• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGANGKATAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG

C. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam

2. Hukum Pengangkatan Anak

adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang dengan sengaja menasabkan seorang anak kepada dirinya padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas pada orang tua kandungnya. Pengangkatan anak dalam pengertian demikian jelas bertentangan dengan Hukum Islam, maka unsur menasabkan seorang anak kepada orang lain yang bukan nasabnya harus dibatalkan.

Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengakui lembaga pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti yang pernah dipraktikan masyarakat jahiliyah dalam arti terlepasnya dari hukum kekerabatan orang tua kandungnya dan masuknya ke dalam hukum kekerabatan orang tua angkatnya. Hukum Islam hanya mengakui bahkan menganjurkan, pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak, dalam artian status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.

Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar dijadikan anak kandung berdasarkan firman Allah SWT.dalam Surat al-Ahzab ayat 4-5 yang artinya “ Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah

51 Wahbah al-Zuhaili.Al-Fiqh al-Islami wa al-Adillatuhu,Juz.9 (Beirut: Daral-Fikr al-

mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak- bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudara seagamamu”.

Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam melarang praktik pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh hukum Barat dan praktik masyarakat jahiliyah yaitu pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat terputus hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat memiliki hak waris sama dengan hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak angkat.

Hukum Islam telah menggariskan bahwa hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh

Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-lain, dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.

dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab. Akibat yuridis dari pengangkatan anak dalam Islam hanyalah terciptanya hubungan kasih dan sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Karena tidak ada hubungan nasab, maka konsekuensi yuridis lainnya adalah antara orang tua angkat dengan anak angkat harus menjaga mahram, dan karena tidak ada hubungan nasab, maka keduanya dapat melangsungkan perkawinan. Rasulullah Muhammad SAW. diperintahkan untuk mengawini janda Zaid Bin Haritsah anak

angkatnya, hal ini menunjukkan bahwa antara Nabi Muhammad dan Zaid Bin Haritsah tidak ada hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang sebagai orang tua angkat dengan anak angkatnya.52

Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam yang selama ini dilakukan oleh orang-orang Islam di Indonesia hanya dilakukan dengan upacara tradisional atau kebiasaan saja tanpa memerlukan penetapan pengadilan, yang meskipun secara materil dan bersifat sebagian dari hukum Islam tentang pengangkatan anak telah mendapat perlindungan melalui ketentuan Pasal 39 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 pada ayat (1) sampai ayat (4), dinyatakan bahwa, pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya, demikian pula bahwa, calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat tersebut.

Putusan Pengadilan Agama Medan No:36/Pdt.P/2010/PA.Mdn Merujuk pada Undang-undang Nomor 1 angka (9) disebutkan bahwa, anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Dari ketentuan hukum tersebut, maka untuk mendapatkan kepastian hukum pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam diperlukan penetapan Pengadilan yang dalam hal ini tentunya adalah Peradilan Agama sebagai Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf dan shodaqah Berdasarkan hukum Islam.

Berdasarkan ketentuan di dalam Kompilasi Hukum Islam dan ketentuan perundang-undangan maka untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan bagi pengangkatan anak yang dilakukan menurut hukum Islam diperlukan penetapan Pengadilan yang mempunyai kewenangan absolut untuk menegakkan hukum perkawinan dan hukum keluarga berdasarkan hukum Islam, yaitu Pengadilan Agama di Indonesia.

Berdasarkan hukum Islam maka dalam pengangkatan anak berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Pengangkatan anak dibolehkan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak dan dianjurkan terhadap anak yang terlantar.

2. Dalam pengangkatan anak tanggung jawab pemeliharaan anak hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih dari orang tua asal kepada orang tua angkat sebagai mana diatur dalam pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam.

3. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tuanya dan keluarga orangtuanya.

4. Atas dasar ketentuan tersebut pada butir 3 diatas bila ternyata anak angkat tersebut adalah perempuan maka yang menjadi wali nikahnya adalah tetap ayah kandungnya, sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, dan apabila ternyata ia tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat atau berhalangan, sehingga berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987 nikahnya dapat dilakukan dengan wali hakim.

5. Pengangkatan anak tidak menimbulkan hubungan nasab, kewarisan, dan hubungan hukum lainnya dengan orang tua angkat, kecuali hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kemaslahatan dan pendidikan anak tersebut.

6. Terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta anak angkatnya, dan demikian pula terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan dari orang tua angkatnya berdasarkan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.

7. Untuk pengangkatan anak diperlukan persetujuan dari orang tua asal, wali, atau orang/badan yang menguasai anak yang akan diangkat, dengan calon orang tua angkat.

8. Dalam pengangkatan anak harus menghormati hukum yang berlaku bagi si anak.

9. Pengangkatan anak bagi yang beragama Islam hanya dapat dilakukan oleh orang tua yang beragama Islam berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : U-335/MUI/VI/82 tanggal 18 sya’ban 1402 H/10 Juni 1982.

10.Demi kepastian hukum, Pengangkatan anak menurut hukum Islam diperlukan penetapan Pengadilan Agama Sebagaimana dikehendaki oleh pasal 171 hurup (f) Kompilasi Hukum Islam.

Dalam bidang kemasyarakatan atau muamalah pengangkatan anak itu berkembang menurut kepentingan masyarakat, dengan berdasarkan pada Al- Qur’an dan sunah Rasul. Hukum Islam yang dibuat untuk kemaslahatan hidup manusia dan oleh karenanya hukum Islam sudah seharusnya mampu memberikan jalan keluar dan petunjuk terhadap kehidupan manusia baik dalam bentuk sebagai jawaban, terhadap suatu persoalan yang muncul maupun dalam bentuk aturan, yang dibuat untuk menata kehidupan manusia itu sendiri. Hukum Islam dituntut untuk dapat menjawab persoalan yang muncul sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dimasyarakat, oleh karena hukum Islam hidup ditengah- tengah masyarakat. Masyarakat senantiasa mengalami perubahan, maka hukum Islam perlu mempertimbangkan perubahan yang terjadi dimasyarakat tersebut.

Dokumen terkait