• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Seputar Multi Level Marketing (MLM) dan

1. Pengertian Multi Level Marketing

Secara Etimologi Multi Level Marketing )MLM( berasal dari bahasa Inggris multi berarti banyak sedangkan level berarti jenjang atau tingkat. Adapun marketing berarti pemasaran. Jadi dari kata tersebut dapat disimpulkan bahwa MLM adalah pemasaran yang memiliki banyak jenjang atau tingkat. Disebut sebagai “Multi Level” karena merupakan suatu organisasi distributor yang melakukan penjualan secara berjenjang banyak atau bertingkat-tingkat.32

Definisi marketing sebenarnya mencakup arti menjual dan selain arti menjual, dalam marketing juga banyak aspek yang berkaitan dengannya antara

32 Andreas Harefa, Multi Level Marketing, )Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999(, h., 4.

lain ialah produk, harga, promosi, distribusi dan sebagainya. Jadi marketing memiliki makna lebih dari menjual. Menjual merupakan bagian dari marketing karena menjual terbatas pada kegiatan transaksi penukaran barang dengan uang33

MLM ialah kegiatan menjual atau memasarkan suatu produk secara langsung baik berupa barang maupun jasa konsumen sehingga biaya distribusi dari barang yang dijual atau dipasarkan tersebut sangat minim bahkan sampai pada titik nol, yang artinya bahwa bisnis MLM ini tidak memerlukan biaya distribusi.34 MLM juga menghilangkan biaya promosi dari barang yang hendak dijual karena distribusi dan promosi langsung ditangani oleh distributor dengan sistem berjenjang.

Istilah lain mengatakan bahwa MLM adalah sebuah sistem pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang dibangun secara permanen dengan memposisikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa MLM merupakan pemasaran kelebihannya(, hanya memberikan manfaat finansial kepada kalangan tertentu yang berjumlah terbatas. Yakni pemilik modal dan pengelola usaha, tenaga administrasi, karyawan, sales atau kurir, dan pihak ketiga yang berkemampuan menjadi jasa perantara )minimal mampu membuka kios(, serta pihak keempat yang melaksanakan peran advertising )periklanan(, seperti stasiun televisi, radio,

33 Tarnidzi Yusuf, Ṣtrategi MLM yang Cerdas dan Ḥalal, )Jakarta: PT. Gramedia, 2002(, h., 3.

34 Andreas Harefa, 10 Kiat Ṣukses Distributor MLM, Belajar dari AMWAY, CNI dan Ḥerbalife )Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999(, h., 12.

35 Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat, )Jakarta: Amzah, 2010(, h., 613.

koran, majalah, papan reklame dan sejenisnya. Sementara masyarakat konsumen hanya diposisikan sebagai penerima manfaat produk saja.

Sejarah awal mula adanya MLM tidak bisa dilepaskan dari berdirinya Amway Corporation dan produknya Nutrilite yang berupa suplemen makanan bagi diet agar tetap sehat. Konsep ini dimulai pada tahun 1930 oleh Carl Rehnborg, seorang pengusaha Amerika yang tinggal di Cina pada tahun 1917-1927. Setelah 7 tahun melakukan eksperimen akhirnya dia berhasil menemukan suplemen makanan tersebut dan memberikan hasil temuannya kepada teman-temannya. Ketika teman-temannya ingin agar Rehnborg menjualnya pada mereka, dia berkata “Anda yang menjualnya kepada teman-teman Anda dan Saya akan memberikan komisi pada Anda”.

Inilah praktik awal MLM yang singkat cerita selanjutnya perusahaan Rehnborg ini, yang sudah bisa merekrut 15.000 tenaga penjualan dari rumah kerumah, kemudian dilarang beroperasi oleh pengadilan pada tahun 1951, dengan alasam mereka terlalu melebih-lebihkan dalam menjelaskan peran dari suplemen makanan tersebut. Hal ini kemudian yang membuat Rich DeVos dan Jay Van Andel, distributor utama produk Nutrilite tersebut yang sudah mengorganisasi lebih dari 2000 distributor, mendirikan American Way Association yang akhirnya berganti nama menjadi Amway.36

3. Polemik Halal-Haram Bisnis MLM37

Di Indonesia pernah terjadi perdebatan mengenai hukum MLM di antara kalangan NU dengan kalangan MUI. Pada saat itu bisnis MLM ramai diperbincangkan. Hal itu bermula karena Sidang Komisi Bahtsul Masail

36 Agus Marimin, Abdul Haris Romdhoni, dan Tira Nur Fitria, “Bisnis Multi Level Marketing dalam Pandangan Islam”, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. 02, No. 02, Juli 2016, h., 107-108.

37 https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4464930/cara-bedakan-mlm-halal-dan-haram diakses pada 8 April 2021.

Waqiiyyah di Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama )NU( merekomendasikan bahwa bisnis MLM adalah haram.

Polemik yang berkembang kemudian diklarifikasi oleh PBNU, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia )DSN-MUI(, hingga Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia )APLI(. Mereka berkumpul bersama para pelaku MLM untuk melakukan dialog. PBNU menegaskan bahwa yang dimaksud dalam rekomendasi tersebut adalah bisnis kemitraan dengan skema piramida yang mengandung money game hingga penipuan.

Hal yang sama juga disampaikan oleh DSN-MUI yang bahkan sudah mengeluarkan fatwa terkait MLM syariah yang disebut sebagai pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah )PLBS(. Menurut DSN-MUI, MLM yang menjalankan bisnis money game sudah dipastikan haram. Akan tetapi bukan berarti MLM yang tidak mengandung money game adalah halal. Bisnis tersebut memerlukan proses sertifikasi syariah.

Pihak Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama )LBM-PBNU(, Mahbub Maafi Ramdlan menegasakan, bahwa hasil rekomendasi Munas Alim Ulama NU pada waktu itu sebenarnya menegaskan pada bisnis skema ponzi bukan MLM. Hasil Munas Alim Ulama NU itu sendiri dikeluarkan karena adanya potensi gharar dalam bisnis yang sering disebut dengan skema ponzi. Selain itu motivasi dari jenis bisnis ini adalah bonus yang didapatkan berdasarkan perekrutan bukan berdasarkan penjualan barang. Kemudian ada juga unsur iming-iming yang berlebihan. Hal ini menunjukkan arti bahwa jika MLM tidak mengandung hal-hal tersebut maka tidak termasuk dalam rekomendasi NU tersebut.

Rekomendasi NU itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia )DSN-MUI(

terkait MLM yang disebut sebagai pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah )PLBS(. Terdapat poin-poin yang menjadi persyaratan bagi MLM untuk

mendapatkan sertifikasi syariah. Anggota DSN-MUI Moch. Bukhori Muslim juga menegaskan bahwa sejatinya MLM dapat dikategorikan haram jika mengandung unsur money game di dalamnya. Akan tetapi tidak serta merta MLM yang tidak mengandung money game bisa disebut halal. Untuk bisa mendapatkan label PLBS, MLM harus mendapatkan sertifikasi dari DSN-MUI.

Ada beberapa hal yang akan dipastikan, salah satunya adalah akad.

Ketua APLI Kany V. Soemantoro menegaskan bahwa bisnis MLM di Indonesia sudah diatur dalam Permendag No. 32 Tahun 2008. Di dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa MLM memberikan komisi atau bonus berdasarkan hasil kegiatan penjualan barang atau jasa. Dari sisi itu, menurut Kany sudah menegaskan bahwa MLM yang mengikuti aturan tidak terindikasi money game. Sehingga menurutnya MLM seperti ini tidak termasuk dalam hal yang dimaksudkan rekomendasi PBNU. Hanya saja memang dalam kegiatannya sering kali anggota MLM melebih-lebihkan produk yang dijual. Kany mengakui itu hal yang tidak sesuai aturan. Kany melanjutkan, dalam aturan pemerintah juga ditegaskan bahwa bonus yang diberikan ke anggota tidak lebih 40% dari hasil penjualan barang atau jasa. Hal itu juga menjadi batasan bahwa MLM tidak bisa memberikan iming-iming yang terlalu besar.

4. Penjualan Langsung Berjenjang Syariah

Istilah lain dari MLM adalah Penjualan Langsung Berjenjang )PLB(.

Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 75/DSN MUI/VII/2009, Penjualan Langsung Berjenjang adalah cara penjualan barang atau jasa melalui jaringan pemasaran yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha kepada sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya secara berturut-turut.38 Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bisnis Penjualan Langsung Berjenjang Syariah )PLBS( ialah bisnis penjualan barang atau jasa melalui jaringan

38 Fatwa DSN-MUI No. 75/DSN MUI/VII/2009

pemasaran secara berjenjang oleh orang atau badan usaha yang mengikuti pedoman dari Fatwa DSN-MUI dan tidak bertentangan dengan syariah.

5. Syarat-Syarat PLBS Menurut Fatwa DSN-MUI

Praktik PLBS wajib memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut39: a. Ada obyek transaksi riil yang diperjualbelikan berupa barang atau

produk jasa;

b. Barang atau produk jasa yang diperdagangkan bukan sesuatu yang diharamkan dan atau yang dipergunakan untuk sesuatu yang haram;

c. Transaksi dalam perdagangan tersebut tidak mengandung unsur gharar, maisir, ribâ’, d 0arar, z 0ulm, maksiat;

d. Tidak ada harga/biaya yang berlebihan )excessive mark-up(, sehingga merugikan konsumen karena tidak sepadan dengan kualitas/manfaat yang diperoleh;

e. Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota baik besaran maupun bentuknya harus berdasarkan pada prestasi kerja nyata yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang atau produk jasa, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS;

f. Bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota )mitra usaha(

harus jelas jumlahnya ketika dilakukan transaksi )akad( sesuai dengan target penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan oleh perusahaan;

g. Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara reguler tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau jasa;

39 Ibid.

h. Pemberian komisi atau bonus oleh perusahaan kepada anggota )mitra usaha( tidak menimbulkan ighra’.

i. Tidak ada eksploitasi dan ketidakadilan dalam pembagian bonus antara anggota pertama dengan anggota berikutnya;

j. Sistem perekrutan keanggotaan, bentuk penghargaan dan acara seremonial yang dilakukan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan aqidah, syariah dan akhlak mulia, seperti syirik, kultus, maksiat dan lain-lain;

k. Setiap mitra usaha yang melakukan perekrutan keanggotaan berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan kepada anggota yang direkrutnya tersebut;

l. Tidak melakukan kegiatan money game.

Dokumen terkait