TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
OLEH
HAMIDANSYAH PUTRA 127005011 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
HALAMAN PENGESAHAN
T e s i s
JUDUL TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DITINJAU
DARI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 23
TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
NAMA : Hamidansyah Putra
N I M : 127005011
PROGRAM STUDI : Magister Ilmu Hukum
Menyetujui :
Komisi Pembimbing
K e t u a
(Prof. Dr. HM. Hasballah Thaib, MA)
(Dr.Hasim Purba, SH.M.Hum) (Dr.Edy Ikhsan, SH. MA
ABSTRAK
Pengaturan pengangkatan anak yang jelas dan tegas sangat dibutuhkan baik pengaturan dan perlindungannya saat ini telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat. Pembahasan mengenai pengangkatan anak sering dikaitkan dengan hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat di dalam pelaksanaannya masyarakat mempunyai cara pengangkatan anak yang berbeda pada satu daerah dengan daerah yang lain yang membuat pengangkatan anak ini menarik untuk digali.
Penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pengangkatan anak ditinjau dari hukum Islam dan undang-undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak merupakan jenis penelitian deskriptif analitis di suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan, sifat penelitian ini merupakan penelitian yurisis normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sumber data penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum tersier. Penelitian ini dilakukan utuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa Perbedaan yang utama antara Hukum Islam dan hukum nasional mengenai pengangkatan anak dapat dilihat melalui proses pengangkatan anak, dalam hal warisan, dalam hal hubungan darah, serta implikasi hukum orang tua dalam menjadi wali nikah anak angkatnya. Berdasarkan Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Anak yang telah diangkat dapat mengajukan pembatalan pengangkatan dengan alasan-alasan yang tepat seperti ditelantarkan, sering mendapat kekerasan dan penganiayaan, pelecehan seksual, perbudakan terhadap anak, eksploitasi, perdagangan anak dan penyimpangan-penyimpangan lain yang dilakukan oleh orang tua angkat terhadap anak angkat.
ABSTRACT
Transparent and resolute regulation on adoption is highly needed, both in its regulation and in its protection. Today, the Government Regulation No. 54/2007 on the Implementation of Adoption, Law No. 23/2002 on Child Protection, and the Compilation of the Islamic Law regulate wajibah will for an adopted child. Discussion about adoption is usually related to adat (customary) law, the Islamic law, and western law in which people have different methods in different places in its implementation so that it is interesting to be analyzed.
A research on child protection law about the implementation of adoption, viewed from the Islamic Law and Law No. 23/2002 on Child Protection, is a descriptive analysis which describes, explains, and analyzes laws theoretically and practically from the field. The research used judicial normative approach which was referred to legal norms in the legal provisions. The data consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials in order to find out the legal protection for the implementation of adoption.
The result of the research shows that the basic difference between the Islamic Law and the National Law on adoption can be seen from the process of adoption in inheritance, consanguinity, and the implication of the parent who becomes a wali nikah (male next of kin whose consent in required for the marriage of a girl) for his adopted child. An adopted child can cancel the adoption by strong evidence such as being neglected, abused and molested, sexually abused, treated like a slave, exploited, traded, and other deviations by the adoptive parents.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan
karunia-nya sehingga Tesis ini apat diselesaikan dengan baik dan tepat pada
waktunya.. Adapun judul penelitian ini adalah : “PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK”. Tesis ini ditulis dalam rangka
memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum Pada Program Magister
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dan dorongan baik berupa masukan maupun saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terimakasih yang
mendalam penulis Sampaikan secara khusus kepada yang terhormat para komisi
pembimbing Bapak Prof. Dr. H.Hasballah Thaib, M.A, selaku pembimbing utama
penulis, Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku pembimbing II penulis,
Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, M.A, selaku pembimbing III penulis yang telah dengan
tulus iklas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan
tesis ini.
Kemudian juga, kepada Dosen Penguji yang terhormat Ibu Dr. Idha
Aprilyana, S.H, M.Hum dan Ibu Dr. Yefrizawaty. S.H, M.Hum yang telah
berkenan member masukan dan arahan dalam penulisan tesis ini sejak kolukium,
seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini
menjadi lebih sempurna dan terarah.
Dalam kesempatan ini penulis juga dengan tulus mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H, Sp.A (K),
kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan Tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan
dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan Tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, atas kesempatan menjadi mahasiswa
Program Magister Ilmu hukum fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
4. Bapak Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Ilmu
Hukum fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik
dan membimbing penulis sampai kepada tinggkat Magister Ilmu Hukum.
5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu
kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.
Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini
penulis juga turut mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda
Bapak Abdul Hamid dan Ibunda Idawati yang telah melahirkan, mengasuh,
mendidik, dan membesarkan penulis.
Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat
dan menyampaikan permintan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini
terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang
bertujuan membangun dan menyempurnakan penulisan Tesis ini.
Medan, Agustus 2014 Penulis,
DAFTAR ISI
BAB II : PENGANGKATAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 DAN HUKUM ISLAM A. Tradisi atau Budaya Mengangkat Anak di Indonesia ... 11
B. Pengangkatan Anak Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 12
1. Tata Cara Pengangkatan Anak ... 12
2. Syarat-syarat Pengangkatan Anak ... 13
C. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam ... 15
1. Pengertian Pengangkatan Anak ... 15
2. Hukum Pengangkatan Anak ... 16
3. Tujuan Pengangkatan Anak Dalam Islam ... 18
4. Syarat Pengangkatan Anak Dalam Islam ... 19
BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGANGKATAN ANAK YANG TIDAK SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Pengertian dan Latar Belakang Pengangkatan Anak yang Tidak Sesuai Dengan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia ... 21
B. Proses Pengangkatan Anak yang Tidak Sesuai Dengan Peraturan Perundang-undangan ... 23
C. Perlindungan Hukum Terhadap Pengangkatan Anak yang Tidak Sesuai Dengan Peraturan Perundang-undangan ... 25
BAB IV : PERMINTAAN PEMBATALAN OLEH ANAK ANGKAT SETELAH DEWASA A. Alasan Permohonan Pembatalan ... 27
B. Proses Permohonan Pembatalan ... 29
C. Akibat Hukum Pembatalan ... 31
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 32
B. Saran ... 34
ABSTRAK
Pengaturan pengangkatan anak yang jelas dan tegas sangat dibutuhkan baik pengaturan dan perlindungannya saat ini telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat. Pembahasan mengenai pengangkatan anak sering dikaitkan dengan hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat di dalam pelaksanaannya masyarakat mempunyai cara pengangkatan anak yang berbeda pada satu daerah dengan daerah yang lain yang membuat pengangkatan anak ini menarik untuk digali.
Penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pengangkatan anak ditinjau dari hukum Islam dan undang-undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak merupakan jenis penelitian deskriptif analitis di suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan, sifat penelitian ini merupakan penelitian yurisis normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sumber data penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum tersier. Penelitian ini dilakukan utuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa Perbedaan yang utama antara Hukum Islam dan hukum nasional mengenai pengangkatan anak dapat dilihat melalui proses pengangkatan anak, dalam hal warisan, dalam hal hubungan darah, serta implikasi hukum orang tua dalam menjadi wali nikah anak angkatnya. Berdasarkan Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Anak yang telah diangkat dapat mengajukan pembatalan pengangkatan dengan alasan-alasan yang tepat seperti ditelantarkan, sering mendapat kekerasan dan penganiayaan, pelecehan seksual, perbudakan terhadap anak, eksploitasi, perdagangan anak dan penyimpangan-penyimpangan lain yang dilakukan oleh orang tua angkat terhadap anak angkat.
ABSTRACT
Transparent and resolute regulation on adoption is highly needed, both in its regulation and in its protection. Today, the Government Regulation No. 54/2007 on the Implementation of Adoption, Law No. 23/2002 on Child Protection, and the Compilation of the Islamic Law regulate wajibah will for an adopted child. Discussion about adoption is usually related to adat (customary) law, the Islamic law, and western law in which people have different methods in different places in its implementation so that it is interesting to be analyzed.
A research on child protection law about the implementation of adoption, viewed from the Islamic Law and Law No. 23/2002 on Child Protection, is a descriptive analysis which describes, explains, and analyzes laws theoretically and practically from the field. The research used judicial normative approach which was referred to legal norms in the legal provisions. The data consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials in order to find out the legal protection for the implementation of adoption.
The result of the research shows that the basic difference between the Islamic Law and the National Law on adoption can be seen from the process of adoption in inheritance, consanguinity, and the implication of the parent who becomes a wali nikah (male next of kin whose consent in required for the marriage of a girl) for his adopted child. An adopted child can cancel the adoption by strong evidence such as being neglected, abused and molested, sexually abused, treated like a slave, exploited, traded, and other deviations by the adoptive parents.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan Pasal 1
disebutkan bahwa ” Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.1
Anak adalah karunia Allah SWT. Tidak semua mahligai perkawinan
dianugerehi keturunan, generasi penerus, hingga suami istri tutup usia. Allah SWT
mengaruniai anak kepada Nabi Ibrahim yaitu Isma’il dan Ishaq pada usia senja,
yang pertama di usia 99 tahun, yang terakhir 112 tahun.
Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa dari perkawinan diharapkan
akan lahir keturunan (anak) sebagai penerus dalam keluarganya, sehingga orang
tua berkewajiban memelihara serta mendidiknya untuk tumbuh dan berkembang
secara wajar dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.
2
1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan , Pasal 1
Itu terjadi tatkala usia
senja dan harapan untuk mendapatkan keturunan sampai pada titik putus.
Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alami akan tetapi
kadang-kadang naluri ini terbentur oleh takdir illahi, dimana kehendak
mempunyai anak tidak tercapai. Akan tetapi semua kuasa ada di tangan Tuhan.
Apapun yang mereka usahakan apabila Tuhan tidak menghendaki, maka
2 Hermadut. http://hermadut.blogspot.com/2013/02/ kisah-nabi-ibrahim-as.html. Diakses
keinginan merekapun tidak akan terpenuhi, hingga jalan terakhir semua usaha
tidak membawa hasil, maka diambil jalan dengan pengangkatan anak.
Kehadiran seorang anak adalah suatu yang sangat diidam-idamkan.
Kebahagiaan dan keharmonisan suatu keluarga ditandai dengan lahirnya seorang
anak, karena salah satu tujuan perkawinan adalah untuk meneruskan keturunan.
Pengangkatan anak disini merupakan alternatif untuk menyelamatkan perkawinan
atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga.
Definisi anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam jika dibandingkan
dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
memiliki kesamaan substansi. Pasal 1 angka 9 dinyatakan bahwa anak angkat
adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua,
wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan dan pembesaran anak tersebut kelingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.3
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak (Pasal 2) disebutkan bahwa pengangkatan anak bertujuan
untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan Anak dalam keluarga
adalah buah hati belahan jiwa. Untuk anak orang tua bekerja memeras keringat
membanting tulang. Anak merupakan harapan utama bagi sebuah mahligai
perkawinan. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga,
keturunan dan bangsa setelah agama.
anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan
setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.4
Hadist shahih oleh Muttafaqun Alaih disebutkan “Kullu mauludin yuladu’alal
fitrah”setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci bersih (fitrah).
5
Dalam syariat Islam, anak angkat tidak mendapatkan warisan. Dikarenakan
bahwa pengangkatan anak tidak mengubah nasab seorang anak. Hal ini didasarkan
pada Q.S Al-Ahzab : 4-5
anak
adalah generasi penerus, baik bagi orang tua, bangsa maupun agama baik
buruknya anak, akan menjadi apa mereka kelak tergantung bagaimana orang tua,
bangsa maupun agama mendidik mereka.
ﱠﻖَﺤْﻟﺍ
ُﻝﻮُﻘَﻳ
ُﱠﷲَﻭ
ُﻜِﻫﺍَﻮْﻓَﺄِﺑ ْﻢ
ْﻢُﻜُﻟْﻮَﻗ
ْﻢُﻜِﻟَﺫ
ْﻢُﻛَءﺎَﻨْﺑَﺃ
ْﻢُﻛَءﺎَﻴِﻋْﺩَﺃ
َﻞَﻌَﺟ
ﺎَﻣَﻭ
ِﱠﷲ
َﺪْﻨِﻋ
ُﻂَﺴْﻗَﺃ
َﻮُﻫ
ْﻢِﻬِﺋﺎَﺑَ ِﻵ
ْﻢُﻫﻮُﻋْﺩﺍ
َﻞﻴِﺒﱠﺴﻟﺍ
ﻱِﺪْﻬَﻳ
َﻮُﻫَﻭ
yang artinya :
Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu.
Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja. Dan Allah Mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan. Panggilah mereka dengan nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah.6
4 Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
(Pasal 2)
5
Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, 2006, Yayasan Shalat Khusu’, Jakarta Selatan, hal.313.
Dalam kitab perundang-undangan Majapahit, yang dikenal dengan nama
kitab Perundang-undangan Agama atau Kutara Manawa, pada Pasal 216 dan Pasal
217, dapat di temui perkataan “anak pungut dari orang lain”7 yang mengindikasikan pada masa itu sudah di kenal lembaga pengangkatan anak. Pada berbagai kebudayaan kuno lembaga pengangkatan anak berpungsi sebagai cara untuk melanjutkan keturunan, dan memang seperti yang dikemukakan oleh Subekti bahwa “pada pengangkatan anak yang asli pertimbangannya adalah untuk mendapatkan anak laki-laki untuk meneruskan keturunan.” 8
Di antara sekian banyak negara di dunia pada umumnya mengenal lembaga pengangkatan anak dalam sistem hukum mereka, bahkan menurut Subekti “lebih banyak yang mengenal lembaga pengangkatan anak dari pada yang tidak mengenalnya”.9 Lembaga pengangkatan anak dikenal dalam Code Civil Prancis, Burgerliches Gezetzbuch Jerman, Hukum Anglo Saxon, Hukum Perdata China, juga Civil Code Jepang.
Mengambil anak untuk dipelihara, dibimbing dan dibiayai pendidikannya dalam hukum Islam itu dibolehkan. Terutama anak-anak yang memang membutuhkan bantuan seperti anak yatim piatu, anak dari keluarga miskin, anak yang tidak diketahui orang tuanya, dan sebagainya.
7
Slamet Mulyana, Perundang-undangan Madjapahit, Bharatara, Jakarta 1967, hal.153;
Slamet Mulyana (1979). Nagara kertagama dan Tafsir Sejatahnya. Bharatara, Jakarta, hal.214
8
R.Subekti, Perbandingan Hukum perdata, (Jakarta: Pramya Paramita, 1997), hal. 19 9
Berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, syarat formal dalam pengangkatan anak adalah bahwa anak tersebut harus didaftarkan sebagai anak yang diangkat termasuk dalam hal perwalian. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 diatur Tentang Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat, juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah atau belum menikah (single parent adoption). Dijelaskan bahwa konsekuensi hukum dari pengangkatan anak
khususnya hal perwalian dan waris.
Dilihat dari calon orang tua angkat, adanya peraturan pengangkatan anak yang jelas dan pasti adalah suatu yang menguntungkan dan sangat dibutuhkan. Berbicara tentang pihak pengangkat anak akan berhadapan dengan persoalan seberapa jauh lembaga pengangkatan anak masih diperlukan, Hingga sekarang ketidak punyaan anak masih merupakan dorongan yang utama untuk melakukan pengangkatan anak, meskipun pemikirannya tidak sejauh sampai pada rasa takut musnahnya keturunan (seperti pada pengangkatan anak yang asli), terutama di daerah perkotaan
(Khususnya di kota-kota besar) yang menempatkan keluarga sebagai unit
masyarakat yang terkecil dan bersifat otonom, sehingga perhatiannya berkisar
pada keluarga tersebut.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menempatkan
soal “mendapat keturunan” sebagai salah satu faktor yang penting dalam
perkawinan. Sedemikian pentingnya, sehingga dalam hal ”istri tidak dapat
melahirkan keturunan” dapat menjadi alasan bagi suami untuk beristri lebih dari
seorang (poligami) yang merupakan suatu pengecualian terhadap asas
monogami.10
10 Undang-undang No 1Tahun 1974 (LN.1974 No.1),Pasal 4 ayat (1) sub.c. jo.Pasal 3. Dari uraian di atas dapat dimengerti betapa beban psikis yang
harus ditanggung oleh pasangan-pasangan yang tidak atau belum dapat
memperoleh anak atau keturunan karena berbagai sebab, terutama sebab-sebab
punyaan anak ini sudah selayaknya diserahkan kepada mereka yang membidangi
atau mendalami bidang tersebut.
Kenyataannya tidak semua anak dapat mendapatkan kasih sayang dan
kebahagiaan dari orang tuanya. Bagi anak-anak yatim piatu maupun anak-anak
terlantar jarang yang bisa mendapat kasih sayang bahkan ada juga yang belum
pernah mendapatkannya, karena sejak kecil orang tua mereka ada yang sudah
meninggal dunia. Mereka tidak pernah mendapatkan pendidikan dari orang tuanya
sendiri. Mereka juga banyak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak.
Lingkunganlah yang membentuk dan mempengaruhi karakter anak-anak tersebut.
Mereka akan mencari jati dirinya sesuai dengan lingkungan luar yang kadang
kurang baik untuk membentuk karakter anak. Untuk memenuhi kebutuhannya,
mereka ada yang menjadi pengemis, pemulung, pengamen jalanan, dan
sebagainya. Bahkan ada juga yang melakukan tindakan-tindakan yang negatif,
seperti mencuri.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 Tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak (pasal 35) dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat, dengan kata lain pemerintah berperan aktif dalam proses
pengangkatan anak melalui pengawasan dan perizinan. Adanya beberapa
kepercayaan yang masih kuat di beberapa daerah, yang menyatakan bahwa
dengan jalan mengangkat anak nantinya akan mendapat keturunan atau dengan
perkataan lain mengangkat anak hanya sebagai pancingan untuk mendapat
Umat Islam diwajibkan mendirikan lembaga dan sarana yang menanggung
pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam Kitab Ahkam Al-awlad fil Islam
disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya
sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim.11
Anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang
tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang
dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat
adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan
jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal
dunia.
Oleh karena itu, agar
mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan
diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaa kewajiban dan tanggung jawab
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan
perlindungan terhadap anak. Meskipun demikian, dipandang masih sangat
diperlukan suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai perlindungan
anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang perlindungan anak
harus didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala
11
Amira. http://amiramira404.bloqspot.com/2013/01/01/archive.html. Diakses pada pukul 10.35 WIB. Tanggal 11 Maret 2014.
aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya
dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga
dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh
hukum. Demikian juga dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, Negara
dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi
anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara
optimal dan terarah.
Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah melakukan pengangkatan
anak dengan cara dan motivasi yang berbeda, sesuai dengan sistem hukum adat
dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan.
Pemerintah melalui menteri sosial menyatakan bahwa, dalam kenyataan
kehidupan sosial tidak semua orang tua mempunyai kesanggupan dan kemampuan
penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok anak dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan anak. Kenyataan yang demikian mengakibatkan anak menjadi
terlantar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Pengangkatan anak juga dapat dilakukan secara ilegal, artinya
Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah sejauh mana pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan hukum pada anak, sehingga anak dapat memperoleh jaminan atas kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai bagian dari hak asasi manusia. Padahal, berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
Banyaknya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang-orang sebagai tempat berlindung,12
H.A.R. Gibb dalam bukunya Muhammadanisme, An Historical Survey,
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Muslehuddin
Eksistensi anak
sebagai pelanjut pengembangan misi agama dan misi negara perlu dikawal dengan
penegakan aturan yang melindunginya, sebab anak-anak termasuk kelompok
lemah dan rawan dari perlakuan eksploitatif kaum dewasa.
13
12 Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realitas (Cet. I ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal.
122.
bahwa hukum Islam
memiliki jangkauan paling jauh dan alat yang efektif dalam membentuk tatanan
sosial dalam kehidupan masyarakat Islam. Keluasan jangkauan hukum Islam ini
menjadi potensi besar untuk dilahirkannya fiqih anak yang adabtable (mampu
beradaptasi) dengan kemajuan zaman.
13
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian Tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perbedaan antara pengangkatan anak dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Hukum Islam ?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pengangkatan anak yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia ?
3. Bagaimana bila anak yang telah diangkat meminta pembatalan setelah
dia dewasa ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian Tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui perbedaan pengangkatan anak menurut Hukum
Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
2. Untuk mengetahui bagai mana perlindungan hukum terhadap
pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
3. Untuk mengetahui akibat hukum bila anak yang telah diangkat
D. Manfaat Penelitian
Maka penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
pengembangan ilmu atau memberi manfaat dibidang praktis, yaitu sebagai
berikut:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan
dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian ini juga
diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi kalangan akademisi
hukum yang mendalami bidang kajian penelitian ini, khususnya
diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan hukum perdata
dibidang pengangkatan anak dari perspektif Islam dan Undang-undang
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk
mewujudkan kesadaran masyarakat yang berdasarkan hukum, sehingga
didalam pengangkatan anak, hak-hak anak dapat terlindungi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang telah dilakukan
keperpustakaan Universitas Sumatera Utara dan kepustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara oleh peneliti, maka penelitian dengan judul
“Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pengangkatan Anak Ditinjau dari
Hukum Islam dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
beberapa tesis terdahulu yang menyangkut dengan masalah pengangkatan anak
yaitu :
1. Tesis atas nama Edison, NIM : 037011020, dengan judul, “Pengangkatan
Anak Dalam Lingkungan Hukum Adat Minangkabau. Tinjauwan atas
Beberapa Penetapan Hakim Pengadilan Negeri Lubukbasung”, Fokus
kajian permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
(1) Faktor-faktor apakah yang melatar belakangi meningkatnya
kebutuhan pengangkatan anak pada masyarakat suku Minangkabau.
(2) Apakah yang menjadi pertimbangan hukum Pengadilan Negeri
Lubukbasung dalam mengabulkan permohonan pengesahan
pengangkatan anak dilingkungan masyarakat suku Minangkabau
(3) Bagaimana penerapan hukum adat Minangkabau dalam penetapan
Pengadilan Negeri Lubukbasung tentang pengangkatan anak.
2. Tesis atas nama Pita Christin Suzanne Aritonang, NIM : 067011065,
dengan judul “ Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Adat Batak Toba
Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, (Stusi: Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli
Utara)”. Fokus Kajian permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
(1) Kedudukan anak angkat dalam hukum adat Batak Toba di
Kecamatan Tarutung setelah berlakunya Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
(2) Bagaimanakah syarat-syarat dan proses pengangkatan anak pada
(3) Apakah motivasi masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung
Melakukan pengangkatan anak.
3. Tesis atas nama Rahmat Jhowanda, NIM : 087011012, dengan judul “
Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat
Aceh, (Studi Kabupaten Aceh Barat)”. Fokus Kajian permasalahan dalam
penelitian ini yaitu :
(1) Hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua kandungnya
pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat.
(2) Bagaimana cara pengangkatan anak pada masyarakat Aceh.
(3) Bagaimana hak mewaris dari anak angkat dalam hukum waris adat,
pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat.
4. Tesis atas nama Erwansyah, NIM : 057011028, dengan judul “ Kewarisan
Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Staatsblad
1917 No.192 (Penelitian pada Pengadilan Agama Medan)”. Fokus Kajian
permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
(1) Bagaimana kewarisan anak menurut Kompilasi Hukum Islam
dalam Staatsblad 1917 No.129
(2) Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Kompilasi
Hukum Islam dan Staatblad 1917 No.129
(3) Bagaimana kewarisan anak angkat menurut Kompilasi Hukum
Islam dan Staatblad 1917 No.129
5. Tesis atas nama Ahmad Ridha, NIM : 097011147, dengan judul
Syar’iah di Banda Aceh” Fokus Kajian permasalahan dalam penelitian ini
yaitu :
(1) Apakah yang menjadi Pertimbangan Hukum Pengadilan Hakim
Mahkamah Syar’iah di Banda Aceh dalam mengabulkan
permohonan, pengesahan pengangkatan anak.
(2) Bagaimana prosedur pelaksanaan pengangkatan anak melalui
penetapan hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
(3) Bagaimana pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak
di Banda Aceh.
6. Tesis atas nama Yufika Al Sandra, NIM : 127005067, dengan judul
“Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap Status anak yang
berubah menjadi anak kandung berdasarkan Akta Kelahiran” Fokus Kajian
Permasalahan penelitian ini yaitu :
(1) Bagaimana Peraturan hukum pengangkatan anak dalam Hukum
Positif dan Hukum Islam.
(2) Bagaimana hukum merubah status anak angkat menjadi anak
kandung melalui Akte Kelahiran.
(3) Bagaimana Akibat Hukum dari perubahan status tersebut.
Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini
tidaklah sama dengan penelitian tersebut, oleh karena itu penelitian ini adalah asli
dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif, dan terbuka.
Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah
dikemudian hari ternyata penelitian ini telah melanggar asas-asas keilmuan, maka
Peneliti bertanggungjawab dengan ketentuan yang berlaku.
F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori
Di setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.
Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesipik atau proses
tertentu terjadi.14 Menurut M.Solly Lubis, kerangka teori merupakan landasan
teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari
permasalahan yang dianalisis.15 Sedangkan Soejono Soekanto menyatakan bahwa,
kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.16
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh hukum.17 Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa
perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat
preventif dan represif.18
14
J.J.JM.Wuiman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta: UI Press, 1996, hal. 203.
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk
mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap
hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan
yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk
15 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 80. 16 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hal. 6. 17 Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. CitraAditya Bakti, 2000, hal. 54. 18 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia , Surabaya: PT.
penanganannya dilembaga peradilan.19 Menurut Lili rasjidi dan I.B Wysa Putra
berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan
yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan
antisipatif.20
Lawrence M. Friedman dalam legal system mendeskripsikan tentang
keberlakuan hukum atau efektivitas hukum, di mana ia menegaskan bahwa
keberlakuan kaidah hukum dipengaruhi olah 3 (tiga) elemen dasar yaitu structure,
substance dan culture.21
adanya pengaturan yang rinci dalam mengikuti proses dalam batas yang jelas.
Struktur sebagai suatu sistem berkaitan dengan lembaga penegakan hukum itu
sendiri, seperti hakim, yurisdiksi pengadilan dan lain sebaginya. Dengan kata lain,
Struktur itu sendiri menurut Friedman adalah suatu
sistem hukum berkaitan dengan sistem sebagai kerangka dalam bentuk yang kuat,
struktur dalam hukum sebagai suatu sistem lebih menekankan pada aspek
kelembagaan yang terlibat dari suatu proses penegakan hukum itu sendiri. Oleh
karena itu lembaga ini akan sangat strategis sekali dalam “mewarnai”
implementasi suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan substansi hukum dalam suatu sistem hukum menurut Friedman
adalah berkaitan dengan aturan-aturan hukum yang sesungguhnya dan aturan
tentang bagaimana institusi harus bertindak. Dari makna substansi tersebut
jelaslah bahwa substansi suatu aturan itu harus jelas dan mempunyai value
19
Maria Alfons, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk
masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor,
Malang: Universitas Brawijaya, 2010, hal.18.
20 Lili rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Remaja
Rusdakarya, 1993, hal. 118.
21 Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, (New
sebagaimana dinyatakan oleh Bruggink. Jika suatu substansi hukum sudah
memiliki nilai, pada saat itu pulalah nilai itu dapat dievaluasi tentang keberlakuan
atau efektivitasnya. 22
Begitu pula dengan budaya hukum (legal culture), di mana Friedman
menegaskan bahwa budaya hukum ini sendiri merupakan bagian dari budaya
dalam arti umum yang meliputi kebiasaan, opini, cara melakukan dan berpikir
tentang sesuatu hal dan lain sebagainya. Dengan demikian, budaya hukum ini
akan mendeskripsikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri, sehingga
keberlakuan atau efektivitas hukum amat tergantung pada budaya hukum dari
masyarakat atau komunitas tersebut. Melalui budaya hukum ini pulalah, bisa
dilihat tingkat kepatuhan dan ketaatan masyarakat atau komunitas tertentu menaati
ketentuan peraturan perundang-undangan yang tercermin dari sikap dan perilaku
mereka sendiri. Dari ketiga elemen dasar dari sistem hukum yang dikemukakan
oleh Friedman, akan mampu melihat sejauh mana keberlakuan atau efektivitas
dari suatu produk hukum masyarakat.23
22 Ibid .
Fungsi hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang
dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun
penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta
menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum
yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali anak-anak.
Terhadap bentuk pengertian pengangkatan anak yang pertama sebagai
mana di utarakan oleh Mahmud Syaltut, Fathurrahman memberikan komentar :
“Pengangkatan anak dalam pengertian ta’awun, dengan menanggung nafkah anak
sehari-hari, memelihara dengan baik, memberikan pakaian, pelayanan kesehatan,
demi masa depan anak yang lebih baik, justru merupakan amal baik yang
dilakukan sebagian orang yang mampu menggantikan baik hati yang tidak
dianugerahi anak oleh Allah SWT. Mereka menjadikan perbuatan anak sebagai
sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan mendidik, memelihara
anak-anak dari kalangan fakir miskin yang terabaikan hak-haknya sebagai anak
karena kekafiran dan kemiskinan orang tuanya. Tidak diragukan lagi, bahwa
usaha-usaha semacam ini merupakan suatu amal yang disukai dan dipuji oleh
Islam.24
Definisi kedua menggambarkan tentang pengangkatan anak sebagai mana
yang dipraktikkan pada zaman Jahiliyah, dan pengangkatan anak yang dikenal
masyarakat Tionghoa yang mempersamakan status anak angkat sebagai anak
kandung dan memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya, serta
masuk Klan (suku) keluarga orang tua angkat dengan memakai nama orang tua
angkatnya. Oleh karena itu anak angkat berhak menjadi ahli waris dan
memperoleh warisan sebagai mana hak warisan yang diperoleh anak kandung,
sedangkan syariat Islam menetapkan tentang ketentuan pembagian harta warisan,
yang telah digariskan secara qath’i bahwa hanya kepada orang-orang yang ada Dengan demikian teori yang digunakan dalam teori ini adalah teori
Taawun artinya saling tolong menolong.
pertalian darah, keturunan, dan perkawinan yang dapat masuk dalam kelompok
ahli waris.25 Pengertian pengangkatan anak semacam inilah yang dilarang dalam
Islam. Berdasarkan paparan di atas, jelas bahwa dalam lembaga pengangkatan
anak yang bertentangan dengan agama Islam adalah pengangkatan anak yang
dengan sengaja menjadikan anak angkat sebagai anaknya sendiri dengan hak-hak
dan kewajiban yang disamakan dengan anak kandung; diberikan hak waris sama
dengan hak waris anak kandung, dan orang tua angkat menjadi orang tua kandung
anak yang diangkatnya. Tetapi dalam pengangkatan anak dalam pengertian
terbatas dengan menekankan aspek kecintaan, perlindungan, dan pertolongan
terhadap hak pendidikan anak, nafkah sehari-hari, kesehatan, dan lain-lain, adalah
termasuk dalam ajaran ta’awun yang oleh Islam justru sangat di anjurkan.26
“Bertolong-tolonglah kamu dalam hal kebajikan dan takwa, tetapi jangan
bertolong-tolongan dalam hal kemaksiatan dan permusuhan”.
Allah
SWT, berfirman yang artinya :
27
Penetapan Pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam oleh Pengadilan
Agama tidak memutuskan hubungan hukum atau hubungan nasab dengan orang
tua kandungnya. Anak angkat secara hukum tetap diakui sebagai anak kandung
dari orang tua kandungnya. Adanya justifikasi terhadap anak angkat dalam
Hukum Islam tidak menjadikan anak angkat itu sebagai anak kandung atau anak
25 Departemen Agama RI, Trasliterasi Arab-Latin QS. An-Nisa/4: 11. 12, 2000, Asy
Syfa’,Semarang, hal. 168-170.
26 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta, Sinar Grafika,
2002, hal. 53.
27 Departemen Agama RI, Trasliterasi Arab-Latin QS. Al-Ma’idah /5: 2., 2000, Asy
yang dipersamakan hak-hak dan kewajibannya seperti anak kandung dari orang
tua angkatnya, hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya
seperti hubungan anak asuh dengan orang tua asuh yang diperluas. Oleh karena
itu, tidak bisa dianggap bahwa seolah-olah anak angkat itu sebagai anak yang baru
lahir di tengah-tengah keluarga orang tua angkatnya dengan segala hak dan
kewajiban seperti anak kandung. Kalau demikian halnya, maka Akta Kelahiran
anak angkat tersebut tidak gugur atau hapus dengan sendirinya setelah
ditetapkannya Penetapan Pengangkatan anak oleh Pengadilan Agama.
Konsekuensi logisnya tidak perlu adanya pencatatan anak angkat yang ditetapkan
berdasarkan Hukum Islam oleh orang tua angkatnya ke Kantor Catatan Sipil.
Dengan lahirnya Surat “Akta Kelahiran Anak” dari Kantor Catatan Sipil,
maka “Akta Kelahiran Anak” tersebut dari orang tua Kandungnya (orang tua asal)
secara serta merta menjadi gugur atau hapus dengan sendirinya. Karena aspek
administrasi, tidak mungkin seorang anak memiliki dua akta kelahiran dengan dua
orang tua kandung. Dengan lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, yang berlaku mulai tanggal 21 Maret 2006, Pengadilan Agama
memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa, dan mengadili
perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam. Sebagaimana
produk hukum yang dikeluarkan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak
yang berbentuk “penetapan”, maka produk hukum Pengadilan Agama tentang
Pengangkatan Anak yang dilakukan berdasarkan hukum Islam juga berbentuk
Berbicara masalah pengangkatan anak, yang oleh hukum telah diberikan
hak bagi masyarakat untuk melakukan pengangkatan anak, namun yang paling
penting dengan terjadinya pengangkatan anak tersebut harus dapat memberikan
manfaatnya baik bagi orang tua angkat itu maupun bagi si anak angkat. Sebelum
lahirnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang
mengatur tentang pengangkatan anak, yaitu pasal 39, 40, dan 41 hukum
pengangkatan anak yang digunakan oleh Pengadilan Negeri bersumber dari
hukum perdata barat yang akibat hukumnya bertentangan dengan hukum Islam.28
Dalam hukum Islam tidak dikenal perpindahan nasab dari ayah
kandungnya ke ayah angkatnya. Maksudnya ia tetap menjadi salah seorang
mahram dari keluarga ayah kandungnya. Dalam arti berlaku larangan kawin dan
tetap saling mewarisi dengan ayah kandungnya. Jika ia melangsungkan
perkawinan setelah dewasa, maka walinya tetap ayah kandungnya. Adapun pada
pengangkatan anak yang diiringi oleh akibat hukum lainnya terjadi perpindahan
Nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Konsekwensinya, antara dirinya
dengan ayah angkatnya dan keluarga kandung ayah angkatnya berlaku larangan
kawin serta kedua belah pihak saling mewarisi. Jika ia akan melangsungkan
pernikahan nantinya, maka yang berhak menjadi walinya adalah ayah angkatnya Tata Cara Pengangkatan Anak, menurut ulama fikih, untuk mengangkat anak atas
dasar ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar anak tersebut
dapat mandiri di masa yang akan datang.
tersebut, bukan ayah kandungnya. Ada dua hal yang terkait dengan suatu hukum
anak angkat, yaitu dalam hal kewarisan, dan dalam hal perkawinan.
Dilihat dari aspek perlindungan dan kepentingan anak, lembaga
pengangkatan anak (tabani) memiliki konsepsi yang sama dengan pengangkatan
anak (adopsi) yang dikenal dalam hukum. Perbedaannya terletak pada aspek
mempersamakan anak angkat dengan anak sendiri, menjadikan anak angkat
menjadi anak sendiri, memberikan hak waris yang sama dengan hak waris anak
kandung.29 Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa status anak angkat itu
hanya sekedar mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih sayang, pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan hak-hak asasi sebagai anak lainnya, tampa harus
disamakan hak-haknya dengan status anak kandung, karena hati nurani orang tua
angkat tetap akan sulit memandang sama anak angkat dengan anak kandungnya.
Oleh karena itu, Pengertian anak angkat menurut Mahmud Syaltut lebih dekat
pengertiannya kepada pengertian anak asuh yang lebih di dasari oleh perasaan
seorang yang menjadi anak angkat.30
2. Konseptual
Konsep merupakan unsur pokok dalam suatau penelitian atau untuk
membuat karya Ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud dengan konsep adalah “ suatu
pengertian mengenai suatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau definisi
tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Agar secara operasional diperoleh hasil
penelitian yang sesuai dengan tujuan yang ditentukan sesuai dengan judul
29
Adrianus Khatib. Kedudukan anak asuh Ditinjau dari Hukum Islam, Problematika
Hukum Islam Konteporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002). hal. 158.
penelitian ini yang berjudul “ Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan
Pengangkatan Anak ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-undang No 23 tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak” Penjelasan Konsepsionalnya yaitu :
1. Anak adalah amanah dari Allah SWT, karena itu setiap anak yang lahir
wajib dilindungi hak-haknya. Hal ini juga berarti, para orang tua tidak
akan menelantarkan atau menyia-nyiakan anak-anaknya. Akan tetapi tidak
tertutup kemungkinan adanya orang tua yang belum memiliki anak setelah
lama berkeluarga berusaha mengangkat anak sebagai pengganti anak
kandungnya, atau ada orang tua yang ingin mengangkat anak orang lain
sebagai bentuk kepedulian sosial, meskipun mereka memiliki anak
kandung sendiri. Umumnya mereka mengangkat anak-anak saudara
mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Meskipun demikian, ada
juga kasus di mana anak-anak yang diangkat tidak memiliki hubungan
persaudaran secara langsung dengan calon orang tua angkatnya.
2. Pengangkatan Anak dalam Islam adalah Pengambilan atau pengangkatan
anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri. Istilah tabani yang berarti
seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, dan berlakulah
terhadap anak tersebut seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak
kandung orang tua angkat,31
3. Anak angkat dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak (Pasal 1 Ayat 9) adalah anak yang haknya dialihkan pengertian demikian yang identik dengan
istilah “Adopsi” yang dilarang Hukum Islam.
31 Muhammad Ali Al-Sayis. Tafsir Ayat al-Ahkam. (Mesir: Mathba’ah Muhammad Ali
dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang
lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
4. Anak Angkat dalam Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 Tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak (Pasal 1 Ayat 2) adalah suatu perbuatan
hukum yang mengalihkan seorang orang dari lingkungan kekuasaan orang
tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam
lingkungan keluarga orang tua angkat.
5. Kedudukan anak angkat dalam KHI Pasal 171 Huruf h yang berbunyi:
“Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya
dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasar putusan
pengadilan.32
6.
32 M. Abdurrahman, KHI di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 1995. hal. 156. Perlindungan Hukum, perlindungan adalah tempat berlindung hal
(perbuatan dan sebagainya) memperlindungi. Merupakan gambaran dari
bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah
suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan
dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis
maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan
untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten.
Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi data yang telah
dikumpulkan.33 Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodelogi penelitian yang
diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi
induknya.34
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitis, di suatu
penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum
baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan yaitu
dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Agama Kota Medan dan Komisi
Perlindungan Anak Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan
peraturan perundang-undangan. Jadi, sifat penelitian ini adalah yuridis normatif,
33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2005), hal. 5-6.
yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan
hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.35
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Primer dan Data
Sekunder. Data Primer adalah data yang diperoleh dari penelitian lapangan,
sedangkan data sekunder terdiri atas :
1. Bahan Hukum Primer yakni bahan hukum yang mengikat digunakan
dalam penelitian ini,36
a. Al-Qur’an, Al-Hadits, ijtihad serta kaidah ushul fiqh.
terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada
berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan berkaitan
dengan Pengangkatan Anak yaitu :
b. Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
c. Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak.
d. Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak.
e. Undang-undang No 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
2. Bahan Hukum Sekunder, bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, yaitu terdiri dari buku-buku hukum, surat
kabar, tulisan ilmiah, televisi dan internet.
3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam
35
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.13.
36 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
penelitian ini digunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum,
dan Kamus Bahasa Belanda.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian tesis ini menggunakan teknik studi
dokumen, seluruh data dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi
kepustakaan (Liberaly research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang
dipandang relevan, dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan
Perpustakaan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya dilakukan
wawancara untuk menunjang data sekunder artinya data yang diperoleh melalui
penelusuran kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian
disistematikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan
objek penelitian.
4. Analisis Data
Analisis Data, yaitu menganalisis data yang diperoleh dalam penelitian
tersebut dengan cara data yang telah dikumpulkan akan disajikan dalam uraian
dan dijelaskan berdasarkan logika, sehingga kemudian diperoleh suatu kesimpulan
yang bersifat deduktif, yaitu kesimpulan diuraikan dari hal yang umum ke
hal-hal yang khusus dan disajikan dalam bentuk tesis. Keseluruhan data ini akan
BAB II
PENGANGKATAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 DAN HUKUM ISLAM
A. Tradisi atau Budaya Mengangkatan Anak di Indonesia
Pengangkatan anak bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak dulu
pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda sesuai
dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang didaerah
yang bersangkutan, di Indonesia pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan
masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan karena
menyangkut kepentingan orang perorangan dalam keluarga oleh karena itu
lembaga pengangkatan anak yang telah menjadi bagian dari budaya dari
masyarakat akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan
tingkat kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri.
Proses pengaturan pengangkatan anak dalam peraturan
perundang-undangan pada masyarakat Indonesia yang bhinneka (plural) tidak mudah dan
mengalami banyak pertentangan. Sejak pasca proklamasi sampai awal era
reformasi, yang mengatur tentang pengangkatan anak yang ketentuan pasalnya
sebatas tujuan pengangkatan anak.37
37 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 12.
Sejak melewati pintu gerbang proklamasi
sampai memasuki pintu gerbang reformasi, tidak ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara memadai pelaksanaaan pengangkatan anak di
terwujud dengan lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, yang di dalamnya juga mengatur tentang pengangkatan anak
dalam beberapa pasal. Kini, untuk melaksanakan ketentuan pengangkatan anak
tersebut telah ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Realita masyarakat dan sistem hukum yang pluralistik (berbeda)
berimplikasi pada beragamnya konsep pengangkatan anak di Indonesia,Terdapat
banyak metode pengangkatan anak menurut hukum adat di Indonesia. Setiap
daerah yang memiliki ciri khas berbeda dan unik yang membuat pengangkatan
anak dalam kehidupan masyarakat adat sangat menarik. berikut beberapa contoh
tentang pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat yang terdapat di
beberapa daerah di Indonesia, antara lain :
1. Di Jawa dan Sulawesi Pengangkatan Anak jarang dilakukan dengan
sepengetahuan kepala desa. Mereka mengangkat anak dari kalangan
keponakan-keponakan. Lazimnya mengangkat anak keponakan ini tanpa
disertai dengan pembayaran uang atau penyerahan barang kepada orang
tua si anak.
2. Di Bali, sebutan pengangkatan anak disebut “nyentanayang”. Anak
lazimnya diambil dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya,
yaitu yang disebut purusa (pancer laki-laki) . Tetapi akhir-akhir ini dapat
3. Dalam masyarakat Nias, Lampung dan Kalimantan. Pertama-tama anak
harus dilepaskan dari lingkungan lama dengan serentak diberi imbalannya,
penggantiannya, yaitu berupa benda magis, setelah penggantian dan
penukaran itu berlangsung anak yang dipungut itu masuk ke dalam kerabat
yang memungutnya, itulah perbuatan ambil anak sebagai suatu perbuatan
tunai. Pengangkatan anak itu dilaksanakan dengan suatu upacara-upacara
dengan bantuan penghulu atau pemuka-pemuka rakyat, dengan perkataan
lain perbuatan itu harus terang.38
4. Di Pontianak, syarat-syarat untuk dapat mengangkat anak adalah:
Disaksikan oleh pemuka-pemuka adat, disetujui oleh kedua belah pihak,
yaitu orang tua kandung dan orang tua angkat, sianak telah meminum
setetes darah dari orang tua angkatnya, membayar uang adat sebesar dua
ulun (dinar) oleh si anak dan orang tuanya sebagai tanda pelepas atau
pemisah anak tersebut, yakni bila pengangkatan anak tersebut dikehendaki
oleh orangtua kandung anak tersebut. Sebaliknya bila pengangkatan anak
tersebut dikehendaki oleh orang tua angkatnya maka ditiadakan dari
pembayaran adat. Tetapi apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak maka
harus membayar adat sebesar dua ulun.39
38 Ter Haar,Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hal.
182.
39 Amir Mertosedono, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara :
5. Dalam masyarakat Rejang pada Provinsi Bengkulu dikenal adanya
lembaga pengangkatan anak, yang diangkat disebut “Anak Aket” dengan
cara calon orang tua angkat mengadakan selamatan atau kenduri yang
dihadiri oleh ketua Kutai dan pemuda-pemuda masyarakat lainnya. Di
dalam upacara itu ketua Kutai mengumumkan terjadinya pengangkatan
anak yang kemudian disusul dengan upacara penyerahan anak yang akan
diangkat oleh orang tua kandung dan penerimaan oleh orang tua angkat
(semacam ijab kabul), maka secara adat resmilah pengangkatan anak
tersebut.
Masih banyak lagi bentuk-bentuk pengangkatan anak dalam kehidupan
masyarakat adat di Indonesia. Keanekaragaman pengangkatan tersebutlah yang
membuat hukum adat di Indonesia semakin menarik untuk digali dan dipelajari
secara lebih lanjut untuk memperkaya pengetahuan tentang pengangkatan anak
dalam hukum adat dengan lebih baik.
Pentingnya seorang anak bagi sebuah keluarga dalam kehidupan
masyarakat adat sehari-hari. Anak yang mempunyai banyak fungsi dalam sebuah
keluarga membuatnya sangat penting. Terdapat berbagai alasan yang menjadi arti
penting sebuah pertimbangan dalam pengangkatan seorang anak. Ada beberapa
yang mengangkat anak untuk kepentingan pemeliharaan keluarga di hari tua,
1.
Umumnya di Indonesia, motivasi pengangkatan anak menurut hukum adat
ada 14 macam, antara lain :
2.
Karena tidak mempunyai anak. Hal ini adalah suatu motivasi yang bersifat
umum karena jalan satu-satunya bagi mereka yang belum atau tidak
mempunyai anak, di mana dengan pengangkatan anak sebagai pelengkap
kebahagiaan dan kelengkapan serta menyemarakkan rumah tangga.
3.
Karena belas kasihan terhadap anak-anak tersebut, disebabkan orang tua si
anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya. Hal ini adalah motivasi
yang sangat positif, karena di samping mambantu si anak juga membantu
beban orang tua kandung si anak asal didasari oleh kesepakatan yang
ikhlas antara orang tua angkat dengan orang tua kandung.
4.
Karena belas kasihan di mana anak tersebut tidak mempunyai orang tua.
Hal ini memang suatu kewajiban moral bagi yang mampu, di samping
sebagai misi kemanusiaan.
5.
Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak
perempuan atau sebaliknya. Hal ini adalah juga merupakan motivasi yang
logis karena umumnya orang ingin mempunyai anak perempuan dan anak
laki-laki.
6.
Sebagai pemancing bagi yang tidak punya anak, untuk dapat mempunyai
anak kandung. Motivasi ini berhubungan erat dengan kepercayaan yang
ada pada sebagian anggota masyarakat.
Untuk menambah jumlah keluarga. Hal ini karena orang tua angkatnya
7.
8.
Dengan maksud agar anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik.
Motivasi ini erat hubungannyaa dengan misi kemanusiaan.
9.
Karena faktor kekayaan. Dalam hal ini, disamping motivasi sebagai
pemancing untuk dapat mempunyai anak kandung, juga sering
pengangkatan anak ini dalam rangka untuk mengambil berkat baik bagi
orang tua angkat maupun dari anak yang diangkat demi untuk bertambah
baik kehidupannya.
10.
Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris bagi yang tidak
mempunyai anak kandung. Hal ini berangkat dari keinginan agar dapat
memberikan harta dan meneruskan garis keturunan.
11.
Adanya hubungan keluarga, maka orang tua kandung dari si anak tersebut
meminta suatu keluarga supaya dijadikan anak angkat. Hal ini juga
mengandung misi kemanusiaan.
12.
Diharapkan anak dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan
bagi yang tidak mempunyai anak. Dari sini terdapat motivasi timbal balik
antara kepentingan si anak dan jaminan masa tua bagi orang tua angkat.
13.
Ada perasaan kasihan atas nasib si anak yang tidak terurus. Pengertian
tidak terurus, dapat saja berarti orang tuanya hidup namun tidak mampu
atau tidak bertanggung jawab, sehingga anaknya menjadi
terkatung-katung. Di samping itu, juga dapat dilakukan terhadap orang tua yang
sudah meninggal dunia.
Untuk mempererat hubungan keluarga. Di sini terdapat misi untuk
14.Karena anak kandung sakit-sakitan atau selalu meninggal dunia, maka
untuk menyelamatkan si anak, diberikannya anak tersebut kepada keluarga
atau orang lain yang belum atau tidak mempunyai anak, dengan harapan
anak yang bersangkutan akan selalu sehat dan panjang usia. Dari motivasi
ini terlihat adanya unsur kepercayaan dari masyarakat kita.40
Sangat jelas bila seorang anak telah diangkat atau diadopsi oleh orang tua
angkatnya, maka akan timbul akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak
tersebut. pada hukum di Indonesia, bila seorang anak telah diangkat oleh keluarga
angkatnya, maka anak tersebut akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama
seperti anak kandung orang tuanya. Anak angkat akan mendapatkan kewajiban
seperti menghormati orang tua atau walinya, sedangkan hak anak tersebut akan di
dapatkan ketika telah diangkat adalah warisan dari keluarga angkatnya, yang
dapat berupa tanah, harta kekayaan, uang, dan materi yang dapat diwariskan
lainnya.
Dalam hukum adat, Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas
warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing.41
40 Mudaris Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Sinar Grafika,
Jakarta. 1992),hal.61.
Sepanjang perbuatan
pengangkatan anak telah menghapuskan peranannya sebagai “orang asing’ dan
menjadikannya sebangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai
seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat.
41 Sunarmi, Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba, (Suatu Analisis
1.
Pengangkatan anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak
sepenuhnya atas warisan. Pengadilan Negeri dalam praktek telah merintis
mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan antara anak dengan orang tua
sebagai berikut :
2.
Hubungan darah: mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk
memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.
3.
Hubungan waris: dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak
sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak
yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.
4.
Hubungan perwalian: dalam hubungan perwalian ini terputus
hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang
tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh
pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua kandung berlaih kepada
orang tua angkat.
Hubungan marga, gelar, kedudukan adat: dalam hal ini anak tidak akan
mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua
angkat
Selain akibat hukum yang mengaitkan hak dan kewajiban anak setelah
diangkat oleh orang tua angkatnya, terdapat juga akibat anak tersebut dengan
pihak-pihak yang berkepentingan dengan perbuatan pengangkatan anak tersebut
a. Dengan orang tua kandung
Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang
tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau
tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua
kandung telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal seperti ini terdapat di daerah
Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah
memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak
memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandungnya. Hanya
hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan
orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan,
pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.
b. Dengan orang tua angkat.
Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan
sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan
keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti
di pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan
anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan anak itu ke dalam
keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan sebagai
anak kandung.42