• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS AKAD-AKAD PADA BISNIS PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH PERSPEKTIF FIKIH MUAMALAH (Studi Empiris: PT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS AKAD-AKAD PADA BISNIS PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH PERSPEKTIF FIKIH MUAMALAH (Studi Empiris: PT."

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

BERJENJANG SYARIAH PERSPEKTIF FIKIH MUAMALAH (Studi Empiris: PT. K-Link Nusantara)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

WILDAN AHDIYAN NIM. 11150490000004

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1442 H/ 2021 M

(2)

BERJENJANG SYARIAH PERSPEKTIF FIKIH MUAMALAH (Studi Empiris: PT. K-Link Nusanttara)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Wildan Ahdiyan 11150490000004

Pembimbing:

Dr. Abdurrauf, Lc, MA NIP. 197312152005011002

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1442 H/ 2021 M

(3)
(4)
(5)

Wildan Ahdiyan, NIM 11150490000004, ANALISIS AKAD-AKAD PADA BISNIS PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH PERSPEKTIF FIKIH MUAMALAH (Studi Empiris: PT. K-Link Nusantara). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1442 H/2021 M.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akad-akad dan hubungan akad- akad tersebut pada bisnis Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS). Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan penelitian empiris. Sumber data penelitian ini didapatkan melalui studi pustaka dan wawancara dengan analisis deskriptif. Objek penelitian ini adalah bisnis Penjualan Langsung Berjenjang Syariah di PT. K-Link Nusantara.

Sesuai Fatwa DSN-MUI No. 75/DSN-MUI/VII/2009, terdapat beberapa akad pada bisnis PLBS. Terjadi perbedaan pandangan di kalangan ulama terkait akad-akad pada bisnis PLBS. Ada yang menganggapnya multiakad ada yang tidak. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bisnis PLBS yang terdapat di PT. K-Link Nusantara memiliki 2 (dua) jenis akad meliputi akad jual beli dan akad ju‘âlah yang tidak saling terkait. Dengan kata lain menurut hasil penelitian ini akad-akad pada bisnis PLBS tidak termasuk kategori multiakad juga tidak dilarang. Adapun jika ada yang berpendapat bahwa bisnis PLBS termasuk multiakad yang dilarang itu adalah masalah khilâfiyah.

Kata Kunci : Akad, MLM Syariah, Penjualan Langsung Berjenjang Syariah Pembimbing : Dr. Abdurrauf, Lc, MA

Daftar Pustaka : t.th. s/d 2019

(6)

ِمْي ِح َّرلا ِنم ْح َّرلا ِللها ِم ْسِب

Segala puji milik Allah atas nikmat hidayah. Berkat pertolongan Allah, penulis dapat sampai di titik ini. Tanpa tuntunan-Nya penulis tidak akan mampu untuk menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu kita sebut kepada Nabi terakhir, Rasulullah Muhammad saw. yang senantiasa menjadi teladan bagi setiap insan, beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan sampai kepada kita semua.

Adapun setelah itu maka skripsi yang berjudul “ANALISIS AKAD-AKAD PADA BISNIS PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH PERSPEKTIF FIKIH MUAMALAH (Studi Empiris: PT. K-Link Nusantara)” dapat penulis selesaikan. Tentunya penulis juga tidak akan mampu tanpa bantuan dari berbagai pihak selama proses penulisan ini berlangsung. Baik bantuan sesederhana berupa doa, motivasi semangat, kritik dan saran, maupun bantuan berupa waktu dan tenaga, serta bantuan yang lainnya.

Dengan selesainya skripsi ini, perkenankan penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada para pihak yang telah ikut membantu dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya ungkapan terimakasih ini penulis tujukan kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. AM. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hudayatullah Jakarta sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Skripsi.

ii

(7)

kepustakaan.

6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya Fakultas Syariah dan Hukum yang telah senantiasa memberikan ilmu, pengalaman dan pengamalan kepada penulis, serta jajaran staf yang telah ikut serta memberikan fasilitas kampus dan perkuliahan dari awal hingga selesai.

7. Yang paling utama, penulis ucapkan terimakasih untuk kedua orang tua penulis, Mama, Abah dan adik penulis, Najma, yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis dalam menjalankan studi.

8. Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Paduan Suara Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (PSM UIN Jakarta) yang telah memberikan banyak pengalaman dalam berorganisasi dan belajar musik serta bernyanyi di sela-sela waktu penulis dalam menjalani masa perkuliahan.

9. Keluarga, saudara, kawan-kawan, dan kerabat-kerabat penulis, serta semuanya yang tidak memungkinkan untuk penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan bantuan serta dukungan baik berupa materi maupun motivasi.

10. Pihak PT. K-Link Nusantara sebagai perusahaan yang telah mengizinkan penulis dalam mencari data-data penelitian ini. Terkhusus kepada Ustaz M. Sofwan Jauhari yang bersedia menjadi narasumber penelitian ini.

Sekali lagi penulis ucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut terlibat dalam penyusunan skripsi ini sehingga, Alhamdulillâh, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.

Jakarta, 11 Juni 2021

Wildan Ahdiyan iii

(8)

LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ... 4

1. Identifikasi Masalah ... 4

2. Pembatasan Ruang Lingkup Masalah ... 4

3. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1. Tujuan Penelitian ... 5

2. Manfaat Penelitian ... 5

D. Metode Penelitian ... 5

1. Pendekatan Penelitian ... 5

2. Jenis Penelitian ... 6

3. Jenis Data dan Sumber Data ... 6

4. Teknik Pengumpulan Data ... 7

5. Teknik Analisis Data ... 7

E. Rancangan Sistematika Tulisan ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Akad dalam Kajian Fikih Muamalah ... 9

1. Pengertian Akad ... 9

2. Asas-Asas Akad ... 11 iv

(9)

4. Pengertian Multiakad ... 19

5. Macam-Macam Multiakad ... 20

6. Hukum Multiakad ... 23

B. Seputar Multi Level Marketing (MLM) dan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) ... 35

1. Pengertian Multi Level Marketing ... 35

2. Sejarah Multi Level Marketing ... 36

3. Polemik Halal-Haram Bisnis MLM ... 37

4. Penjualan Langsung Berjenjang Syariah ... 39

5. Syarat-Syarat PLBS Menurut Fatwa DSN-MUI ... 40

C. Reviu Studi Terdahulu ... 41

BAB III KIPRAH BISNIS PT. K-LINK NUSANTARA DI INDONESIA ... 48

A. Profil dan Sejarah PT. K-Link Nusantara ... 48

B. Struktur Organisasi Perusahaan ... 51

C. Visi dan Misi Perusahaan ... 52

1. Visi Perusahaan ... 52

2. Misi Perusahaan ... 52

D. Nilai-Nilai Dasar ... 52

E. Filosofi Perusahaan ... 53

F. Komitmen Perusahaan ... 53

G. K-System ... 53

H. Marketing Plan K-Link ... 61

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 71

A. Hasil Penelitian ... 71

B. Pembahasan ... 81

BAB V PENUTUP ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Rekomendasi ... 88 v

(10)

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 93

vi

(11)

No. Hlm.

Gambar 3.1 51

Gambar 3.2 63

Gambar 3.3 64

Gambar 3.4 65

Gambar 3.5 66

Gambar 3.6 67

Gambar 3.7 68

Gambar 3.8 69

Gambar 4.1 73

vii

(12)

No. Judul Tabel Hlm.

Tabel 2.1 Perbedaan Skripsi dengan Penelitian-Penelitian

Sebelumnya 44

viii

(13)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia memiliki sifat-sifat alami yang beberapa di antaranya yaitu berkembang dan bertahan hidup. Konon zaman dahulu manusia untuk bertahan hidup adalah dengan berburu, bercocok tanam dan beternak. Seiring berkembangnya zaman manusia mulai mengenal perdagangan di mana mereka mulai mengetahui apa arti kepemilikan benda dan bertukar satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Singkatnya, setelah sekian lama manusia bertransaksi dengan cara barter, manusia menemukan uang dan terjadilah transaksi jual-beli seperti yang sekarang ini.

Model cara bertransaksinya pun semakin banyak dan berkembang pesat.

Nabi Muhammad saw. dikenal sebagai al-Amîn atau manusia yang paling amanah di Arab pada waktu itu bahkan dapat dipastikan di seluruh dunia untuk sepanjang waktu. Seperti yang kita tahu Nabi pada usia remaja menuju dewasa beliau berdagang atau sebutan zaman sekarang sebagai enterpreneur. Beliau adalah enterpreneur sejati yang sukses, jujur dan dapat dipercaya –Allâhumma ṣalli ‘alaih.

Sebagai seorang Nabi beliau memberi perintah, anjuran, dan larangan dalam bertransaksi baik yang disampaikan langsung dari firman Allah yaitu Alquran maupun hadis atau sunnah beliau saw. Ada sekian banyak ayat Alquran mengenai berbagai transaksi baik yang profit atau komersil maupun yang non-profit atau sosial.

Ada banyak pula hadis yang menerangkan dan membahas tentang hal-hal tersebut.

Salah satu dari tuntunan Nabi Muhammad saw. adalah hadis yang melarang dua jual beli dalam satu transaksi (bai‘ataini fî bai‘atin) dan/atau larangan jual beli dan pinjaman menjadi satu transaksi (bai‘ wa ṣalaf). Kajian tentang hadis ini menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ulama dalam memahami dan menginterpretasi hadis tersebut. Perlu kajian mendalam untuk membahas dan memahami hadis tersebut dalam penerapannya pada konteks bisnis di masa sekarang.

1

(14)

Pada masa sekarang kajian tentang akad-akad yang bertumpuk dalam suatu transaksi dimasukkan oleh ulama kontemporer ke dalam diskursus multiakad (hybrid contract) dan dalam bahasa Arab bisa disebut al-‘uqûd al-murakkabah atau al-‘uqûd al-mujtami‘ah. al-’Uqud al-Murakkabah terdiri dari dua kata al-‘uqûd (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Kata ‘aqd secara etimologi artinya mengokohkan, meratifikasi, dan mengadakan perjanjian atau ikatan yang mengakibatkan munculnya kewajiban. Kata al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti al-jam‘u (maṣdar), yang berarti pengumpulan atau penghimpunan. Kata murakkab sendiri berasal dari kata rakkaba-yurakkibu-tarkîban yang memiliki makna meletakkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada yang di atas dan ada yang di bawah. Murakkab menurut ulama fikih adalah himpunan beberapa hal sehingga disebut dengan satu nama.1

Multiakad adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu transaksi yang meliputi dua akad atau lebih, sehingga semua akibat hukum dari akad gabungan itu serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dianggap satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan banyaknya transaksi modern yang menggunakan lebih dari satu akad, saat ini atau bahkan dalam dasawarsa terakhir ini mulai ramai menjadi kajian para pakar fikih mengenai keabsahan multiakad.2

Salah satu dari sekian banyak model bisnis yang menggunakan lebih dari satu akad dalam praktiknya adalah bisnis Multi Level Marketing (MLM). Karena bisnis tersebut sudah banyak dipraktikkan oleh masyarakat, para pakar fikih kontemporer mencoba mencari alternatif bisnis MLM yang sesuai syariah. Maka muncullah model MLM dengan sebutan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS). Seperti disebutkan dalam fatwa DSN-MUI No. 75/DSN-MUI/VII/2009 tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS), pada bisnis tersebut terdapat lebih

1 Hasanuddun Rahman Daengnaja, How to Deṣign Sharia Contract, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2016), h., 41.

2 Yosi Aryanti, “Multi Akad (Al-Uqud Al-Murakkabah) di Perbankan Syariah Perspektif Fiqh Mulamalah”, Jurnal Ilmiah Syariah, Vol. 15, No. 2 (Juli-Desember 2016), h., 178.

(15)

dari satu akad, antara lain yaitu akad jual-beli (bai‘/murâbahah), akad wakâlah bi al- ujrah, akad ju‘âlah, akad ijârah, dan akad-akad lainnya.3

Di Indonesia ada beberapa perusahaan MLM yang sudah tersertifikasi DSN- MUI. Seperti dilansir pada situs web DSN-MUI, di antara perusahaan-perusahaan tersebut yaitu: PT. Millionaire Group Indonesia, PT. K-Link Nusantara, PT.

Arminareka Pharmasia Pratama, PT. Nusantara Sukses Selalu, PT. Singa Langit (TIENS), PT. Herba Penawar Alwahida Indonesia, dan PT. Momen Global Internasional.4 Penulis mengambil salah satu di antara perusahaan-perusahaan tersebut, yaitu PT. K-Link Nusantara sebagai objek penelitan sekaligus contoh perusahaan yang mengaplikasikan bisnis model PLBS.

Penelusuran sementara penulis menunjukkan bahwa belum pernah ada yang meneliti tentang akad-akad yang terdapat pada praktik bisnis PLBS, bahkan dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Abbas Arfan tentang tipologi multiakad Al-Imrani pada produk-produk fatwa DSN-MUI, PLBS ini dicantumkan sebagai tidak atau bukan termasuk multiakad.5 Oleh karena itu penulis merasa perlu melakukan penelitian terhadap akad-akad yang terdapat dalam bisnis PLBS dan menganalisis bagaimana hubungan akad-akad tersebut, sehingga muncul ide skripsi dengan judul

“ANALISIS AKAD-AKAD PADA BISNIS PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH PERSPEKTIF FIKIH MUAMALAH (Studi Empiris: PT.

K-Link Nusantara)”.

3 Lihat fatwa DSN-MUI No. 75/DSN-MUI/VII/2009 tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS), h., 7.

4 https://dsnmui.or.id/sertifikasi/senara-perusahaan-bersertifikat/ diakses pada 20 Oktober 2020.

5 Abbas Arfan, “Tipologi Multi Akad dalam Produk Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Perspektif Teori dan Batasan multiakad Al-‘Imrani”, Jurnal Ulul Albab, Vol. 18, No.

2 (Tahun 2017), h., 281.

(16)

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Pengidentifikasian masalah atau aspek yang akan diteliti pada penelitian ini adalah antara lain:

a. PLBS memiliki lebih dari satu akad namun dalam penelitian sebelumnya PLBS tidak dimasukkan dalam kategori multiakad;

b. Bisnis MLM baik yang syariah maupun non-syariah sudah banyak dilakukan di kalangan masyarakat;

c. Terdapat kekosaongan penelitan tentang akad-akad yang terdapat pada bisnis MLM Syariah atau PLBS;

d. Masih terdapat celah pada model bisnis MLM atau penjualan langsung berjenjang untuk melakukan transaksi yang dapat menimbulkan kerugian.

2. Pembatasan Ruang Lingkup Masalah

Penulis membatasi ruang lingkup permasalahan pada skripsi ini agar pembahasannya lebih jelas dan terarah. Penelitian ini hanya berfokus untuk membahas dan menganalisis akad-akad yang terdapat pada bisnis PLBS berikut hubungan akad-akad tersebut dengan PT. K-Link Nusantara sebagai objek penelitiannya sekaligus sebagai salah satu contoh perusahaan yang menjalankan bisnis model PLBS.

3. Rumusan Masalah

a. Bagaimana pandangan fikih muamalah terhadap akad-akad yang terdapat pada bisnis PLBS di PT. K-Link Nusantara?

b. Bagaimana hubungan hukum akad-akad pada bisnis PLBS di PT. K- Link Nusantara ditinjau dari fikih muamalah?

(17)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan penulis bertujuan untuk menganalisis dan memaparkan bagaimana akad-akad pada bisnis PLBS. Di samping untuk melanjutkan penelitian-penelitan terdahulu, penelitian ini juga diharapkan memperkaya khazanah keilmuan fikih muamalah terutama terkait kajian tentang akad. Penulis juga mengharapkan penelitian ini tetap ada yang mengkaji lebih lanjut dan lebih baik lagi.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitan ini tentunya tidak terlepas dari tujuannya yaitu penulis mengharapkan penelitian ini dapat digunakan serta dikembangkan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan fikih muamalah. Secara praktis, penelitan ini diharapkan dapat digunakan antara lain:

a. Untuk menambah wawasan dan khazanah keilmuan, khususnya dalam bidang hukum ekonomi syariah;

b. Untuk menambah literasi hukum ekonomi syariah di Indonesia yang dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan hukum Islam khususnya lembaga-lembaga fatwa.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian bermakna suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.6 Maka metode penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini lebih mengarah kepada model penelitian empiris. Penelitian ini juga menggunakan

6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2015), h., 5.

(18)

format studi kasus dengan teknik wawancara. Untuk mengumpulkan informasi yang berkenaan dengan topik dan menggunakan pendekatan dengan analisis deskriptif, yaitu dengan menganalisis data kualitatif yang diperoleh dari hasil penilitian berupa data informasi yang terkait dengan permasalahan yang dibahas pada penelitian ini.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang objek penilitiannya adalah PT. K-Link Nusantara sebagai salah satu contoh perusahaan yang menjalankan bisnis MLM yang tersertifikasi oleh DSN-MUI dalam rangka mengetahui bagaimana mekanisme akad-akad yang dilakukan dalam bisnisnya dan mengetahui hubungan-hubungan antara akad-akad satu dengan yang lainnya.

3. Jenis Data dan Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh data dari dua jenis sumber data yaitu:

a. Data Primer

Sumber ini merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti. Jenis data ini diperoleh langsung dari hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan pihak perusahaan yakni PT. K-Link Nusantara.

b. Data Sekunder

Sumber ini merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada peneliti. Jenis data ini diperoleh dari literatur kepustakaan sepeti buku-buku, kitab, jurnal, skripsi, artikel, dan sumber lainnya yang berkaitan dengan materi penulisan skripsi ini.

(19)

4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data primer yang dihimpun dari hasil wawancara terhadap pihak perusahaan serta dari data sekunder yang diperoleh dari data-data yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan topik penelitan ini.

5. Teknik Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh dari wawancara dan kepustakaan diolah, diklasifikasi, dianalisis, dan disajikan secara deskriptif. Kemudian disusun menjadi laporan hasil penilitan mengenai hubungan hukum akad-akad yang ada pada bisnis Penjualan Langsung Berjenjang Syariah di PT. K-Link Nusantara menggunakan perspektif fikih muamalah.

E. Rancangan Sistematika Penulisan

Rancangan sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan antara lain mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan rancangan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan kajian-kajian fikih terdahulu tentang akad dan diurakan bagaimana apabila terdapat lebih dari satu akad dalam satu jenis transakasi yang mana masuk pada kajian teori yang berhubungan dengan hukum multiakad.

Kemudian di sini diurakan reviu studi terdahulu beserta alasan pembeda penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.

BAB III OBJEK PENELITIAN

(20)

Pada bab ini disajikan data-data penelitian berupa deskripsi yang berkenaan dengan objek penelitian. Pada penelitan ini yang menjadi objek penelitian adalah Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) pada PT. K-Link Nusantara.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil analisis penulis terhadap data-data yang sebelumnya penulis temukan baik dari hasil wawancara maupun dari sumber bacaan tentang penelitian ini. Pada bab ini diurakan bagaimana hubungan hukum akad-akad dalam bisnis PLBS. Kemudian dianalisis yang hasil analisis tersebut diambil kesimpulan bagaimana hubungan hukum akad-akad yang terdapat pada bisnis tersebut.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan penelitan yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Akad dalam Kajian Fikih Muamalah 1. Pengertian Akad

Secara etimologis akad memiliki arti perjanjian, perikatan, dan dan pemufakatan Alquran menggunakan istilah ini dalam arti perikatan dan perjanjian. Hal tersebut dapat dilihat pada Q.s. Al-Mâ’idah ayat 1.

Beberapa ulama mendefinisikan akad secara bahasa adalah sebagai berikut:

a. Wahbah Zuhaili

َناَك ْوَأ ٌءاَو َس ،ِء ْي َّشلا ِفا َر ْطَأ َنْيَب )ُماَرْبِْلْإا َو ُماَك ْحِْلْإا ِوَأ( ُطْبِّرلا ُهاَنْعَم : ِبَرَعلا ِةَغُل ىِف ُدْقَعْلا

ِنْيَبِنا َج ْنِم ْوَأ ،ٍد ِحاَو ٍبِنا َج ْنِم ،اًّيِوَنْعَم ْمَأ اًّي ِس ِح ا ًطْب ِر

“Akad dalam bahasa Arab: artinya adalah ikatan (atau penguat dan ikatan) di antara ujung-ujung sesuatu, baik ikatan secara konkret maupun maknawi, dari satu sisi maupun dua sisi.”1

b. Muhammad Abu Zahrah

ىَنْعَمِب ُقَل ْطُي َو ، ُّل ِحْلا ُهُّد ِض َو ،اَه ِطْبِر َو ِء ْي َّشلا ِفاَر ْطَأ َنْيَب ِعْم َجْلا ىَلَع ِةَغُّللا ىِف ُدقَعْلا ُقَل ْطُي

ِهِتَّيِوْقَت و ِء ْي َّشلا ِماَك ْحِإ

“Akad secara etimologi diartikan untuk mengumpulkan antara ujung sesuatu dan mengikatnya, antonimnya adalah al-hillu (melepaskan), juga diartikan mengokohkan sesuatu dan memperkuatnya.”2

Sedangkan secara istilah para ulama memberikan definisi sebagai berikut:

1 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh Islâmiy wa Adillatuhu, Juz IV, )Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986(, h., 80.

2 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, )Jakarta: Amzah, 2013(, h., 110.

9

(22)

a. Ulama Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah

َو ِءا َرْبِْلْإا َو ِفْقَوْلاَك ٍةَدِرَفْنُم ٍةَداَرِإِب َرَد َص ٌءاَو َس ،ِهِلْعِف ىَل َع ُء ْرَمْلا َمَز َع اَم ُّلُك َوُهَف ُدْقَعْلا

ِن ْه َّرلا َو ِلْيِك ْوَّتلا َو ِرا َجْيِْلْإا َو ِعْيَبْلاَك ِهِئا َشْنِإ ىِف ِنْيَتَدا َرإ ىَلِإ ِجاَت ْحِإ ْمَأ ، ِنْيِمَيْلا َو ِق َلَا َّطلا

“Akad adalah segala sesuatu yang diniatkan oleh seseorang untuk dilakukan, baik timbul karena satu kehendak, seperti wakaf, talak dan sumpah, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya memerlukan dua orang, seperti jual beli, sewa-menyewa, perwakilan, dan gadai.”3

b. Ulama Hanafiyah

:ى َر ْخُأ ٍة َراَبِعِب ْوَأ .ِهِّل َحَم ْيِف ُهُرَثَأ ُتُبْثَي ٍعْوُر ْشَم ٍه ْجَو ىَل َع ٍلْوُبَقِب ٍبا َجْيِإ ُطاَبِتْرِإ َوُه ُدْقَعْلا

ِّل َحَمْلا ىِف ُهُرَثَأ ُرَه ْظَي ٍه ْجَو ىَلَع ا ًعْرَش ِرَخَْلْأاِب ِنْيَدِقاَعْلا ِدَحَأ ِم َلَاَك ُقُّلَعَت

“Akad ialah pertalian antara ijab dan kabul menurut ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat hukum pada objeknya. Atau dengan kata lain: (akad) ialah keterkaitan antara pembicaraan salah seorang yang berakad dengan orang yang lainnya menurut syara’ pada segi yang tampak pada objek.”4

c. Wahbah Zuhaili

ِهِئاَهْنِإ ْوَأ ِهِلْيِدْعَت ْوَأ ،ِهِلْقَن ْوَأ ٍماَزِتْلِإ ِءا َشْنِإ ْنِم يِنْوُناَق ٍرَثَأ ِثاَد ْحِإ ىَل َع ِنْيَتَداَرِإ ُقُفاَوَت َوُه ُدْقَعْلا

“Akad adalah kesepakatan dua kehendak untuk menimbulkan akibat- akibat hukum, baik berupa menimbulkan kewajiban, memindahkannya, mengalihkannya, maupun menghentikannya.”5

d. Hasbi Ash-Shiddieqy

Akad adalah perikatan ijab dan kabul yang dibenarkan syara‘ yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak.6

e. Ahmad Azhar Basyir

3 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh Islâmiy wa Adillatuhu, Juz IV, )Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986(, h., 80.

4 Ibid., h., 81.

5 Ibid.

6 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalat, )Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001(, h., 26.

(23)

Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syara‘ yag menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya.7

2. Asas-Asas Akad

Ada beberapa asas dari suatu perjanjian atau akad muamalah dalam hukum Islam. Asas-asas ini memengaruhi status akad. Jika akad ini tidak dipenuhi, maka akan mengakibatkan perjanjian atau akad yang dilakukan menjadi batal atau tidak sah. Asas-asas tersebut antara lain8:

a. al-Ḥ0uriyah )Kebebasan(

Asas ini di samping sebagai prinsip dasar dalam akad )perikatan syariah(, juga merupakan asas dasar dalam hukum perjanjian. Pihak-pihak yang melakukan akad memiliki kebebasan untuk melakukan perjanjian )freedom of making contract(, baik dari segi yang diperjanjikan )objek akad( maupun dalam menentukan persyaratan-persyaratan lain, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian apabila terjadi sengketa. Kebebasan menentukan persyaratan ini dibenarkan selagi tidak bertentangan dengan ketentuan syariah Islam. Dengan kata lain, syariah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkannya, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran agama. Tujuannya adalah untuk menjaga agar tidak terjadi penganiayaan antara sesama manusia melalui akad dan syarat-syarat yang dibuatnya. Asas ini pula menghindari semua bentuk paksaan, tekanan, dan penipuan dari pihak manapun. Adanya unsur paksaan dan pengekangan kebebasan bagi para pihak yang melakukan perjanjian, maka keabsahan akad yang

7 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Ḥukum Muamalat (Ḥukum Perdata Islam), )Yogyakarta:

UII Press, 2004(, h., 65.

8 Fathurrahman Djamil, Kompilasi Ḥukum Perikatan, )Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2016(, h., 249-251.

(24)

dilakukan bisa dianggap meragukan bahkan tidak sah. Landasan ini adalah Q.s. al-Bâqarah: 256; al-Mâ’idah: 1; al-Ḥ0ijr: 29; al-Rûm: 30; al-Tîn: 4; al- Ah 0zâb: 72.

b. al-Musâwah )Kesetaraan(

Asas ini memberikan landasan bahwa kedua belah pihak yang berakad mempunyai kedudukan yang sama antara satu dan yang lainnya.

Sehingga asas persamaan dan kesetaraan ini menjadi dasar dalam menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Landasan asas ini ialah Q.s. al-Ḥ0ujurât: 13.

c. al-’Adâlah )Keadilan(

Adil adalah salah satu nama dan sifat Allah )al-’Âdil( juga Allah memerintahkan dalam Alquran agar manusia menjadikan keadilan sebagai idealisme moral. Bahkan, Alquran menyebutkan bahwa keadilan lebih dekat kepada takwa )Q.s. al-Mâ’idah: 8-9(. Implementasi asas ini dalam akad, di mana pihak-pihak yang melaksanakan akad dituntut agar berlaku jujur dalam penyampaian kehendak dan keadaan, menepati perjanjian yang telah mereka buat, serta menunaikan semua kewajibannya )Q.s. Âli ‘Imrân: 17;

al-Bâqarah: 177; al-Mu’minûn: 8; al-Mâidah:1(. Asas ini sangat berkaitan dengan asas kesamaan, walaupun keduanya berbeda, dan merupakan lawan kata dari kezaliman. Salah satu bentuk kezaliman ialah mencabut hak-hak kemerdekaan orang lain dan atau tidak memenuhi kewajiban terhadap akad yang telah dibuat.

d. al-Rid 0a )Kerelaan(

Dasar asas ini ialah Q.s. al-Nisâ’: 29. Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus didasarkan atas kerelaan antarpihak.

Kerelaan tersebut dianggap sebagai syarat sebelum terwujudnya semua jenis transaksi. Jika asas ini tidak terpenuhi dalam sebuah transaksi, maka hal ini sama dengan memakan sesuatu dengan jalan yang batil )al-’akl bi al-

(25)

bât 0il(. Transaksi yang dilakukan tidak dapat disebut telah mencapai sebuah usaha yang sama-sama rela antara pelakunya jika di dalamnya terdapat tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-statement. Jadi, asas ini mengharuskan tidak terdapatnya unsur paksaan dalam proses transaksi dari pihak manapun.

e. al-Ṣ 0idq )Kejujuran(

Kejujuran adalah salah satu sifat dari para Nabi dan Rasul dan menjadi salah satu nilai dasar dalam Islam. Istilah Islam memiliki arti yang dekat dengan kebenaran )Q.s. Âli ‘Imrân: 95(. Allah adalah Maha Benar dalam berfirman juga memerintahkan semua umat Islam agar berlaku jujur dalam segala urusan dan perkataan )Q.s. al-Ah 0zâb: 70(. Islam secara tegas melarang segala bentuk kebohongan dan penipuan. Nilai kejujuran ini memberikan pengaruh kepada para pihak yang melakukan perjanjian supaya tidak berdusta, menipu, dan melakukan pemalsuan. Pada saat asas ini tidak dijalankan, maka akan merusak keabsahan akad yang dibuat.

Dengan demikian pihak yang merasa dirugikan karena pada saat akad dilakukan pihak lainnya tidak mendasarkan asas ini, dapat menghentikan proses akad tersebut.

f. al-Kitâbah )Tertulis(

Prinsip yang juga tidak kalah penting dalam melaksanakan akad adalah supaya akad itu tertulis, terutama pada transaksi kredit atau utang- piutang. Hal ini disebutkan dalam Alquran surat al-Bâqarah ayat 282-283.

Selain itu, juga diperlukan adanya para saksi, jaminan )dalam kasus tertentu(, dan prinsip tanggung jawab para pihak.

3. Rukun dan Syarat Akad

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan rukun akad. Perbedaan tersebut ada dalam esensi dari akad itu sendiri. Menurut

(26)

pendapat Wahbah Zuhaili ijab dan kabul ialah salah satu unsur yang penting dalam akad. Namun di samping itu juga terdapat beberapa unsur yang juga penting dan merupakan rukun akad. Dari unsur-unsur itu, ada yang berpendapat hanya satu yang dianggap sebagai rukun akad dan selainnya adalah syarat, ada pula yang berpendapat bahwa semua unsur tersebut merupakan rukun akad.

Unsur-unsur yang disebutkan Wahbah Zuhaili antara lain adalah sebagai berikut:

a. Ṣ 0ighât al-‘aqd )Pernyataan untuk melakukan suatu akad(

Ṣ 0ighât al-‘aqd ini biasanya berbentuk ijab dan kabul. Ijab adalah pernyataan pihak pertama untuk melakukan akad yang ia inginkan, sedangkan kabul ialah pernyataan pihak kedua untuk menerima kehendak pihak pertama. Rukun ini merupakan rukun terpenting dalam akad. Bahkan ulama Hanafiyah menjadikan ijab dan kabul ini sebagai satu-satunya rukun dalam akad. Selain ini yang menurut jumhur sebagai rukun, menurut mereka hanya merupakan syarat. Para ulama fikih mensyaratkan 3 )tiga( hal agar ijab dan kabul memiliki akibat hukum. Syarat-syarat tersebut antara lain:

1( Tujuan dalam pernyataan tersebut harus jelas sampai dapat dipahami akad mana yang dikehendaki;

2( Terdapat kesesuaian di antara ijab dan kabul;

3( Pernyataan ijab dan kabul secara pasti mengacu pada kehendak masing-masing pihak dan tidak terdapat keragu-raguan.

Adapun bentuk pernyataan ijab dan kabul menurut para ulama dapat berupa lisan, tulisan, ataupun isyarat yang dapat dimengerti dengan jelas, serta dapat pula berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan kabul. Beberapa kaidah fikih yang menjadi dasar hal tersebut adalah sebagai berikut:

ِبا َط ِخْلاَك ُباَتِكْلا

(27)

“Tulisan sama halnya seperti ungkapan lisan”

ِنا َسِّللاِب ِناَيَبْلاَك ِس َر ْخَ ْلْأِل ةدوهعمْلا ُة َرا َشِْلْإا

“Isyarat yang jelas dari orang yang bisu sama halnya dengan penjelasan secara lisan.”

Menurut Mustafa Ahmad Az-Zarqa suatu akad dianggap sempurna apabila telah terpenuhinya syarat dari ijab dan kabul. Namun ada pula akad- akad tertentu yang tidak cukup hanya dengan ijab dan kabul dan baru dianggap sempurna apabila telah dilakukan serah terima barang atau objek akad. Akad yang seperti ini juga disebut dengan al-‘uqûd al-’ainiyyah yang terdiri dari 5 )lima( macam:

1( al-Ḥibah )pemberian cuma-cuma(, 2( al-‘Âriyah )pinjam-meminjam(, 3( al-Wadî‘ah )penitipan barang(, 4( al-Qirâd 0 )pemberian modal(, dan 5( al-Rah 0n )jaminan utang(.

Akad-akad seperti di atas menurut ulama fikih harus memenuhi syarat bahwa barang itu harus diserahkan kepada pihak yang berhak dan dimiliki secara penuh. Jika hanya terjadi ijab dan kabul saja, maka belum terjadi akibat hukum apa pun.

b. al-Ma‘qûd ‘Alaih )Objek Akad(

Objek akad bermacam-macam sesuai dengan bentuknya. Objek akad pada akad jual beli adalah barang yang diperjualbelikan dan harganya.

Objek akad gadai adalah barang gadai dan utang yang diperolehnya. Pada akad sewa-menyewa, objeknya adalah manfaat yang disewa, seperti tenaga manusia, rumah, dan tanah. Sedangakan dalam perjanjian bagi hasil maka objeknya adalah kerja petani/pedagang/pengusaha dan hasil yang akan diperoleh, dan seterusnya.

(28)

Agar sebuah akad bisa dianggap sah, maka objek dari akad tersebut harus memenuhi syarat-syarat berikut:

1( Sudah ada wujudnya di saat akad dilaksanakan

Objek akad harus sudah ada pada saat akad diadakan. Barang yang belum tersedia tidak dapat menjadi objek akad menurut pendapat mayoritas ahli fikih, karena hukum dan akibat akad mustahil bergantung pada sesuatu yang belum ada. Walaupun terdapat pengecualian dari ketentuan umum ini, seperti akad salam )memesan barang dengan terlebih dahulu melakukan pembayaran sebagian harga atau seluruhnya(, ijârah )sewa-menyewa(, atau pun dalam bentuk bagi hasil )mud 0ârabah(, yang mana objek akad cukup diperkirakan akan ada pada masa mendatang.

2( Dibenarkan oleh ketentuan syarî‘ah/nas 0

Para ahli hukum Islam )fuqahâ( sepakat bahwa sesuatu yang tidak dapat menerima hukum akad tidak dapat dijadikan sebagai objek akad. Sebagai contoh dalam akad jual beli, barang yang diperjualbelikan harus berupa benda yang memiliki nliai bagi para pihak yang melaksanakan akad jual beli. Minuman keras bukanlah benda bernilai bagi umat muslim, maka dari itu ia tidak memenuhi syarat sebagai objek akad jual beli antara para pihak yang di antaranya atau salah satunya beragama Islam.

3( Bisa ditentukan dan diketahui

Objek akad harus bisa ditentukan dan diketahui oleh masing- masing pihak yang mengadakan akad. Objek akad yang tidak jelas akan mudah memunculkan sengketa pada masa yang akan datang oleh karenanya tidak memenuhi syarat sebagai objek akad. Supaya dapat menentukan apakah syarat kejelasan suatu objek akad itu telah tercapai atau belum, maka adat kebiasaan )‘urf( memiliki peran yang penting.

(29)

4( Dapat diserahkan pada saat terjadinya akad

Objek akad harus dapat diserahkan pada saat terjadinya akad, namun hal itu tidak berarti harus dapat diserahkan pada waktu itu juga.

Yang dimaksud adalah pada saat yang telah ditentukan dalam akad, objek akad dapat diserahkan karena memang benar-benar secara sah menjadi milik pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, ikan di dalam laut, burung di udara, dan binatang liar di hutan, tidak memenuhi syarat sebagai objek akad.

c. al-Muta‘âqidain )Subjek Akad/Para Pihak(

Ijab dan kabul yang telah dibahas sebelum ini, mustahil terbentuk tanpa adanya pihak-pihak yang mengadakan akad. Oleh karena itu, pihak- pihak yang melakukan perjanjian menjadi faktor utama pembentukan suatu akad atau perjanjian. Akan tetapi, tidak semua orang dapat dipandang cakap untuk mengadakan akad, ada yang sama sekali dipandang tidak cakap, ada yang dipandang cakap mengenai sebagian tindakan dan tidak cakap pada sebagian lainnya, dan ada pula yang dipandang cakap melakukan segala jenis tindakan.

Berkaitan dengan kecakapan orang dalam melakukan akad ini, para ahli hukum Islam )fuqahâ) membaginya dalam 2 )dua( pokok bahasan.

Pertama, ahliyah al-adâ’, yaitu: ada orang yang secara langsung layak melakukan berbagai macam akad. Di mana seseorang itu layak mendapat ketetapan untuk memperoleh hak dan kewajiban serta tindakan-tindakan sesuai dengan akad yang dibuatnya sesuai dengan ketentuan syara‘. Di samping juga terbebas dari kemungkinan terhalangnya kelayakan tersebut )‘awârid 0ul ahliyah(. Sedangkan kedua, wilâyah atau perwalian. Kata wilâyah ini memiliki arti adanya kewenangan atau kekuasaan yang diserahkan oleh syara‘ atau undang-undang kepada seseorang untuk melakukan tindakan suatu akad, yang memiliki akibat-akibat hukum.

(30)

Kewenangan perwalian tersebut terdapat dalam beberapa bentuk, ada yang disebut niyâbah al-as 0liyyah, yaitu orang yang memiliki kecakapan sempurna dan melakukan tindakan hukum untuk kepentingan dirinya sendiri. Selanjutnya ada pula yang disebut dengan niyâbah al-syar‘iyyah atau wilâyah al-niyâbah, yakni kewenangan atau kekuasaan yang diserahkan kepada seseorang yang memiliki kecakapan sempurna untuk melakukan tindakan hukum atas nama orang lain. Bentuk kedua ini, baik karena ikhtiyâriyyah )memilih untuk menentukan sendiri( atau berdasarkan ijbâriyyah )keputusan tetap hakim untuk menunjuk seseorang melakukan perwalian terhadap pihak-pihak yang mengharuskan adanya perwalian, atau pihak lain sebagai wakil atas namanya berdasar ketetapan/keputusan hakim(.

Supaya perwalian bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka wali harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:

1( Memiliki kecakapan untuk menjalankan tugas dengan sempurna;

2( Persamaan pandangan )agama( antara wali dan yang diwakili;

3( al-‘Adâlah dalam pengertian memiliki keteguhan dalam menjalankan agama;

4( Amânah, dapat dipercaya

5( Menjaga kepentingan orang yang berada dalam perwaliannya.

d. Maud 0û‘ al-‘Aqd )Tujuan Akad(

Tujuan akad termasuk salah satu unsur penting dari syarat akad. Yang dimaksud dengan maud 0û‘ al-‘aqd ialah al-maqs 0ûd al-as 0liy syara‘a al-‘aqdu min ajlih )tujuan utama mengapa ditentukan adanya akad(.

Menurut hukum positif, yang menentukan tujuan ini adalah undang- undang itu sendiri. Sedangkan dalam syariah Islam, yang menentukan tujuan akad ialah Yang Memberikan Syariat )al-Ṣyâri‘( yaitu Allah swt.

Jadi, Allah-lah yang menentukan tujuan dari setiap akad yang dibuat.

(31)

Tujuan akad ialah 1 )satu( walaupun bermacam-macam jenis dan bentuknya sesuai dengan beraneka macam jenis dan bentuk akad. Sebagai contoh, dalam jual beli tujuannya ialah memindahkan hak milik dari suatu barang dengan bayaran tertentu. Dalam sewaan, tujuannya ialah memberi manfaat/faedah dari barang yang disewakan. Dalam perkawinan tujuannya ialah menghalalkan ber-tamattu’ )berhubungan suami-istri(.

Tujuan akad menurut ulama fikih, hanya diketahui melalui syara‘ dan harus sejalan dengan kehendak syara‘. Atas dasar ini, seluruh akad yang memiliki tujuan atau akibat hukum yang tidak sejalan dengan syara‘, maka hukumnya tidak sah, seperti berbagai akad yang diadakan dalam rangka menghlalalkan riba, seperti bai‘ al-‘inah )salah satu bentuk akad semu yang dijadikan untuk menghalalkan riba(, menjual sesuatu yang diharamkan syara‘ seperti khamar )bai‘ al-‘inab li‘as 0îr al-khamri(, atau zawâj al- muhallil )perkawinan muhallil(, dan sebagainya.

Tujuan akad menempati posisi penting dalam menentukan sah atau tidaknya suatu akad. Tujuan ini berkaitan dengan intensi atau niat seseorang berakad. Supaya tujuan akad ini dianggap sah, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1( Tujuan akad harus baru ada pada waktu akad diadakan, bukan merupakan kewajiban yang seharusnya menjadi kewajibannya;

2( Tujuan akad harus berlangsung adanya selama pelaksanaan akad;

3( Tujuan akad harus sesuai syara‘.

4. Pengertian Multiakad

Transaksi Multiakad ialah transaksi yang mana di dalam transaksi itu terdapat lebih dari satu akad, baik secara timbal balik )mutaqâbil( ataupun hanya sekadar penggabungan dua atau lebih akad dalam satu transaksi )mujtami‘(. Kata multi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia )KBBI( memiliki arti banyak, lebih

(32)

dari satu, lebih dari dua, juga berarti berlipat ganda. Sedangkan kata akad berarti janji, perjanjian, dan kontrak. Transaksi seperti ini dalam istilah konvensional biasa disebut dengan istilah hybrid contract.

Menurut Nazih Hammad, multiakad memiliki definisi sebagai berikut:

ِةَبِهْلا َو ِةَرا َجِْلْإا َو ِعْيَبْلاَك – ُرَثْكَأَف ِنْيَدْقَع ىَلَع ُلِمَت ْشَت )ٍةَقْف َص( ٍةَلَماَعُم ِماَرْبِإ ىَلَع ِناَفْر َّطلا َقَفَتَي ْنَأ

َكْلِت ِتاَب ِجْوُم ُرِبَتْعُت ُثْي َحِب – خلا ... ِةَبَرا َضُمْلا َو ِةَكْرِّشلا َو ِف ْر َّصلا َو ِةَعَراَزُمْلا َو ِضْرَقْلا َو ِةَلاَكَوْلا َو

َو ةنزجّتلا َلَا َو َقْي ِرْفَّتلا ُلَبْقَت َلَا ًةَد ِحاَو ًةَلْم ُج اَهْيَل َع ِةَبِّت َرَتُمْلا ِتاَما َزِتْلِْلْإاَو ِقْوُق ُحْلا ِعْيِم َجَو ِةَعِمَت ْجُمْلا ِدْوُقُعْلا

ِد ِحاَوْلا ِدْقَعْلا ِراَثآ ِةَباَثَمِب ،َلا َصِفْنِْلْإا

“Dua pihak bersepakat untuk melaksanakan akad yang mengandung dua akad atau lebih, seperti jual beli dengan sewa-menyewa, hibah, wakâlah, qard ³, muzâra‘ah, s ³araf, syirkah, mud ³ârabah, dsb., sehingga semua akibat hukum dari akad-akad yang terhimpun tersebut beserta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah- pisahkan, semisal akibat hukum dari akad yang satu.”

Sedangkan definisi multiakad menurut Al-Imrani adalah sebagai berikut:

ُثْي َحِب – ِلُباَقَّتلا ِوَأ ِعْمَجْلا ِلْيِبَس ىَلَع – ُدْقَعْلا اَهْيَلَع ُلِمَت ْشَي يِتَّلا ِةَدِّدَعَتُمْلا ِةَّيِلاَمْلا ِدْوُقُعْلا ُةَعْوُم ْجَم

ِد ِحاَوْلا ِدْقَعْلا ِراَثآ ِةَباَثَمِب اَهْيَل َع ُةَبِّتَرَتُمْلا ِتاَماَزِتْلِْلْإا َو ِقْوُق ُحْلا ُعْيِم َج ُرَبَتْعُت

“Kumpulan dari sejumlah akad maliyah yang beragam yang ada dalam sebuah transaksi baik secara digabung (al-jam‘) maupun secara timbal balik (al-taqâbul) di mana seluru hak dan kewajiban yang menjadi akibat dari transaksi itu dianggap seperti dari akad yang satu.”

5. Macam-Macam Multiakad

Ada beberapa jenis multiakad menurut Al-Imrani, antara lain adalah sebagai berikut:

a. al-‘Uqûd al-Mutaqâbilah

al-‘Uqûd al-Mutaqâbilah atau multi bergantung merupakan multiakad yang berbentuk akad kedua menjawab akad pertama, di mana

(33)

kesempurnaan akad pertama bergantung pada sempurnanya akad kedua melalui proses timbal-balik. Dengan kata lain, akad satu bergantung kepada akad lainnya.

Model al-‘Uqûd al-Mutaqâbilah telah dikenal lama dan praktiknya sudah banyak. al-‘Uqûd al-Mutaqâbilah, misalnya, antara akad mu‘âwad 0ah dengan akad tabarru’, atau antara akad mu‘âwad 0ah dengan akad mu‘âwad 0ah. al-‘Uqûd al-Mutaqâbilah selain diketahui sebagai akad bergantung, juga dikenal dengan akad bersyarat )isytirât 0 ‘aqd bi ‘aqd(.9 b. al-‘Uqûd al-Mujtami‘ah

Kata al-ijtima‘ secara bahasa memiliki arti terhimpun atau terkumpul, antonim dari terpisah. Sesuatu yang terhimpun dari beberapa bagian walau tidak menjadi 1 )satu( bagian adalah arti dari kata ijtima‘. Dengan demikian, al-‘Uqûd al-Mujtami‘ah berarti terkumpulnya 2 )dua( akad atau lebih dalam 1 )satu( akad atau dapat juga berarti 2 )dua( akad atau lebih yang terhimpun dalam suatu produk.

Sekilas terdapat persamaan antara istilah murakkab dan mujtami‘ah, yaitu adanya unsur terhimpunnya beberapa akad dalam 1 )satu( akad.

Perbedaannya adalah pada murakkab beberapa akad itu terlebur menjadi 1 )satu( akad )transaksi( yang memiliki implikasi dan 1 )satu( akibat hukum.

Sedangkan pada mujtami’ah, belum tentu terjadi peleburan akad.

c. al-‘Uqûd al-Mutanâqid 0ah

Istilah al-Mutanâqid 0ah, al-Mutad 0âdah, dan al-Mutanâfiyah, ketiganya memiliki kemiripan, yaitu mengandung maksud adanya perbedaan. Dan sekaligus ketiga istilah ini mengandung implikasi yang berbeda-beda. Mutanâqid 0ah memiliki definisi yaitu berlawanan, seperti pada contoh seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang

9 Hasanuddin Rahman Daengnaja, Ḥow to Design Ṣharia Contract, )Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2016(, h., 47.

(34)

kontradiktif dengan yang pertama. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar, kemudian berkata lagi sesuatu itu salah. Perkataan orang tersebut disebut mutanâqid 0ah, saling berlawanan. Dikatakan mutanâqid 0ah karena antara satu dan yang lainnya tidak saling mendukung, tetapi saling mematahkan. Ada juga yang mengatakan bahwa hybrid contracts macam ini adalah yang akad-akad itu tidak tercampur dan tidak melahirkan nama akad baru, tetapi nama akad dasarnya tetap eksis serta diimplementasikan dalam suatu transaksi. Contohnya, kafâlah wa al-ijârah; wa‘ad untuk wakâlah, murâbah 0ah, ijârah, musyârakah pada pembiayaan rekening koran; murâbah 0ah wa al-wakâlah; wakâlah bi al-ujrah; kafâlah wa al- ijârah; mud 0ârabah wa al-murâbah 0ah; h 0iwâlah bi al-ujrah; rah 0n wa al- ijârah; qard 0, rah 0n, dan ijârah pada produk gadai emas di bank syariah.

d. al-‘Uqûd al-Mukhtalifah

Yang dimaksud dengan multiakad yang mukhtalifah ialah terhimpunnya dua akad atau lebih yang berbeda semua akibat hukum di antara akad-akad tersebut atau sebagiannya. Seperti perbedaan akibat hukum dalam akad jual beli dan sewa, dalam akad sewa diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan dalam jual beli sebaliknya. Contoh lain, akad ijârah dan salam. Dalam salam, harga salam harus diserahkan sewaktu akad )fî al-majlis(, sedangkan dalam ijârah, harga sewa tidak harus diserahkan pada saat akad.

Perbedaan antara multiakad yang mukhtalifah dengan yang mutanâqid 0ah, mutad 0âdah, dan mutanâfiyah terletak pada keberadaan akad masing-masing. Meskipun kata mukhtalifah lebih umum dan dapat meliputi ketiga jenis yang lainnya, akan tetapi pada mukhtalifah walaupun berbeda tetap dapat ditemukan menurut syariat. Sedangkan untuk kategori berbeda yang ketiga mengandung adanya saling meniadakan di antara akad-akad yang menyusunnya. Dari perbedaan tersebut dapat dipahami bahwa

(35)

multiakad yang mutanâqid 0ah, mutad 0âdah, dan mutanâfiyah adalah akad- akad yang tidak boleh dihimpun menjadi satu akad. Meski demikian pandangan ulama terhadap tiga bentuk multiakad tersebut terjadi silang pendapat.

e. al-‘Uqûd al-Mutajânisah

al-‘Uqûd al-Mutajânisah adalah akad-akad yang mungkin ditumpuk dalam 1 )satu( akad, dengan tidak memengaruhi di dalam hukum dan akibat hukumnya. Multiakad jenis ini dapat terdiri atas 1 )satu( jenis akad, seperti akad jual beli dan akad jual beli, dapat pula terdiri dari beberapa jenis akad yang sama atau berbeda, seperti akad jual beli dan sewa-menyewa.

6. Hukum Multiakad

Ada beberapa pendapat ulama tentang bagaimana hukum multiakad, ada yang mengharamkannya ada pula yang membolehkannya. Berikut adalah penjelasannya:

a. Pendapat yang mengharamkan multiakad

Pendapat yang mengharamkan multiakad yaitu pendapat ulama mazhab Hanafi, pendapat ulama mazhab Maliki, pendapat ulama mazhab Syafi’i, dan pendapat ulama mazhab Hambali. Hasanudin menyebutkan bahwa pendapat para ulama mengharamkan multiakad adalah dengan dasar berikut:

1( Multiakad dilarang karena nas 0 Agama. Adapun nas 0 yang melarang multi akad:

a( Hadis Hakim bin Hizam

َو ِهْيَل َع ِللها ىَّل َص ِللها ُل ْو ُس َر َلاَق : َلاَق ِهِّد َج ْن َع ،ِهْيِبَأ ْن َع ، ٍبْيَع ُش ُنْب ُرْم َع ْن َع َو

َسْيَل اَم َعْيَب َلَا َو ، ْنَم ْضُي ْمَل اَم َحْب ِر َلَا َو ،ٍعْيَب ىِف ِنا َط ْر َش َلَاَو ،ٌعْيَب َو ٌفَل َس ُّل ِحَي َلَا :َمَّل َس مكاحلا و ةميزخ نبا و يذمرّتلا هح ّحص و ،ةسمخلا هاور . َكَدْن ِع

(36)

“Dari ‘Amr bin Ṣyu’aib dari ayahnya dari kakeknya ra., dia berkata ”Nabi saw bersabda, “Tidak halal mengutangkan sekaligus menjual, tidak halal adanya dua syarat dalam satu transaksi jual beli, dan tidak halal mengambil keuntungan dari barang yang tidak dapat dijamin, juga tidak halal menjual sesuatu yang bukan milikmu.” )HR. al-Khamsah, hadis ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim(.10

Hadis ini berisi empat bentuk transaksi jual beli yang dilarang:11

)1( Mengutangkan sekaligus menjual, konkritnya adalah seperti orang yang hendak membeli suatu barang dengan harga yang lebih mahal dari harga yang semestinya. Hal ini dikarenakan pembayarannya ditangguhkan sampai waktu yang disepakati.

Sementara dia memahami bahwa transaksi itu tidak boleh dilakukan, maka dia pun mengakalinya dengan cara meminjam uang sejumlah harga barang tersebut, lalu uang tersebut digunakan untuk membeli barang itu secara kontan.

)2( Adanya dua syarat dalam satu transaksi jual beli. Ulama berbeda pandangan dalam mentafsirkan maksud dari hal itu.

Ada yang mengatakannya, ini adalah transaksi jual beli di mana si penjual mengatakan kepada si pembeli, “Saya jual barang ini kepada Anda dengan harga sekian jika tunai dan dengan harga sekian jika tempo )dibayar kemudian(.” Ada yang mengatakan, ini adalah manakala si penjual menjual barangnya lalu mensyaratkan kepada pembeli agar tidak menjual barang tersebut dan tidak menghibahkannya. Ada juga yang

10 Muhammad bin Isa bin Sauroh At-Tirmidzi, Ṣunan at-Tirmidzi, III, )Mesir: Ṣyirkah Maktabah Wa Mat 0ba‘ah Mus 0t 0afa Albâbi Al-Ḥ0alabi, 1975(, h., 525.

11 Muhammad bin Ismail, Ṣubul al-Ṣalâm, II, )Beirut: Dâr al-Ḥadîts, t.th.(, h., 21.

(37)

mengatakan, ini adalah transaksi jual beli di mana si penjual mengatakan “Saya jual barang saya dengan harga sekian dengan syarat Anda harus menjual barang Anda yang itu kepada saya dengan harga sekian.”

)3( Sabda beliau saw., yang artinya “Tidak halal mengambil keuntungan dari barang yang tidak dapat dijamin.” Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah sesuatu )barang( yang belum dimiliki si penjual. Seperti barang ghas 0ab )barang orang yang diambil secara paksa( ia adalah bukan milik orang yang mengambilnya secara paksa itu dan bila dia menjualnya lalu mendapatkan keuntungan darinya, maka keuntungan tersebut tidak halal. Ada juga yang mengatakan bahwa maksudnya adalah selama barang yang mau dijualnya itu belum ada ditangannya. Hal ini karena barang yang belum diterima bukan merupakan tanggung jawab pembeli, sehingga jika barang tersebut rusak atau hilang, maka resiko ditanggung si penjual.

)4( Sabda beliau saw, yang artinya “Tidak halal menjual sesuatu yang bukan milik kamu”, ditafsirkan oleh hadis Hakim bin Hizam yang diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa’i bahwa Hakim bin Hizam berkata “Saya berkata, “Wahai Rasulullah ada seseorang mendatangi saya untuk membeli sesuatu yang tidak saya miliki, lalu saya pun membelinya di pasar, beliau bersabda, “Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak kamu miliki.” Hadis ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual sesuatu sebelum memilikinya secara utuh. Dari hadis tersebut, dapat dipahami bahwa Nabi melarang 3 )tiga( bentuk multiakad, yaitu multiakad dalam jual beli dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad, dan dua transaksi dalam satu

(38)

transaksi. Sebab pelarangan pada bentuk multiakad tersebut, dikarenakan dapat mengarah pada adanya spekulasi dan riba.

Ibnu Qayyim sebagaimana dikutip oleh Hasanudin, menyebutkan bahwa Nabi melarang multiakad antara salaf )memberi pinjaman atau qard 0( dan jual beli, walaupun kedua akad itu jika berlaku sendiri-sendiri maka hukumnya boleh.

Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk menghindari riba yang diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan )qard 0( seribu, lalu menjual barang yang bernilai delapan ratus dengan harga seribu. Dia seolah memberi seribu dan barang seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua ribu. Di sini ia mendapatkan kelebihan dua ratus.12

b( Hadis yang menjelaskan larangan dua akad jual beli dalam satu jual beli

دمحأ هاور ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب ْن َع :َمَّل َس َو ِهْيَل َع ِللها ىَّل َص ِللها ُلْو ُسَر ىَهَن :َلاَق ُهْن َع َو

ْوَأ ُهَلَف ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب َعاَب ْنَم :دواد ىبلْأ و ،نابح نبا و يذمرّتلا هح ّحصو ،ىئاسّنلا و اَب ِّرلا ِوَأ ،اَمُه ُسَك

“Dan darinya (yakni Abu Ḥurairah ra.), dia berkata: Nabi saw. telah melarang adanya dua jual beli dalam satu jual beli.

diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa’i. Ḥadis ini shahih menurut At-Tirmidzi dan Ibnu Ḥibban. Menurut riwayat Abu Dawud (yakni hadis dari Abu Ḥurairah), barang siapa melakukan dua jual beli dalam satu transaksi, maka baginya harga yang termurah atau riba.”13

12 Hasanudin, Multi Akad dalam Transaksi Ṣyariah Kontemporer pada Lembaga Keuangan Ṣyariah di Indonesia, )Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah, 2009(, h., 19.

13 Muhammad bin Ismail, Ṣubul al-Ṣalâm, II, )Beirut: Dâr al-Ḥadîts, t.th.(, h., 20.

(39)

Imam Syafi’i mengatakan bahwa hadis tersebut mempunyai dua penafsiran:14

)1( Yakni seperti contoh, dengan mengatakan “Saya menjual barang ini kepadamu dengan harga Rp 2000,- bila secara utang, dan dengan harga Rp 1000,- bila secara kontan. Mana saja yang Anda suka, silakan ambil.” Transaksi seperti ini rusak karena tidak jelas dan bersyarat.

)2( Dengan mengatakan “Saya jual budak saya kepada Anda dengan syarat Anda harus menjual kuda Anda kepada saya.”

Alasan dilarangnya transaksi pada kasus pertama adalah tidak adanya ketetapan harga dan adanya unsur riba. Ini menurut pendapat yang melarang, menjual sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang berlaku pada hari transaksi dilakukan hanya karena pembayaran dilakukan kemudian hari )kredit(. Dan pada kasus kedua karena faktor yang dikaitkan transaksi dengan syarat mendatang yang mungkin terjadi atau mungkin tidak, sehingga kepemilikannya jadi tidak pasti.

Sabda beliau, yang artinya “Maka baginya harga yang murah atau riba.” Maksudnya, apabila dia melakukan hal tersebut berarti dia telah melakukan satu dari dua perkara, berupa pengambilan harga yang termurah atau riba yang menjadi penguat penafsiran pendapat pertama.

2( Multiakad sebagai h 0îlah riba

Multiakad yang menjadi h 0îlah riba dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli ‘inah atau sebaliknya dan h 0îlah riba fad 0l. Contoh h 0îlah riba pada kesepakatan jual beli ‘inah adalah menjual suatu barang dengan harga seratus secara angsur dengan syarat pembeli

14 Ibid.

(40)

harus menjualnya kembali kepada penjual dengan harga delapan puluh secara kontan. Pada transaksi ini dapat diketahui seolah ada dua akad jual beli, padahal merupakan h 0îlah riba dalam pinjaman. Contoh h 0îlah riba dalam riba fad 0l adalah seseorang menjual 2 kg beras dengan harga Rp 10.000,- dengan syarat bahwa ia dengan harga yang sama mendapatkan beras yang lebih banyak atau lebih sedikit dari pembeli.

3( Multiakad menyebabkan jatuh ke riba

Setiap multiakad yang membuka jalan pada yang haram, seperti riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Penghimpunan beberapa akad yang hukumnya asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang mengakibatkan hukumnya menjadi terlarang.

4( Multiakad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan

Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multiakad antara akad-akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan atau akibat hukumnya saling berlawanan atau bertolak belakang. Larangan ini didasarkan pada larangan Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini mengandung hukum yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan yang identik dengan untung-rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial yang identik dengan tolong-menolong atau kegiatan tanpa pamrih. Karena itu, ulama Malikiyah melarang multiakad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara jual beli dengan ju‘âlah, s 0arf, musâqah, syirkah, qirâd 0, atau nikah.15

5( Hadits-hadits lain:

a( Hadis larangan melakukan dua jual beli dalam satu jual beli

15 Abdullah bin Muhammad Al-Imrani, al-‘Uqûd Mâliyyah al-Murakkabah, )Riyadh: Dâr Kunûz Isybiliyya, 2010(, h., 181-182.

(41)

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan sanadnya dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda:

ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب ْعَبْت َلَا َو ُهْعَبْتاَف ٍئِلَم ىَل َع َتْل ِحُأ اَذِإ َو ٌمْل ُظ ِّيِنَغْلا ُل ْطَم Mengulur waktu pembayaran utang padahal ia mampu adalah sebuah bentuk kezaliman, dan jika utangmu dialihkan kepada orang lain maka ikutilah, dan janganlah melakukan dua jual beli dalam satu jual beli.16

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan sanadnya dari Abu Hurairah bahwa ia berkata:

ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب ْن َع َمَّل َس َو ِهْيَل َع ِللها ىَّل َص ِللها ُلْو ُسَر ىَهَن Rasulullah saw. melarang dua jual beli dalam satu jual beli.17

Abu Dawud juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda:

اَب ِّرلا ِوَأ اَمُه ُسَكْوَأ ُهَلَف ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب َعاَب ْنَم Ṣiapa yang melakukan dua akad jual beli dalam satu akad maka hendaklah ia mengambil yang paling kecil dari keduanya atau (ia akan mendapatkan) riba.18

Hadis serupa juga diriwayatkan oleh Imam Nasa’i19, Imam Malik dalam Muwattha’ tanpa sanad20, dan juga Imam Ahmad.

b( Hadis larangan melakukan dua akad dalam satu akad

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari ‘Abdullah bin Mas’ud bahwa ia berkata:

16 Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Ṣunan al-Tirmidzi, )Kairo: Makniz, t.th.(, h., 407.

17 Ibid., h., 384.

18 Abu Dawud As-Sijistani, Ṣunan Abî Dâwud, )Kairo: Makniz, t.th.(, h., 682.

19 Ahmad bin Syu’aib An-Nasa’i, Ṣunan al-Nasâ’i, )Kairo: Makniz, t.th.(, h., 896.

20 Malik bin Anas, Muwat 0t 0a al-Imâm Mâlik, jil. 2, )Beirut: Dâr Ih 0yâ al-Turâts al-‘Arabi, 1985(, h., 663.

(42)

ٍةَد ِحاَو ٍةَقْف َص ىِف ِنْيَتَقْف َص ْن َع َمَّل َس َو ِهْيَل َع ِللها ىَّل َص ِللها ُلْو ٌسَر ىَهَن Rasulullah saw. melarang dua akad di dalam satu akad.21

c( Hadis larangan menyatukan akad bai’ dan salaf

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash bahwa ia berkata:

َو ٍفَل َس َو ٍعْيَب ْن َع َو ٍةَعْيَب ىِف ِنْيَتَعْيَب ْن َع َمَّل َس َو ِهْيَل َع ُللها ىَّل َص ِللها ُلْو ُسَر ىَهَن

َكَدْن ِع َسْيَل اَم ٍعْيَب ْنَع َو ْنَم ْضُي ْمَل اَم ِحِبِر ْنَع Rasulullah saw. melarang dua jual beli dalam satu jual beli, juga melarang keuntungan dari sesuatu yang tidak terjamin, dan melarang menjual barang yang bukan milikmu.22

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa multiakad diharamkan karena sebab-sebab berikut:

1( Adanya hadis yang menyebutkan pelarangan multiakad.

2( Adanya kekhawatiran multiakad dijadikan sebagai h 0îlah riba yang menyebabkan jatuh pada riba.

3( Akad-akad yang terhimpun dalam multiakad memiliki akibat hukum yang bertolak belakang atau berlawanan.

b. Pendapat yang membolehkan multiakad

Ulama yang memiliki pendapat bahwa multiakad dibolehkan yaitu Imam Asy-Syahab dari mazhab Maliki, Imam Ibnu Taimiyah dari mazhab Hambali. Dasar pembolehan multiakad yaitu:

1( Q.s. al-Mâ’idah ayat 1

خلا ....ِد ْوُقُعْلاِب اْوُفْوَأ اْوُنَمآ َنْيذَّلا اَهَّيَأَي

21 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ah 0mad, jil. 6, )Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, t.th.(, h., 324.

22 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ah 0mad, jil. 11, )Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, t.th.(, h., 203.

(43)

“Ḥai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu….”23 Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan agar orang-orang yang beriman memenuhi akad yang ada di antara mereka.

Artinya, secara prinsip semua akad diperbolehkan oleh Allah dan orang mukmin wajib memenuhi akad itu.

2( Q.s. al-Nisâ’ ayat 29

ْمُكْنِم ٍضا َرَت ْن َع ًةَرا َجِت َنْوُكَت ْنَأ َّلَاِإ ِل ِطاَبْلاِب ْمُكَنْيَب ْمُكَلاَوْمَأ اْوُلُكْأَت َلَا اْوُنَمآ َنْيِذَّلا اَهُّيَأَي

“Ḥai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu...”24

Dari ayat ini, dapat diketahui bahwa dalam perdagangan disyaratkan adanya rasa saling rela. Hal ini menjadi dasar kehalalan memperoleh sesuatu. Atas dasar inilah hukum asal dari akad adalah boleh.

3( Q.s. al-Bâqarah ayat 275

...اَب ِّرلا َم َّر َح َو َعْيَبْلا ُللها َّل َحَأَو....

“…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”25

Pada ayat ini disebutkan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Berdasarkan ayat ini juga, dapat diketahui bahwa segala macam jual beli itu diperbolehkan selama belum ada dalil yang mengharamkannya.

4( Kaidah fikih:

اَهِمْي ِر ْحَت ىَل َع ٌلْيِلَد َّل ُضَي ْنَأ َّلَاِإ ُة َحاَبِْلْإا ِت َلَاَماَعُمْلا يِف ُل ْصَْلْأا

23 Tim Penyusun, Alquran dan Terjemahannya, )Jakarta: Kementerian Agama RI, 2000(, h., 142.

24 Ibid., h., 108.

25 Ibid., h., 59.

(44)

“Ḥukum asal muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”26

Berdasarkan kaidah di atas, diketahui bahwa penggabungan dua akad atau lebih dibolehkan karena tidak ada dalil yang melarangnya.

Adapun dalil yang melarang multiakad, tidak dipahami sebagai larangan mutlak, melainkan karena larangan yang disertai unsur keharaman seperti gharar, riba, dan maisir. As-Syatibi menyebutkan bahwa hukum asal dari ibadah adalah melaksanakan )ta‘abbud( apa yang diperintahkan dan tidak ada penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya )iltifât ilâ ma‘âni(. Pada masalah ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sedangkan pada ruang lingkup muamalat terbuka peluang untuk melakukan perubahan dan penemuan baru, karena prinsip dasarnya ialah diperbolehkan bukan soal melaksanakan ibadah.27

Sebagian kalangan Malikiyah dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa multiakad merupakan jalan keluar dan kemudahan yang dibolehkan dan disyariatkan selama mengandung manfaat dan agama tidak melarangnya. Karena hukum asalnya adalah sahnya syarat untuk semua akad selama tidak bertentangan dengan agama dan bermanfaat bagi manusia.28

Nazih Hammad berpandangan bahwa hukum asal dari syara‘

ialah dibolehkannya melakukan transaksi multiakad, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang

26 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Ḥukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah. )Jakarta: Kencana, 2007(, Cet. II, h., 130.

27 Wahbah Az-Zuhaili, Us 0ûl al-Fiqh al-Islâmiy, )Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.(, h., 871.

28 Ibnu Taimiyah, al-‘Aqd, )Mesir: al-Ṣunnah al-Muh 0ammadiyyah, 1968(, h., 227.

Gambar

Tabel  2.1 Perbedaan Skripsi dengan Penelitian-Penelitian
Gambar 3.1 Sumber: HRD

Referensi

Dokumen terkait

Pihak-pihak ini semata-mata melakukan bare life terhadap pastor dan Gereja Katolik untuk dikecualikan dari hukum dan dijadikan homo sacer ; mereka yang dalam

22 Iman Budhi Santosa, Manusia Jawa Mencari Kebeningan Hati Menuju Tata Hidup Tata Krama Tata Prilaku (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2013), 5.. semesta dan hal-hal yang

Selain itu berdasarkan hasil diskusi peneliti dengan supervisor terungkap beberapa masalah yang terjadi dalam pembelajaran yaitu: (1) rendahnya penguasaan siswa

Hubungan manajemen perubahan dan lingkungan kerja berjalan secara beriringan dalam upaya meningkatkan kinerja pegawai, serta diduga dalam pemberian motivasi kerja

Oleh karena itu, bahan bacaan cerita yang akan disampaikan melalui buku pelajaran bahasa Indonesia sebaiknya cerita yang mengandung nilai-nilai

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2005) mengenai hubungan kemandirian dengan penyesuaian diri pada Siswi Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta yang

intern merupakan proses menguji kredibilitas suatu sumber. Dalam kritik intern ini dilakukan 3 hal. Pertama, mengadakan penilaian intrinsik, yang berkaitan dengan

Meskipun omset yang saat ini dihasilkan telah menutupi biaya operasional dan telah mendapatkan keuntungan, pihak manajemen menargetakn omset bulanan sebesar 50-100