• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN

UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

OLEH

HAMIDANSYAH PUTRA 127005011 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

T e s i s

JUDUL TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DITINJAU

DARI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 23

TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

NAMA : Hamidansyah Putra

N I M : 127005011

PROGRAM STUDI : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui :

Komisi Pembimbing

K e t u a

(Prof. Dr. HM. Hasballah Thaib, MA)

(Dr.Hasim Purba, SH.M.Hum) (Dr.Edy Ikhsan, SH. MA

(3)

ABSTRAK

Pengaturan pengangkatan anak yang jelas dan tegas sangat dibutuhkan baik pengaturan dan perlindungannya saat ini telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat. Pembahasan mengenai pengangkatan anak sering dikaitkan dengan hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat di dalam pelaksanaannya masyarakat mempunyai cara pengangkatan anak yang berbeda pada satu daerah dengan daerah yang lain yang membuat pengangkatan anak ini menarik untuk digali.

Penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pengangkatan anak ditinjau dari hukum Islam dan undang-undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak merupakan jenis penelitian deskriptif analitis di suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan, sifat penelitian ini merupakan penelitian yurisis normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sumber data penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum tersier. Penelitian ini dilakukan utuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa Perbedaan yang utama antara Hukum Islam dan hukum nasional mengenai pengangkatan anak dapat dilihat melalui proses pengangkatan anak, dalam hal warisan, dalam hal hubungan darah, serta implikasi hukum orang tua dalam menjadi wali nikah anak angkatnya. Berdasarkan Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Anak yang telah diangkat dapat mengajukan pembatalan pengangkatan dengan alasan-alasan yang tepat seperti ditelantarkan, sering mendapat kekerasan dan penganiayaan, pelecehan seksual, perbudakan terhadap anak, eksploitasi, perdagangan anak dan penyimpangan-penyimpangan lain yang dilakukan oleh orang tua angkat terhadap anak angkat.

(4)

ABSTRACT

Transparent and resolute regulation on adoption is highly needed, both in its regulation and in its protection. Today, the Government Regulation No. 54/2007 on the Implementation of Adoption, Law No. 23/2002 on Child Protection, and the Compilation of the Islamic Law regulate wajibah will for an adopted child. Discussion about adoption is usually related to adat (customary) law, the Islamic law, and western law in which people have different methods in different places in its implementation so that it is interesting to be analyzed.

A research on child protection law about the implementation of adoption, viewed from the Islamic Law and Law No. 23/2002 on Child Protection, is a descriptive analysis which describes, explains, and analyzes laws theoretically and practically from the field. The research used judicial normative approach which was referred to legal norms in the legal provisions. The data consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials in order to find out the legal protection for the implementation of adoption.

The result of the research shows that the basic difference between the Islamic Law and the National Law on adoption can be seen from the process of adoption in inheritance, consanguinity, and the implication of the parent who becomes a wali nikah (male next of kin whose consent in required for the marriage of a girl) for his adopted child. An adopted child can cancel the adoption by strong evidence such as being neglected, abused and molested, sexually abused, treated like a slave, exploited, traded, and other deviations by the adoptive parents.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan

karunia-nya sehingga Tesis ini apat diselesaikan dengan baik dan tepat pada

waktunya.. Adapun judul penelitian ini adalah : “PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK”. Tesis ini ditulis dalam rangka

memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum Pada Program Magister

Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan

dan dorongan baik berupa masukan maupun saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terimakasih yang

mendalam penulis Sampaikan secara khusus kepada yang terhormat para komisi

pembimbing Bapak Prof. Dr. H.Hasballah Thaib, M.A, selaku pembimbing utama

penulis, Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku pembimbing II penulis,

Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, M.A, selaku pembimbing III penulis yang telah dengan

tulus iklas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan

tesis ini.

Kemudian juga, kepada Dosen Penguji yang terhormat Ibu Dr. Idha

Aprilyana, S.H, M.Hum dan Ibu Dr. Yefrizawaty. S.H, M.Hum yang telah

berkenan member masukan dan arahan dalam penulisan tesis ini sejak kolukium,

seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini

menjadi lebih sempurna dan terarah.

Dalam kesempatan ini penulis juga dengan tulus mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H, Sp.A (K),

(6)

kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan Tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan

dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan Tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, atas kesempatan menjadi mahasiswa

Program Magister Ilmu hukum fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

4. Bapak Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Ilmu

Hukum fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik

dan membimbing penulis sampai kepada tinggkat Magister Ilmu Hukum.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu

kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini

penulis juga turut mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda

Bapak Abdul Hamid dan Ibunda Idawati yang telah melahirkan, mengasuh,

mendidik, dan membesarkan penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat

dan menyampaikan permintan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini

terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang

bertujuan membangun dan menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Agustus 2014 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

BAB II : PENGANGKATAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 DAN HUKUM ISLAM A. Tradisi atau Budaya Mengangkat Anak di Indonesia ... 11

B. Pengangkatan Anak Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 12

1. Tata Cara Pengangkatan Anak ... 12

2. Syarat-syarat Pengangkatan Anak ... 13

(8)

C. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam ... 15

1. Pengertian Pengangkatan Anak ... 15

2. Hukum Pengangkatan Anak ... 16

3. Tujuan Pengangkatan Anak Dalam Islam ... 18

4. Syarat Pengangkatan Anak Dalam Islam ... 19

BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGANGKATAN ANAK YANG TIDAK SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Pengertian dan Latar Belakang Pengangkatan Anak yang Tidak Sesuai Dengan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia ... 21

B. Proses Pengangkatan Anak yang Tidak Sesuai Dengan Peraturan Perundang-undangan ... 23

C. Perlindungan Hukum Terhadap Pengangkatan Anak yang Tidak Sesuai Dengan Peraturan Perundang-undangan ... 25

BAB IV : PERMINTAAN PEMBATALAN OLEH ANAK ANGKAT SETELAH DEWASA A. Alasan Permohonan Pembatalan ... 27

B. Proses Permohonan Pembatalan ... 29

C. Akibat Hukum Pembatalan ... 31

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 32

B. Saran ... 34

(9)

ABSTRAK

Pengaturan pengangkatan anak yang jelas dan tegas sangat dibutuhkan baik pengaturan dan perlindungannya saat ini telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat. Pembahasan mengenai pengangkatan anak sering dikaitkan dengan hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat di dalam pelaksanaannya masyarakat mempunyai cara pengangkatan anak yang berbeda pada satu daerah dengan daerah yang lain yang membuat pengangkatan anak ini menarik untuk digali.

Penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pengangkatan anak ditinjau dari hukum Islam dan undang-undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak merupakan jenis penelitian deskriptif analitis di suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan, sifat penelitian ini merupakan penelitian yurisis normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sumber data penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum tersier. Penelitian ini dilakukan utuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa Perbedaan yang utama antara Hukum Islam dan hukum nasional mengenai pengangkatan anak dapat dilihat melalui proses pengangkatan anak, dalam hal warisan, dalam hal hubungan darah, serta implikasi hukum orang tua dalam menjadi wali nikah anak angkatnya. Berdasarkan Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Anak yang telah diangkat dapat mengajukan pembatalan pengangkatan dengan alasan-alasan yang tepat seperti ditelantarkan, sering mendapat kekerasan dan penganiayaan, pelecehan seksual, perbudakan terhadap anak, eksploitasi, perdagangan anak dan penyimpangan-penyimpangan lain yang dilakukan oleh orang tua angkat terhadap anak angkat.

(10)

ABSTRACT

Transparent and resolute regulation on adoption is highly needed, both in its regulation and in its protection. Today, the Government Regulation No. 54/2007 on the Implementation of Adoption, Law No. 23/2002 on Child Protection, and the Compilation of the Islamic Law regulate wajibah will for an adopted child. Discussion about adoption is usually related to adat (customary) law, the Islamic law, and western law in which people have different methods in different places in its implementation so that it is interesting to be analyzed.

A research on child protection law about the implementation of adoption, viewed from the Islamic Law and Law No. 23/2002 on Child Protection, is a descriptive analysis which describes, explains, and analyzes laws theoretically and practically from the field. The research used judicial normative approach which was referred to legal norms in the legal provisions. The data consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials in order to find out the legal protection for the implementation of adoption.

The result of the research shows that the basic difference between the Islamic Law and the National Law on adoption can be seen from the process of adoption in inheritance, consanguinity, and the implication of the parent who becomes a wali nikah (male next of kin whose consent in required for the marriage of a girl) for his adopted child. An adopted child can cancel the adoption by strong evidence such as being neglected, abused and molested, sexually abused, treated like a slave, exploited, traded, and other deviations by the adoptive parents.

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan Pasal 1

disebutkan bahwa ” Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”.1

Anak adalah karunia Allah SWT. Tidak semua mahligai perkawinan

dianugerehi keturunan, generasi penerus, hingga suami istri tutup usia. Allah SWT

mengaruniai anak kepada Nabi Ibrahim yaitu Isma’il dan Ishaq pada usia senja,

yang pertama di usia 99 tahun, yang terakhir 112 tahun.

Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa dari perkawinan diharapkan

akan lahir keturunan (anak) sebagai penerus dalam keluarganya, sehingga orang

tua berkewajiban memelihara serta mendidiknya untuk tumbuh dan berkembang

secara wajar dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.

2

1

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan , Pasal 1

Itu terjadi tatkala usia

senja dan harapan untuk mendapatkan keturunan sampai pada titik putus.

Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alami akan tetapi

kadang-kadang naluri ini terbentur oleh takdir illahi, dimana kehendak

mempunyai anak tidak tercapai. Akan tetapi semua kuasa ada di tangan Tuhan.

Apapun yang mereka usahakan apabila Tuhan tidak menghendaki, maka

2 Hermadut. http://hermadut.blogspot.com/2013/02/ kisah-nabi-ibrahim-as.html. Diakses

(12)

keinginan merekapun tidak akan terpenuhi, hingga jalan terakhir semua usaha

tidak membawa hasil, maka diambil jalan dengan pengangkatan anak.

Kehadiran seorang anak adalah suatu yang sangat diidam-idamkan.

Kebahagiaan dan keharmonisan suatu keluarga ditandai dengan lahirnya seorang

anak, karena salah satu tujuan perkawinan adalah untuk meneruskan keturunan.

Pengangkatan anak disini merupakan alternatif untuk menyelamatkan perkawinan

atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga.

Definisi anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam jika dibandingkan

dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

memiliki kesamaan substansi. Pasal 1 angka 9 dinyatakan bahwa anak angkat

adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua,

wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,

pendidikan dan pembesaran anak tersebut kelingkungan keluarga orang tua

angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.3

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak (Pasal 2) disebutkan bahwa pengangkatan anak bertujuan

untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan Anak dalam keluarga

adalah buah hati belahan jiwa. Untuk anak orang tua bekerja memeras keringat

membanting tulang. Anak merupakan harapan utama bagi sebuah mahligai

perkawinan. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga,

keturunan dan bangsa setelah agama.

(13)

anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan

setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.4

Hadist shahih oleh Muttafaqun Alaih disebutkan “Kullu mauludin yuladu’alal

fitrah”setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci bersih (fitrah).

5

Dalam syariat Islam, anak angkat tidak mendapatkan warisan. Dikarenakan

bahwa pengangkatan anak tidak mengubah nasab seorang anak. Hal ini didasarkan

pada Q.S Al-Ahzab : 4-5

anak

adalah generasi penerus, baik bagi orang tua, bangsa maupun agama baik

buruknya anak, akan menjadi apa mereka kelak tergantung bagaimana orang tua,

bangsa maupun agama mendidik mereka.

ﱠﻖَﺤْﻟﺍ

ُﻝﻮُﻘَﻳ

ُﱠﷲَﻭ

ُﻜِﻫﺍَﻮْﻓَﺄِﺑ ْﻢ

ْﻢُﻜُﻟْﻮَﻗ

ْﻢُﻜِﻟَﺫ

ْﻢُﻛَءﺎَﻨْﺑَﺃ

ْﻢُﻛَءﺎَﻴِﻋْﺩَﺃ

َﻞَﻌَﺟ

ﺎَﻣَﻭ

ِﱠﷲ

َﺪْﻨِﻋ

ُﻂَﺴْﻗَﺃ

َﻮُﻫ

ْﻢِﻬِﺋﺎَﺑَ ِﻵ

ْﻢُﻫﻮُﻋْﺩﺍ

َﻞﻴِﺒﱠﺴﻟﺍ

ﻱِﺪْﻬَﻳ

َﻮُﻫَﻭ

yang artinya :

Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu.

Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja. Dan Allah Mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan. Panggilah mereka dengan nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah.6

4 Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

(Pasal 2)

5

Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, 2006, Yayasan Shalat Khusu’, Jakarta Selatan, hal.313.

(14)

Dalam kitab perundang-undangan Majapahit, yang dikenal dengan nama

kitab Perundang-undangan Agama atau Kutara Manawa, pada Pasal 216 dan Pasal

217, dapat di temui perkataan “anak pungut dari orang lain”7 yang mengindikasikan pada masa itu sudah di kenal lembaga pengangkatan anak. Pada berbagai kebudayaan kuno lembaga pengangkatan anak berpungsi sebagai cara untuk melanjutkan keturunan, dan memang seperti yang dikemukakan oleh Subekti bahwa “pada pengangkatan anak yang asli pertimbangannya adalah untuk mendapatkan anak laki-laki untuk meneruskan keturunan.” 8

Di antara sekian banyak negara di dunia pada umumnya mengenal lembaga pengangkatan anak dalam sistem hukum mereka, bahkan menurut Subekti “lebih banyak yang mengenal lembaga pengangkatan anak dari pada yang tidak mengenalnya”.9 Lembaga pengangkatan anak dikenal dalam Code Civil Prancis, Burgerliches Gezetzbuch Jerman, Hukum Anglo Saxon, Hukum Perdata China, juga Civil Code Jepang.

Mengambil anak untuk dipelihara, dibimbing dan dibiayai pendidikannya dalam hukum Islam itu dibolehkan. Terutama anak-anak yang memang membutuhkan bantuan seperti anak yatim piatu, anak dari keluarga miskin, anak yang tidak diketahui orang tuanya, dan sebagainya.

7

Slamet Mulyana, Perundang-undangan Madjapahit, Bharatara, Jakarta 1967, hal.153;

Slamet Mulyana (1979). Nagara kertagama dan Tafsir Sejatahnya. Bharatara, Jakarta, hal.214

8

R.Subekti, Perbandingan Hukum perdata, (Jakarta: Pramya Paramita, 1997), hal. 19 9

(15)

Berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, syarat formal dalam pengangkatan anak adalah bahwa anak tersebut harus didaftarkan sebagai anak yang diangkat termasuk dalam hal perwalian. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 diatur Tentang Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat, juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah atau belum menikah (single parent adoption). Dijelaskan bahwa konsekuensi hukum dari pengangkatan anak

khususnya hal perwalian dan waris.

(16)

Dilihat dari calon orang tua angkat, adanya peraturan pengangkatan anak yang jelas dan pasti adalah suatu yang menguntungkan dan sangat dibutuhkan. Berbicara tentang pihak pengangkat anak akan berhadapan dengan persoalan seberapa jauh lembaga pengangkatan anak masih diperlukan, Hingga sekarang ketidak punyaan anak masih merupakan dorongan yang utama untuk melakukan pengangkatan anak, meskipun pemikirannya tidak sejauh sampai pada rasa takut musnahnya keturunan (seperti pada pengangkatan anak yang asli), terutama di daerah perkotaan

(Khususnya di kota-kota besar) yang menempatkan keluarga sebagai unit

masyarakat yang terkecil dan bersifat otonom, sehingga perhatiannya berkisar

pada keluarga tersebut.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menempatkan

soal “mendapat keturunan” sebagai salah satu faktor yang penting dalam

perkawinan. Sedemikian pentingnya, sehingga dalam hal ”istri tidak dapat

melahirkan keturunan” dapat menjadi alasan bagi suami untuk beristri lebih dari

seorang (poligami) yang merupakan suatu pengecualian terhadap asas

monogami.10

10 Undang-undang No 1Tahun 1974 (LN.1974 No.1),Pasal 4 ayat (1) sub.c. jo.Pasal 3. Dari uraian di atas dapat dimengerti betapa beban psikis yang

harus ditanggung oleh pasangan-pasangan yang tidak atau belum dapat

memperoleh anak atau keturunan karena berbagai sebab, terutama sebab-sebab

(17)

punyaan anak ini sudah selayaknya diserahkan kepada mereka yang membidangi

atau mendalami bidang tersebut.

Kenyataannya tidak semua anak dapat mendapatkan kasih sayang dan

kebahagiaan dari orang tuanya. Bagi anak-anak yatim piatu maupun anak-anak

terlantar jarang yang bisa mendapat kasih sayang bahkan ada juga yang belum

pernah mendapatkannya, karena sejak kecil orang tua mereka ada yang sudah

meninggal dunia. Mereka tidak pernah mendapatkan pendidikan dari orang tuanya

sendiri. Mereka juga banyak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak.

Lingkunganlah yang membentuk dan mempengaruhi karakter anak-anak tersebut.

Mereka akan mencari jati dirinya sesuai dengan lingkungan luar yang kadang

kurang baik untuk membentuk karakter anak. Untuk memenuhi kebutuhannya,

mereka ada yang menjadi pengemis, pemulung, pengamen jalanan, dan

sebagainya. Bahkan ada juga yang melakukan tindakan-tindakan yang negatif,

seperti mencuri.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 Tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak (pasal 35) dilakukan oleh pemerintah dan

masyarakat, dengan kata lain pemerintah berperan aktif dalam proses

pengangkatan anak melalui pengawasan dan perizinan. Adanya beberapa

kepercayaan yang masih kuat di beberapa daerah, yang menyatakan bahwa

dengan jalan mengangkat anak nantinya akan mendapat keturunan atau dengan

perkataan lain mengangkat anak hanya sebagai pancingan untuk mendapat

(18)

Umat Islam diwajibkan mendirikan lembaga dan sarana yang menanggung

pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam Kitab Ahkam Al-awlad fil Islam

disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya

sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim.11

Anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang

tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang

dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat

adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan

jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal

dunia.

Oleh karena itu, agar

mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan

diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah

mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaa kewajiban dan tanggung jawab

orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan

perlindungan terhadap anak. Meskipun demikian, dipandang masih sangat

diperlukan suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai perlindungan

anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab

tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang perlindungan anak

harus didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala

11

Amira. http://amiramira404.bloqspot.com/2013/01/01/archive.html. Diakses pada pukul 10.35 WIB. Tanggal 11 Maret 2014.

(19)

aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya

dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga

dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh

hukum. Demikian juga dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, Negara

dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi

anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara

optimal dan terarah.

Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah melakukan pengangkatan

anak dengan cara dan motivasi yang berbeda, sesuai dengan sistem hukum adat

dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan.

Pemerintah melalui menteri sosial menyatakan bahwa, dalam kenyataan

kehidupan sosial tidak semua orang tua mempunyai kesanggupan dan kemampuan

penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok anak dalam rangka mewujudkan

kesejahteraan anak. Kenyataan yang demikian mengakibatkan anak menjadi

terlantar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

Pengangkatan anak juga dapat dilakukan secara ilegal, artinya

(20)

Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah sejauh mana pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan hukum pada anak, sehingga anak dapat memperoleh jaminan atas kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai bagian dari hak asasi manusia. Padahal, berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.

Banyaknya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang-orang sebagai tempat berlindung,12

H.A.R. Gibb dalam bukunya Muhammadanisme, An Historical Survey,

sebagaimana dikutip oleh Muhammad Muslehuddin

Eksistensi anak

sebagai pelanjut pengembangan misi agama dan misi negara perlu dikawal dengan

penegakan aturan yang melindunginya, sebab anak-anak termasuk kelompok

lemah dan rawan dari perlakuan eksploitatif kaum dewasa.

13

12 Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realitas (Cet. I ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal.

122.

bahwa hukum Islam

memiliki jangkauan paling jauh dan alat yang efektif dalam membentuk tatanan

sosial dalam kehidupan masyarakat Islam. Keluasan jangkauan hukum Islam ini

menjadi potensi besar untuk dilahirkannya fiqih anak yang adabtable (mampu

beradaptasi) dengan kemajuan zaman.

13

(21)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan

dibahas dalam penelitian Tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perbedaan antara pengangkatan anak dalam

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Hukum Islam ?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pengangkatan anak yang

tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia ?

3. Bagaimana bila anak yang telah diangkat meminta pembatalan setelah

dia dewasa ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian Tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui perbedaan pengangkatan anak menurut Hukum

Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak.

2. Untuk mengetahui bagai mana perlindungan hukum terhadap

pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

3. Untuk mengetahui akibat hukum bila anak yang telah diangkat

(22)

D. Manfaat Penelitian

Maka penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

pengembangan ilmu atau memberi manfaat dibidang praktis, yaitu sebagai

berikut:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan

dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian ini juga

diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi kalangan akademisi

hukum yang mendalami bidang kajian penelitian ini, khususnya

diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan hukum perdata

dibidang pengangkatan anak dari perspektif Islam dan Undang-undang

No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk

mewujudkan kesadaran masyarakat yang berdasarkan hukum, sehingga

didalam pengangkatan anak, hak-hak anak dapat terlindungi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang telah dilakukan

keperpustakaan Universitas Sumatera Utara dan kepustakaan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara oleh peneliti, maka penelitian dengan judul

“Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pengangkatan Anak Ditinjau dari

Hukum Islam dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

(23)

beberapa tesis terdahulu yang menyangkut dengan masalah pengangkatan anak

yaitu :

1. Tesis atas nama Edison, NIM : 037011020, dengan judul, “Pengangkatan

Anak Dalam Lingkungan Hukum Adat Minangkabau. Tinjauwan atas

Beberapa Penetapan Hakim Pengadilan Negeri Lubukbasung”, Fokus

kajian permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

(1) Faktor-faktor apakah yang melatar belakangi meningkatnya

kebutuhan pengangkatan anak pada masyarakat suku Minangkabau.

(2) Apakah yang menjadi pertimbangan hukum Pengadilan Negeri

Lubukbasung dalam mengabulkan permohonan pengesahan

pengangkatan anak dilingkungan masyarakat suku Minangkabau

(3) Bagaimana penerapan hukum adat Minangkabau dalam penetapan

Pengadilan Negeri Lubukbasung tentang pengangkatan anak.

2. Tesis atas nama Pita Christin Suzanne Aritonang, NIM : 067011065,

dengan judul “ Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Adat Batak Toba

Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, (Stusi: Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli

Utara)”. Fokus Kajian permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

(1) Kedudukan anak angkat dalam hukum adat Batak Toba di

Kecamatan Tarutung setelah berlakunya Undang-undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

(2) Bagaimanakah syarat-syarat dan proses pengangkatan anak pada

(24)

(3) Apakah motivasi masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung

Melakukan pengangkatan anak.

3. Tesis atas nama Rahmat Jhowanda, NIM : 087011012, dengan judul “

Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat

Aceh, (Studi Kabupaten Aceh Barat)”. Fokus Kajian permasalahan dalam

penelitian ini yaitu :

(1) Hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua kandungnya

pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat.

(2) Bagaimana cara pengangkatan anak pada masyarakat Aceh.

(3) Bagaimana hak mewaris dari anak angkat dalam hukum waris adat,

pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat.

4. Tesis atas nama Erwansyah, NIM : 057011028, dengan judul “ Kewarisan

Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Staatsblad

1917 No.192 (Penelitian pada Pengadilan Agama Medan)”. Fokus Kajian

permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

(1) Bagaimana kewarisan anak menurut Kompilasi Hukum Islam

dalam Staatsblad 1917 No.129

(2) Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Kompilasi

Hukum Islam dan Staatblad 1917 No.129

(3) Bagaimana kewarisan anak angkat menurut Kompilasi Hukum

Islam dan Staatblad 1917 No.129

5. Tesis atas nama Ahmad Ridha, NIM : 097011147, dengan judul

(25)

Syar’iah di Banda Aceh” Fokus Kajian permasalahan dalam penelitian ini

yaitu :

(1) Apakah yang menjadi Pertimbangan Hukum Pengadilan Hakim

Mahkamah Syar’iah di Banda Aceh dalam mengabulkan

permohonan, pengesahan pengangkatan anak.

(2) Bagaimana prosedur pelaksanaan pengangkatan anak melalui

penetapan hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.

(3) Bagaimana pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak

di Banda Aceh.

6. Tesis atas nama Yufika Al Sandra, NIM : 127005067, dengan judul

“Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap Status anak yang

berubah menjadi anak kandung berdasarkan Akta Kelahiran” Fokus Kajian

Permasalahan penelitian ini yaitu :

(1) Bagaimana Peraturan hukum pengangkatan anak dalam Hukum

Positif dan Hukum Islam.

(2) Bagaimana hukum merubah status anak angkat menjadi anak

kandung melalui Akte Kelahiran.

(3) Bagaimana Akibat Hukum dari perubahan status tersebut.

Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini

tidaklah sama dengan penelitian tersebut, oleh karena itu penelitian ini adalah asli

dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif, dan terbuka.

Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah

(26)

dikemudian hari ternyata penelitian ini telah melanggar asas-asas keilmuan, maka

Peneliti bertanggungjawab dengan ketentuan yang berlaku.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Di setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesipik atau proses

tertentu terjadi.14 Menurut M.Solly Lubis, kerangka teori merupakan landasan

teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari

permasalahan yang dianalisis.15 Sedangkan Soejono Soekanto menyatakan bahwa,

kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,

aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.16

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan

perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua

hak-hak yang diberikan oleh hukum.17 Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa

perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat

preventif dan represif.18

14

J.J.JM.Wuiman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta: UI Press, 1996, hal. 203.

Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk

mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap

hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan

yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk

15 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 80. 16 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hal. 6. 17 Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. CitraAditya Bakti, 2000, hal. 54. 18 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia , Surabaya: PT.

(27)

penanganannya dilembaga peradilan.19 Menurut Lili rasjidi dan I.B Wysa Putra

berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan

yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan

antisipatif.20

Lawrence M. Friedman dalam legal system mendeskripsikan tentang

keberlakuan hukum atau efektivitas hukum, di mana ia menegaskan bahwa

keberlakuan kaidah hukum dipengaruhi olah 3 (tiga) elemen dasar yaitu structure,

substance dan culture.21

adanya pengaturan yang rinci dalam mengikuti proses dalam batas yang jelas.

Struktur sebagai suatu sistem berkaitan dengan lembaga penegakan hukum itu

sendiri, seperti hakim, yurisdiksi pengadilan dan lain sebaginya. Dengan kata lain,

Struktur itu sendiri menurut Friedman adalah suatu

sistem hukum berkaitan dengan sistem sebagai kerangka dalam bentuk yang kuat,

struktur dalam hukum sebagai suatu sistem lebih menekankan pada aspek

kelembagaan yang terlibat dari suatu proses penegakan hukum itu sendiri. Oleh

karena itu lembaga ini akan sangat strategis sekali dalam “mewarnai”

implementasi suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan substansi hukum dalam suatu sistem hukum menurut Friedman

adalah berkaitan dengan aturan-aturan hukum yang sesungguhnya dan aturan

tentang bagaimana institusi harus bertindak. Dari makna substansi tersebut

jelaslah bahwa substansi suatu aturan itu harus jelas dan mempunyai value

19

Maria Alfons, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk

masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor,

Malang: Universitas Brawijaya, 2010, hal.18.

20 Lili rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Remaja

Rusdakarya, 1993, hal. 118.

21 Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, (New

(28)

sebagaimana dinyatakan oleh Bruggink. Jika suatu substansi hukum sudah

memiliki nilai, pada saat itu pulalah nilai itu dapat dievaluasi tentang keberlakuan

atau efektivitasnya. 22

Begitu pula dengan budaya hukum (legal culture), di mana Friedman

menegaskan bahwa budaya hukum ini sendiri merupakan bagian dari budaya

dalam arti umum yang meliputi kebiasaan, opini, cara melakukan dan berpikir

tentang sesuatu hal dan lain sebagainya. Dengan demikian, budaya hukum ini

akan mendeskripsikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri, sehingga

keberlakuan atau efektivitas hukum amat tergantung pada budaya hukum dari

masyarakat atau komunitas tersebut. Melalui budaya hukum ini pulalah, bisa

dilihat tingkat kepatuhan dan ketaatan masyarakat atau komunitas tertentu menaati

ketentuan peraturan perundang-undangan yang tercermin dari sikap dan perilaku

mereka sendiri. Dari ketiga elemen dasar dari sistem hukum yang dikemukakan

oleh Friedman, akan mampu melihat sejauh mana keberlakuan atau efektivitas

dari suatu produk hukum masyarakat.23

22 Ibid .

Fungsi hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang

dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun

penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta

menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum

yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali anak-anak.

(29)

Terhadap bentuk pengertian pengangkatan anak yang pertama sebagai

mana di utarakan oleh Mahmud Syaltut, Fathurrahman memberikan komentar :

“Pengangkatan anak dalam pengertian ta’awun, dengan menanggung nafkah anak

sehari-hari, memelihara dengan baik, memberikan pakaian, pelayanan kesehatan,

demi masa depan anak yang lebih baik, justru merupakan amal baik yang

dilakukan sebagian orang yang mampu menggantikan baik hati yang tidak

dianugerahi anak oleh Allah SWT. Mereka menjadikan perbuatan anak sebagai

sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan mendidik, memelihara

anak-anak dari kalangan fakir miskin yang terabaikan hak-haknya sebagai anak

karena kekafiran dan kemiskinan orang tuanya. Tidak diragukan lagi, bahwa

usaha-usaha semacam ini merupakan suatu amal yang disukai dan dipuji oleh

Islam.24

Definisi kedua menggambarkan tentang pengangkatan anak sebagai mana

yang dipraktikkan pada zaman Jahiliyah, dan pengangkatan anak yang dikenal

masyarakat Tionghoa yang mempersamakan status anak angkat sebagai anak

kandung dan memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya, serta

masuk Klan (suku) keluarga orang tua angkat dengan memakai nama orang tua

angkatnya. Oleh karena itu anak angkat berhak menjadi ahli waris dan

memperoleh warisan sebagai mana hak warisan yang diperoleh anak kandung,

sedangkan syariat Islam menetapkan tentang ketentuan pembagian harta warisan,

yang telah digariskan secara qath’i bahwa hanya kepada orang-orang yang ada Dengan demikian teori yang digunakan dalam teori ini adalah teori

Taawun artinya saling tolong menolong.

(30)

pertalian darah, keturunan, dan perkawinan yang dapat masuk dalam kelompok

ahli waris.25 Pengertian pengangkatan anak semacam inilah yang dilarang dalam

Islam. Berdasarkan paparan di atas, jelas bahwa dalam lembaga pengangkatan

anak yang bertentangan dengan agama Islam adalah pengangkatan anak yang

dengan sengaja menjadikan anak angkat sebagai anaknya sendiri dengan hak-hak

dan kewajiban yang disamakan dengan anak kandung; diberikan hak waris sama

dengan hak waris anak kandung, dan orang tua angkat menjadi orang tua kandung

anak yang diangkatnya. Tetapi dalam pengangkatan anak dalam pengertian

terbatas dengan menekankan aspek kecintaan, perlindungan, dan pertolongan

terhadap hak pendidikan anak, nafkah sehari-hari, kesehatan, dan lain-lain, adalah

termasuk dalam ajaran ta’awun yang oleh Islam justru sangat di anjurkan.26

“Bertolong-tolonglah kamu dalam hal kebajikan dan takwa, tetapi jangan

bertolong-tolongan dalam hal kemaksiatan dan permusuhan”.

Allah

SWT, berfirman yang artinya :

27

Penetapan Pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam oleh Pengadilan

Agama tidak memutuskan hubungan hukum atau hubungan nasab dengan orang

tua kandungnya. Anak angkat secara hukum tetap diakui sebagai anak kandung

dari orang tua kandungnya. Adanya justifikasi terhadap anak angkat dalam

Hukum Islam tidak menjadikan anak angkat itu sebagai anak kandung atau anak

25 Departemen Agama RI, Trasliterasi Arab-Latin QS. An-Nisa/4: 11. 12, 2000, Asy

Syfa’,Semarang, hal. 168-170.

26 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta, Sinar Grafika,

2002, hal. 53.

27 Departemen Agama RI, Trasliterasi Arab-Latin QS. Al-Ma’idah /5: 2., 2000, Asy

(31)

yang dipersamakan hak-hak dan kewajibannya seperti anak kandung dari orang

tua angkatnya, hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya

seperti hubungan anak asuh dengan orang tua asuh yang diperluas. Oleh karena

itu, tidak bisa dianggap bahwa seolah-olah anak angkat itu sebagai anak yang baru

lahir di tengah-tengah keluarga orang tua angkatnya dengan segala hak dan

kewajiban seperti anak kandung. Kalau demikian halnya, maka Akta Kelahiran

anak angkat tersebut tidak gugur atau hapus dengan sendirinya setelah

ditetapkannya Penetapan Pengangkatan anak oleh Pengadilan Agama.

Konsekuensi logisnya tidak perlu adanya pencatatan anak angkat yang ditetapkan

berdasarkan Hukum Islam oleh orang tua angkatnya ke Kantor Catatan Sipil.

Dengan lahirnya Surat “Akta Kelahiran Anak” dari Kantor Catatan Sipil,

maka “Akta Kelahiran Anak” tersebut dari orang tua Kandungnya (orang tua asal)

secara serta merta menjadi gugur atau hapus dengan sendirinya. Karena aspek

administrasi, tidak mungkin seorang anak memiliki dua akta kelahiran dengan dua

orang tua kandung. Dengan lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama, yang berlaku mulai tanggal 21 Maret 2006, Pengadilan Agama

memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa, dan mengadili

perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam. Sebagaimana

produk hukum yang dikeluarkan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak

yang berbentuk “penetapan”, maka produk hukum Pengadilan Agama tentang

Pengangkatan Anak yang dilakukan berdasarkan hukum Islam juga berbentuk

(32)

Berbicara masalah pengangkatan anak, yang oleh hukum telah diberikan

hak bagi masyarakat untuk melakukan pengangkatan anak, namun yang paling

penting dengan terjadinya pengangkatan anak tersebut harus dapat memberikan

manfaatnya baik bagi orang tua angkat itu maupun bagi si anak angkat. Sebelum

lahirnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang

mengatur tentang pengangkatan anak, yaitu pasal 39, 40, dan 41 hukum

pengangkatan anak yang digunakan oleh Pengadilan Negeri bersumber dari

hukum perdata barat yang akibat hukumnya bertentangan dengan hukum Islam.28

Dalam hukum Islam tidak dikenal perpindahan nasab dari ayah

kandungnya ke ayah angkatnya. Maksudnya ia tetap menjadi salah seorang

mahram dari keluarga ayah kandungnya. Dalam arti berlaku larangan kawin dan

tetap saling mewarisi dengan ayah kandungnya. Jika ia melangsungkan

perkawinan setelah dewasa, maka walinya tetap ayah kandungnya. Adapun pada

pengangkatan anak yang diiringi oleh akibat hukum lainnya terjadi perpindahan

Nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Konsekwensinya, antara dirinya

dengan ayah angkatnya dan keluarga kandung ayah angkatnya berlaku larangan

kawin serta kedua belah pihak saling mewarisi. Jika ia akan melangsungkan

pernikahan nantinya, maka yang berhak menjadi walinya adalah ayah angkatnya Tata Cara Pengangkatan Anak, menurut ulama fikih, untuk mengangkat anak atas

dasar ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar anak tersebut

dapat mandiri di masa yang akan datang.

(33)

tersebut, bukan ayah kandungnya. Ada dua hal yang terkait dengan suatu hukum

anak angkat, yaitu dalam hal kewarisan, dan dalam hal perkawinan.

Dilihat dari aspek perlindungan dan kepentingan anak, lembaga

pengangkatan anak (tabani) memiliki konsepsi yang sama dengan pengangkatan

anak (adopsi) yang dikenal dalam hukum. Perbedaannya terletak pada aspek

mempersamakan anak angkat dengan anak sendiri, menjadikan anak angkat

menjadi anak sendiri, memberikan hak waris yang sama dengan hak waris anak

kandung.29 Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa status anak angkat itu

hanya sekedar mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih sayang, pendidikan,

pelayanan kesehatan, dan hak-hak asasi sebagai anak lainnya, tampa harus

disamakan hak-haknya dengan status anak kandung, karena hati nurani orang tua

angkat tetap akan sulit memandang sama anak angkat dengan anak kandungnya.

Oleh karena itu, Pengertian anak angkat menurut Mahmud Syaltut lebih dekat

pengertiannya kepada pengertian anak asuh yang lebih di dasari oleh perasaan

seorang yang menjadi anak angkat.30

2. Konseptual

Konsep merupakan unsur pokok dalam suatau penelitian atau untuk

membuat karya Ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud dengan konsep adalah “ suatu

pengertian mengenai suatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau definisi

tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Agar secara operasional diperoleh hasil

penelitian yang sesuai dengan tujuan yang ditentukan sesuai dengan judul

29

Adrianus Khatib. Kedudukan anak asuh Ditinjau dari Hukum Islam, Problematika

Hukum Islam Konteporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002). hal. 158.

(34)

penelitian ini yang berjudul “ Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan

Pengangkatan Anak ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-undang No 23 tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak” Penjelasan Konsepsionalnya yaitu :

1. Anak adalah amanah dari Allah SWT, karena itu setiap anak yang lahir

wajib dilindungi hak-haknya. Hal ini juga berarti, para orang tua tidak

akan menelantarkan atau menyia-nyiakan anak-anaknya. Akan tetapi tidak

tertutup kemungkinan adanya orang tua yang belum memiliki anak setelah

lama berkeluarga berusaha mengangkat anak sebagai pengganti anak

kandungnya, atau ada orang tua yang ingin mengangkat anak orang lain

sebagai bentuk kepedulian sosial, meskipun mereka memiliki anak

kandung sendiri. Umumnya mereka mengangkat anak-anak saudara

mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Meskipun demikian, ada

juga kasus di mana anak-anak yang diangkat tidak memiliki hubungan

persaudaran secara langsung dengan calon orang tua angkatnya.

2. Pengangkatan Anak dalam Islam adalah Pengambilan atau pengangkatan

anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri. Istilah tabani yang berarti

seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, dan berlakulah

terhadap anak tersebut seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak

kandung orang tua angkat,31

3. Anak angkat dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak (Pasal 1 Ayat 9) adalah anak yang haknya dialihkan pengertian demikian yang identik dengan

istilah “Adopsi” yang dilarang Hukum Islam.

31 Muhammad Ali Al-Sayis. Tafsir Ayat al-Ahkam. (Mesir: Mathba’ah Muhammad Ali

(35)

dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang

lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan

membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua

angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

4. Anak Angkat dalam Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 Tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak (Pasal 1 Ayat 2) adalah suatu perbuatan

hukum yang mengalihkan seorang orang dari lingkungan kekuasaan orang

tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas

perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam

lingkungan keluarga orang tua angkat.

5. Kedudukan anak angkat dalam KHI Pasal 171 Huruf h yang berbunyi:

“Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya

sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya

dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasar putusan

pengadilan.32

6.

32 M. Abdurrahman, KHI di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 1995. hal. 156. Perlindungan Hukum, perlindungan adalah tempat berlindung hal

(perbuatan dan sebagainya) memperlindungi. Merupakan gambaran dari

bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah

suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan

(36)

dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis

maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan

untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten.

Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi data yang telah

dikumpulkan.33 Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodelogi penelitian yang

diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi

induknya.34

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitis, di suatu

penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum

baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan yaitu

dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Agama Kota Medan dan Komisi

Perlindungan Anak Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan

peraturan perundang-undangan. Jadi, sifat penelitian ini adalah yuridis normatif,

33

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2005), hal. 5-6.

(37)

yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan

hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.35

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Primer dan Data

Sekunder. Data Primer adalah data yang diperoleh dari penelitian lapangan,

sedangkan data sekunder terdiri atas :

1. Bahan Hukum Primer yakni bahan hukum yang mengikat digunakan

dalam penelitian ini,36

a. Al-Qur’an, Al-Hadits, ijtihad serta kaidah ushul fiqh.

terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada

berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan berkaitan

dengan Pengangkatan Anak yaitu :

b. Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

c. Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak.

d. Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak.

e. Undang-undang No 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

2. Bahan Hukum Sekunder, bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer, yaitu terdiri dari buku-buku hukum, surat

kabar, tulisan ilmiah, televisi dan internet.

3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam

35

Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.13.

36 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo

(38)

penelitian ini digunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum,

dan Kamus Bahasa Belanda.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian tesis ini menggunakan teknik studi

dokumen, seluruh data dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi

kepustakaan (Liberaly research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang

dipandang relevan, dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan

Perpustakaan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya dilakukan

wawancara untuk menunjang data sekunder artinya data yang diperoleh melalui

penelusuran kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian

disistematikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan

objek penelitian.

4. Analisis Data

Analisis Data, yaitu menganalisis data yang diperoleh dalam penelitian

tersebut dengan cara data yang telah dikumpulkan akan disajikan dalam uraian

dan dijelaskan berdasarkan logika, sehingga kemudian diperoleh suatu kesimpulan

yang bersifat deduktif, yaitu kesimpulan diuraikan dari hal yang umum ke

hal-hal yang khusus dan disajikan dalam bentuk tesis. Keseluruhan data ini akan

(39)

BAB II

PENGANGKATAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 DAN HUKUM ISLAM

A. Tradisi atau Budaya Mengangkatan Anak di Indonesia

Pengangkatan anak bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak dulu

pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda sesuai

dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang didaerah

yang bersangkutan, di Indonesia pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan

masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan karena

menyangkut kepentingan orang perorangan dalam keluarga oleh karena itu

lembaga pengangkatan anak yang telah menjadi bagian dari budaya dari

masyarakat akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan

tingkat kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri.

Proses pengaturan pengangkatan anak dalam peraturan

perundang-undangan pada masyarakat Indonesia yang bhinneka (plural) tidak mudah dan

mengalami banyak pertentangan. Sejak pasca proklamasi sampai awal era

reformasi, yang mengatur tentang pengangkatan anak yang ketentuan pasalnya

sebatas tujuan pengangkatan anak.37

37 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 12.

Sejak melewati pintu gerbang proklamasi

sampai memasuki pintu gerbang reformasi, tidak ada peraturan

perundang-undangan yang mengatur secara memadai pelaksanaaan pengangkatan anak di

(40)

terwujud dengan lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, yang di dalamnya juga mengatur tentang pengangkatan anak

dalam beberapa pasal. Kini, untuk melaksanakan ketentuan pengangkatan anak

tersebut telah ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun

2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Realita masyarakat dan sistem hukum yang pluralistik (berbeda)

berimplikasi pada beragamnya konsep pengangkatan anak di Indonesia,Terdapat

banyak metode pengangkatan anak menurut hukum adat di Indonesia. Setiap

daerah yang memiliki ciri khas berbeda dan unik yang membuat pengangkatan

anak dalam kehidupan masyarakat adat sangat menarik. berikut beberapa contoh

tentang pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat yang terdapat di

beberapa daerah di Indonesia, antara lain :

1. Di Jawa dan Sulawesi Pengangkatan Anak jarang dilakukan dengan

sepengetahuan kepala desa. Mereka mengangkat anak dari kalangan

keponakan-keponakan. Lazimnya mengangkat anak keponakan ini tanpa

disertai dengan pembayaran uang atau penyerahan barang kepada orang

tua si anak.

2. Di Bali, sebutan pengangkatan anak disebut “nyentanayang”. Anak

lazimnya diambil dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya,

yaitu yang disebut purusa (pancer laki-laki) . Tetapi akhir-akhir ini dapat

(41)

3. Dalam masyarakat Nias, Lampung dan Kalimantan. Pertama-tama anak

harus dilepaskan dari lingkungan lama dengan serentak diberi imbalannya,

penggantiannya, yaitu berupa benda magis, setelah penggantian dan

penukaran itu berlangsung anak yang dipungut itu masuk ke dalam kerabat

yang memungutnya, itulah perbuatan ambil anak sebagai suatu perbuatan

tunai. Pengangkatan anak itu dilaksanakan dengan suatu upacara-upacara

dengan bantuan penghulu atau pemuka-pemuka rakyat, dengan perkataan

lain perbuatan itu harus terang.38

4. Di Pontianak, syarat-syarat untuk dapat mengangkat anak adalah:

Disaksikan oleh pemuka-pemuka adat, disetujui oleh kedua belah pihak,

yaitu orang tua kandung dan orang tua angkat, sianak telah meminum

setetes darah dari orang tua angkatnya, membayar uang adat sebesar dua

ulun (dinar) oleh si anak dan orang tuanya sebagai tanda pelepas atau

pemisah anak tersebut, yakni bila pengangkatan anak tersebut dikehendaki

oleh orangtua kandung anak tersebut. Sebaliknya bila pengangkatan anak

tersebut dikehendaki oleh orang tua angkatnya maka ditiadakan dari

pembayaran adat. Tetapi apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak maka

harus membayar adat sebesar dua ulun.39

38 Ter Haar,Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hal.

182.

39 Amir Mertosedono, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara :

(42)

5. Dalam masyarakat Rejang pada Provinsi Bengkulu dikenal adanya

lembaga pengangkatan anak, yang diangkat disebut “Anak Aket” dengan

cara calon orang tua angkat mengadakan selamatan atau kenduri yang

dihadiri oleh ketua Kutai dan pemuda-pemuda masyarakat lainnya. Di

dalam upacara itu ketua Kutai mengumumkan terjadinya pengangkatan

anak yang kemudian disusul dengan upacara penyerahan anak yang akan

diangkat oleh orang tua kandung dan penerimaan oleh orang tua angkat

(semacam ijab kabul), maka secara adat resmilah pengangkatan anak

tersebut.

Masih banyak lagi bentuk-bentuk pengangkatan anak dalam kehidupan

masyarakat adat di Indonesia. Keanekaragaman pengangkatan tersebutlah yang

membuat hukum adat di Indonesia semakin menarik untuk digali dan dipelajari

secara lebih lanjut untuk memperkaya pengetahuan tentang pengangkatan anak

dalam hukum adat dengan lebih baik.

Pentingnya seorang anak bagi sebuah keluarga dalam kehidupan

masyarakat adat sehari-hari. Anak yang mempunyai banyak fungsi dalam sebuah

keluarga membuatnya sangat penting. Terdapat berbagai alasan yang menjadi arti

penting sebuah pertimbangan dalam pengangkatan seorang anak. Ada beberapa

yang mengangkat anak untuk kepentingan pemeliharaan keluarga di hari tua,

(43)

1.

Umumnya di Indonesia, motivasi pengangkatan anak menurut hukum adat

ada 14 macam, antara lain :

2.

Karena tidak mempunyai anak. Hal ini adalah suatu motivasi yang bersifat

umum karena jalan satu-satunya bagi mereka yang belum atau tidak

mempunyai anak, di mana dengan pengangkatan anak sebagai pelengkap

kebahagiaan dan kelengkapan serta menyemarakkan rumah tangga.

3.

Karena belas kasihan terhadap anak-anak tersebut, disebabkan orang tua si

anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya. Hal ini adalah motivasi

yang sangat positif, karena di samping mambantu si anak juga membantu

beban orang tua kandung si anak asal didasari oleh kesepakatan yang

ikhlas antara orang tua angkat dengan orang tua kandung.

4.

Karena belas kasihan di mana anak tersebut tidak mempunyai orang tua.

Hal ini memang suatu kewajiban moral bagi yang mampu, di samping

sebagai misi kemanusiaan.

5.

Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak

perempuan atau sebaliknya. Hal ini adalah juga merupakan motivasi yang

logis karena umumnya orang ingin mempunyai anak perempuan dan anak

laki-laki.

6.

Sebagai pemancing bagi yang tidak punya anak, untuk dapat mempunyai

anak kandung. Motivasi ini berhubungan erat dengan kepercayaan yang

ada pada sebagian anggota masyarakat.

Untuk menambah jumlah keluarga. Hal ini karena orang tua angkatnya

(44)

7.

8.

Dengan maksud agar anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik.

Motivasi ini erat hubungannyaa dengan misi kemanusiaan.

9.

Karena faktor kekayaan. Dalam hal ini, disamping motivasi sebagai

pemancing untuk dapat mempunyai anak kandung, juga sering

pengangkatan anak ini dalam rangka untuk mengambil berkat baik bagi

orang tua angkat maupun dari anak yang diangkat demi untuk bertambah

baik kehidupannya.

10.

Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris bagi yang tidak

mempunyai anak kandung. Hal ini berangkat dari keinginan agar dapat

memberikan harta dan meneruskan garis keturunan.

11.

Adanya hubungan keluarga, maka orang tua kandung dari si anak tersebut

meminta suatu keluarga supaya dijadikan anak angkat. Hal ini juga

mengandung misi kemanusiaan.

12.

Diharapkan anak dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan

bagi yang tidak mempunyai anak. Dari sini terdapat motivasi timbal balik

antara kepentingan si anak dan jaminan masa tua bagi orang tua angkat.

13.

Ada perasaan kasihan atas nasib si anak yang tidak terurus. Pengertian

tidak terurus, dapat saja berarti orang tuanya hidup namun tidak mampu

atau tidak bertanggung jawab, sehingga anaknya menjadi

terkatung-katung. Di samping itu, juga dapat dilakukan terhadap orang tua yang

sudah meninggal dunia.

Untuk mempererat hubungan keluarga. Di sini terdapat misi untuk

(45)

14.Karena anak kandung sakit-sakitan atau selalu meninggal dunia, maka

untuk menyelamatkan si anak, diberikannya anak tersebut kepada keluarga

atau orang lain yang belum atau tidak mempunyai anak, dengan harapan

anak yang bersangkutan akan selalu sehat dan panjang usia. Dari motivasi

ini terlihat adanya unsur kepercayaan dari masyarakat kita.40

Sangat jelas bila seorang anak telah diangkat atau diadopsi oleh orang tua

angkatnya, maka akan timbul akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak

tersebut. pada hukum di Indonesia, bila seorang anak telah diangkat oleh keluarga

angkatnya, maka anak tersebut akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama

seperti anak kandung orang tuanya. Anak angkat akan mendapatkan kewajiban

seperti menghormati orang tua atau walinya, sedangkan hak anak tersebut akan di

dapatkan ketika telah diangkat adalah warisan dari keluarga angkatnya, yang

dapat berupa tanah, harta kekayaan, uang, dan materi yang dapat diwariskan

lainnya.

Dalam hukum adat, Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas

warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing.41

40 Mudaris Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Sinar Grafika,

Jakarta. 1992),hal.61.

Sepanjang perbuatan

pengangkatan anak telah menghapuskan peranannya sebagai “orang asing’ dan

menjadikannya sebangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai

seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat.

41 Sunarmi, Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba, (Suatu Analisis

(46)

1.

Pengangkatan anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak

sepenuhnya atas warisan. Pengadilan Negeri dalam praktek telah merintis

mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan antara anak dengan orang tua

sebagai berikut :

2.

Hubungan darah: mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk

memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.

3.

Hubungan waris: dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak

sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak

yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.

4.

Hubungan perwalian: dalam hubungan perwalian ini terputus

hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang

tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh

pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua kandung berlaih kepada

orang tua angkat.

Hubungan marga, gelar, kedudukan adat: dalam hal ini anak tidak akan

mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua

angkat

Selain akibat hukum yang mengaitkan hak dan kewajiban anak setelah

diangkat oleh orang tua angkatnya, terdapat juga akibat anak tersebut dengan

pihak-pihak yang berkepentingan dengan perbuatan pengangkatan anak tersebut

(47)

a. Dengan orang tua kandung

Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang

tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau

tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua

kandung telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal seperti ini terdapat di daerah

Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur, Jawa

Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah

memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak

memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandungnya. Hanya

hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan

orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan,

pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.

b. Dengan orang tua angkat.

Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan

sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan

keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti

di pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan

anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan anak itu ke dalam

keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan sebagai

anak kandung.42

Referensi

Dokumen terkait

iii.. Hak-Hak Anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 untuk Memperoleh Pendidikan dalam Perspektif Islam. Magister Pendidikan Islam. Program

Adapun penulisan ini membahas mengenai perlindungan hukum bagi anak terhadap pemberian vaksinasi dalam program imunisasi ditinjau dari Undang-Undang Perlindugan Anak serta

Diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hendaknya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan serta perlindungan hukum yang maksimal kepada

Penerapan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak dari perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Status hukum anak yang lahir dari perkawinan siri online berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, anak yang lahir di luar perkawinan

Status hukum anak yang lahir dari perkawinan siri online berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, anak yang lahir di luar perkawinan

Penegakan hukum pidana terhadap pelaku yang mempekerjakan anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Kota Pekanbaru masih

Berdasarkan Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 67A: Setiap Orang wajib melindungi Anak dari