ANALISIS HUBUNGAN MALOKLUSI DENGAN
KUALITAS HIDUP PADA REMAJA SMU
KOTA MEDAN TAHUN 2007
T E S I S
Oleh:
OKTAVIA DEWI
047023017/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS HUBUNGAN MALOKLUSI DENGAN KUALITAS HIDUP
PADA REMAJA SMU
KOTA MEDAN TAHUN 2007
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
OKTAVIA DEWI
047023017/AKK
.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Prevalensi maloklusi pada remaja di Indonesia masih tinggi, mulai dari tahun 1983 adalah 90% sampai tahun 2006 adalah 89%, sementara perilaku kesehatan gigi pada remaja khususnya tentang maloklusi masih belum cukup baik dan pelayanan kesehatan gigi belum optimal. Akibat yang ditimbulkan maloklusi bukan hanya mengganggu rasa sakit fisik saja bahkan perkembangan psikologis dan sosial yang secara keseluruhannya menganggu terhadap kualitas hidup remaja.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dan sampai seberapa besar maloklusi dapat mengganggu kualitas hidup pada remaja SMU di Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan disain
cross sectional. Populasi adalah remaja yang berstatus sebagai pelajar SMU di Kota Medan, dengan jumlah sample sebanyak 413 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan status maloklusi berdasarkan Handicapping Malocclusion Assesment Index ( HMA Index). Analisis statistik dilakukan dengan uji statistik chi square dan regresi logistik ganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi maloklusi pada remaja SMU di kota Medan masih tergolong tinggi yaitu 60,5% dengan kebutuhan perawatan ortodonti yaitu 23%. Ada hubungan yang signifikan antara maloklusi dengan dimensi keterbatasan fungsi, rasa sakit fisik, ketidaknyamanan psikis,ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan psikis, ketidakmampuan sosial dan hambatan.
Sebagai kesimpulan ada hubungan yang signifikan antara maloklusi dengan kualitas hidup pada remaja SMU Kota Medan (p=0,003, PR = 3,227 dan CI 95%=3,061-20,425). Disarankan agar masalah maloklusi ditetapkan sebagai salah satu prioritas program kesehatan gigi dan mulut yang mengarahkan kegiatan kepada pelayanan promotif dan preventif.
ABSTRACT
Malocclusion prevalence in adolescences in Indonesia is still high, from 1983 is 90% to 2006 is 89%, meanwhile the habit of dental health in adolescences especially malocclusion is not adequate and dental health service is not optimal. Whereas the causes with are present malocclusion not only to disturb physical pain even the development of psychologic of live in adolescences.
The aim of the study was to know the relation of malocclusion of quality of live in senior high school adolescences in Medan city. This is analytic study with cross sectional design. The population were adolescences of senior high school student in Medan city with the total samples were 413 people. Data collection was performed with interview and examination of malocclusion status based on Handicapping Malocclusion Accesment Index (HMA Index). Statistical analysis was performed with statistical chi square test and double logistic regression.
The result of this study showed that malocclusion prevalence in senior High School adolescences in Medan city is relatively high that is 60.5% with the need of orthodontic treatment that is 23%. There were relations among malocclusion with functional limitation, physical pain, psychological discomfort, physical disability, psychological disability, social disability and handicap. The conclusion there was relation between malocclusion with quality of live in Senior High School adolescences in Medan city (p=0.003, PR = 3.227 and CI 95%=3.061-20.425). It was suggested that malocclusion problem was estabilished as one of the priority programs of oral and dental health with directed the activity to preventive and promotive services.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah atas rahmat dan ridho yang telah
diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan Tesis
dengan judul ”Analisis Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup pada Remaja SMU
Kota Medan tahun 2007”
Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian Tesis ini selain upaya penulis juga
tak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih yang tulus kepada :
1. Ibu Prof.Dr.Ir.Chairun Nisa,B.,Msc.,Direktur Sekolah Pascasarjana USU.
2. Bapak Dr.Drs.Surya Utama,MS., Ketua Program Studi Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pasca sarjana USU.
3. Ibu Prof.Dr.drg.Nurmala Situmorang,Mkes., Ketua Komisi Pembimbing, yang
telah banyak memberikan dorongan, semangat dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan penulisan Tesis ini.
4. Ibu Dra.Syarifah,MS., Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak
memberikan dorongan, semangat dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
penulisan Tesis ini.
5. Ibu dr Arlinda Sari Wahyuni,Mkes., Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak
memberikan dorongan, semangat dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
6. Ibu Dr.Dra.Ida Yustina,Msi., dan Bapak Dr.Drs.Kintoko Rochadi,Mkes., selaku
pembanding dan penguji yang juga telah memberikan masukan yang sangat berharga
untuk penyempurnaan tesis ini.
8. Seluruh Dosen dan Pegawai Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
9. Kepala Sekolah dan para guru SMUN 3, SMUN 4, SMU Harapan dan SMU Panca
Budi yang telah memberikan izin dan membantu penulis melaksanakan penelitian di
sekolah.
10. Dekan FKG USU yang telah memberikan izin penulis untuk mengikuti program
Magister.
11. Ketua Departemen dan seluruh staf IKGP/KGM yang telah banyak memberikan
dorongan, semangat dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis
ini.
12. Seluruh teman-teman mahasiswa Pascasarjana USU, yang telah memberikan
sumbang saran, dorongan serta kerjasam yang baik selama mengikuti pendidikan.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan sati persatu dalam pengantar ini.
Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada
1. Ayahanda Drs.Nurhadi dan Ibunda (Alm) Rosmalini yang telah berperan sangat besar
dalam mendidik dan membesarkan penulis.
2. Suami dr.Dasril Efendi,SpPD dan anak-anak tercinta Reyhan,Fadel dan Cica yang
selalu memberikan dorongan dan kesabaran serta kasih sayang sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan dengan baik.
Akhir kata izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala
Masyarakat USU ini dan semoga amalan-amalan yang telah diberikan kepada penulis
dapat diberikan balasan yang berlipat ganda oleh Allah SWT, Amin ya Robbal Alamin.
Medan, 28 November 2007
Penulis
RIWAYAT HIDUP
A. IDENTITAS
Nama : Oktavia Dewi
Tempat/Tanggal Lahir: Padang, 15 Oktober 1970
Alamat : Komp. Puri Tanjung Sari no 12 Pasar I Tanjung Sari
Medan
Agama : Islam
Suami : dr.Dasril Efendi, SpPD
Anak : 1. Muhammad Reyhan
2. Fadel Muhammad
3. Raisha Daseviana
B. RIWAYAT PENDIDIKAN :
1. SD PPSP IKIP Padang, 1977-1982
2. SMPN 7 Padang, 1982-1985
3. SMAN 2 Padang, 1985-1988
4. FKG USU Medan, 1988-1993
C. RIWAYAT PEKERJAAN :
1. Staf pengajar FKG Baiturahmah, tahun 1994-1995
2. PTT puskesmas, 1995-1998
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRAC ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Permasalahan ... 7
Tujuan Penelitian ... 7
Hipotesis ... 8
Manfaat Penelitian ... 9
TINJAUAN PUSTAKA ... 10
Pengertian Maloklusi ... Penyebab Maloklusi ... 11
Akibat Maloklusi ... 13
Diagnosis Maloklusi ... 13
Hubungan Maloklusi dengan Kesehatan Mulut ... 14
Indeks Maloklusi ... 15
Pengertian Remaja ... 19
Pembagian dan Batasan Usia Remaja ... . 20
Perkembangan Masa Remaja ... 22
Perilaku Kesehatan ... . 26
Kebutuhan ... 27
Perilaku pencarian Pengobatan ... 27
Pendidikan Orang Tua ... 30
Konsep Sehat ... 32
Konsep Kualitas hidup ... 32
Landasan Teori ... 37
Kerangka Konsep ... 40
METODE PENELITIAN ... 42
Jenis Penelitian ... 42
Lokasi Penelitian ... 42
Waktu Penelitian ... 42
Variabel dan Definisi operasional ... 46
Metode Pengukuran ... 48
Analisis data ... 54
HASIL PENELITIAN ... 57
Deskripsi Lokasi Penelitian ... 57
Karakteristik Responden ... 58
Gambaran Pertilaku Kesehatan Responden ... 59
Gambaran Maloklusi... 62
Gambaran Kualitas Hidup ... 65
Hubungan Jenis Kelamin dengan Maloklusi ... 67
Hubungan Sosiodemografi, Perilaku Kesehatan dan Maloklusi dengan Dimensi Kualitas Hidup ... 67
Uji Dimensi Kualitas Hidup ... 74
Uji Dimensi Keterbatasan Fungsi... 76
Uji Dimensi Rasa sakit Fisik ... 77
Uji Dimensi Ketidaknyamanan Psikis... 79
Uji Dimensi Ketidakmampuan Fisik... 80
Uji Dimensi Ketidakmampuan Psikis ... 81
Uji Dimensi Ketidakmampuan Sosial ... 83
Uji Dimensi Hambatan ... 84
Uji Kualitas Hidup ... 86
PEMBAHASAN ... 89
Gambaran Sosiodemografi ... 89
Gambaran Maloklusi ... 89
Gambaran Perilaku Kesehatan ... 92
Gambaran Kualitas Hidup ... 93
Hubungan Sosiodemografi dengan Dimensi Kualitas Hidup ... 94
Hubungan Perilaku Kesehatan dengan Dimensi Kualitas Hidup... 96
Hubungan Maloklusi dengan Dimensi Kualitas Hidup ... 97
Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup ... 99
Keterbatasan Penelitian ... 100
KESIMPULAN DAN SARAN ... 102
Kesimpulan ... 102
Saran ... . 104
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Oral Health Index Profile-49 ... 35
2. Karakteristik responden ... 56
3. Persentase remaja SMU menurut pengetahuan kesehatan gigi 58 4. Persentase remaja SMU berdasarkan tingkat pengetahuan tentang maloklusi... 58
5. Persentase distribusi sikap remaja SMU terhadap susunan gigi-geliginya... 59
6. Persentase remaja SMU berdasarkan sikap terhadap maloklusi 59 7. Persentase remaja SMU yang menerima pelayanan kesehatan gigi... 60
8. Distribusi maloklusi pada remajaSMU... 60
9. Persentase ciri-ciri maloklusi... 61
10. Persentasi kualitas hidup pada remaja SMU ... 63
11. Hubungan jenis kelamin dengan status maloklusi ... 64
12. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi keterbatasan fungsi ... 65
13. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi rasa sakit fisik ... 66
14. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi ketidaknyamanan psikis ... 67
15. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan fisik ... 68
17. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi
dengan dimensi ketidakmampuan sosial ... 70
18. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi
dengan dimensi hambatan ... 71
19. Nilai p dan rasio prevalens variabel maloklusi, sosiodemografi dan
perilaku kesehatan gigi terhadap dimensi kualitas hidup ... 72
20. Persamaan regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku,
maloklusi terhadap dimensi keterbatasan fungsi ... 73
21. Uji interaksi maloklusi terhadap dimensi keterbatasan fungsi ... 73
22. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadap dimensi
keterbatasan fungsi ... 74
23. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivaria regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap rasa sakit
fisik ... 74
24. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi
dan perilaku terhadap dimensi rasa sakit fisik... 75
24. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku dam maloklusi terhadap ketidak-
nyamanan psikis... 76
25. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadapdimensi
ketidanyamanan psikis ... 77
26. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap ketidak-
mampuan fisik... 77
27. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi dan
perilaku terhadap dimensi ketidakmampuan fisik ... 77
28. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap ketidak-
mampuan psikis ... 78
29. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi dan
ketidakmampuan psikis ... 79
31. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap ketidak-
mampuan sosial ... 80
32. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi dan
perilaku terhadap dimensi ketidakmampuan sosial... 80
33. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda
variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap hambatan.. 81
34. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi dan
Perilaku terhadap dimensi hambatan ... 82
35. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadap dimensi
Hambatan... 82
36. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap ketujuh
dimensi kualitas hidup ... 83
37. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel model terhadap
kualitas hidup... 83
38. Pemeriksaan variabel konfonder hubungan maloklusi dengan kualitas
hidup ... ... 84
39. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadap kualitas
hidup... 84
40. Hasil penelitian prevalensi maloklusi... 86
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004 yang dilaporkan oleh Departemen
Kesehatan RI menunjukkan secara umum bahwa diantara penyakit yang dikeluhkan dan
yang tidak dikeluhkan, prevalensi penyakit gigi dan mulut adalah yang tertinggi meliputi
60% penduduk. Gigi dan mulut merupakan investasi bagi kesehatan se-panjang hidup,
peranannya cukup besar dalam mempersiapkan zat makanan sebelum absorbsi nutrisi
pada saluran pencernaan, di samping fungsi estetis dan bicara. Berbagai penyakit maupun
kelainan gigi dan mulut dapat mempengaruhi berbagai fungsi rongga mulut, salah
satunya adalah kelainan susunan gigi atau yang disebut dengan maloklusi. Maloklusi
merupakan kelainan gigi yang menduduki urutan kedua setelah penyakit karies gigi.
Maloklusi adalah salah satu kelainan dentofasial yang kebanyakan bersifat morfogenik
dan merupakan masalah di bidang kesehatan gigi dan akan terus menerus meningkat
sehingga penelitian–penelitian dibidang ilmu kedokteran gigi masih tetap diperlukan
(Dewanto, 1993).
Maloklusi adalah bentuk oklusi gigi yang menyimpang dari normal. Oklusi adalah
hubungan kontak antara gigi geligi bawah dengan gigi atas waktu mulut ditutup. Oklusi
dikatakan normal, jika susunan gigi dalam lengkung geligi teratur baik serta terdapat
hubungan yang harmonis antara gigi atas dengan gigi bawah, hubungan seimbang antara
gigi, tulang rahang terhadap tulang tengkorak dan otot sekitarnya yang dapat memberikan
keseimbangan fungsional sehingga memberikan estetika yang baik. Penyimpangan
pada tiap–tiap individu maupun sekelompok populasi. Ciri–ciri maloklusi di antaranya
adalah: gigi berjejal (crowdeed), gingsul (caninus ektopik), gigi tonggos (disto oklusi), gigi cakil (mesio oklusi), gigitan menyilang (crossbite), gigi jarang (diastema).
Menurut penelitian Hong (2001) yang melakukan evaluasi terhadap perubahan
maloklusi selama 25 tahun dengan menggunakan indeks skor Harry L Draker California
Modification (HDL Cal Mod index) didapat bahwa terjadi penambahan yang signifikan pada kasus–kasus crowdeed pada gigi anterior dalam hubungan labio-lingual .
Akhir–akhir ini perhatian pada penelitian kuantitatif tentang akibat-akibat penyakit
yang mempengaruhi fungsi, kenyamanan dan kemampuan untuk melakukan tugas
sehari-hari sedang ditingkatkan. Tindakan ini merupakan bagian dari promosi kesehatan
terutama dalam hubungan dengan ” hidup sehat sepanjang umur ” (healthy years of live). Organisasi kesehatan sedunia (WHO) merumuskan konsep sehat bukan hanya dengan
tidak adanya penyakit dan kecacatan, melainkan juga mencakup keadaan sehat baik fisik,
mental maupun sosial. Hal ini menunjukkan adanya suatu status yang harus ditingkatkan.
Penelitian yang dilakukan hingga saat ini kebanyakan diarahkan pada akibat fisik yang
ditinggalkan oleh penyakit, seperti penelitian morbiditas sehingga konsep sehat WHO
tidak terukur. Penilaian menyeluruh terhadap hasil–hasil pelayanan kesehatan menjadi
tidak tergambar, karena hanya mengukur prevalensi dan keparahan penyakit sedangkan
gambaran fungsi, ketidaknyamanan secara psikis serta disabilitas tidak diperoleh. Telaah
mengenai pengaruh kesehatan gigi dan mulut terhadap kualitas hidup masih sedikit
dilakukan, sedangkan data prevalensi dan keparahan maloklusi yang bersifat klinis sudah
banyak tersedia namun belum dapat menggambarkan korelasi yang jelas antara maloklusi
Konsep kualitas hidup yang dimaksud dalam uraian ini dikembangkan dari konsep
sehat WHO, yaitu respons individu dalam kehidupan sehari–hari terhadap fungsi fisik,
psikis dan sosial akibat adanya maloklusi pada remaja. Konsep ini tidak hanya
menekankan pada ada atau tidaknya penyakit tetapi juga menekankan pengukuran fungsi
fisik yang berhubungan dengan pengunyahan, tidak adanya rasa sakit dan
ketidaknyamanan , fungsi psikis seperti senyum dan daya tarik diri, fungsi sosial seperti
kepercayaan pada diri sendiri sehingga mampu mengerjakan pekerjaan normal sehari–
hari serta kepuasan terhadap kesehatan rongga mulut (Slade, 1994).
Menurut beberapa studi epidemiologi yang dilakukan pada remaja Amerika
Serikat dilaporkan 11% remaja umur 12–17 tahun mempunyai oklusi normal, 34,8%
mempunyai maloklusi ringan dan 25,2% mempunyai maloklusi yang berat sehingga
beberapa kasus memerlukan perawatan (Dewanto, 1993). Penelitian Gan-Gan (1997)
tentang maloklusi pada murid–murid SMP di wilayah Kotamadya Bandung
me-nunjukkan prevalensi maloklusi telah mencapai 90,79%. Keadaan ini mencakup
maloklusi berat 26,32%, maloklusi sedang 11,84% dan maloklusi ringan 11,84%. Hasil
penelitian ini juga menunjukkan lebih dari separuh (54,4%) yang mengalami maloklusi
mempunyai pengetahuan yang kurang tentang akibat maloklusi dan perawatannya.
Hasil penelitian Agusni (1998) pada anak Sekolah Dasar di Surabaya menunjukan
31% anak tidak memerlukan perawatan terhadap maloklusi, 45% memerlukan perawatan
ringan dan 24% sangat memerlukan perawatan karena keadaan maloklusinya tergolong
parah sehingga mengganggu kesehatan fisik dan kehidupan sosialnya. Di Kota Medan,
prevalensi maloklusi pada 4 Sekolah Menengah Umum bahkan telah mencapai 83%
Maloklusi dapat mengakibatkan beberapa gangguan atau hambatan dalam diri
penderitanya . Dilihat dari segi fungsi, gigi crowdeed amat sulit dibersihkan dengan menyikat gigi, kondisi ini dapat menyebabkan gigi berlubang (caries) dan penyakit gusi (gingivitis) bahkan kerusakan jaringan pendukung gigi (periodontitis) sehingga gigi menjadi goyang dan terpaksa harus dicabut. Dari segi rasa sakit fisik, maloklusi yang
berlebihan pada tulang penunjang dan jaringan gusi, kesulitan dalam
menggerakkanrahang (gangguan otot dan nyeri), gangguan sendi temporomandibular,
yang dapat menimbulkan sakit kepala kronis atau sakit pada wajah dan leher (Dewanto,
1993).
Dari segi hambatan sosial, maloklusi dapat mempengaruhi kejelasan bicara
seseorang. Apabila ciri maloklusinya berupa disto oklusi akan terjadi hambatan pengucapan huruf p, b, dan m. Apabila ciri maloklusinya berupa mesio oklusi akan terjadi hambatan mengucapkan huruf s, z, t dan n. Dari segi psikis, maloklusi dapat
mempengaruhi estetis dan penampilan seseorang. Penampilan wajah yang tidak menarik
mempunyai dampak yang tidak menguntungkan pada perkembangan psikologis
seseorang, apalagi pada saat usia masa remaja (Kustiawan,2003).
Masa remaja merupakan tahap penting dalam kurun kehidupan manusia karena
merupakan masa peralihan dari masa kanak–kanak ke masa dewasa, terjadi perubahan
fisik, mental dan psikososial yang cepat yang berdampak pada berbagai aspek
kehidupannya. Pada masa ini remaja lebih mementingkan daya tarik fisik dalam proses
sosialisasi (Sarwono, 2005). Beberapa penelitian yang melibatkan penampilan daya tarik
penampilan wajah menyatakan bahwa ” Anatomi adalah takdir dan kecantikan adalah
Remaja dapat merasa tidak puas terhadap penampilan wajahnya yang tidak hanya
menyebabkan mereka merasa tertekan tapi juga akan menurunkan fungsinya dalam
kehidupan sosial, keluarga, pekerjaan dan bahkan bisa menurunkan aktivitas belajar
karena sering tidak masuk sekolah akibat malu untuk bertemu orang lain atau merasa
dicemoohkan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya krisis ketidakpercayaan terhadap
diri sendiri sehingga untuk masa depan dalam hal mencari pekerjaan, remaja ini akan
mengalami hambatan, karena pada saat sekarang ini kebanyakan beberapa pekerjaan
membutuhkan penampilan fisik dan wajah yang menarik (Dewanto,1993). Bahkan untuk
kasus lebih jauh bisa terjadinya rasa putus asa yang parah sehingga remaja dapat
mengakhiri hidupnya. Menurut Dibiase (2001), remaja yang menderita maloklusi
merupakan korban penindasan (bullying) yang berupa ejekan dari teman sekolahnya sehingga mereka akan terganggu psi-kososialnya.
Pada umumnya masyarakat lebih mengagumi atau menyanjung seseorang yang
mempunyai penampilan wajah yang menarik dan daya tarik itu dipandang sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan status sosial, harga diri dan kedudukan sosial yang
sukses. Dalam hal ini penampilan yang kurang menarik dipandang sebagai sesuatu
masalah kesehatan yang berarti dan kelainan susunan geligi dapat mempengaruhi daya
tarik wajah yang berhubungan dengan kesehatan sosial (Dewanto, 1993).
Di Indonesia penelitian tentang kesehatan gigi dan mulut kebanyakan me-rupakan
penelitian tentang prevalensi dan keparahan karies, penyakit periodontal dan maloklusi
saja. Belum ada studi yang menggambarkan pengaruh maloklusi terhadap kualitas hidup,
sementara untuk karies dan penyakit periodontal telah dilakukan penelitian sebelumnya
ditimbulkan akibat maloklusi pada remaja SMU, yang mementingkan penampilan estetis
dan perkembangan untuk kehidupan sosial dengan teman sebayanya dalam rangka
mencari identitas diri, maka diperlukan suatu penelitian analitik untuk mengetahui beban
dan akibat maloklusi yang bukan saja berupa informasi tentang prevalensi, keparahan dan
pengetahuan serta perilaku pencarian pengobatannya, melainkan untuk dapat mengetahui
pengaruhnya dalam kehidupan sehari–hari. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan
dalam penyusunan kebijakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Alasan-alasan
pentingnya dilakukan penelitian pengaruh maloklusi terhadap kualitas hidup adalah :
a. Tingginya prevalensi dan keparahan maloklusi dan akibat yang dapat dialami oleh
penderitanya terutama remaja SMU. Remaja yang menderita maloklusi akan
mengalami hambatan dalam perkembangan psikologis dan kehidupan sosial dengan
teman sebayanya.
b. Aspek kualitas hidup penting dalam menilai program kesehatan gigi dan mulut
apalagi pencegahan maloklusi belum termasuk salah satu program peningkatan
kesehatan gigi dan mulut dari Departemen Kesehatan RI, sementara pertemuan para
pakar kedokteran gigi di North Carolina, USA (1996) menekankan pentingnya
memasukkan aspek kualitas hidup dalam penilaian hasil program pelayanan
kesehatan gigi dan mulut.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut ; ” Apakah maloklusi mempunyai hubungan
Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui gambaran status sosiodemografi (jenis kelamin, pendidikan ibu,
pekerjaan orang tua) pada remaja SMU Kota Medan.
b. Mengetahui gambaran karakteristik perilaku kesehatan (pengetahuan, sikap dan
perilaku pencarian pengobatan/perawatan) tentang maloklusi pada remaja SMU Kota
Medan.
c. Mengetahui prevalensi maloklusi pada remaja SMU Kota Medan.
d. Mengetahui prevalensi maloklusi menurut kebutuhan perawatannya pada remaja
SMU Kota Medan.
e. Mengetahui tingkat keparahan maloklusi pada remaja SMU Kota Medan.
g. Menganalisis hubungan karakteristik sosiodemografi dengan dimensi kualitas hidup
h. Menganalisis hubungan perilaku kesehatan dengan dimensi kualitas hidup.
i. Menganalisis keluhan keterbatasan fungsi akibat maloklusi .
j. Menganalisis keluhan rasa sakit fisik akibat maloklusi.
k. Menganalisis keluhan ketidaknyamanan psikis akibat maloklusi.
l. Menganalisis keluhan disabilitas/ketidakmampuan fisik akibat maloklusi.
m. Menganalisis keluhan disabilitas / ketidakmampuan psikis akibat maloklusi.
n. Menganalisis keluhan disabilitas / ketidakmampuan sosial akibat maloklusi.
o. Menganalisis keluhan hambatan/handikap akibat maloklusi. p. Menganalisis hubungan maloklusi dengan kualitas hidup.
Berdasarkan tujuan penelitian, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut : ”Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup remaja SMU Kota Medan”.
Hipotesis diatas dijabarkan menjadi beberapa sub hipotesis yaitu:
a. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi keterbatasan fungsi.
b. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi rasa sakit fisik.
c. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi ketidaknyamanan psikis
d. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi ketidakmampuan fisik.
e. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi ketidakmampuan psikis.
f. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi ketidakmampuan sosial.
g. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi hambatan.
1.5. Manfaat Penelitian.
Berdasarkan tujuan penelitian maka manfaat penelitian adalah :
a. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pembuat kebijakan di lingkungan
Departemen Kesehatan khususnya bagian pelayanan kesehatan gigi di Puskesmas
dan Upaya Kesehatan Gigi di Sekolah untuk mengoptimalkan pelayanan
pencegahan maloklusi.
b. Sebagai pengembangan wawasan peneliti dalam bidang hubungan kesehatan gigi
dengan kualitas hidup khususnya hubungan maloklusi pada remaja dengan kualitas
hidup.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Maloklusi
2.1.1. Pengertian maloklusi
Pengertian oklusi menurut Dewanto (1993) adalah berkontaknya permukaan oklusal
gigi geligi di rahang atas dengan permukaan oklusal gigi geligi di rahang bawah pada saat
rahang atas dan rahang bawah menutup.
Oklusi adalah perubahan hubungan permukaan gigi geligi pada rahang atas
(maksila) dan rahang bawah (mandibula) yang terjadi selama pergerakan mandibula dan berakhir dengan kontak penuh dari gigi geligi pada kedua rahang. Oklusi terjadi karena
adanya interaksi antara dental system, skeletal system dan muscular system. Oklusi gigi bukan merupakan keadaan yang statis selama mandibula bergerak, sehingga ada
bermacam macam bentuk oklusi misalnya : centrik, excentrix, habitual, supra-infra, mesial, distal, lingual (Daniel, 2000).
Dikenal ada 2 macam istilah oklusi yaitu (Dewanto, 1993):
a Oklusi ideal yaitu suatu konsep teoritis oklusi yang sukar atau bahkan yang tak
mungkin terjadi pada manusia.
b. Oklusi normal yaitu suatu hubungan gigi geligi disatu rahang terhadap gigi geligi di
rahang lain apabila kedua rahang tersebut dikatupkan dan condylus mandibularis
berada pada fossa glenoidea.
Maloklusi adalah bentuk oklusi yang menyimpang dari bentuk standar yang
kondisi ”bad bite” atau sebagai kontak gigitan menyilang (crossbite), kontak gigitan yang dalam (overbite), gigi berjejal (crowdeed), gigitan menyilang (scisor bite) atau posisi gigi maju kedepan (protrusi). Hal ini dapat memberikan efek terhadap penampilan estetis, berbicara atau kenyamanan dalam mengunyah makanan (Daniel, 2000). Dalam
penelitian ini maloklusi juga dapat diartikan dengan susunan gigi-geligi yang tidak
teratur.
Dengan menggunakan skor Treatment Priority Index (TPI), Kelly & Harvey menginterpretasikan data United States Public Health Service (USPHS) untuk menunjukan bahwa 11% remaja umur 12–17 tahun mempunyai oklusi normal, 34,8%
maloklusi ringan, 25,2% maloklusi nyata sehingga perlu dirawat. Dengan
membandingkan prevalensi berbagai komponen morfologi maloklusi anak umur 6–
11 tahun dengan remaja umur 12–17 tahun maka dapat diketahui hubungan umur dengan
perubahan maloklusi. Prevalensi tumpang gigit yang parah yang menyebabkan kerusakan
jaringan mukosa mulut meningkat dari 4% pada anak umur 6–11 tahun menjadi 9 % pada
remaja usia 12–17 tahun (Dewanto, 1993).
2.1.2. Penyebab maloklusi.
Maloklusi tidak disebabkan oleh satu faktor saja, ada beberapa faktor berbeda yang
merupakan penyebabnya yaitu, genetik dan lingkungan. Menurut Proffit (1998)
secara umum maloklusi disebabkan karena 2 faktor yaitu :
1. Herediter
2. Kelainan kongenital
3. Perkembangan dan pertumbuhan yang salah pada waktu prenatal dan postnatal
4. Penyakit–penyakit sistemik yang menyebabkan adanya kecenderungan kearah
maloklusi seperti: ketidakseimbangan kelenjar endokrin, gangguan metabolisme,
penyakit-penyakit infeksi, malnutrisi.
5. Kebiasaan jelek, sikap tubuh yang salah dan trauma.
b. Faktor–faktor pada gigi (intrinsik / lokal factor) :
1. Anomali jumlah gigi, terdiri dari adanya gigi berlebih (dens supernumerary teeth) dan tidak adanya gigi (anondontia).
2. Anomali ukuran gigi.
3. Anomali bentuk gigi.
4. Frenulum labii yang tidak normal.
5. Kehilangan dini gigi desidui.
6. Persistensi gigi desidui.
7. Terlambatnya erupsi gigi permanen.
8. Jalan erupsi yang abnormal.
9. Ankilosis.
10.Karies gigi.
11.Restorasi yang tidak baik.
2.1.3. Akibat maloklusi
a. Masalah psikososial yang disebabkan karena gangguan estetis wajah.
b. Masalah dengan fungsi rongga mulut termasuk kesulitan dalam menggerakkan rahang
(gangguan otot dan nyeri), gangguan sendi temporomandibular, gangguan
pengunyahan, menelan dan berbicara.
c. Kemungkinan mendapatkan trauma yang lebih mudah, masalah penyakit periodontal
atau kehilangan gigi.
Dibiase (2001) menyatakan beberapa kasus maloklusi pada anak remaja sangat
berpengaruh terhadap psikolgis dan perkembangan sosial, yang disebabkan karena
penindasan (bullying) yang berupa ejekan dan hinaan dari teman sekolahnya. Pengalaman psikis yang tidak menguntungkan dapat sangat menyakitkan hati sehingga remaja korban
penindasan tersebut akan menjadi sangat depresi.
2.1.4. Diagnosis Maloklusi
Maloklusi sering ditemui selama pemeriksaan oleh dokter gigi, dapat terlihat ketika
gigi berkontak pada saat menelan air ludah dan kepala ditengadahkan, dan jika ditemukan
adanya maloklusi maka pemakaian rontgen photo dapat dilakukan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
2.1.5. Hubungan maloklusi dengan kesehatan mulut
2.1.5.1. Hubungan maloklusi dengan gangguan fungsi mandibula. Mohlin menemukan
gejala subjektif disfungsi mandibula dari 12% sampai 15% populasi yang diteliti, dengan
prevalensi gejala klinis berkisar antara 18%–88% (Mc Lain & Proffit 1985). Dinyatakan
juga bahwa maloklusi Angle klas II mempunyai hubungan dengan gejala klinis terhadap
terhadap kelainan fungsi gigi dan mulut pada orang dewasa. Helm dkk, melaporkan
adanya korelasi yang bermakna antara jarak gigit yang besar (>9mm) dan gigitan terbuka
anterior yang ditemukan pada remaja dengan ketidakpuasan kemampuan menggigit
setelah dewasa. Gigitan silang berhubungan dengan kesukaran berbicara atau
mengucapkan kata, hal ini disebabkan adanya gangguan dalam penutupan mandibula
(Dewanto,1993). Berdasarkan penelitian oleh Sadowsky & BeGole (1994) menyatakan
pada kelompok yang dirawat ortodonti mengalami masalah temporo mandibular joint
yang lebih rendah dibandingkan kelompok orang yang tidak dirawat.
2.1.5.2. Hubungan maloklusi dengan penyakit periodontal. Untuk kasus penyakit
periodontal yang ringan maloklusi bukan merupakan penyebab langsung yang utama,
karena yang utama penyebab penyakit periodontal adalah plak. Tapi keadaan gigi yang
berjejal dapat menyebabkan penumpukan plak akibat pembersihan gigi dan mulut yang
tidak adekuat sehingga dapat menimbulkan penyakit periodontal (Bhalajh, 1998).
2.1.5.3. Hubungan maloklusi dengan karies gigi. Sama halnya dengan penyakit
periodontal, maloklusi bukan merupakan penyebab utama dari karies gigi, karena yang
penyebab utama karies gigi adalah plak. Keadaan gigi yang berjejal dapat menyebabkan
penumpukan plak akibat pembersihan gigi dan mulut yang tidak adekuat sehingga dapat
menimbulkan karies (Bhalajh, 1998).
2.1.6. Indeks Maloklusi
Istilah indeks menurut Toung dan Striffler ialah nilai numerik yang menjelaskan
dibandingkan dengan populasi lain yang telah dikelompokkan dengan kriteria dan metode
yang sama (Agusni, 1998). Indeks maloklusi yang diperlukan ialah penilaian kuantitatif
dan objektif yang dapat memberikan batasan adanya penyimpangan dari oklusi ideal
yang masih dianggap normal, dan dapat memisahkan kasus–kasus abnormal menurut
tingkat keparahan dan kebutuhan masyarakat.
Jamison H.D dan Mc Millan R.S (Agusni, 1998) menyatakan indeks ortodonti ideal
yang dapat digunakan dalam studi epidemiologi memerlukan syarat–syarat tertentu, yaitu
:
a. Indeks sebaiknya sederhana, akurat, dapat dipercaya dan dapat ditiru.
b. Indeks harus objektif dalam pengukuran dan menghasilkan data kuantitatif
sehingga dapat dianalisis dengan metode statistik tertentu.
c. Indeks harus didesain untuk membedakan maloklusi yang merugikan dan tidak
merugikan.
d. Pemeriksaan yang dibutuhkan dapat dilakukan dengan cepat oleh pemeriksa
walaupun tanpa instruksi khusus dalam diagnosis ortodonti.
e. Indeks sebaiknya dapat dimodifikasi untuk sekelompok data epidemiologi tentang
maloklusi dari segi prevalensi, insiden dan keparahan, contohnya frekuensi malposisi
dari masing–masing gigi.
f. Indeks sebaiknya dapat digunakan pada pasien atau model studi.
g. Indeks sebaiknya mengukur derajat keparahan maloklusi.
Beberapa indeks maloklusi secara kuantitatif dapat dikelompokan sebagai berikut:
Indeks ini digunakan untuk menghitung jumlah gigi yang berpindah atau berotasi
secara kualitatif (ada atau tidak ada).
b. Malalignment Index (Mal)
Indeks ini digunakan untuk menilai keparahan gigi yang tidak teratur. Ciri oklusi
yang dinilai ialah letak gigi yang berpindah atau berotasi secara kuantitatif. Gigi yang
berpindah dinilai apakah lebih kecil atau lebih besar dari 1,5 mm dan gigi yang berotasi
dinilai apakah berputar lebih kecil atau lebih besar dari 45o. Penilaian dilakukan dengan
bantuan sebuah penggaris plastik kecil.
c. Handicapping Labio Lingual Deviation Index (HLD Index).
Indeks ini ditujukan kepada subjek yang dipilih dengan maloklusi yang parah atau
berat dan adanya anomali wajah. Indeks ini dapat digunakan pada gigi permanen.
d. Occlusion Feature Index (OFI)
Ciri maloklusi yang dinilai adalah letak gigi berjejal, kelainan integritas tonjol gigi
posterior, tumpang gigit, jarak gigit. Keuntungannya metode ini sederhana dan objektif
serta tidak memerlukan perlatan diagnostik yang rumit, namun kurang praktis karena
dalam menilai integritas tonjol hanya dengan memeriksa hubungan gigi posterior atas dan
bawah sebelah kanan serta memerlukan latihan khusus dalam menentukan besarnya skor
penilaian gigi berjejal anterior bawah.
e. Maloklusion Severity Estimate oleh Grainger.
Pengukuran dan pemberian skor dibuat untuk menilai jarak gigit, tumpang gigit,
gigitan terbuka anterior, insisivus maksila yang tidak tumbuh, hubungan gigi molar satu
permanen, gigitan silang posterior dan pergeseran letak gigi.
Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan normal oklusi.
Penilaiannya adalah umur gigi, relasi gigi molar, tumpang gigit, jarak gigit, gigitan silang
posterior, gigitan terbuka posterior, penyimpangan gigi, relasi gigi tengah dan adanya
gigi insisivus atas. Indeks ini dapat digunakan pada masa gigi susu, gigi bercampur dan
gigi permanen, namun bentuk penilaiannya rumit sehingga kurang praktis.
g. Treatment Priority Index (TPI)
Indeks ini merupakan modifikasi dari Malocclusion Severity Estimate untuk
menentukan prioritas perawatan bagi sekelompok populasi dan digunakan untuk tujuan
epidemiologi. Indeks dibuat untuk menilai jarak gigit, gigitan terbalik, tumpang gigit,
gigitan terbuka anterior, gigi insisivus agenesis, disto oklusi, mesio oklusi, gigitan silang
posterior dengan segmen gigi atas bukoversi, gigitan silang posterior dengan segmen gigi
atas linguoversi, malpopsisi gigi individual dan celah langit-langit. Penggunaan indeks ini
memerlukan bantuan sebuah penggaris pengukur.
h. Handicapping Malocclusion Assesment Index (HMA)
Salah satu indeks yang dianjurkan oleh para ahli yang telah mengevaluasi
penggunaan indeks–indeks yang dianjurkan adalah indeks HMA oleh Salzman. Indeks
HMA secara kuantitatif memberikan penilaian terhadap ciri–ciri oklusi dan cara
menentukan prioritas perawatan ortodonti menurut keparahan maloklusi yang dapat
dilihat pada besarnya skor yang tercatat pada lembar isian. Indeks ini digunakan untuk
mengukur kelainan gigi pada satu rahang, dan mengukur ciri maloklusi yang merupakan
kelainan dentofasial. Keuntungan penggunaan indeks ini adalah :
1). Mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi dan peka terhadap semua tingkatan
2). Penilaian renggang dan absen gigi posterior dicatat.
3). Jika metode dipelajari dengan baik, tidak diperlukan catatan lain dan skor
keparahan maloklusi dapat dikalkulasi dengan cepat.
Selain keuntungan diatas, indeks ini juga dapat memenuhi persyaratan indeks yang
dituliskan sebelumnya, diantaranya sederhana, objektif dalam pengukuran, dapat
mengukur tingkat keparahan maloklusi, dapat diperiksa langsung pada pasien dan tidak
menggunakan alat yang rumit. Kekurangan metode ini memerlukan latihan cara
pemeriksaan untuk menyamakan persepsi pada pemeriksa.
2.2. Remaja
2.2.1. Pengertian Remaja
Perkataan remaja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu adolescence dan berasal dari kata Latin, adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau perkembangan menuju kematangan. Dalam arti yang lebih luas lagi, dikatakan bahwa
pengertian remaja mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Sarwono,
2005).
Rice (1996) cit Rochadi mendefinisikan remaja sebagai suatu periode antara masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Pandangan serupa dikemukakan Lerner dan
Hultsch (1983) cit Rochadi menyatakan bahwa perkembangan remaja adalah periode diantara rentang waktu dimana saat dianggap masa anak-anak menuju ke masa
dewasa. Dimasa remaja terjadi proses perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional.
Perubahan fisik dan perkembangan seksual yang terjadi secara cepat juga disertai
Pada tahun 1974, WHO memberikan defenisi tentang remaja yang lebih bersifat
konseptual. Dalam defenisi ini diungkapkan tiga kriteria yaitu biologis, psikologis dan
sosial ekonomi. Remaja adalah suatu masa ketika individu berkembang dari saat pertama
kali menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan
seksual. Remaja juga merupakan individu yang mengalami perkembangan psikologis dan
pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa serta terjadi peralihan dari
ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada yang relatif lebih mandiri (Sarwono,
2005).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan
masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa dan dalam prosesnya terjadi
perkembangan kematangan fisik, psikis dan sosial serta ber-tambahnya tuntutan
masyarakat.
2.2.2. Pembagian dan Batasan Usia Remaja
Berbagai batasan usia dan pembagian masa remaja yang telah dikemukakan para
ahli. Stone dan Church (1973) cit Rochadi membagi masa remaja menjadi remaja awal, remaja akhir dan dewasa muda. Remaja awal adalah suatu periode dari mulainya masa
pubertas hingga kurang lebih satu tahun sesudah pubertas yaitu pada saat pola
fisiologis berfungsi dengan stabil. Remaja akhir adalah periode sesudahnya dari remaja
awal hingga usia yang dibolehkan untuk ikut pemilu, menyetir kendaraan atau saat mulai
masuk kuliah. Dewasa muda adalah periode dari permulaan kuliah hingga usia awal dua
puluhan.
kira-kira dari 13 tahun hingga 16 tahun atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula
dari usia 16 tahun atau 17 tahun hingga usia 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum.
Santrock (2001) cit Rochadi juga membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Hanya saja, dinyatakan usia remaja awal
sekitar 10-13 tahun dan usia remaja akhir berkisar antara 18-22 tahun. Mönks. (2001) cit
Rochadi beranggapan bahwa usia remaja berlangsung antara umur 12 tahun dan 21
tahun dan terbagi atas tiga bagian, yaitu masa remaja awal antara 12-15 tahun, masa
remaja pertengahan antara 15-18 tahun dan masa remaja akhir antara 18-21 tahun.
WHO menetapkan batas usia 10 sampai 20 tahun sebagai batasan usia remaja
dimana usia 10 sampai 14 tahun sebagai remaja awal dan usia 15 sampai 20 tahun
sebagai remaja akhir (Sarwono, 2005). Menurut Departemen Kesehatan (1997) masa
remaja di Indonesia dibagi menjadi 2 kelompok usia yaitu remaja awal (13–15 tahun)
dan usia remaja akhir (16–18 tahun).
Sarwono (2005) menyatakan banyak defenisi remaja berdasarkan aspek pandangan
yang berbeda. Dari segi hukum di Indonesia hanya mengenal anak–anak dan dewasa.
Hukum perdata misalnya memberikan batas usia 21 tahun (kurang dari 21 tahun asal
sudah menikah) untuk menyatakan kedewasaan seseorang. Disisi lain, hukum pidana
memberikan batasan 18 tahun sebagai usia dewasa
2.2.3. Perkembangan Masa Remaja
Berbagai perkembangan pada masa remaja dapat dilihat dari berbagai aspek.
2.2.3.1. Perkembangan fisik. Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja me-rupakan
gejala utama dari perkembangan remaja karena ada hubungannya dengan aspek lain dari
perkembangan remaja. Perubahan fisik terdiri atas dua bagian, yaitu :
a. Perubahan eksternal, yang meliputi perubahan tinggi badan, berat badan, proporsi
tubuh, perubahan organ seks dan ciri-ciri seks sekunder.
b. Perubahan internal, yang meliputi perubahan sistem pencernaan, sistem pere-daran
darah, sistem pernapasan, sistem endokrin dan jaringan tubuh.
Turner dan Helms (1995) cit Rochadi menyebutkan remaja mengalami
karakteristik yang primer dan sekunder. Karakteristik seks primer adalah karak-teristik
dari organ reproduksi sedangkan karakteristik seks sekunder adalah per-kembangan
secara non-genital. Apabila karakteristik seks primer dan sekunder seorang individu
telah matang maka ia memiliki kemampuan bereproduksi atau yang disebut dengan
pubertas. Masa pubertas dimulai saat kelenjar di bawah otak mengirim pesan pada
kelenjar seks untuk meningkatkan pengeluaran hormon. Hal-hal yang berhubungan
dengan pubertas adalah gen, kesehatan dan lingkungan (Papalia dan Olds, 1995 cit
Rochadi).
2.2.3.2. Perkembangan kognitif. Piaget dalam Turner dan Helms (1995) cit Rochadi menyebutkan perkembangan kognitif remaja ke dalam tahap formal operasional yaitu
saat pemikirannya menjadi semakin rasional. Pada tahap ini remaja mulai
mengembangkan pemikiran yang bersifat abstrak, hipotesis serta mampu melihat
berbagai kemungkinan dalam pemecahan masalah yang dihadapi serta mulai
memikirkan bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya. Dikatakan Sulaeman
secara intelektual dan cara berpikirnya mengalami perubahan serta mampu membentuk
konsep-konsep. Pada masa ini terjadi pertambahan dalam kemampuan menggeneralisasi,
pertambahan kemampuan-kemampuan berpikir tentang masa depan, mampu berpikir
tentang hal-hal atau ide-ide yang lebih luas dan pertambahan kemampuan untuk
berpikir dan berkomunikasi secara logis.
2.2.3.3. Perkembangan kepribadian. Pada tahap ini terjadi suatu konflik yang disebut
konflik identity versus role confusion (Erikson, 1964 cit. Rochadi). Dimasa ini remaja sedang dalam proses pembentukan identitas diri yang merupakan masa dimana individu
berharap dapat mengatakan siapa dirinya saat ini dan apa yang dikehendakinya di masa
mendatang. Untuk membentuk identitas diri, remaja harus mengetahui dan
mengorganisasi kemampuan, keinginan, minat dan hasrat mereka sehingga mereka
mampu mengekspresikannya ke dalam konteks sosial. Freud dalam Turner dan
Helms (1995) mengatakan pada masa ini remaja berada pada tahap genital dalam
perkembangan kepribadiannya. Ciri-ciri yang mencolok dari tahap ini adalah adanya
sublimasi dari perasaan-perasaan oedipal melalui ekspresi libido, yaitu dengan cara
jatuh cinta dengan lawan jenis.
2.2.3.4. Perkembangan emosi. Secara tradisional, pada masa remaja dianggap sebagai
periode “badai dan tekanan”, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi
sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Pada masa perkembangan emosi terjadi
ketidakstabilan emosi dimana individu mengalami perasaan-perasaan yang kontradiktif
sifatnya, seperti sinis terhadap orang lain maupun terhadap kejadian tertentu, benci,
seringkali sangat kuat, tidak terkendali dan tampaknya irrasional tetapi pada umumnya
terjadi perbaikan perilaku emosional secara per-lahan.
2.2.3.5. Perkembangan sosial. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit
adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Diterangkan Greenberger, (1975)
cit. Rochadi bahwa upaya yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial,
pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan ataupun
dukungan dan penolakan sosial serta seleksi pemimpin. Karena remaja lebih banyak
berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai suatu kelompok, maka
pengaruh teman sebaya lebih besar daripada pengaruh keluarga.
2.2.3.6. Perkembangan moral. Pada masa ini remaja diharapkan mengganti
konsep-konsep moral yang telah ada pada masa kanak-kanak dengan prinsip moral yang
berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai
pedoman bagi perilakunya. Dalam diri seorang yang mempunyai moral yang matang
selalu ada rasa bersalah dan malu. Hanya saja rasa bersalah berperan lebih penting
daripada rasa malu dalam mengendalikan perilaku apabila pengendalian lahiriah tidak
ada. Dalam kondisi demikian, individu akan merasa bersalah apabila menyadari bahwa
perilakunya tidak memenuhi harapan sosial kelompoknya, sedangkan rasa malu timbul
bila ia sadar akan penilaian buruk kelompok terhadap perilakunya. Perilaku yang
dikendalikan rasa bersalah adalah perilaku yang dikendalikan dari dalam, sedangkan
perilaku yang dikendalikan oleh rasa malu adalah perilaku yang dikendalikan dari luar.
Masa remaja merupakan tahap penting dalam kurun kehidupan manusia karena
perubahan fisik, mental dan psikososial yang cepat yang berdampak pada berbagai aspek
kehidupannya. Pada masa ini mereka lebih mementingkan daya tarik fisik dalam proses
sosialisasi. Kecantikan atau kesempurnaan fisik sangat di-dambakan oleh setiap remaja.
Remaja dapat merasa tidak puas terhadap penampilan wajahnya yang tidak hanya
menyebabkan mereka merasa tertekan tapi juga akan menurunkan fungsinya dalam
kehidupan sosial, keluarga, pekerjaan dan bahkan bisa menurunkan aktifitas belajar
karena sering tidak masuk sekolah akibat malu untuk bertemu orang lain atau merasa
dicemoohkan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya krisis ketidakpercayaan terhadap
diri sendiri sehingga untuk masa depan dalam hal mencari pekerjaan, remaja ini akan
mengalami hambatan, karena pada saat sekarang ini kebanyakan beberapa pekerjaan
2.3. Perilaku kesehatan.
Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri
yang mempunyai makna yang sangat luas antara lain mencakup berjalan, berbicara,
bereaksi, berfikir tanggap dan emosi. Perilaku juga berarti aktifitas organisme, baik yang
diamati secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Benyamin Bloom cit. Notoatmojo (2003), perilaku terdiri atas pengetahuan, sikap dan tindakan.
a. Pengetahuan.
Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang diketahui manusia
tentang objek tertentu. Pengetahuan adalah pemberian bukti oleh seseorang melalui
proses pengingatan atau pengenalan suatu informasi, ide atau fenomena yang diperoleh
sebelumnya. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera pendengaran
dan penglihatan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang.
b. Sikap
Sikap adalah kesiapan atau kesediaan untuk bertindak. Sikap belum merupakan
suatu tindakan atau aktifitas, tetapi merupakan suatu predisposisi untuk terjadinya suatu
perilaku. Alport menguraikan sikap menjadi tiga komponen yaitu; 1) Komponen kognisi,
yang berhubungan dengan keyakinan, ide dan konsep, 2) Komponen afeksi, yang
menyangkut kehidupan emosional seseorang dan komponen konasi, yang merupakan
c. Praktek atau Tindakan ( practice )
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan
sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi
yang memungkinkan antara lain fasilitas.
2.4. Kebutuhan dan perilaku pencarian pengobatan
2.4.1. Kebutuhan
Dalam konsep tentang kebutuhan, ada empat jenis kebutuhan yaitu:
a. Kebutuhan Normatif, merupakan kebutuhan yang ditetapkan oleh seseorang ahli
atau profesional sesuai dengan tolak ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang
ditetapkan berdasarkan standar sehingga menunjukkan kebutuhan itu ada. Kebutuhan
normatif ini dapat berbeda, sesuai dengan penelitian yang dipakai antara satu orang
dengan yang lainnya.
b. Kebutuhan yang dirasakan, merupakan kebutuhan yang diidentifikasikan
orang-orang sebagai apa yang mereka inginkan. Kebutuhan jenis ini dapat terbatas banyaknya
tergantung pada kesadaran dan pengetahuan orang tentang apa yang tersedia.
c. Kebutuhan yang dinyatakan, merupakan kebutuhan yang dirasakan dan telah diubah
menjadi permintaan yang terungkap (demand). Kebutuhan yang diungkapkan dapat bertentangan dengan kebutuhan normatif oleh profesional.
d. Kebutuhan komparatif, jenis kebutuhan ini dapat dengan membandingkan
kelompok–kelompok individu yang sama, contohnya ada kelompok yang sudah
mendapat promosi kesehatan dan ada yang belum mendapatkan promosi kesehatan
Penilaian kebutuhan akan perawatan keadaan maloklusi memerlukan suatu
pengertian bahwa tanpa perawatan, maloklusi tersebut akan berakibat negatif, dan
keadaan negatif tadi tidak akan terjadi jika kondisi tersebut dirawat. Tuntutan akan
kebutuhan perawatan maloklusi ditentukan oleh gabungan dua faktor utama yaitu
kebutuhan yang timbul dari masyarakat dan profesional dan sumber ekonomi yang
tersedia untuk membiayai perawatan tersebut (Emilia, 2000).
2.4.2. Perilaku pencarian pengobatan
Perilaku pencarian pengobatan merupakan tindakan yang dilakukan seseorang saat
mengalami gejala sakit, yang selanjutnya mengambil keputusan apakah akan mencari
pengobatan profesional atau tidak. Perilaku pencarian pengobatan dapat dibedakan atas :
a. Tidak bertindak apa – apa
Tidak bertindak apa-apa kemungkinan karena individu merasa penyakitnya bisa
sembuh dengan sendirinya, atau menganggap tugas–tugas lain lebih penting daripada
pergi mencari pengobatan. Alasan lain kemungkinan karena individu mengganggap
penyakitnya adalah merupakan bagian dari hidupnya yang harus dijalani atau memang
karena tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengubah situasi.
b. Bertindak mengobati sendiri.
Bertindak mengobati sendiri kemungkinan karena individu merasa bahwa
berdasarkan pengalaman-pengalaman lalu pengobatan sendiri sudah dapat
menyembuhkan penyakitnya.
Pengobatan tradisional antara lain pengobatan yang dilakukan oleh dukun.
d. Mencari pengobatan modern yang diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta.
Mencari pengobatan modern dilakukan pada puskesmas, rumah sakit, dokter praktek dan
balai pengobatan (Notoatmojo, 2003).
Dalam penelitian ini yang digunakan adalah konsep perilaku pencarian pengobatan
profesional akibat adanya kebutuhan yang dirasakan dan telah berubah menjadi
permintaan yang terungkap (demand). Seseorang mencari pengobatan tergantung dari
tingkat keparahan keadaan maloklusi yang dirasakannya. Apabila maloklusi dirasakan
sudah mengganggu aktifitas dan kehidupan sosial maka seseorang akan mencari
pengobatan sebaliknya jika tidak mengganggu kehidupannya maka dia tidak melakukan
tindakan apa–apa.
Anderson mengkategorikan faktor determinan dalam penggunaan pelayanan
kesehatan dalam tiga kategori utama yaitu :
a. Karakteristik predisposisi, ciri–ciri individu yang digolongkan dalam ciri-ciri
demografi (umur, jenis kelamin), struktur sosial (pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal)
dan kepercayaan kesehatan (Health belief )
b. Karakteristik pendukung (Enabling), yaitu pendapatan, asuransi kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan.
c. Karakteristik kebutuhan (Need) yaitu kebutuhan yang dirasakan atau preceived
(subject assessment) dan evaluasi atau diagnosa klinis.
Model Anderson dapat diilustrasikan pada gambar dibawah ini.
Demography Family resource Perceived
Social structure Communiy resources Evaluated
Health belief
Gambar 1. Model Penggunaan Pelayanan Kesehatan Menurut Anderson (Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Notoatmodjo , 2003).
2.5. Pendidikan Orang Tua
Orang tua khususnya ibu adalah faktor yang sangat penting dalam mewariskan
status kesehatan bagi anak-anak mereka. Penelitian ini terkait dengan tingkat pendidikan
serta pekerjaan ibu karena ibu merupakan tokoh kunci dalam keluarga. Caldwel
mengemukakan bahwa posisi wanita sangat menentukan kesehatan keluarga. Bagi pasien
yang masih muda biasanya alasan mengenai tuntutan pelayanan kesehatan giginya
berasal dari anjuran yang diberikan oleh dokter gigi keluarga atau dokter gigi anak-anak
dan keikut-sertaan ibunya, selain didapat dari teman sebaya ataupun media massa.
Tingkat pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Berdasarkan UU No.2. RI tahun
1989 mengenai pendidikan, maka bagi seluruh bangsa Indonesia diberlakukan wajib
belajar 9 tahun, jadi anak-anak Indonesia diwajibkan mengikuti pendidikan sampai tamat
SLTP sebagai pendidikan dasar sehingga pendidikan dasar/rendah terdiri atas SD dan
SLTP, pendidikan menengah terdiri atas SMU dan pendidikan tinggi/akademi.
a) Kelas 1 : Pekerjaan yang membutuhkan pendidikan tingkat tinggi seperti dokter,
jaksa, hakim, direktur bank, arsitektur, pengacara, direktur perusahaan, akuntan,
notaris, manager perusahaan dan pekerjaan yang setaranya.
b) Kelas 2 : Pekerjaan keahlian yang membutuhkan pendidikan menengah seperti guru,
perawat, bidan, apoteker, pemilik toko, pemilik salon, PNS, Pegawai swasta,
teknisi,polisi, tentara, pramugari dan pekerjaan yang setaranya.
c) Kelas 3 : Pekerjaan yang mempunyai pendidikan dasar seperti supir, tukang jahit,
pengrajin, montir, pelukis, penulis, pelayan toko, pelayan restoran, pelayan hotel,
penjaga kasir, penjual sayur, satpam, tukang parkir dan pekerjaan setaranya.
d) Kelas 4 : Pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan dasar seperti buruh,
pembersih jalan, pembantu rumah tangga, tukang cuci, pesuruh, buruh tani dan
pekerjaan yang setaranya.
e) Kelas 5 : Tidak bekerja.
2.6. Konsep Sehat
Sehat pada umumnya dinyatakan menurut model medis atau model patologis, yaitu
tidak adanya penyakit. Menurut Undang–Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992
memberikan batasan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial
yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Hal ini
berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental dan sosial saja,
tapi juga dapat diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau
menghasilkan secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki usia bekerja seperti anak–
WHO menyarankan agar status kesehatan penduduk diukur dalam 3 hal yaitu 1)
melihat ada tidaknya kelainan patofisiologis, 2) mengukur fungsi dan 3) penilaian
individu atas kesehatannya. Dengan demikian untuk menggambarkan status kesehatan
gigi dan mulut harus mencakup ada tidaknya penyakit, bagaimana status fungsi fisik
(pengunyahan), fungsi psikis (rasa malu), fungsi sosial (peranan sosial sehari–hari) dan
kepuasan terhadap kesehatannya. Dapat disimpulkan bahwa kesehatan ini perlu dicapai
untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang.
2.7. Konsep Kualitas Hidup
Pada umumnya kualitas dapat didefenisikan sebagai tingkatan dari kesenangan.
Kualitas hidup merupakan konsep yang lebih luas dari status kesehatan seseorang dan
kesehatan sosial. Tidak ada konsensus yang pasti untuk defenisi kualitas hidup ini.
Literatur menyatakan ada beberapa komponen yang terdapat dalam kualitas hidup yaitu
kemampuan fungsional (meliputi kehidupan sehari-hari, kemampuan untuk bekerja),
tingkat kualitas sosial dan interaksi dalam masyarakat, kesehatan psikologi, kesehatan
fisik dan kepuasan hidup (Bowling, 2001).
Mendola dan Peligrini (2002) menyatakan bahwa kualitas hidup adalah prestasi
individu dalam suatu situasi kesejahteraan sosial yang terbatas dalam kapasitas fisik. Shin
dan Johnson menyatakan bahwa kualitas hidup terdiri dari kepentingan seseorang untuk
memiliki kebahagiaan individu, kebutuhan, keinginan dan impian, keikutsertaan dalam
Dalam paradigma kesehatan masa kini, aspek kualitas hidup sebagai outcome dari intervensi suatu program perlu diperhatikan. Campbell (1990) menyatakan bahwa aspek
kesehatan hanya merupakan salah satu domain dari 12 domains of life yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas hidup manusia seperti domain komunitas,
pendidikan, kehidupan keluarga, persahabatan, perumahan, pernikahan, kebangsaan,
rukun tetangga, diri sendiri, tingkat kehidupan dan pekerjaan (Rivani, 2004).
Pengukuran kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan ternyata telah dimulai
dari tahun 1963 sampai sekarang ini, antara lain Health Utilities Index Mark 3 ( HUI-3) dengan atribut : (1) vision, (2) hearing, (3) speech, (4) ambulation, (5) dexterity, (6)
emotion, (7) cognition & (8) pain dari Torrance 1972. Ada juga menurut Rosser Index 1982 yang disempurnakan oleh Centre for Health Economics, York University–York, Inggris 1994 dengan EuroQol–5D yang mengarah pada pengukuran 5 status kesehatan
manusia yaitu (1) mobility, (2) self-care, (3) usual activities, (4) pain / discomfort & (5) anxiety/ depression (Rivani, 2004).
Di Indonesia juga dikembangkan model pengukuran kualitas hidup manusia
Indonesia yang terkait dengan kesehatan yaitu Indonesia Health Related Quality of Live (INA-HRQol), yang menghasilkan 12 atribut status kesehatan yang terdiri dari dua bagian besar yang disebut atribut fisik (1) Mobilitas, (2) Aktifitas/kegiatan pribadi, (3)
Aktifitas/kegiatan umum/sosial, (4) Pandangan/penglihatan, (5) Pendengaran, (6)
Penciuman, (7) Rasa makanan, (8) Berbicara/komunikasi, (9) Pergerakan tangan, jari dan
kaki, (10) Rasa sakit ditambah dengan atribut non fisik yaitu : (1) Emosi dan (2) Ingatan
Konsep kualitas hidup yang dimaksud dalam penulisan ini dikembangkan dari
konsep sehat WHO, yaitu respon individu dalam kehidupan sehari–hari terhadap fungsi
fisik, psikis, dan sosial akibat maloklusi yang dialami individu. Konsep ini menekankan
pentingnya pengukuran fungsi bukan hanya tidak adanya penyakit. Kualitas hidup diukur
dengan menggunakan skala indeks Oral Health Impact Profile (OHIP-49) dari Slade. Indeks ini adalah salah satu instrumen yang mengukur persepsi masyarakat mengenai
dampak sosial dari kelainan rongga mulut. Pertanyaan yang terdapat dalam OHIP
sebanyak 49 pertanyaan yang dikelompokan dalam teori Locker. Dalam teori ini terdapat
7 dimensi yang merupakan dampak–dampak akibat kelainan gigi dan mulut yang
mempengaruhi kualitas hidup, yaitu: keterbatasan fungsi, rasa sakit fisik,
ketidaknyamanan psikologis, ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan psikologis,
ketidakmampuan sosial dan hambatan (handicap) (Slade, 1993). Alat ukur OHIP dapat dilihat pada tabel 2.1. (tanda (*) tidak ditanyakan karena tidak berhubungan dengan
Tabel 2.1. Oral Health Index Profile-49 (Slade, 1993)
No Dimensi Kualitas Hidup Butir Pertanyaan
1 Keterbatasan fungsi Sulit mengunyah
Sulit mengucapkan kata
Menyadari ada yang salah pada gigi dan mulut Merasa wajah kurang menarik
Nafas bau Makanan sangkut
Tidak dapat mengecap dengan baik Pencernaan terganggu Gigi palsu tidak nyaman *
3 Ketidaknyamanan psikis Khawatir
Merasa rendah diri Tegang
Merasa sangat menderita
Menyadari ada yang salah pada gigi dan mulut 4 Ketidakmampuan fisik Bicara tidak jelas
Kata–kata salah dimengerti
Tidak dapat merasakan enaknya makanan Tidak bisa menyikat gigi dengan baik Menghindari makanan tertentu Diet kurang memuaskan Menghindari tersenyum
Terhenti makan karena sakit gigi 5 Ketidakmampuan psikis Tidur terganggu
Merasa kesal Sulit merasa rileks
Depresi (hidup tidak bergairah) Sulit berkonsentrasi
Merasa malu
6 Ketidakmampuan sosial Menghindari keluar rumah Cepat marah
Sulit bersama orang lain Mudah tersinggung
Sulit mengerjakan pekerjaan sehari hari *
7 Hambatan Kesehatan memburuk
Keuangan memburuk Tidak mampu beramah tamah Hidup terasa kurang memuaskan Sama sekali tidak dapat berfungsi* Tidak dapat bekerja / belajar dengan baik
Maloklusi adalah kelainan susunan gigi geligi yang menyimpang dari bentuk
standar yang diterima sebagai bentuk normal pada rahang atas atau rahang bawah atau
saat kedua rahang tersebut saling bertemu pada saat menggigit, mengunyah ataupun
menelan. Ciri–ciri maloklusi diantaranya adalah kontak gigitan menyilang (crossbite), kontak gigitan yang dalam (overbite), gigi berjejal (crowdeed), gigitan menyilang (scisor bite) atau posisi gigi maju kedepan (protrusi). Maloklusi dapat disebabkan oleh intrinsik dan ekstrinsik faktor. Intrinsik faktor yaitu maloklusi yang berasal dari keadaan
gigi itu sendiri seperti misalnya anomali jumlah, bentuk dan ukuran gigi, persistensi gigi
susu, karies gigi, sedangkan ekstrinsik faktor yaitu maloklusi yang berasal dari luar gigi
itu sendiri, misalnya herediter, kelainan kongenital, penyakit sistemik sehingga
menyebabkan perkembangan pertumbuhan yang salah, kebiasaan jelek dan adanya
trauma.
Maloklusi yang tidak dirawat sejak dini akan bertambah parah pada saat gigi
permanen telah tumbuh sempurna yaitu pada masa remaja. Usia masa remaja di
Indonesia berkisar 13 sampai dengan 18 tahun. Anak Sekolah Menengah Umum
termasuk dalam batasan usia remaja akhir, terjadi perubahan fisik, mental dan psikososial
yang cepat yang berdampak pada berbagai aspek kehidupannya. Pada masa ini mereka
lebih mementingkan daya tarik fisik, terutama wajah dalam proses sosialisasi. Remaja
dapat merasa tidak puas terhadap penampilan wajahnya yang tidak hanya membuat
mereka tertekan tapi juga menurunkan fungsinya dalam kehidupan sosial, keluarga, dan
bisa menurunkan aktifitas belajar. Dampak yang lebih parah adalah hilangnya semangat
Dampak diatas merupakan ancaman terhadap kualitas hidup seorang remaja dalam
menjalani hidup sehari–hari yang mungkin saja terjadi krisis ketidakpercayaan pada diri
sendiri. Ancaman maloklusi terhadap kualitas hidup remaja berbeda antara satu remaja
dengan remaja lainnya, hal ini juga dipengaruhi oleh adanya faktor sosiodemografis yang
berupa umur, jenis kelamin dan kelas sosial (pendidikan ibu, pekerjaan ayah dan
pendapatan keluarga). Selain itu perilaku kesehatan terutama kesehatan gigi tidak kalah
juga berperan dalam cara pandang remaja terhadap pengaruh maloklusi terhadap kualitas
hidupnya. Perilaku kesehatan gigi yang mempengaruhinya adalah pengetahuan remaja
terhadap maloklusi, sikap remaja yaitu keyakinan remaja terhadap keadaan maloklusinya
serta perilaku pencarian pengobatan/perawatan pada remaja yang merasakan suatu
kelainan yang dialaminya.
Dalam hal konsep perilaku pencarian pengobatan/perawatan, dalam penelitian ini
remaja mendapatkan dorongan untuk melakukan tindakan (mencari solusi sendiri,
pengobatan tradisional atau alternatif maupun tidak melakukan apa–apa). Dorongan yang
memicu remaja untuk bertindak dapat berasal dari media cetak/elektronik, lingkungan
teman sebaya, orang tua ataupun anjuran dari tenaga profesional seperti petugas
kesehatan. Pada gambar 2 menunjukan hubungan antara maloklusi dengan kualitas hidup.
Sosiodemografis :
1.umur 2.jenis kelamin 3.peer & reference
groups
Pendorong untuk bertindak:
1. media cetak / elektronik 2. lingkungan teman
Penyebab
Gambar 2. Kerangka Teori Analisis Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup.
.
Maloklusi
Melakukan Perawatan maloklusi Ancaman thd
kualitas hidup
1.keterbatasan fungsi 2.rasa sakit fisik 3.ketidaknyamanan
psikis
4.ketidakmampuan fisik
5.ketidakmampuan psikis
6.ketidakmampuan sosial
7.hambatan
Perilaku Kesehatan Gigi