• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan sosiodemografi dengan dimensi kualitas hidup

2007 Dimensi Ketidakmampuan

5.5. Hubungan sosiodemografi dengan dimensi kualitas hidup

Hubungan sosiodemografi dengan kualitas hidup dapat dilihat dari jenis kelamin, pendidikan ibu dan pekerjaan orang tua dengan dimensi kualitas hidup. Berdasarkan hubungan jenis kelamin dengan dimensi kualitas hidup ternyata ada hubungan bermakna antara jenis kelamin pada <0,05 dengan ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan psikis dan ketidak mampuan sosial. Remaja perempuan akan lebih sering mengeluh dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan ini mungkin disebabkan remaja perempuan lebih sensitif terhadap perubahan dalam hidupnya dan lebih mempunyai perhatian terhadap masalah yang menyangkut estetis. Hal ini didukung oleh penelitian Onyeaso, dkk (2005) yang melaporkan bahwa wanita lebih banyak melakukan perawatan keadaan maloklusinya dibandingkan laki-laki karena merasa tidak nyaman dengan bentuk wajahnya.

Berdasarkan hubungan pendidikan ibu dengan kualitas hidup ternyata hanya dengan keterbatasan fungsi, ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan psikis dan ketidak mampuan sosial yang menunjukan ada hubungan. Hal ini mungkin disebabkan karena semakin rendah pendidikan ibu maka anak remajanya akan lebih merasakan gangguan dari segi psikis dan sosial, sebaliknya mereka lebih toleran terhadap adanya rasa sakit yang dialaminya.

Berdasarkan hubungan pekerjaan orang tua dengan kualitas hidup, ternyata menunjukan hubungan dengan keterbatasan fungsi, ketidaknyamanan psikis, ke tidakmampuan psikis dan hambatan. Hal ini mungkin disebabkan karena pengklasifikasian pekerjaan orang tua berdasarkan tingkat pendidikan dan seiring dengan pendapatan, ternyata semakin tinggi tingkat pekerjaan orang tua maka keluhan terhadap

dimensi kualitas hidup semakin berkurang karena secara tidak langsung tingkat sosialnya akan semakin tinggi.

5.6. Hubungan Perilaku Kesehatan dengan Kualitas Hidup

Berdasarkan hubungan pengetahuan dengan kualitas hidup, ternyata terdapat hubungan dengan ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan psikis dan hambatan. Hal ini mungkin disebabkan karena pengetahuan yang rendah akan mengalami keluhan kualitas hidup lebih sering dibandingkan dengan pengetahuan yang tinggi. Hal ini didukung oleh pernyataan Gilbert (1996) bahwa pada kelompok yang mempunyai pengetahuan yang lebih rendah lebih banyak mengeluh mengenai masalah gigi dan mulut dibandingkan dengan kelompok pengetahuan lebih tinggi.

Berdasarkan hubungan sikap yaitu berupa keyakinan remaja SMU dengan kualitas hidup menunjukan ada hubungan antara sikap dengan dimensi keterbatasan fungsi, rasa sakit fisik, ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan fisik dan ketidakmampuan psikis. Hal ini mungkin disebabkan karena remaja yang mempunyai keyakinan yang rendah terhadap perawatan maloklusinya akan lebih sering mengalami keluhan kualitas hidup. Hasil ini didukung oleh hasil prevalensi keluhan terbanyak pada tiap-tiap dimensi, dimana remaja yang tidak mempunyai keyakinan yang baik terhadap pencegahan dan perawatan maloklusinya akan mengeluh ada sesuatu yang salah pada giginya, sakit kepala, merasa kuatir, takut tersenyum dan merasa malu terhadap keadaan dirinya.

Berdasarkan hubungan tindakan remaja SMU melakukan perawatan ke tempat pelayanan kesehatan gigi dengan kualitas hidup menunjukan tidak ada hubungan antara tindakan dengan gangguan kualitas hidup. Hal ini terbukti bahwa remaja yang sudah melakukan perawatan maloklusi tidak akan mengeluh adanya gangguan kualitas hidup

karena keadaan kelainan susunan giginya sudah teratasi dan menimbulkan kepercayaan diri.

5.7. Hubungan maloklusi dengan dimensi kualitas hidup

Uji dimensi hubungan maloklusi dengan dimensi keterbatasan fungsi menunjukan adanya hubungan bermakna pada <0,05 dengan adanya konfonder keyakinan. Ini berarti bahwa kelompok remaja SMU Kota Medan yang mengalami maloklusi mempunyai resiko 2,337 kali lebih sering mengalami gangguan keterbatasan fungsi dibandingkan dengan kelompok tanpa maloklusi. Hasil ini didukung oleh data gambaran kualitas hidup pada penelitian ini. Dari delapan jenis keterbatasan fungsi yang paling banyak dikeluhkan adalah makanan sangkut, merasa ada yang salah pada gigi dan merasa wajah kurang menarik

Pada uji dimensi rasa sakit, menunjukan hubungan bermakna pada <0,05 antara maloklusi dengan dimensi rasa sakit tanpa adanya konfonder. Pada uji statistik regresi logistik ganda dapat dilihat kelompok remaja SMU yang maloklusi mem-punyai resiko 1,9 kali lebih sering mengalami gangguan rasa sakit dibandingkan dengan kelompok yang tidak maloklusi. Hasil ini didukung oleh data gambaran kualitas hidup pada penelitian ini. Dari lima jenis keterbatasan fungsi yang paling banyak dikeluhkan adalah sakit gigi, tidak enak mengunyah dan sakit kepala.

Pada uji dimensi ketidaknyamanan psikis menunjukan hubungan antara maloklusi dan keyakinan yang merupakan sikap sebagai konfonder dengan dimensi ketidaknyamanan psikis. Pada uji statistik regresi logistik ganda dapat dilihat kelompok remaja SMU yang maloklusi mempunyai resiko 2,195 kali lebih sering mengalami

setelah dikontrol variabel keyakinannya. Hasil ini didukung oleh data gambaran kualitas hidup pada penelitian ini. Dari empat keluhan ketidaknyamanan psikis yang paling banyak dikeluhkan adalah sadar ada masalah pada gigi dan merasa kuatir.

Pada uji dimensi ketidakmampuan fisik menunjukan ada hubungan antara maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan fisik. Pada analisis regresi logistik ganda, variabel yang pada kerangka konsep diduga mempunyai efek konfonder ternyata tidak mempunyai efek pada dimensi ini. Ini berarti kelompok remaja SMU yang maloklusi mempunyai resiko 4,4 kali lebih sering mengalami gangguan keterbatasan fungsi dibandingkan dengan kelompok yang tidak maloklusi. Hasil ini didukung oleh data gambaran kualitas hidup pada penelitian ini. Dari lima keluhan ketidakmampuan fisik yang paling banyak dikeluhkan takut tersenyum dan sulit menyikat gigi. Hal ini mungkin karena keadaan gigi yang berjejal sehingga remaja menjadi enggan untuk tersenyum dan proses penyikatan gigi menjadi tidak sempurna.

Pada uji dimensi ketidakmampuan psikis menunjukan tidak ada hubungan antara maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan psikis,walaupun sudah dikontrol pengetahuan dan sikap. Berarti akibat maloklusi hanya mengganggu segi psikis sampai pada hirarki kualitas hidup taraf ketidaknyamanan, untuk hirarki yang lebih tinggi yaitu ketidakmampuan/disabilitas ternyata tidak ada hubungan dengan mal-oklusi. Namun dari hasil gambaran kualitas hidup dimensi ketidakmampuan psikis yang paling banyak dikeluhkan adalah merasa malu, kesal dan susah berkonsentrasi akibat keadaan maloklusi yang dialami remaja SMU.

Uji dimensi ketidakmampuan sosial menunjukan ada hubungan bermakna antara maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan sosial. Pada uji statistik regresi logistik

ganda dapat dilihat kelompok remaja SMU yang maloklusi mempunyai resiko 2,088 kali lebih sering mengalami gangguan ketidakmampuan sosial dibandingkan dengan kelompok yang tidak maloklusi. Hasil ini didukung oleh data gambaran kualitas hidup pada penelitian ini. Dari lima keluhan dimensi ke-tidakmampuan sosial yang paling banyak dikeluhkan adalah cepat marah dan mudah tersinggung.

Uji dimensi hambatan menunjukan hubungan antara maloklusi dengan dimensi hambatan, dan pengetahuan sebagai konfonder. Pada uji statistik regresi logistik ganda dapat dilihat kelompok remaja SMU yang maloklusi mempunyai resiko 1,27 kali lebih sering mengalami gangguan hambatan dibandingkan dengan kelompok yang tidak maloklusi setelah dikontrol pengetahuan. Hasil ini didukung oleh data gambaran kualitas hidup pada penelitian ini. Dari lima jenis hambatan yang paling banyak dikeluhkan adalah tidak dapat belajar dengan baik dan hidup merasa tidak enak.

5.8. Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup

Hipotesis penelitian, yaitu maloklusi berhubungan dengan kualitas hidup dapat dibuktikan pada penelitian ini. Pada persamaan regresi logistik ganda dapat disimpulkan kelompok yang menderita maloklusi mempunyai risiko 3,227 kali mengalami gangguan kualitas hidup dibandingkan dengan kelompok tidak maloklusi. Hasil ini didukung oleh penelitian Mon-Mon Tin (2006) terhadap siswa SMP Kota Bharu Malaysia yang menyatakan bahwa 66,8% siswa terganggu kualitas hidupnya akibat buruknya kesehatan gigi dan mulut, gangguan ini dapat berupa gangguan berbicara, tidak merasa nyaman, gangguan belajar dan gangguan hubungan sosial dengan orang lain. Menurut Dibiase (2001), remaja yang mempunyai bentuk wajah yang tidak menarik akibat adanya

hidupnya sebagian dari anak-anak sampai masa remaja yang mengalami maloklusi, akan menerima penindasan (bullying) berupa ejekan/hinaan yang menyakitkan hati. Akibat pengalaman yang tidak menyenangkan dapat mengakibatkan remaja mempunyai masalah dalam interaksi sosial meliputi kehilangan kepercayaan diri, mempunyai rasa prasangka yang buruk dalam konsep berpikir dan gangguan dalam kemajuan belajar/karir. Dalam jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri bahwa dirinya tidak berharga. Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, keputusan pindah ke sekolah lain atau keluar dari sekolah, dan kalaupun masih berada di sekolah, mereka biasanya terganggu prestasi akademisnya atau sering sengaja tidak masuk sekolah.

5.9. Keterbatasan Penelitian

Disain penelitian adalah penelitian analitik dengan teknik potong lintang. Responden pada waktu bersamaan dikelompokkan menurut status maloklusi dan kualitas hidup, oleh karena itu tidak dapat diketahui dengan pasti apakah maloklusi mendahului gangguan kualitas hidup. Kesimpulan penelitian ini hanya menunjukkan sejauh mana variabel bebas mempengaruhi variabel terikat.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait