• Tidak ada hasil yang ditemukan

2007 Dimensi Ketidakmampuan

4.5. Uji Kualitas Hidup

Kualitas hidup merupakan gabungan dari ketujuh dimensi kualitas hidup. Penggabungan ini berdasarkan uji statistik bivariat bahwa ketujuh dimensi kualitas hidup berhubungan dengan maloklusi.

Tabel 4.36. Nilai p dan Rasio Prevalens Variabel Maloklusi terhadap Ketujuh Dimensi Kualitas Hidup pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007

Ketujuh dimensi tersebut di gabung menjadi satu yaitu kualitas hidup. Untuk mengetahui variabel mana yang masuk ke dalam persamaan regresi logistik ganda dilakukan pemilihan model. Variabel yang nilai p<0,25 dapat di jadikan model. Setelah dilakukan pemilihan model dengan mengeluarkan variabel yang tidak layak menjadi model satu persatu mulai dari yang terbesar, diketahui bahwa variabel jenis kelamin, pekerjaan orang tua, tindakan responden, dan pendidikan tidak dapat masuk menjadi model karena nilai p >0,25.

Variabel Keterba tasan fungsi Rasa sakit fisik Ketidak nyamanan psikis Ketidak mampuan fisik Ketidak mampua psikis Ketidak mampuan sosial Hambatan Maloklusi p =0,001 RP=3,021 p=0,017 RP=1,906 p=0,013 RP=2,533 p=0,001 RP=4,883 p=0,015 RP=2,405 p=0,023 RP=2,088 p=0,001 RP=4,496

Tabel 4.37. Uji Interaksi Variabel Maloklusi dengan Variabel Kualitas Hidup yang Masuk kedalam Model

No Variabel Rasio prevalens Selang kepercayaan 95% Nilai p

1. Pengetahuan dengan keyakinan 1,034 0,466 – 2,285 0,933

2. Pengetahuan dengan maloklusi 4,205 0,834 – 5,563 0,002

3. Keyakinan dengan maloklusi 2,154 0,834 – 5,563 0,113

Uji interaksi di lakukan secara bertahap. Variabel yang mempunyai nilai p>0,05 di keluarkan dari model interaksi. Pada hasil akhir interaksi diketahui variabel pengetahuan berinteraksi dengan maloklusi dalam hubungannya dengan kualitas hidup

Tabel 4.38. Pemeriksaan Variabel Konfonder Hubungan Maloklusi dengan Dimensi Kualitas Hidup pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007

No Variabel Perbandingan rasio

prevalens (%)

1 Keyakinan 28,10

2 Pengetahuan 18,30

Dari seluruh variabel hanya keyakinan dan pengetahuan yang layak digolongkan sebagai variabel konfonder dalam hubungan antara maloklusi dengan dimensi kualitas hidup, karena mempunyai perbandingan rasio prevalens > 10%.

Tabel 4.39.

Persamaan Akhir Regresi Logistik Ganda Maloklusi terhadap Dimensi Kualitas Hidup pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007

No. Variabel Rasio Prevalen

CI 95% P Value

Maloklusi 3,227 3,061 – 20,425 0,003

Pada persamaan akhir terbukti bahwa kejadian maloklusi berhubungan dengan dimensi kualitas hidup pada nilai p = 0,003 dan rasio prevalens 3,227 (CI 95% = 3,061– 20,425). Responden dengan malokusi berpeluang sering mengalami gangguan kualitas hidup sebesar 3,2 kali dibandingkan dengan responden tanpa maloklusi.

Bab 5 PEMBAHASAN

5.1. Gambaran Sosiodemografi

Gambaran sosiodemografi remaja SMU dapat dilihat berdasarkan jenis kelamin, pendidikan terakhir ibu dan pekerjaan orang tua. Berdasarkan jenis kelamin lebih banyak laki-laki dari pada perempuan, tapi persentasenya tidak terlalu berbeda yaitu 51,8% dan 48,2%. Berdasarkan pendidikan terakhir ibu, hampir separuh pendidikan ibu yang tamat SMU yang mendominasi pada penelitian ini yaitu 48,4% dan seiring dengan pekerjaan orang tua juga didominasi oleh pekerjaan berdasarkan klasifikasi tingkat dua yaitu pekerjaan yang membutuhkan pendidikan menengah seperti guru, perawat, pegawai negeri golongan 2, polisi dan lain sejenisnya.

5.2. Gambaran Maloklusi

Gambaran maloklusi pada remaja dapat dilihat dari prevalensi maloklusi remaja SMU di Kota Medan yaitu 60,5%. Dibandingkan dengan data United States Public Health Service (USPHS) yaitu 89% (Dewanto,1993), prevalensi maloklusi pada remaja di Kota Medan lebih rendah. Perbedaan ini disebabkan karena berbedanya indeks maloklusi yang dipakai, tetapi berdasarkan tingkat keparahan dan kebutuhan akan perawatan, hasilnya hampir sama. Dari data USPHS maloklusi berat yang butuh perawatan adalah 29% dan menurut hasil penelitian Mon-Mon Tin (2006) adalah 23,1% sedangkan pada remaja Kota Medan kebutuhan akan perawatan adalah 23%,. Berdasarkan kebutuhan akan perawatan inilah peneliti menganalisis hubungan maloklusi dengan kualitas hidup.

Dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, terdapat perbedaan angka prevalensi maloklusi, hal ini disebabkan karena metode penentuan maloklusi yang berbeda, perbedaan penentuan kriteria sampel dan perbedaan daerah penelitian. Metode penentuan maloklusi yang berbeda misalnya seperti penelitian prevalensi orang Israil berumur 13-15 tahun di Nazareth oleh Steigman (1983) menyatakan bahwa prevalensi maloklusi didaerah tersebut sebesar 90% dan menurut klasifikasi Angle 96,5% pada waktu dan sampel yang sama. Jadi ini berarti bahwa hasil penelitian prevalensi dengan memakai indeks HMA lebih kecil daripada indeks Angle, karena batasan normal bagi indeks HMA berkisar antara skor 0-4. Perbedaan daerah penelitian juga memberikan hasil yang berbeda seperti penelitian yang dilakukan Hamilah (1991) di daerah Condet, Jakarta Timur yaitu suatu penelitian di daerah cagar budaya khas Betawi tentu akan berbeda dengan hasil penelitian dilakukan disuatu daerah yang banyak terjadi pencampuran antar suku bangsa misalnya daerah perkotaan. Namun jika dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian lainnya yang menggunakan indeks pengukuran yang sama, maka hasil penelitian ini menunjukan persamaan yaitu prevalensi maloklusi masih tetap tinggi yaitu lebih dari 60%. Hal ini akan dapat dilihat pada Tabel 5.1. dibawah ini.

Tabel 5.1. Prevalensi Maloklusi dari Beberapa Peneliti N o Nama peneliti Jml sampel Lokasi Umur % normal % maloklusi 1. Steigman (1983) 783 Nazareth,Israel 13-15 10 90 2. Hamilah (1991) 269 Condet,Jakarta 11-12 10,41 89,59 3. Dewanto (1986) 639 Lombok 10-15 29,73 70,27 4. Gan-Gan (1997) 380 Bandung 12-15 9,21 90,79

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa selama 14 tahun prevalensi maloklusi masih saja tetap tinggi. Hasil prevalensi maloklusi pada penelitian sebelumnya lebih tinggi dari hasil penelitian ini karena usia sampel yang diteliti berkisar dari 10 sampai 15 tahun, pada masa itu adalah masa gigi bercampur dimana gigi susu dan gigi tetap bersamaan berada dirongga mulut sehingga kasus berjejal (crowdeed) pada gigi anterior sangat banyak terjadi yaitu lebih dari 50% (Dewanto,1993). Pada penelitian yang dilakukan pada remaja usia 15 sampai 18 tahun yang keadaan rongga mulutnya sudah tumbuh semua gigi tetap kecuali molar 3, kemungkinan crowdeednya sudah berkurang, walaupun diantara semua ciri-ciri maloklusi kasus gigi berjejal masih tetap yang terbanyak. Hal ini dapat dilihat pada persentase ciri-ciri maloklusi (Tabel 4.8). Kasus gigi bejejal anterior rahang atas 30,75% dan anterior rahang bawah 41,89%. Untuk kelainan hubungan gigi dalam keadaan oklusi, jarak gigit (overjet) mempunyai persentase tertinggi yaitu 35,59, sesuai dengan hasil penelitian Hong (2001) yang menyatakan selama 25 tahun perubahan terhadap keadaan maloklusi terjadi penambahan kasus gigi berjejal pada gigi anterior dan jarak gigit pada saat gigi berkontak.

5.3. Gambaran Perilaku Kesehatan

Gambaran perilaku kesehatan remaja SMU Kota Medan dapat dilihat berdasarkan pengetahuan tentang maloklusi, sikap, dan tindakan ke pelayanan kesehatan gigi.

Berdasarkan pengetahuan tentang maloklusi, lebih dari separuh remaja SMU sudah mengetahui apa itu kelainan susunan gigi-geligi (maloklusi), tetapi hanya sepertiga yang mengetahui tentang perawatan maloklusi. Namun berdasarkan tingkat pengetahuan secara keseluruhan pengetahuan remaja SMU Kota Medan tentang maloklusi dikategorikan baik sebanyak 84,3%. Terdapat perbedaan dengan penelitian Gan-Gan (1997) yang mempunyai pengetahuan baik sebesar 56%. Hal ini mungkin disebabkan bahwa remaja yang diteliti oleh peneliti sebelumnya adalah remaja SMP yang mempunyai pengetahuan yang lebih rendah dibandingkan remaja SMU dan karena makin maraknya informasi yang berasal dari media, orang tua dan percakapan dengan teman–teman sebaya.

Berdasarkan sikap remaja SMU Kota Medan, dari pertanyaan-pertanyaan sikap tentang keyakinan lebih dari 60% remaja mempunyai keyakinan bahwa maloklusi dapat dicegah, dirawat bahkan dapat juga mengganggu pergaulan sehari-hari. Dan secara keseluruhan 82,6% remaja mempunyai sikap yang positif terhadap pencegahan dan perawatan maloklusi. Tetapi sikap yang baik tidak didukung oleh tindakan, remaja SMU Kota Medan yang melakukan perawatan maloklusi sebanyak 14,8%. Hal ini berbeda dengan teori ”reason action” (Fisbern 1967 cit Rosdewati 2004) bahwa perilaku ditentukan oleh niat, dimana niat dipengaruhi oleh keyakinan seseorang yang merupakan motivasi untuk melakukan suatu tindakan. Secara umum gambaran masyarakat terhadap kesehatan gigi dan mulut kurang menjadi prioritas, karena masalah gigi dan mulut dianggap bukanlah penyakit yang menimbulkan kematian. Alasan diatas mungkin menjadi alasan pada remaja SMU Kota Medan , walaupun pengetahuan dan sikap tentang maloklusi sudah baik tapi tidak memicu untuk melakukan perawatan terhadap maloklusi,

hal ini sesuai dengan penelitian Rosdewati (2004) yang menyatakan motivasi siswa terhadap tindakan perawatan kesehatan gigi dan mulut masih rendah , diketahui dari hasil

Performance Treatment Index (PTI) cukup rendah yaitu 13,3% disebabkan karena sikap dan tindakan petugas kesehatan gigi di puskesmas yang cenderung hanya melakukan pencabutan dari pada memberikan usaha preventiv maupun promotiv dengan alasan bahwa pelayanannya tidak dapat dilakukan karena belum ada prosedur tetapnya, minimnya sarana dan sumber daya yang kurang memadai.

5.4. Gambaran Kualitas Hidup

Laporan SKRT 2004 menyatakan secara umum diantara penyakit yang dikeluhkan/tidak dikeluhkan penduduk di Indonesia, prevalensi penyakit gigi dan mulut adalah yang tertinggi, meliputi 60% penduduk dan maloklusi berada pada urutan kedua setelah karies. Keadaan ini diikuti dengan adanya keluhan–keluhan sehubungan dengan kesehatan gigi. Pada penelitian ini dijumpai keluhan tertinggi dari tujuh dimensi kualitas hidup yang sering dirasakan oleh responden yaitu rasa sakit pada gigi (64,41%), mudah tersinggung (47,22%), merasa malu (43,58%), takut tersenyum (42,13%), sadar ada masalah pada gigi (41,40%), tidak mampu mengecap dengan baik (35,1%) dan tidak dapat belajar dengan baik (20,82%). Dilihat dari persentase keluhan-keluhan yang sering dirasakan, sebagian besar yang dikeluhkan adalah masalah estetis, hal ini didukung oleh penelitian Mandall dkk (1999) pada remaja umur 14–15 tahun yang malu untuk tersenyum dan selalu berusaha untuk menutup mulutnya karena masalah maloklusi.

Dokumen terkait