup dan pengetahuan yang telah ia peroleh selama bertahun-tahun, sedangkan lansia yang menggunakan mekanisme koping negatif memperlihatkan bahwa mereka

berfokus pada kehilangan dan pikiran yang terebenam di masa lalu (Bastable, 2002). Lansia yang memiliki mekanisme koping yang baik akan memiliki kehidupan yang lebih positif, diantara mekanisme koping yang baik pada lansia adalah mendekatkan diri pada tuhan YME dan menjalin hubungan sosial yang baik (Maryam et al, 2008).

Hidayat (dalam Pudjiastuti & Utomo, 2003) mengemukakan bahwa kesadaran religius merupakan ungkapan keadaan psikologis lansia. Lansia menyadari bahwa mereka membutuhkan kepasrahan total kepada yang Kuasa, oleh karena itu lansia akan aktif dalam kegiatan sosial dan spiritual untuk mempersiapkan diri sebelum meninggal. Hal ini sejalan dengan penelitian yag dilakukan oleh Mackaenzie et al (2000) mereka melakukan penelitian untuk mengetahui persepsi lansia terhadap hubungan agama dan kesehatan, banyak lansia yang terlibat dalam penelitian ini percaya bahwa Tuhan mendukung mereka, melindungi, menjaga, mengajarkan, membantu, dan menyembuhkan melalui kegiatan ibadah yang dapat berdampak pada fisik dan mental, diantara lansia tersebut banyak yang mengatakan bahwa memiliki hubungan dengan Tuhan merupakan dasar dari aspek psikologi yang baik.

Pada penelitian ini sebagian besar lansia tidak mengalami depresi (80%) hal ini salah satunya dapat disebabkan karena kebiasaan para lansia responden melaksanakan salat berjamaah. Bahnasi (2010) mengatakan salat merupakan proses berhubungan dengan Allah yang dapat mencakup seluruh kehidupan orang yang salat, melalui salat manusia bisa mencapai derajat keyakinan yang dimahkotai ketenangan. Dia akan berbeda dengan

orang-orang yang tidak melaksanakan salat. Oleh karena itu Allah Swt. mengecualikan mereka dari sifat ketidakstabilan jiwa. Allah Swt. Berfirman

“Apabila ditimpa kesusahan, dia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan (harta), dia menjadi kikir. Kecuali orang-orang yang melaksanakan salat. Mereka yang tetap setia melaksanakan salatnya.”(QS. AlMa’arij:20-30).

Sevateille (dalam Al-Khuly, 2010) mengatakan manusia mendapatkan kekuatan diri melalui salat hingga memberikan dampak kesehatan jiwa kepada pelakunya. Sauer & Karl (dalam El-Bantanie, 2010) berdasarkan penelitiannya membuktikan bahwa salat lima waktu merupakan sarana menenangkan jiwa yang paling efektif dimana setiap emosi yang melonjak dapat diendapkan dengan melakukan salat.

Salat memiliki beberapa dimensi, yaitu dimensi spiritual, dimensi sosial, dimensi emosional, dan dimensi fisik. Dimensi spiritual merupakan dimensi dengan porsi yang lebih besar daripada dimensi lainnya, karena dalam salat melibatkan ruh yang bisa melihat dengan keimanan yang mengasah visi kita. Dimensi fisik salat dapat menyehatkan tubuh kita, dimensi emosional dengan salat kita dapat belajar untuk bersabar, bersyukur, dan mengasah kerendahan hati, dimensi sosial bisa diasah dengan salat berjamaah dimana manusia berkumpul dan berinteraksi satu sama lain (Harris, 2008).

Najati (2010) mengatakan bahwa terminologi salat mengisyaratkan adanya hubungan antara manusia dan Tuhan-Nya, dengan salat manusia dapat

mengerahkan seluruh jiwa dan raganya kepada Allah, berpaling dari semua kesibukan dan masalah dunia serta tidak memikirkan sesuatu kecuali Allah dan ayat-ayat Alquran yang dibacanya. Keterpalingan penuh dari berbagai persoalan dan masalah kehidupan dan tidak memikirkannya selama salat dengan sendirinya akan menimbulkan pada diri manusia keadaan tentram, jiwa yang tenang dan pikiran yang bebas dari beban. Dampak dari salat lebih signifikan terasa pada pelaksanaan salat berjamaah karena adanya aspek sosial, dengan seringnya seseorang pergi ke masjid untuk melaksanakan salat akan memberikan kesempatan baginya untuk berkenalan dengan para tetangga dan lingkungannya.

Penelitian ini tidak memasukan dimensi fisik, spiritual dan emosional dalam pertanyaan kuesioner salat berjamaah, hal ini disebabkan peneliti ingin membatasi kesamaan antara salat munfarid (salat sendirian) dengan salat berjamaah dikarenakan pada keduanya ada kesamaan dalam dimensi fisik, spiritual dan emosional yang dapat mempengaruhi tingkat depresi yang akan diukur. Dimensi salat berjamaah yang dinilai adalah dimensi sosial yang terdiri dari aspek keteraturan, frekuensi, waktu, tempat dan interaksi. Aspek-aspek ini dipilih sesuai dengan pendapat Al-Khuly (2010) bahwasannya salat adalah kewajiban yang dibatasi oleh waktu-waktu tertentu sehingga tidak boleh terlambat mengerjakannya.

Aspek waktu dan frekuensi. Allah Subhanahu wa ta’alaberfirnan: “Sesungguhnya salat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang yang beriman.” (QS. al-Nisa’:103).

“Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ta’atlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. Al-Nur:56).

Aspek interaksi, Allah memerintahkan kepada manusia agar menyuruh keluarganya mendirikan salat.

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha:132).

Aspek tempat. Allah memerintahkan pada manusia untuk salat dalam keadan suci pakaian, badan, dan tempat yang dipergunakan.

“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS. Al-Mudastsir: 4).

Hasil penelitian ini meskipun tanpa melakukan pengukuran terhadap keseluruhan dimensi salat namun tetap membuktikan bahwa salat berjamaah memiliki hubungan yang kuat dengan tingkat depresi pada lansia. Penelitian sejenis yaitu penelitian berdimensi sosial juga telah dilakukan oleh Siswantari (2014) ia menguji pengaruh terapi aktifitas kelompok (TAK) terhadap tingkat depresi lansia dengan meningkatkan interaksi dan hubungan sosial. Penelitian ini mendapatkan kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang sangat bermakna dari terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi harga diri rendah terhadap tingkat depresi lansia di Karang Werda Semeru Jaya, serta penelitian Ariani (2012) yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh terapi musik angklung terhadap tingkat kesepian pada lansia yang tinggal di PSTW Garut. Hasil analisis menunjukan ada perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan terapi musik angklung terhadap tingkat kesepian lansia.

Penelitian berdimensi sosial religius telah dilakukan oleh Neill & Kahn (1999) penelitian yang dilakukannya tidak hanya meneliti aspek spiritualitas individu namun juga aktivitas keagamaan sosial yang berdampak pada kepuasan hidup. Hasil penelitian menunjukan bahwa kegiatan keagamaan sosial berdampak pada kepuasan hidup dimana pada kegiatan keagamaan mereka mendapatkan teman dan komunitas yang mendukung, sedangkan Kathleen (2010) meneliti hubungan perkembangan spiritual dan aktifitas fisik, penelitian ini menemukan bahwa perilaku yang menunjang kesehatan berhubungan dengan kekuatan dalam diri, dan kekuatan diri dipengaruhi oleh perkembangan spiritual.

Dokumen terkait