• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.2 Keluhan Musculoskeletal disorders ( MSDs)

6.4.1 Hubungan usia dengan Keluhan MSDs

Prevalensi MSDs seseorang meningkat saat mereka mulai masuk bekerja. Peningkatan usia berhubungan dengan penurunan kapasitas fisik. Bertambahnya umur akan diikuti dengan penurunan VO2 max sehingga akan menurunkan kapasitas kerja. Hal ini disebabkan perubahan biologis secara alamiah pada usia paruh baya kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun karena proses penuaan. Dalam penelitian ini usia dikategorikan menjadi dua kategori yaitu ≥ 35 tahun dan < 35 tahun karena umumnya keluhan sakit punggung atau MSDs mulai dirasakan oleh pekerja pada usia kerja dan episode pertama untuk kembali sakit biasanya dirasakan pada usia 35 tahun (Guo et al, 1995 & Chaffin, 1979 dalam NIOSH 1997).

Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa keluhan MSDs banyak dialami oleh pekerjayang berusia ≥ 35 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan keluhan MSDs. Hal ini sejalan dengan penelitian Ikrimah (2009) yang menyatakan bahwa usia tidak berhubungan dengan keluhan MSDs

pada pekerja. Penelitian Rahma (2004) juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan gejala awal CTD.

Menurut NIOSH (1997), kelompok usia dengan tingkat nyeri punggung tertinggi

compensable dan strain adalah kelompok umur 20-24 untuk laki-laki, dan kelompok umur 30-34 untuk perempuan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Betti’e et al

(1989) telah melakukan studi tentang kekuatan statik otot untuk pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai dengan di atas 60 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi penururnan sejalan dengan bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rata-rata kekuatan otot menurun sampai 20%. Pada saat kekuatan otot mulai menurun, maka resiko terjadinya keluhan otot akan meningkat.

Sedangkan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya kelompok umur yang banyak mengalami keluhan MSDs adalah pekerja dengan usia ≥ 35 tahun. Namun pada kelompok umur < 35 tahun banyak diantara mereka yang juga mengalami keluhan MSDs dan melakukan pekerjaan dengan risiko ergonomi tinggi. Jadi meskipun pekerja yang berusia ≥ 35 tahun banyak mengalami keluhan MSDs, namun karena pekerja yang berusia < 35 tahun banyak juga yang melakukan pekerjaan dengan risiko ergonomi tinggi atau sangat tinggi sehingga menyebabkan pada penelitian ini usia tidak berhubungan secara signifikan dengan keluhan MSDs.

Disamping itu faktor usia memiliki korelasi yang cukup signifikan dengan bertambahnya jumlah tahun kerja (masa kerja) sehingga meskipun ada pekerja dengan usia muda namun sudah bekerja cukup lama dimungkinkan pekerja tersebut juga dapat mengalami keluhan MSDs. NIOSH 1997 juga mengungkapkan bahwa meskipun pekerja

yang lebih tua telah ditemukan memiliki kekuatan kurang dari pekerja muda, namun Mathiowetz et al (1985) menunjukkan bahwa kekuatan tangan tidak menurun dengan penuaan, hal ini dibuktikan dengan skor rata-rata genggaman tangan yang tetap relatif stabil dalam populasi dengan kisaran usia 29-59 tahun.

Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukan Torell et al (1988) dalam penelitiannya yang mendapatkan hasil bahwa umur tidak memiliki hubungan dengan keluhan MSDs. Mereka menemukan hubungan yang kuat antara beban kerja (dalam kategori rendah, sedang, atau berat) dan gejala atau diagnosis MSDs. Selain itu banyak peneliti tidak menemukan usia merupakan faktor signifikan yang berkaitan dengan MSDs karena terdapat pelaporan kembali mengenai prevalensi sakit atau kejadian MSDs (Bigos Riesbold & Greenland 1985; et al 1991), Daltroy et al. (1991) menunjukkan bahwa pekerja pos muda yang berisiko tinggi untuk mengalami kejadian MSDs (OR = 3,0).

6.4.2 Hubungan kebiasaan merokok dengan keluhan MSDs

Beberapa penelitian sebelumnya telah memberikan penjelasan mengenai hubungan yang telah dirumuskan dalam satu hipotesis bahwa meningkatnya keluhan MSDs berhubungan dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin tinggi frekuensi merokok dan lama seseorang merokok, maka semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Beberapa studi telah mengamati hubungan tersebut yakni Deyo dan Bass 1989; Frymoyer et al. 1980; Troup et al. 1987. Mekanismenya dimulai dari nikotin yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan dan kandungan rokok menyebabkan kandungan mineral tulang belakang berkurang dan menyebabkan

microfractures. Selain itu, keterkaitan antara kebiasaan merokok dan keluhan otot pinggang sebenarnya berkaitan dengan kesegaran jasmani seseorang karena kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan akibatnya tingkat kesegaran tubuh juga menurun.

Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa pekerja yang merokok sebagian besar mengalami keluhan MSDs. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara merokok dengan keluhan MSDs. Hal ini dimungkinkan karena banyak juga pekerja yang tidak merokok tapi mengalami keluhan MSDs. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Soleha (2009) dan Ikrimah (2009) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara merokok dengan keluhan MSDs.

Meskipun banyak penelitian yang menyatakan bahwa merokok memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan MSDs, misalnya seperti yang dilakukan oleh Boshuizen et al (1993) yang menemukan hubungan antara kebiasaan merokok dan nyeri punggung hanya dalam pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik, kemudian disusul oleh (Finkelstein 1995; Owen dan Damron 1984; Frymoyer et al. 1983; Svensson dan Anderson 1983; Kelsey et al.1984) yang membuktikan bahwa kebiasaan merokok berpengaruh terhadap nyeri pinggang, linu panggul (intervertebral disc hernia). Akan tetapi ada juga beberapa penelitian yang menyatakan bahwa merokok tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan MSDs yaitu penelitian yang dilakukan oleh Heliovaara et al. 1991; Rihimaki et al. 1989 pada kalangan pekerja konstruksi beton dan pelukis rumahan. Hal serupa juga diungkapkan pada penelitian Toomingas et al. 1991 yang juga tidak menemukan hubungan antara beberapa hasil kesehatan (termasuk

ketegangan leher, CTS atau masalah di leher dan tulang belikat atau bahu/lengan atas) dengan kebiasaan merokok pada platers, perakit dan pekerja kantoran. Wieslander et al (1989) juga menemukan bahwa merokok atau menggunakan tembakau tidak terkait dengan CTS yang merupakan salah satu jenis MSDs.

Brage et al (1996) pada penelitiannya di Norwegia menyatakan bahwa merokok memiliki hubungan signifikan dengan MSDs setelah disesuaikan dengan gender, usia, morbiditas, tekanan mental, gaya hidup dan faktor terkait pekerjaan. Berdasarkan obervasi banyak diantara pekerja yang tidak merokok ternyata mereka juga mengalami keluhan MSDs, hal ini dikarenakan pekerja yang tidak merokok banyak yang melakukan pekerjaan dengan risiko ergonomi tinggi dengan demikian kemungkinan pekerja tersebut mengalami keluhan MSDs akibat dari pekerjaan yang mereka lakukan.

Di sisi lain ada juga pekerja yang merokok bahkan telah merokok lebih dari satu tahun namun mereka tidak mengalami keluhan MSDs, hal ini dimungkinkan karena beberapa diantaranya berusia < 35 tahun sehingga efek dari rokok tersebut belum signifikan mempengaruhi fisik mereka dan ada juga diantara mereka yang tidak melakukan pekerjaan dengan risiko ergonomi tinggi sehingga mereka tidak mengalami keluhan MSDs. Oleh karena itu, meski kebiasaan merokok berperan untuk menyebabkan nyeri tulang namun pengaruh dari merokok juga didukung faktor lain seperti usia, gender, tekanan mental dan faktor pekerjaan.

Namun dalam pengambilan data pada variabel kebiasaan merokok, sering kali pekerja kesulitan untuk mengingat kapan pertama kali merokok dan berhenti merokok, berapa banyak batang rokok yang dihabiskan dalam satu hari. Untuk itu perlu diperhatikan bagi peneliti selanjutnya agar dapat meminimalisasi hal ini. Selain itu agar

dapat dibuat pengkategorian kebiasaan merokok berdasarkan frekuensi merokok dan berapa banyak batang rokok yang dihisap. Hal ini bertujuan untuk melihat hubungan merokok dengan keluhan MSDs lebih jauh lagi, sehingga dapat dilihat perbedaannya berdasarkan frekuensi merokok dan jumlah rokok yang dihisap.

Dokumen terkait