• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Akad dalam Kajian Fikih Muamalah

6. Hukum Multiakad

Ada beberapa pendapat ulama tentang bagaimana hukum multiakad, ada yang mengharamkannya ada pula yang membolehkannya. Berikut adalah penjelasannya:

a. Pendapat yang mengharamkan multiakad

Pendapat yang mengharamkan multiakad yaitu pendapat ulama mazhab Hanafi, pendapat ulama mazhab Maliki, pendapat ulama mazhab Syafi’i, dan pendapat ulama mazhab Hambali. Hasanudin menyebutkan bahwa pendapat para ulama mengharamkan multiakad adalah dengan dasar berikut:

1( Multiakad dilarang karena nas 0 Agama. Adapun nas 0 yang melarang multi akad:

a( Hadis Hakim bin Hizam

َو ِهْيَل َع ِللها ىَّل َص ِللها ُل ْو ُس َر َلاَق : َلاَق ِهِّد َج ْن َع ،ِهْيِبَأ ْن َع ، ٍبْيَع ُش ُنْب ُرْم َع ْن َع َو

َسْيَل اَم َعْيَب َلَا َو ، ْنَم ْضُي ْمَل اَم َحْب ِر َلَا َو ،ٍعْيَب ىِف ِنا َط ْر َش َلَاَو ،ٌعْيَب َو ٌفَل َس ُّل ِحَي َلَا :َمَّل َس مكاحلا و ةميزخ نبا و يذمرّتلا هح ّحص و ،ةسمخلا هاور . َكَدْن ِع

“Dari ‘Amr bin Ṣyu’aib dari ayahnya dari kakeknya ra., dia berkata ”Nabi saw bersabda, “Tidak halal mengutangkan sekaligus menjual, tidak halal adanya dua syarat dalam satu transaksi jual beli, dan tidak halal mengambil keuntungan dari barang yang tidak dapat dijamin, juga tidak halal menjual sesuatu yang bukan milikmu.” )HR. al-Khamsah, hadis ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim(.10

Hadis ini berisi empat bentuk transaksi jual beli yang dilarang:11

)1( Mengutangkan sekaligus menjual, konkritnya adalah seperti orang yang hendak membeli suatu barang dengan harga yang lebih mahal dari harga yang semestinya. Hal ini dikarenakan pembayarannya ditangguhkan sampai waktu yang disepakati.

Sementara dia memahami bahwa transaksi itu tidak boleh dilakukan, maka dia pun mengakalinya dengan cara meminjam uang sejumlah harga barang tersebut, lalu uang tersebut digunakan untuk membeli barang itu secara kontan.

)2( Adanya dua syarat dalam satu transaksi jual beli. Ulama berbeda pandangan dalam mentafsirkan maksud dari hal itu.

Ada yang mengatakannya, ini adalah transaksi jual beli di mana si penjual mengatakan kepada si pembeli, “Saya jual barang ini kepada Anda dengan harga sekian jika tunai dan dengan harga sekian jika tempo )dibayar kemudian(.” Ada yang mengatakan, ini adalah manakala si penjual menjual barangnya lalu mensyaratkan kepada pembeli agar tidak menjual barang tersebut dan tidak menghibahkannya. Ada juga yang

10 Muhammad bin Isa bin Sauroh At-Tirmidzi, Ṣunan at-Tirmidzi, III, )Mesir: Ṣyirkah Maktabah Wa Mat 0ba‘ah Mus 0t 0afa Albâbi Al-Ḥ0alabi, 1975(, h., 525.

11 Muhammad bin Ismail, Ṣubul al-Ṣalâm, II, )Beirut: Dâr al-Ḥadîts, t.th.(, h., 21.

mengatakan, ini adalah transaksi jual beli di mana si penjual mengatakan “Saya jual barang saya dengan harga sekian dengan syarat Anda harus menjual barang Anda yang itu kepada saya dengan harga sekian.”

)3( Sabda beliau saw., yang artinya “Tidak halal mengambil keuntungan dari barang yang tidak dapat dijamin.” Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah sesuatu )barang( yang belum dimiliki si penjual. Seperti barang ghas 0ab )barang orang yang diambil secara paksa( ia adalah bukan milik orang yang mengambilnya secara paksa itu dan bila dia menjualnya lalu mendapatkan keuntungan darinya, maka keuntungan tersebut tidak halal. Ada juga yang mengatakan bahwa maksudnya adalah selama barang yang mau dijualnya itu belum ada ditangannya. Hal ini karena barang yang belum diterima bukan merupakan tanggung jawab pembeli, sehingga jika barang tersebut rusak atau hilang, maka resiko ditanggung si penjual.

)4( Sabda beliau saw, yang artinya “Tidak halal menjual sesuatu yang bukan milik kamu”, ditafsirkan oleh hadis Hakim bin Hizam yang diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa’i bahwa Hakim bin Hizam berkata “Saya berkata, “Wahai Rasulullah ada seseorang mendatangi saya untuk membeli sesuatu yang tidak saya miliki, lalu saya pun membelinya di pasar, beliau bersabda, “Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak kamu miliki.” Hadis ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual sesuatu sebelum memilikinya secara utuh. Dari hadis tersebut, dapat dipahami bahwa Nabi melarang 3 )tiga( bentuk multiakad, yaitu multiakad dalam jual beli dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad, dan dua transaksi dalam satu

transaksi. Sebab pelarangan pada bentuk multiakad tersebut, dikarenakan dapat mengarah pada adanya spekulasi dan riba.

Ibnu Qayyim sebagaimana dikutip oleh Hasanudin, menyebutkan bahwa Nabi melarang multiakad antara salaf )memberi pinjaman atau qard 0( dan jual beli, walaupun kedua akad itu jika berlaku sendiri-sendiri maka hukumnya boleh.

Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk menghindari riba yang diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan )qard 0( seribu, lalu menjual barang yang bernilai delapan ratus dengan harga seribu. Dia seolah memberi seribu dan barang seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua ribu. Di sini ia mendapatkan kelebihan dua ratus.12

b( Hadis yang menjelaskan larangan dua akad jual beli dalam satu jual beli

دمحأ هاور ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب ْن َع :َمَّل َس َو ِهْيَل َع ِللها ىَّل َص ِللها ُلْو ُسَر ىَهَن :َلاَق ُهْن َع َو

ْوَأ ُهَلَف ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب َعاَب ْنَم :دواد ىبلْأ و ،نابح نبا و يذمرّتلا هح ّحصو ،ىئاسّنلا و اَب ِّرلا ِوَأ ،اَمُه ُسَك

“Dan darinya (yakni Abu Ḥurairah ra.), dia berkata: Nabi saw. telah melarang adanya dua jual beli dalam satu jual beli.

diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa’i. Ḥadis ini shahih menurut At-Tirmidzi dan Ibnu Ḥibban. Menurut riwayat Abu Dawud (yakni hadis dari Abu Ḥurairah), barang siapa melakukan dua jual beli dalam satu transaksi, maka baginya harga yang termurah atau riba.”13

12 Hasanudin, Multi Akad dalam Transaksi Ṣyariah Kontemporer pada Lembaga Keuangan Ṣyariah di Indonesia, )Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah, 2009(, h., 19.

13 Muhammad bin Ismail, Ṣubul al-Ṣalâm, II, )Beirut: Dâr al-Ḥadîts, t.th.(, h., 20.

Imam Syafi’i mengatakan bahwa hadis tersebut mempunyai dua penafsiran:14

)1( Yakni seperti contoh, dengan mengatakan “Saya menjual barang ini kepadamu dengan harga Rp 2000,- bila secara utang, dan dengan harga Rp 1000,- bila secara kontan. Mana saja yang Anda suka, silakan ambil.” Transaksi seperti ini rusak karena tidak jelas dan bersyarat.

)2( Dengan mengatakan “Saya jual budak saya kepada Anda dengan syarat Anda harus menjual kuda Anda kepada saya.”

Alasan dilarangnya transaksi pada kasus pertama adalah tidak adanya ketetapan harga dan adanya unsur riba. Ini menurut pendapat yang melarang, menjual sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang berlaku pada hari transaksi dilakukan hanya karena pembayaran dilakukan kemudian hari )kredit(. Dan pada kasus kedua karena faktor yang dikaitkan transaksi dengan syarat mendatang yang mungkin terjadi atau mungkin tidak, sehingga kepemilikannya jadi tidak pasti.

Sabda beliau, yang artinya “Maka baginya harga yang murah atau riba.” Maksudnya, apabila dia melakukan hal tersebut berarti dia telah melakukan satu dari dua perkara, berupa pengambilan harga yang termurah atau riba yang menjadi penguat penafsiran pendapat pertama.

2( Multiakad sebagai h 0îlah riba

Multiakad yang menjadi h 0îlah riba dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli ‘inah atau sebaliknya dan h 0îlah riba fad 0l. Contoh h 0îlah riba pada kesepakatan jual beli ‘inah adalah menjual suatu barang dengan harga seratus secara angsur dengan syarat pembeli

14 Ibid.

harus menjualnya kembali kepada penjual dengan harga delapan puluh secara kontan. Pada transaksi ini dapat diketahui seolah ada dua akad jual beli, padahal merupakan h 0îlah riba dalam pinjaman. Contoh h 0îlah riba dalam riba fad 0l adalah seseorang menjual 2 kg beras dengan harga Rp 10.000,- dengan syarat bahwa ia dengan harga yang sama mendapatkan beras yang lebih banyak atau lebih sedikit dari pembeli.

3( Multiakad menyebabkan jatuh ke riba

Setiap multiakad yang membuka jalan pada yang haram, seperti riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Penghimpunan beberapa akad yang hukumnya asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang mengakibatkan hukumnya menjadi terlarang.

4( Multiakad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan

Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multiakad antara akad-akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan atau akibat hukumnya saling berlawanan atau bertolak belakang. Larangan ini didasarkan pada larangan Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini mengandung hukum yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan yang identik dengan untung-rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial yang identik dengan tolong-menolong atau kegiatan tanpa pamrih. Karena itu, ulama Malikiyah melarang multiakad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara jual beli dengan ju‘âlah, s 0arf, musâqah, syirkah, qirâd 0, atau nikah.15

5( Hadits-hadits lain:

a( Hadis larangan melakukan dua jual beli dalam satu jual beli

15 Abdullah bin Muhammad Al-Imrani, al-‘Uqûd Mâliyyah al-Murakkabah, )Riyadh: Dâr Kunûz Isybiliyya, 2010(, h., 181-182.

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan sanadnya dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda:

ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب ْعَبْت َلَا َو ُهْعَبْتاَف ٍئِلَم ىَل َع َتْل ِحُأ اَذِإ َو ٌمْل ُظ ِّيِنَغْلا ُل ْطَم Mengulur waktu pembayaran utang padahal ia mampu adalah sebuah bentuk kezaliman, dan jika utangmu dialihkan kepada orang lain maka ikutilah, dan janganlah melakukan dua jual beli dalam satu jual beli.16

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan sanadnya dari Abu Hurairah bahwa ia berkata:

ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب ْن َع َمَّل َس َو ِهْيَل َع ِللها ىَّل َص ِللها ُلْو ُسَر ىَهَن Rasulullah saw. melarang dua jual beli dalam satu jual beli.17

Abu Dawud juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda:

اَب ِّرلا ِوَأ اَمُه ُسَكْوَأ ُهَلَف ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب َعاَب ْنَم Ṣiapa yang melakukan dua akad jual beli dalam satu akad maka hendaklah ia mengambil yang paling kecil dari keduanya atau (ia akan mendapatkan) riba.18

Hadis serupa juga diriwayatkan oleh Imam Nasa’i19, Imam Malik dalam Muwattha’ tanpa sanad20, dan juga Imam Ahmad.

b( Hadis larangan melakukan dua akad dalam satu akad

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari ‘Abdullah bin Mas’ud bahwa ia berkata:

16 Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Ṣunan al-Tirmidzi, )Kairo: Makniz, t.th.(, h., 407.

17 Ibid., h., 384.

18 Abu Dawud As-Sijistani, Ṣunan Abî Dâwud, )Kairo: Makniz, t.th.(, h., 682.

19 Ahmad bin Syu’aib An-Nasa’i, Ṣunan al-Nasâ’i, )Kairo: Makniz, t.th.(, h., 896.

20 Malik bin Anas, Muwat 0t 0a al-Imâm Mâlik, jil. 2, )Beirut: Dâr Ih 0yâ al-Turâts al-‘Arabi, 1985(, h., 663.

ٍةَد ِحاَو ٍةَقْف َص ىِف ِنْيَتَقْف َص ْن َع َمَّل َس َو ِهْيَل َع ِللها ىَّل َص ِللها ُلْو ٌسَر ىَهَن Rasulullah saw. melarang dua akad di dalam satu akad.21

c( Hadis larangan menyatukan akad bai’ dan salaf

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash bahwa ia berkata:

َو ٍفَل َس َو ٍعْيَب ْن َع َو ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب ْن َع َمَّل َس َو ِهْيَل َع ُللها ىَّل َص ِللها ُلْو ُسَر ىَهَن

َكَدْن ِع َسْيَل اَم ٍعْيَب ْنَع َو ْنَم ْضُي ْمَل اَم ِحِبِر ْنَع Rasulullah saw. melarang dua jual beli dalam satu jual beli, juga melarang keuntungan dari sesuatu yang tidak terjamin, dan melarang menjual barang yang bukan milikmu.22

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa multiakad diharamkan karena sebab-sebab berikut:

1( Adanya hadis yang menyebutkan pelarangan multiakad.

2( Adanya kekhawatiran multiakad dijadikan sebagai h 0îlah riba yang menyebabkan jatuh pada riba.

3( Akad-akad yang terhimpun dalam multiakad memiliki akibat hukum yang bertolak belakang atau berlawanan.

b. Pendapat yang membolehkan multiakad

Ulama yang memiliki pendapat bahwa multiakad dibolehkan yaitu Imam Asy-Syahab dari mazhab Maliki, Imam Ibnu Taimiyah dari mazhab Hambali. Dasar pembolehan multiakad yaitu:

1( Q.s. al-Mâ’idah ayat 1

خلا ....ِد ْوُقُعْلاِب اْوُفْوَأ اْوُنَمآ َنْيذَّلا اَهَّيَأَي

21 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ah 0mad, jil. 6, )Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, t.th.(, h., 324.

22 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ah 0mad, jil. 11, )Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, t.th.(, h., 203.

“Ḥai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu….”23 Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan agar orang-orang yang beriman memenuhi akad yang ada di antara mereka.

Artinya, secara prinsip semua akad diperbolehkan oleh Allah dan orang mukmin wajib memenuhi akad itu.

2( Q.s. al-Nisâ’ ayat 29

ْمُكْنِم ٍضا َرَت ْن َع ًةَرا َجِت َنْوُكَت ْنَأ َّلَاِإ ِل ِطاَبْلاِب ْمُكَنْيَب ْمُكَلاَوْمَأ اْوُلُكْأَت َلَا اْوُنَمآ َنْيِذَّلا اَهُّيَأَي

“Ḥai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu...”24

Dari ayat ini, dapat diketahui bahwa dalam perdagangan disyaratkan adanya rasa saling rela. Hal ini menjadi dasar kehalalan memperoleh sesuatu. Atas dasar inilah hukum asal dari akad adalah boleh.

3( Q.s. al-Bâqarah ayat 275

...اَب ِّرلا َم َّر َح َو َعْيَبْلا ُللها َّل َحَأَو....

“…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”25

Pada ayat ini disebutkan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Berdasarkan ayat ini juga, dapat diketahui bahwa segala macam jual beli itu diperbolehkan selama belum ada dalil yang mengharamkannya.

4( Kaidah fikih:

اَهِمْي ِر ْحَت ىَل َع ٌلْيِلَد َّل ُضَي ْنَأ َّلَاِإ ُة َحاَبِْلْإا ِت َلَاَماَعُمْلا يِف ُل ْصَْلْأا

23 Tim Penyusun, Alquran dan Terjemahannya, )Jakarta: Kementerian Agama RI, 2000(, h., 142.

24 Ibid., h., 108.

25 Ibid., h., 59.

“Ḥukum asal muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”26

Berdasarkan kaidah di atas, diketahui bahwa penggabungan dua akad atau lebih dibolehkan karena tidak ada dalil yang melarangnya.

Adapun dalil yang melarang multiakad, tidak dipahami sebagai larangan mutlak, melainkan karena larangan yang disertai unsur keharaman seperti gharar, riba, dan maisir. As-Syatibi menyebutkan bahwa hukum asal dari ibadah adalah melaksanakan )ta‘abbud( apa yang diperintahkan dan tidak ada penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya )iltifât ilâ ma‘âni(. Pada masalah ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sedangkan pada ruang lingkup muamalat terbuka peluang untuk melakukan perubahan dan penemuan baru, karena prinsip dasarnya ialah diperbolehkan bukan soal melaksanakan ibadah.27

Sebagian kalangan Malikiyah dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa multiakad merupakan jalan keluar dan kemudahan yang dibolehkan dan disyariatkan selama mengandung manfaat dan agama tidak melarangnya. Karena hukum asalnya adalah sahnya syarat untuk semua akad selama tidak bertentangan dengan agama dan bermanfaat bagi manusia.28

Nazih Hammad berpandangan bahwa hukum asal dari syara‘

ialah dibolehkannya melakukan transaksi multiakad, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang

26 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Ḥukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah. )Jakarta: Kencana, 2007(, Cet. II, h., 130.

27 Wahbah Az-Zuhaili, Us 0ûl al-Fiqh al-Islâmiy, )Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.(, h., 871.

28 Ibnu Taimiyah, al-‘Aqd, )Mesir: al-Ṣunnah al-Muh 0ammadiyyah, 1968(, h., 227.

melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus tertentu yang diharamkan menurut dalil itu.

Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan memenuhi akad yang telah disepakati.29

Hasanudin mengutip pernyataan dari Ibnu Qayyim bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama. Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Menurutnya pendapatnya, Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang tujuan untuk melipatkan harga melalui qard 0. Seseorang yang diberikan pinjaman oleh orang lain, lalu beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu kepada orang itu padahal ia masih dalam rentang waktu qard 0 tersebut, yang demikian hukumnya boleh.31

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum kebolehan multiakad dikembalikan ke hukum asal akad. Selain itu, dapat diketahui juga sebab-sebab kebolehan multiakad di antaranya yaitu:

29 Nazih Hammad, ‘Uqûd Murakkabah fi Fiqh Islâmiy, )Damaskus: Dâr al-Qalam, 2005(, h., 8.

30 Hasanudin, Multi Akad dalam Transaksi Ṣyariah Kontemporer pada Lembaga Keuangan Ṣyariah di Indonesia, )Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah, 2009(, h., 13-14.

31 Abdullah bin Muhammad Al-Imrani, al-‘Uqûd Mâliyyah al-Murakkabah, )Riyadh: Dâr Kunûz Isybiliyya, 2010(, h., 180.

1( Multiakad dibolehkan selama akad-akad yang menyusunnya adalah akad-akad yang dihalalkan.

2( Multiakad dibolehkan selagi tidak bertentangan dengan agama dan mempunyai manfaat untuk manusia.

3( Multiakad dibolehkan selama tidak ada dalil yang secara khusus mengharamkan multiakad.

Berdasarkan beberapa pendapat ulama di atas, penulis lebih cenderung atau setuju dengan pendapat yang menganggap bahwa multiakad ialah bentuk transaksi yang dilarang. Bisa jadi itu makruh atau bahkan haram.

Karena menurut penulis tiga hadis yang melarang multiakad dapat ditangkap bahwa terdapat dua konsep multiakad yang dilarang Nabi Muhammad saw. Pertama, apabila ada dua akad yang mana salah satu akad bersifat komersil )mu‘âwad 0ah( –terdapat unsur untung-rugi dan akad yang lainnya juga bersifat komersil ini menjadi terlarang. Karena himpunan akad seperti ini dapat menimbulkan riba yang dapat mengakibatkan salah satu pihak dirugikan. Kedua, apabila ada dua akad yang mana salah satu dari dua akad bersifat komersil dan yang lain bersifat sosial atau non-komersil )tabarru’(, ini juga dilarang. Karena jika dua akad tersebut bertumpuk atau menjadi syarat satu sama lain akan menimbulkan pula riba atau kerugian pada salah satu pihak.

Namun, penulis juga setuju bahwa multiakad diperbolehkan jika di antara akad-akad tersebut terjadi secara terpisah dan tidak menjadi syarat dari akad satu dengan akad lainnya. Karena di sini kedua belah pihak tidak akan mengalami kerugian dikarenakan adanya saling rida atau rela. Menurut penulis juga ada konsep multiakad yang diperbolehkan, yaitu jika dua atau lebih akad itu bersifat sosial tanpa ada hitung-hitungan untung-rugi ini diperbolehkan bahkan bisa jadi disunahkan. Seperti misalnya zakat diniatkan untuk digabungkan dengan s 0adaqah/sedekah, infak, hibah, dan hadiah. Di samping tidak ada dalil yang melarangnya hal tersebut memungkinkan pahala yang berlipat ganda dari Allah

atas perbuatannya. Kecuali jika yang terjadi adalah akad tabarru’ timbal-balik atau satu pihak memberikan syarat kepada pihak yang lainnya untuk melakukan akad tabarru’, karena ada hadis Nabi melarang mengambil manfaat dari qard 0.

Di luar perdebatan itu semua dan ke mana kecenderungan penulis dalam memilih pendapat, penulis menyerahkan seluruhnya kepada pembaca dalam meyimpulkan dan hendak memilih pendapat mana yang sesuai. Karena perbedaan dalam masalah fikih adalah suatu nikmat )ikhtilâfu ummatî ni‘mah(.

Maka dalam hal ini perbedaan pendapat itu wajar dan bukan masalah yang harus dipertentangkan. Serta semua perbuatan akan dinilai berdasarkan tujuan dan niat apa yang mendasari dalam melakukannya )inna mâ al-a‘mâlu bi al-niyyât(.

Sehingga baik-buruknya kita dalam bermuamalah bergantung pada intensi kita apakah baik atau buruk, apakah bertujuan untuk merugikan orang lain atau bertujuan untuk saling menguntungkan satu sama lain dan mewujudkan kemaslahatan bersama. Wallahu a’lam.

B. Seputar Multi Level Marketing (MLM) dan Penjualan Langsung Berjenjang

Dokumen terkait