TESIS
Oleh
MITRA SUPRAYUDI
117011089/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MITRA SUPRAYUDI
117011089/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : MITRA SUPRAYUDI
Nomor Pokok : 117011089
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD )
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)(Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : EVELYN
Nim : 117011029
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : UPAYA HUKUM WAJIB PAJAK BADAN TERHADAP
HASIL PEMERIKSAAN PAJAK
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
adalah pengangkatan yang mengarah kepada putusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandung termasuk dalam hal panggilan nasab. Namun, jika pengangkatan anak didasarkan pada rasa belas kasihan dan saling bantu membantu bukanlah sesuatu yang dilarang bahkan dianjurkan dalam agama Islam. Persoalan
tabanni(pengangkatan anak) yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya adalah dengan cara menghilangkan status atau hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya, artinya dengan sengaja tidak memberitahukan bahwa sebenarnya mereka mengangkat anak tersebut dan tidak dilahirkan dari rahim sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Fikih Islam yang tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai latar belakang konseptabaniditinjau dari fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, prosedur tabani menurut fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan akibat hukum dari tabani menurut Fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Perwalian dan kemashlahatan, sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan dan wawancara.
Pengangkatan anak dengan memutuskan hubungan darah (nasab) diharamkan dalam hukum Islam, yang diperbolehkan adalah pengangkatan anak dalam pengertian pemeliharaan, pengasuhan tanpa memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya, sedangkan pengangkatan anak dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan pengalihan hak anak dari orang tua kandung kepada orang tua angkat dengan prinsip demi kepentingan terbaik bagi anak. Prosedur pengangkatan anak dapat dilakukan ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri (bagi non Muslim), dan akibat hukum pengangkatan anak umumnya timbul dengan adanya penetapan pengadilan dengan tidak memutuskan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya, yang beralih adalah hak perwaliannya. Dalam hal pewarisan, pengangkatan anak berdasarkan penetapan pengadilan berhak atas harta warisan dari orang tua angkatnya berdasarkan wasiat wajibah.Ketiga,dengan adanya penetapan pengangkatan anak dari pengadilan maka konsekuensinya adalah perlindungan terhadap anak angkat dapat terjamin terhadap perwalian hukum maupun harta warisan dari orang tua angkatnya
The cild adoption which is not allowed in the teaching of Islam is the adoption leading to the breakup of legal relationship between the adopted child and his/her biological parents including in terms of lineage calls. But, if the child adoption is based on mercy and mutual help, it is not prohibited but suggested in Islam. The problem of tabani (child adoption) practices by the community in general is by removing the status or relationship between the adopted child and his/her biological parents or deliberately, the adopted parents do not tell their adopted child that he/she is not their biological child. This is not in accordance with Islamic Fiqh (Jurisprudence) which does not recognize child adoption in the sense of absolutely taking the adopted child as an biological child. The problems discussed in this study were the background of the concept of tabani viewed from Islamic Fiqh and Law No. 23/2002 on Child Protection, the procedure of tabani according to Islamic Fiqh and Law No. 23/2002 on Child Protection, and the legal consequences of tabani in accordance with Islamic Fiqh and Law No. 23/2002 on Child Protection.
This normative juridical study employed welfare and guardianship theory and conducted a deep analysis on the regulation of legislation, jurisprudence, and legal expert opinion. The used in this study were obtained through documentation study and interviews.
Child adoption which removes the blood relationship (nasab) is not allowed in Islamic Law while what is allowed is the child adoption in sense of taking care of the child without removing the child’s blood relationship with his/her biological parents. According to Law No. 23/2002 on Child Protection, child adoption is the transfer of the rights of a child from his/her biological parents to his/her adopted parents for the best of the child adopted. The procedure is that child adoption can be done in Religious Court or State Court (for non-Muslim), the legal consequences of child adoption, generally, come up with the court decision without removing the blood relationship (nasab) of the adopted child with his/her biological parents. What is trasferred is only the right of guardianship of the child. In relation to inheritance, the child adopted based on court decision has the right to receive inheritance from his/her adopted parents under the wajibah will. The protection for the child adopted based on the court decision is that his/her legal guardianship and the distribution of inherited property from his/her adopted parents are guaranteed.
dan rahmat hidayah-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan
judul“Analisis Hukum Terhadap Tabanni (Pengangkatan Anak) Menurut Fikih
Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak”, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Pada penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril
berupa bimbingan dan arahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis
ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada
komisi pembimbing, yang terhormat Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA,
PhD, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS, CN, dan ibu Dr. Utary
Maharani Barus, SH., M.Hum.
Selanjutnya Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara di Medan
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara di Medan
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
5. Para staf pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
6. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Teristimewa dengan ketulusan hati Penulis mengucapkan terima kasih kepada
yang tercinta kedua orang tua Penulis, ayahanda dan Ibunda yang telah
memberikan doa, perhatian dan kasih sayang serta dukungannya kepada Penulis.
8. Rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Group C angkatan 2011.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga perhatian dan bantuan yang telah diberikan
mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis
menyadari bahwa penulisan tesis ini jauh dari sempurna, walaupun demikian Penulis
mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Desember 2013 Penulis
1. Nama : Mitra Suprayudi 2. Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 20 Juni 1986
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Status : Belum Menikah
5. Agama : Islam
6. Alamat : Jln. Tengku Bey, Perumahan Peputra
Indah II, Blok G No. 180 Pekan Baru.
II. KELUARGA
1. Nama Ayah : Budiono (Alm)
2. Nama Ibu : Marini
3. Nama Saudara : Dra. Yuniarsih
Suci Yovita
2. SMP : SLTP YLPI Pekan Baru
Tahun 1998-2001
3. SMA : SMU Handayani Pekan Baru
Tahun 2001-2004 4. Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Islam Riau
Tahun 2004-2010
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR ISTILAH ... viii
DAFTAR SINGKATAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 13
G. Metode Penelitian... 21
BAB II LATAR BELAKANG KONSEP TABANNI DITINJAU DARI FIKIH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK... 24
A. Konsep Tabanni Menurut Fikih Islam ... 24
B. Pengangkatan Anak Dalam Undang Nomor 23 Tahun 2002... 33
C. Alasan/Motivasi Pengangkatan Anak ... 35
BAB III PROSEDUR TABANI MENURUT FIKIH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ... 42
A. Pelaksanaan Tabanni Menurut Fikih Islam... 42
B. Prosedur Pengangkatan Anak pada Pengadilan Agama ... 50
ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK... 83
A. Akibat Hukum Yang Timbul Dengan Adanya Pengangkatan Anak Dalam Perspektif Fikih Islam... 83
B. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002... 93
C. Pengawasan Terhadap Pengangkatan Anak (tabanni) ... 99
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 110
A. Kesimpulan ... 110
B. Saran ... 111
Ba’da Dukhul : setelah berhubungan
Contentiosa : suatu gugatan
Iddah : masa tunggu
Ikhtiar : berusaha
Mahrom : berhubungan darah
Munakahat : pernikahan
Nasab : kerabat
Single Parent : orang tua tunggal
Ta’awun : berbuat baik
Tabanni : pengangkatan anak
Tirkah : harta peninggalan
SAW : Shalallahu‘alaihi Wasallam
UU : Undang-undang
Q.S : Qur’an Surah
KHI : Kompilasi Hukum Islam
adalah pengangkatan yang mengarah kepada putusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandung termasuk dalam hal panggilan nasab. Namun, jika pengangkatan anak didasarkan pada rasa belas kasihan dan saling bantu membantu bukanlah sesuatu yang dilarang bahkan dianjurkan dalam agama Islam. Persoalan
tabanni(pengangkatan anak) yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya adalah dengan cara menghilangkan status atau hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya, artinya dengan sengaja tidak memberitahukan bahwa sebenarnya mereka mengangkat anak tersebut dan tidak dilahirkan dari rahim sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Fikih Islam yang tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai latar belakang konseptabaniditinjau dari fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, prosedur tabani menurut fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan akibat hukum dari tabani menurut Fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Perwalian dan kemashlahatan, sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan dan wawancara.
Pengangkatan anak dengan memutuskan hubungan darah (nasab) diharamkan dalam hukum Islam, yang diperbolehkan adalah pengangkatan anak dalam pengertian pemeliharaan, pengasuhan tanpa memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya, sedangkan pengangkatan anak dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan pengalihan hak anak dari orang tua kandung kepada orang tua angkat dengan prinsip demi kepentingan terbaik bagi anak. Prosedur pengangkatan anak dapat dilakukan ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri (bagi non Muslim), dan akibat hukum pengangkatan anak umumnya timbul dengan adanya penetapan pengadilan dengan tidak memutuskan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya, yang beralih adalah hak perwaliannya. Dalam hal pewarisan, pengangkatan anak berdasarkan penetapan pengadilan berhak atas harta warisan dari orang tua angkatnya berdasarkan wasiat wajibah.Ketiga,dengan adanya penetapan pengangkatan anak dari pengadilan maka konsekuensinya adalah perlindungan terhadap anak angkat dapat terjamin terhadap perwalian hukum maupun harta warisan dari orang tua angkatnya
The cild adoption which is not allowed in the teaching of Islam is the adoption leading to the breakup of legal relationship between the adopted child and his/her biological parents including in terms of lineage calls. But, if the child adoption is based on mercy and mutual help, it is not prohibited but suggested in Islam. The problem of tabani (child adoption) practices by the community in general is by removing the status or relationship between the adopted child and his/her biological parents or deliberately, the adopted parents do not tell their adopted child that he/she is not their biological child. This is not in accordance with Islamic Fiqh (Jurisprudence) which does not recognize child adoption in the sense of absolutely taking the adopted child as an biological child. The problems discussed in this study were the background of the concept of tabani viewed from Islamic Fiqh and Law No. 23/2002 on Child Protection, the procedure of tabani according to Islamic Fiqh and Law No. 23/2002 on Child Protection, and the legal consequences of tabani in accordance with Islamic Fiqh and Law No. 23/2002 on Child Protection.
This normative juridical study employed welfare and guardianship theory and conducted a deep analysis on the regulation of legislation, jurisprudence, and legal expert opinion. The used in this study were obtained through documentation study and interviews.
Child adoption which removes the blood relationship (nasab) is not allowed in Islamic Law while what is allowed is the child adoption in sense of taking care of the child without removing the child’s blood relationship with his/her biological parents. According to Law No. 23/2002 on Child Protection, child adoption is the transfer of the rights of a child from his/her biological parents to his/her adopted parents for the best of the child adopted. The procedure is that child adoption can be done in Religious Court or State Court (for non-Muslim), the legal consequences of child adoption, generally, come up with the court decision without removing the blood relationship (nasab) of the adopted child with his/her biological parents. What is trasferred is only the right of guardianship of the child. In relation to inheritance, the child adopted based on court decision has the right to receive inheritance from his/her adopted parents under the wajibah will. The protection for the child adopted based on the court decision is that his/her legal guardianship and the distribution of inherited property from his/her adopted parents are guaranteed.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan makhluk ciptaan Allah yang wajib dilindungi dan dijaga
kehormatan, martabat dan harga dirinya secara wajar, baik secara hukum, ekonomi,
politik, sosial maupun budaya tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan.
Anak merupakan generasi bangsa yang harus dijamin hak hidupnya agar bisa tumbuh
dan berkembang sesuai kodratnya. Oleh karenanya, anak harus dijaga dan dirawat
dengan baik, karena anak merupakan anugerah dan perhiasan kehidupan fana ini
sekaligus pelengkap kebahagiaan dalam sebuah rumah tangga.1
Anak yang lahir dari hubungan yang tidak halal pun ini tetap tidak
mengurangi kualitasnya sebagai sosok yang dilahirkan dalam keadaan suci tanpa
menanggung dosa yang telah diperbuat oleh orang tuanya. Oleh karenanya, anak yang
fitrah ini, harusnya bisa mendapatkan status dan kehidupan yang layak dalam
hidupnya, apalagi anak merupakan titipan Allah dalam sebuah keluarga sehingga bisa
menjadi penghibur lara yang suatu saat bisa menghampiri.
Suatu perkawinan tidaklah bahagia tanpa kehadiran seorang anak. Keinginan
untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi
kadang-kadang naluri ini terbentur pada takdir Ilahi, dimana kehendak mempunyai anak tidak
tercapai.2
1Mufidah Ch.,Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender,(Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 299-300.
2
Keinginan suami istri untuk mendapatkan buah hati adalah keinginan yang
sejalan dengan fitrah kemanusiaan sebagai bapak atau ibu, tidak ada penghalang dari
sisi syar'i bagi keduanya untuk berikhtiar dalam batas-batas kaidah syariat yang suci,
namun terkadang ikhtiar mereka berdua belum juga membuahkan hasil, upaya keras
mereka dibayangi aroma kegagalan, padahal harapan hati akan buah hati sudah
sedemikian menggebu, akhirnya muncul pemikiran untuk menempuh jalan tabanni,
mengangkat anak yang tidak lahir dari rahim sendiri sebagai anak dan hidup dalam
keluarga tersebut.
Pengangkatan anak dalam Fikih Islam dikenal dengan sebutantabbani.Istilah
Tabanni sebenarnya sudah menjadi tradisi dikalangan mayoritas masyarakat Arab.
Hal ini juga pernah dilakukan Nabi SAW terhadap Zaid bin Haritsah. Dalam kamus
al-Munawwir, istilah tabanni diambil dari kata al-Tabannîyang berasal dari Bahasa
Arab mempunyai arti mengambil, mengangkat anak atau mengadopsi.3 Dalam
Ensiklopedi Hukum Islam, tabanni disebut dengan “adopsi” yang berarti
“pengangkatan anak orang lain sebagai anak orang lain.4
Secara terminologis, Ahmad al-Ghandûr dalam Abd. Aziz Dahlan,
memberikan definisitabannidengan: “...pengambilan anak orang lain oleh seseorang
yang diketahui nasabnya, kemudian di-nasab-kan sebagai anaknya.”5
Senada dengan apa yang diungkapkan Ahmad al-Ghandûr, Muhammad
3Ahmad Warson Munawwir.Al-Munawwir. (Surabaya: Pustaka Progressif) 1997. hal. 111. 4
Abd. Aziz Dahlan. et.al. Ensiklopedi Hukum Islam.(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve) 1996, hal. 27.
Muhyiddîn Abdul Hamîd dalam sebuah kitabnya memberikan definisi:
“…pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas
nasabnya, kemudian anak itu dinasabkan kepada dirinya”.6
Pengertian lain, tabanni adalah pengambilan anak oleh seseorang baik
laki-laki atau perempuan yang dengan sengaja me-nasab-kan seorang anak kepada
dirinya, sedangkan anak tersebut mempunyai nasab yang jelas. Muhammad Thaha
Abul Ela Kalifah dalam bukunya juga mendefinisikan al-Tabannî dengan:
“...adopsi (tabanni) ialah menasabkan seorang anak kepada dirinya, baik
laki-laki maupun perempuan dan bukan anak kandung.”7
Pada hakikatnya, definisi di atas terdapat kesamaan dalam memberikan
pengertian yaitu pengambilan anak oleh seseorang, baik laki-laki maupun perempuan
terhadap anak (bukan anak kandung) yang diketahui nasabnya, kemudian
menasabkannya.
Menurut Hilman Hadi Kusuma menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap sebagai anak sendiri oleh orang
tua dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk
kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.8
Dari pengertian-pengertian ini, dapat diketahui bahwa titik temu adalah
penasaban anak angkat kepada orang yang mengangkatnya. Syekh Mahmûd Syaltût
6Ibid., hal. 29. 7
Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam,
(Solo: Tiga Serangkai), 2007. hal. 649.
dalam Abdul Manan memberikan dua pengertian tabanni yang berbeda, yaitu:
a. Seseorang yang mengangkat anak, yang diketahui bahwa anak itu termasuk anak orang lain, kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari kasih sayang maupun nafkah (biaya hidup), tanpa ia memandang perbedaan. Meskipun demikian, agama Islam tidak menganggap sebagai anak kandung, karena ia tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung.
b. Seseorang yang tidak memiliki anak kemudian menjadikan seseorang anak orang lain sebagai anaknya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu ia menjadikannya sebagai anak sah.9
Dari dua pengertian yang diberikan oleh Mahmûd Syaltût, tabanni dalam
pengertian yang pertama lebih didasarkan pada hati nurani untuk merawat seorang
anak yang tidak mampu agar bisa diberikan pendidikan, ekonomi dan perlindungan
yang layak sehingga anak tersebut tumbuh dengan baik.Al-Tabannîdalam pengertian
yang kedua lebih dititik beratkan kepada penasaban seorang anak kepada orang tua
angkatnya. Hal ini dilarang oleh Islam, karena dapat mengkaburkan status seseorang
atau ada unsur pemalsuan asal-usul seorang anak, sehingga status ajnabi menjadi
hilang dan berganti menjadi mahram.10
Secara ringkas istilahtabannimempunyai dua pengertian yaitu:
a. Pengangkatan anak orang lain yang diketahui nasabnya oleh seseorang dan di-nasab-kan kepadanya,
b. Pengangkatan anak orang lain yang diketahui nasabnya oleh seseorang yang untuk dipelihara dan diberikan kasih sayang seperti layaknya anak sendiri.11
9
Abdul Manan.Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2008). hal. 66.
Pada prinsipnya pengangkatan anak (adopsi) adalah perbuatan hukum dengan
cara mengambil anak orang lain yang bukan keturunannya untuk dipelihara dan
diperlakukan sebagai anak keturunan sendiri.12
Faktor lain dari tabanni terkadang karena keinginan mereka untuk
meringankan beban orang tua kandung anak angkatnya yang serba minim, baik
karena hidup pas-pasan atau karena mempunyai anak yang banyak. Alhasil, faktor ini
menjadi penyebab kurangnya perhatian terhadap kesehatan, pendidikan, perawatan,
pengajaran, dan kasih sayang anak-anaknya. Setiap anak yang dilahirkan memerlukan
perawatan, pemeliharaan, dan pengasuhan untuk mengantarkannya menuju
kedewasaan. Pembentukan jiwa anak sangat dipengaruhi oleh cara perawatan dan
pengasuhan anak sejak dia dilahirkan. Tumbuh kembang anak diperlukan perhatian
yang serius, terutama masa-masa sensitif anak, misalnya balita (bayi dibawah lima
tahun). Demikian pula perkembangan psikologis anak juga mengalami fase-fase yang
memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan
jiwanya.13
Persoalantabanni (pengangkatan anak) yang dilakukan oleh masyarakat pada
umumnya adalah dengan cara menghilangkan status atau hubungan anak angkat
dengan orang tua kandungnya, artinya dengan sengaja tidak memberitahukan bahwa
sebenarnya mereka mengangkat anak tersebut dan tidak dilahirkan dari rahim sendiri.
Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Fikih Islam yang tidak mengenal pengangkatan
anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak, sedang yang di perbolehkan
atau anjuran hanya untuk memelihara dengan tujuan memperlakukan anak dalam segi
12Surojo Wignjodipoero,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, Cetakan 6, 1987), hal.117.
kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan atau pelayanan dalam segala kebutuhan
yang bukan memperlakukan sebagai anak kandung (nasab).14
Pengangkatan anak atau adopsi bukanlah merupakan suatu hal yang baru. Di
Indonesia sendiri, masalah pengangkatan anak ada diatur dalam Pasal 39 sampau
dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak.
Tujuan dari lembaga pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan
keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak ada anak. Hal ini merupakan
motivasi yang dapat dibenarkan dan salah satu jalan keluar dan alternatif yang positif
dan manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam pelukan keluarga,
setelah bertahun-tahun belum dikaruniai seorang anak.15
Kenyataannya sekarang ini, perkembangan masyarakat menunjukan bahwa
tujuan lembaga pengangkatan anak tidak lagi semata-mata atas motivasi untuk
meneruskan keturunan saja, tetapi lebih beragam dari itu. Ada berbagai motivasi yang
mendorong seseorang untuk mengangkat anak, bahkan tidak jarang pula karena faktor
politik, ekonomi, sosial dan sebagainya.16
Secara umum disadari, bahwa yang terpenting dalam soal pengangkatan anak
ini adalah demi kepentingan yang terbaik bagi si anak. Pengangkatan anak selalu
14
Ibid., hal. 304.
15 Muderis Zaini,Op.Cit., hal. 7.
mengutamakan kepentingan anak daripada kepentingan orang tua. Pengangkatan anak
melarang pemanfaatan anak untuk kepentingan orang lain. Pengangkatan anak
meliputi usaha mendapatkan kasih sayang, pengertian dari orang tua angkatnya, serta
menikmati hak-haknya tanpa mempersoalkan ras, warna, seks, kebangsaan atau
sosial.17
Islam yang turun sebagai rahmat li al-âlamîn mengatur segala aspek
kehidupan manusia, baik yang vertikal dan horizontal, termasuk juga dalam rangka
memberikan perlindungan pemeliharan sehingga kesejahteraan anak bisa terjamin
hingga dewasa dan mampu berdiri sendiri. Maka, Institusi keluarga dalam Islam,
menjadi bahasan yang sangat penting dalam Fikih Islam. Institusi kekeluargaan yang
utuh adalah penting untuk menjamin kebahagiaan dalam sebuah keluarga. Sebaliknya
keruntuhan institusi keluarga pula bisa menyebabkan pelbagai kesan negatif.18
Dalam institusi hukum keluarga Islam, untuk memenuhi hak-hak anak yang
dilahirkan atau untuk memberikan status dan kesejahteraan anak, dikenal sebuah
istilah Iqrâr bi al-Nasab yang bertujuan untuk memberikan status nasab atau
memperjelas asal usul seorang anak yang tidak teridentifikasi nasabnya. Status nasab
yang diberikan kepada seorang anak akan mempunyai efek dalam kehidupannya di
masa mendatang.
Al-Tabannî atau tabanni (pengangkatan anak) juga dikenal dalam lapangan
hukum keperdataan, khususnya lapangan hukum keluarga. al-Tabannî mempunyai
dua pengertian. Pertama; mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik
dengan penuh kasih sayang, tanpa diberikan status ‘anak kandung” kepadanya, hanya
17Muderis Zaini,Op.Cit., hal. 8.
saja ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua;
mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak
kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya,
dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum
antara anak angkat dan orang tua angkatnya.19
Anak angkat dalam pengertian yang pertama lebih didasari oleh perasaan
seseorang yang menjadi orang tua angkat untuk membantu orang tua kandung dari
anak angkatnya atau bagi pasangan yang tidak dikaruniai keturunan, agar anak angkat
bisa dididik atau disekolahkan, sehingga diharapkan nantinya anak tersebut bisa
mandiri serta dapat meningkatkan taraf hidupnya di masa yang akan datang. Anak
angkat dalam pengertian yang kedua terkait dengan masalah hukum, seperti
statusnya, akibat hukumnya, dan sebagainya. Anak angkat dalam pengertian yang
kedua secara hukum telah berkembang dan dikenal di berbagai negara, termasuk di
Indonesia sendiri, khususnya dalam bidang keperdataan.20
Tabanni merupakan bahasan yang sangat penting, karena pranata dalam
lapangan hukum kepardataan tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada anak agar bisa tumbuh kembang dengan baik di masa
mendatang. Namun disisi lain dua pranata tersebut tentu ada perbedaan, apalagi
peristiwa hukum yang dijalani, prosesnya berbeda, sehingga melahirkan akibat
hukum yang berbeda sebagai konsekuensi dari sebuah peristiwa hukum. Maka,
konsekuensi yang berbeda itulah agar bisa dipahami dan diinternalisasikan dalam
kehidupan masyarakat, sehingga tetap dalam batas-batas ketentuan Fikih Islam.
19 Ibid., hal. 71.
Pengangkatan anak dapat memutuskan hubungan hukum dengan orang tua
kandungnya dan bahkan panggilan terhadap anak angkat dinasabkan kepada orang
tua angkat. Tradisi ini jelas tidak sesuai dengan Al-Qur’an dalam surah Al-Ahzab
ayat (4) dan (5) yang artinya:
”... dan ia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri yang demikian ituhanyalah perkataan di mulut saja dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula (pengabdi) kamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.21
Menurut ayat (4) Surat Al-Ahzab ini adalah bahwa anak angkat bukanlah anak
kandung, menyebutkan namanya saja tidak boleh dinasabkan kepada yang angkatnya
dilanjutkan dengan ayat (5) yang maksudnya agar tidak menyesatkan hubungan darah
karena tidak jelasnya hubungan darah yang dapat berakibat pada kelirunya rancangan
perkawinan dan pada akhirnya dapat menyesatkan pembagian harta warisan.
Gangguan seperti inilah yang ingin dihindari oleh ajaran Islam agar kedudukan nasab
antara anak dan orang tua kandung tidak terputus.
Nabi Muhammad saw melakukan pengangkatan anak bukan bermaksud untuk
memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandung tetapi karena didasarkan
pada rasa belas kasihan. Ajaran ini menjadi dasar kuat bagi keberadaan anak angkat
sepanjang tidak mengaburkan pertalian keturunannya. Pengangkatan anak atas dasar
belas kasihan merupakan bagian dari berbuat baik sesuai ajuran Qur’an surat
Al-Maidah ayat (2) yaitu: ”Berlomba-lombalah berbuat kebajikan dan
bertolong-tolonglah dalam melakukan kebaikan dan jangan bertolong-tolongan dalam dosa
dan permusuhan”.
Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 5
adalah pembatalan penyebutan dalam arti membangsakan seorang anak kepada selain
ayahnya sendiri.22
Pengangkatan anak yang dilarang dalam ajaran Islam adalah pengangkatan
yang mengarah kepada putusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang
tua kandung termasuk dalam hal panggilan nasab. Namun, jika pengangkatan anak
didasarkan pada rasa belas kasihan dan saling bantu membantu bukanlah sesuatu
yang dilarang bahkan dianjurkan dalam agama Islam.23
Berdasarkan uraian di atas memberikan gambaran terkait dengan konsekuensi
hukum atau akibat hukum yang ditimbulkannya. Maka, dalam pembahasan ini akan
dipaparkan tentang “Analisis Hukum Terhadap Tabanni (Pengangkatan Anak)
Menurut Fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak”. Dalam pembahasan ini, peneliti mencoba menkomparasikan tabanni
(pengangkatan anak) dalam lapangan hukum berdasarkan fikih Islam dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta akibat hukum yang
ditimbulkan dari keduanya.
B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang melatar belakangi konsep tabani ditinjau dari fikih Islam dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?
2. Bagaimana prosedur tabani menurut fikih Islam dan Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?
3. Bagaimana akibat hukum dari tabani menurut Fikih Islam dan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?
C. Tujuan Penelitian
Dari permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi tujuan
yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang konsep tabani ditinjau dari
fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur tabani menurut fikih Islam dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari tabani menurut Fikih
Islam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis.
pengetahuan dan menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan hukum hak anak angkat menurut
Undang-Undang Perlindungan Anak maupun fikih Islam.
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pihak dalam
menyelesaikan permasalahan terhadap pengangkatan anak dan bagi masyarakat
sebagai bahan masukan untuk mengetahui tata cara pengangkatan anak, fungsi
serta perlindungan hukum anak angkat.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, penelitian mengenai Analisis Hukum Terhadap Tabanni Menurut
Fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun beberapa penelitian yang
membahas mengenai masalah hak anak angkat, antara lain diteliti oleh :
1. Tresna Hariadi, NIM 027011065, mahasiswi Program Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara tahun 2004, berjudul Hak Anak Angkat
Dari Orang Tua Angkat dalam Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama
Medan). Permasalahan dalam tesis ini adalah :
a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan bagi Pengadilan Agama Medan
dalam memberikan harta peninggalan orang tua angkat kepada anak angkat ?
b. Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan Pengadilan Agama Medan dalam
menentukan hak anak angkat atas harta peninggalan orang tua angkatnya ?
untuk menentukan hak anak angkat ?
2. T. Dewi Melfi Hamid, NIM 047011067, mahasiswi Program Pasca Sarjana
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara tahun 2006, berjudul Tinjauan
Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adopsi) Warga Negara Indonesia Oleh
Warga Negara Asing (Studi Kasus di Departemen Sosial Republik Indonesia).
Permasalahan dalam tesis ini adalah :
a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan seseorang melakukan pengangkatan
anak ?
b. Bagaimanakah akibat hukum yang ada dari setiap pengangkatan anak menurut
Hukum Perdata dan Hukum Islam ?
c. Bagaimanakah kedudukan Hukum Perdata dan Hukum Islam dalam
melindungi hak anak angkat ?
Akan tetapi dari segi materi, substansi dan permasalahan serta pengkajian dalam
penelitiannya berbeda sama sekali, dengan demikian penelitian ini adalah asli dan
dapat saya pertanggungjawaban.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan ”kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi
disetujui.24
Kerangka teori25 adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih
konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya. Teori itu
bukanlah pengetahuan yang sudah pasti tetapi harus dianggap petunjuk analisis dari
hasil penelitian yang dilakukan sehingga merupakan masukan eksternal bagi
penelitian ini.
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.26
Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep.27
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau
petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan
penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan
secara khas ilmu hukum, maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami
pelaksanaan pengangkatan anak menurut fikih Islam dan Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka teori yang
24M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Mandar Maju: Bandung, 1994), hal. 80. 25Ibid,hal. 129. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa didalam penelitian hukum juga dapat disusun dengan menerangkan metode klasifikasi dan memilih ruang lingkup yang akan diteliti.
26
digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kemaslahatan
hukum dan teori perwalian.
Setiap orang harus ada walinya. Wali itu dapat terdiri dari orang tuanya atau
orang lain yang ditunjuk oleh orang tuanya atau ditetapkan oleh pengadilan. Wali ini
penting dalam hubungannya dengan perkawinan bila yang bersangkutan perempuan,
berkaitan dengan harta benda dan pewarisan.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa teori perwalian sebagai teori
pendukung, teori ini penting diikutsertakan karena pada dasarnya semua orang harus
ada walinya. Wali terhadap anak secara realitas memang sangat dibutuhkan. Setiap
ada urusan tentang anak selalu dikaitkan dengan orang tua atau walinya.
Kemaslahatan dalam perspektif hukum Islam adalah sesuatu yang prinsip.
Prinsip maslahat sebagai dasar orientasi perkembangan hukum Islam telah disepakati
oleh para ahli.28 Imam al-Ghazali, ahli fikih mazhab Syafi’i mengemukakan
pengertian mashlahat adalah “Mengambil manfaat dan menolak kemuhdaratan dalam
rangka memelihara tujuan-tujuan syarak”.29 Ia memandang bahwa suatu
kemashlahatan harus sejalan dengan tujuan syarak, sekalipun bertentangan dengan
tujuan-tujuan manusia. Alasannya adalah, kemashlahatan manusia tidak selamanya
didasarkan kepada kehendak syarak, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa
nafsu.
28
Efrinaldi.multiply.com/journal/item/15.teori kemaslahatan, diakses tanggal 5 Nopember 2013.
Para ahli ushul Fiqih mengemukakan beberapa mengemukakan beberapa
pembagian mashlahat, berdasarkan segi kualitas dan kepentingan kemashlahatan,
yang salah satunya yaitu Al-mashlahah al-Dharuriyah, yaitu kemashlahatan yang
berkaitan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat. Yang
termasuk dalam kemashlahatan ini adalah memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara akal pikiran, memelihara keturunan dan memelihara harta.30 Hal ini
menunjukkan bahwa memelihara keturunan merupakan salah satu tujuan dari
kemashlahatan.
Teori pendukung lain atau wacana yang berikutnya dalam analisis ini adalah
teori keadilan,31 merupakan teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang hak
mengasuh, merawat, memelihara dan mewujudkan perlindungan hak-hak anak. Dapat
dipastikan adanya ketidakadilan apabila anak yang telah hilang orang tuanya tidak
mendapat perhatian apapun dari orang lain atau juga tidak adil apabila orang tua yang
tidak memperoleh anak tidak mendapat tempat mencurahkan kasih sayangnya.32
Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Hakikat
pembangungan nasional adalah membangun manusia seutuhnya. Melindungi anak
30Ibid, hal. 38.
31Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah,(Bandung: Al-Maarif, 1994), hal. 160, menyebutkanhadhanah berasal dari katahidhanartinya lambung, seperti katahadhana ath-thaa iru baidaduartinya burung itu mengepit telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengasuh anaknya. Mengasuh anak yang masih kecil hukumnya wajib sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Lihat Mat Saad Abd. Rahman, Undang-Undang Keluarga Islam, Aturan Perkawinan, Shas Alam, Selangor Daerah Ehsan Malaysia, Hizbi, 2002, hal. 121, mengatakanhadhanahbermaksud pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki atau perempuan.
32
adalah melindungi manusia yaitu membangun manusia seutuhnya. Mengabaikan
masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional.
Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai
permasalahan sosial, yang dapat menggangu ketertiban, keamanan dan pembangunan
nasional. Berarti perlindungan anak yang salah satu upayanya melalui pengangkatan
anak harus diusahakan apabila ingin mensukseskan pembangunan nasional kita.
Selain teori utama yang dipergunakan sebagai alat analisis penelitian ini, juga
akan didukung dengan beberapa teori lain sebagai teori pendukung atau wacana yaitu
teori kepastian hukum.
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum
itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam
undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara
putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa
yang telah di putuskan.33
Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak,
meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Oleh karenanya pertanyaan
tentang apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaaan yang jawabannya tidak
mungkin satu. Dengan kata lain, persepsi orang mengenai hukum itu beraneka ragam,
tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan
memandang hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai hakim, kalangan ilmuwan
hukum akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuan mereka, rakyat kecil
akan memandang hukum dari sudut pandang mereka dan sebagainya.
Anak yatim dan anak miskin yang telah ditentukan menjadi tanggung jawab
negara harus ada jalan keluar yang realistik. Tanggung jawab negara tidak hanya
dalam bentuk mendirikan panti asuhan tetapi juga merumuskan perundang-undangan
yang dapat memberikan perlindungan keapda anak yatim dan anak miskin. Negara
mempunyai kekuasaan untuk mewujudkan perlindungan hak dari anak angkat ini.
Teori pengayoman dapat juga sebagai teori pendukung lainnya. Hukum
melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan
perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam
masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawai.
Melindungi secara pasif adalah memberikan perlindungan dalam berbagai
kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan sehingga
manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tentram.34
Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 22
Undang-Undang Perlindungan Anak, didalamnya diatur bahwa negara dan pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dekungan dan prasarana dalam
menyelenggarakan perlindungan anak. Pasal 23 ayat (1) menyebutkan negara dan
pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Kemudian Pasal 24 juga menyebutkan negara dan pemerintah menjamin anak
untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia
dan tingkat kecerdasan anak.selanjutnya Pasal 25 menyebutkan bahwa kewajiban dan
tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui peran
masyarakat dalam menyelenggarakan perlindungan anak.
2. Konsepsi
Kerangka konsepsional ini penting dirumuskan agar tidak tersesat
kepemahaman lain, diluar maksud penulis. Konsepsional ini merupakan alat yang
dipakai oleh hukum disamping unsur lainnya seperti asas dan standar. Oleh karena
itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu sari hal-hal
yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah sesuatu yang dihasilkan
oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.35
Dalam bahasa Latin, kata conceptus (dalam bahasa Belanda, begrip) atau
pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan defenisi
yang dalam bahasa Latin adalahdefenitio. Defenisi tersebut berarti perumusan (dalam
bahasa Belanda onschrijving) yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk
ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal didalam epistimologi
atau teori ilmu pengetahuan.36 Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa
konsepsional atau pengetian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian
hukum.37
Terlihat dengan jelas bahwa suatu konsepsional atau suatu kerangka
konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih
konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat
abstrak. Namun, suatu kerangka konsepsional terkadang dirasakan masih juga abstrak
sehingga diperlukan defenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit
didalam proses penelitian.38 Maka konsepsional merupakan defenisi dari apa yang
perlu diamati, konsepsional terdiri dari variabel-variabel yang ingin menentukan
adanya hubungan empiris.39
Konsep disini apa mengandung makna dan operasional dari konsep yang
digunakan. Konsep tersebut yaitu:
1. Hukum adalah keseluruhan norma yang oleh penguasa masyarakat yang
berwenang menetapkan hukum, dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan yang
mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan
36Konsep berbeda dengan teori, dimana teori biasanya terdiri dari pernyataan yang menjelaskan hubungan kausal antara dua variable atau lebih. Noeng Muhadjir,Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Roke Sarasni, 1996), hal. 22-23 dan 58-59, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
Ibiddan Aminuddin dan H. Zainal Asikin,Ibid.
37
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Op.Cit, hal. 21. 38
untuk mengadakan suatu tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.40
2. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
3. Tabanni adalah pengangkatan anak orang lain oleh suatu keluarga dengan maksud
memelihara dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang seperti mereka
memperlakukan anak kandung sendiri.41
4. Fikih Islam.
Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’,42 Fikih juga diartikan sebagai buku yang
membahas berbagai persoalan hukum Islam (ibadah, muamalah, pidana,
peradilan, jihad, perang dan damai) berdasarkan hasil ijtihad ulama fikih dalam
memahami al-Qur’an dan hadis yang dikaitkan dengan realitas yang ada dengan
menggunakan berbagai metode ijtihad.43
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya suatu penelitian yang
menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk
teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan44 tentang Analisis Hukum
40Novianti92's Blog, “Pengertian Dan Aspek Hukum”,
http://novianti92.wordpress.com/2012/03/10/tugas-1-pengertian-dan-aspek-hukum/, Diakses tanggal 27 Januari 2013.
41Rahman Ritonga. et.al. 1997.Ensklopedi Hukum Islam. Buku 1. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal. 85.
42
Muslim.or.it, “Fikih Islam”, http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fiqih-islam.html,
Diakses tanggal 29 Januari 2013.
Terhadap Tabanni Menurut Fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan,
khususnya fikih Islam. Undang-Undang Perlindungan Anak dan peraturan
pelaksanaannya. Sifat penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian
kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya terhadap
peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.45
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung
penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun
data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.46
a. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu
1) Al-Qur’an
2) Fikih Islam
3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
4) Undang-Undang Dasar 1945.
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
6) Kompilasi Hukum Islam.
7) Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
8) Surat Edaran Mahkamah Agung RI Tentang Pengangkatan Anak.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah
dari kalangan hukum yang berhubungan dengan Tabanni.
c. Bahan hukum tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti
kamus ensiklopedi atau majalah yang terkait dengan Tabanni.
3. Alat Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu :
a. Studi dokumen yaitu untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan
permasalahan yang diajukan dengan caramempelajari buku-buku, hasil penelitian
dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan
untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.
b. Wawancara yaitu menghimpun data dengan melakukan wawancara kepada
informan yang terkait dengan Tabanni.
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data
kualitatif yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi
berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan dari nara
sumber sehingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.
Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta
di evaluasi kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan
analisis. Oleh karena itu, data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis
secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik
kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah
jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan akan
BAB II
LATAR BELAKANG KONSEP TABANNI DITINJAU DARI FIKIH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
A. Konsep Tabanni Menurut Fikih Islam
Pengangkatan anak dalam fikih Islam disebut dengan tabanni memiliki dua
pengertian yaitu pengangkatan anak oleh seseorang terhadap anak orang lain yang
diketahui nasabnya, kemudian memperlakukan anak tersebut sama dengan anak
kandung baik kasih sayang atau nafkahnya (biaya hidup) tanpa diberikan status
nasab, dan menasabkan seorang anak orang lain sebagai anaknya dan ia mengetahui
bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu menjadikan anak sah.47
Pengangkatan anak yang mempunyai pengertian secara mutlak sudah menjadi
praktik di zaman jahiliyah, telah dilarang oleh Allah SWT karena menghilangkan
asal-usul yang asli anak angkatnya. Adanya pengalihan status nasab menjadi sebab
pelarangan pengangkatan anak secara mutlak, walaupun di dalamnya juga terdapat
ingin membantu meringankan beban anak angkatnya. Pengangkatan anak yang
bertujuan untuk memelihara, mengasuh, memungut, dan mendidik anak-anak yang
terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan
nasabnya terhadap orang tua kandungnya adalah perbuatan yang terpuji dan
dianjurkan oleh ajaran Islam. Bahkan dalam kondisi tertentu di mana tidak ada orang
lain yang memeliharanya, maka bagi orang yang mampu secara ekonomi dan psikis
yang menemukan anak terlantar tersebut hukumnya wajib untuk mengambil dan
memeliharanya tanpa harus memutus nasab dengan orang tua kandungnya.
Pengangkatan anak dalam pengertian ta’awun, dengan menanggung nafkah
anak sehari-hari, memelihara dengan baik, memberikan pakaian, pelayanan
kesehatan, demi masa depan anak yang lebih baik, justru merupakan suatu amal baik
yang dilakukan oleh sebagian orang yang mampu menggantikan baik hati yang tidak
dianugerahi oleh Allah SWT, mereka mematrikan perbuatan pengangkatan anak
sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mendidik, memelihara
anak-anak dari kalangan fakir miskin yang terabaikan hak-haknya sebagai anak
karena kefakiran dan kemiskinan orang tuanya. Tidak diragukan lagi, bahwa
usaha-usaha semacam itu merupakan suatu amal yang disukai dan dipuji oleh Islam.
Entitas tersebut yaitu pengangkatan anak tentunya mempunyai implikasi yang
sudah menjadi konsekuensi dari keduanya. Maka, dalam membahas akibat hukumnya
dalam kaidah Fikih Islam akan diuraikan sebagai berikut:
1. Status Nasab
Tujuan syariah Islam adalah untuk menjaga eksistensi manusia dalam
berbagai tingkat kehidupannya, baik secara primer (dharûriyah), sekunder (hâjjiyah)
maupun pelengkap (tahsîniyah). Tingkatan primer merupakan tingkatan kebutuhan
manusia yangesensial, yang apabila tidak terpenuhi menjadikan hilangnya eksistensi
manusiawinya, sehingga tingkatan ini menghendaki adanya realisasi dan perwujudan
terhadap eksistensinya (al muhâfadhat ‘alâ baqâihâ).48
Memelihara keturunan (hifdh al-Nasl) merupakan salah satu tingkat primer
kebutuhan manusia dalam paling esensi untuk menjaga eksistensinya agar tidak
merusak keturunan. Oleh karenanya, pengangkatan anak dalam Islam hanya bertujuan
untuk memberikan pemeliharaan dan perlindungan kepada anak angkat tanpa adanya
pengalihan nasab. Sehingga, eksistensi anak dalam status nasabnya tidak menjadi
rusak karena tidak bercampur dengan keturunan yang bukan nasabnya.
2. Kewarisan
Sistem kewarisan dalam Islam tidak sama dengan sistem kewarisan hukum
sekuler dan kewarisan ala Tionghoa. Sistem kewarisan Islam sangat memerhatikan
aspek maslahat dalam aplikasinya. Sehingga, dalam pandangan Islam, ahli waris yang
berhak mendapatkan harta warisan hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan (nasab) baik dari golongan furû’, ushûl dan hawâsyî, perkawinan (
al-mushâharah).49
Kewarisan yang berlaku dalam hukum sekuler tidak memerhatikan hal
tersebut, sehingga anak angkat menjadi bagian ahli waris dari keluarga angkatnya.
Begitu juga dengan kewarisan ala (adat) Tionghoa yang menyisihkan keluarga yang
mempunyai hubungan nasab dari pada keluarga angkatnya. Bisa dipastikan, bahwa
hal ini akan melahirkan konflik dalam sebuah keluarga, karena adanya perselisihan
48
MA. Muhaimin, et al.Kawasan dan Wawasan Studi Islam.(Jakarta: Kencana, 2005), hal. 293. 49Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid,Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaharuan Hukum
dalam penentuan ahli waris.50
Islam yang sangat memerhatikan mashlahat, tetap memerhatikan hubungan
nasab dan perkawinan (al-mushârah) dalam menentukan ahli waris. Artinya,
siapapun yang tidak mempunyai hubungan darah, tidak bisa menjadi ahli waris.
Sehingga anak angkat yang tidak masuk dalam kategori nasab dan perkawinan, tidak
berhak mendapatkantirkah dengan cara waris. Ia tidak mempunyai hubungan nasab
dengan orang tua angkatnya, dan tidak pula dilahirkan dari rahim orang tua
angkatnya. Anak angkat tetap menjadi ahli waris dan mendapatkan warisan dari
orang tua kandungnya saja.
Masuknya anak angkat sebagai ahli waris akan melahirkan kecemburuan
sosial di antara keluarga (ahli waris), sebab ahli waris akan merasa dirugikan dengan
kehadiran anak angkat sebagai ahli waris. Dengan masuknya anak angkat sebagai ahli
waris juga akan mengurangi bagian harta warisan para ahli waris.51 Mengingat
hubungan yang sudah akrab antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, apalagi
kalau yang diangkat itu diambil dari keluarga dekat sendiri, serta memerhatikan jasa
baiknya terhadap rumah tangga orang tua angkatnya, maka dia bisa mendapatkan
harta orang tua angkatnya dengan cara hibah pada waktu orang tua angkatnya belum
meninggal dan cara wasiat setelah orang tua angkatnya meninggal.
Pemberian wasiat tidak boleh melebihi sepertiga harta dihitung dari total harta
yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Apabila orang tua angkatnya mempunyai ahli
50Ibid.
waris, maka ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Jika wasiatnya lebih dari
sepertiga harta yang ditinggalkan, maka tidak boleh dilaksanakan kecuali atas izin
dari ahli waris.52
Apabila orang yang meninggal tidak meninggalkan wasiat, sedang hartanya
banyak, maka penguasa (ulil amri) berhak mengeluarkan kebijakan yang tidak perlu
disandarakan kepada ada atau tidaknya seseorang meninggalkan wasiat pada masa
hidupnya, tetapi kepada hukum atau undang-undang yang berlaku. Hal inilah yang
disebut dengan wasiat wajibah. Tujuan dari wasiat wajibah ini yaitu untuk membantu
anak angkat tetap bisa bertahan dan mampu menafkahi dirinya sendiri.
Bagian warisan yang bisa diterima oleh orang yang diakui dengan secara tidak
langsung, berdasarkan pernyataan Yahyâ al-Laitsî mengutip pendapatnya Imam
Malik (dalam warisan orang yang diakui) yang artinya:53
Saya mendengar Malik berkata: masalah sosial yang berada ditengah-tengah kita adalah tentang seorang laki-laki yang mati dan meninggalkan beberapa anak. Kemudian salah satu diantara mereka berkata: “ayahku telah mengakui bahwa fulan adalah anaknya”, nasab anak itu tidak bisa bersambung hanya dengan kesaksaian satu orang. Pengakuan itu tidak bisa (tidak bersambung ke ayahnya) kecuali hanya kepada anak yang mengakuinya itu dan mendapatkan bagian dari harta yang diterima orang yang melakukan kesaksian. Malik berkata: maksud tersebut adalah orang yang meninggal, meninggalkan dua orang anak dan meninggalkan harta sebanyak 600 dinar, maka masing dari keduanya mendapatkan 300 dinar, kemudian salah satu dari mereka melakukan kesaksian bahwa ayahnya yang telah meninggal mengakui bahwa fulan adalah anaknya, maka dari tangan orang yang melakukan kesaksian itu diberikan 100 dinar dan itu bagian waris dari mustalhaq (orang diaku). Jika yang satunya juga mengakui hal tersebut, maka dia mendapat 100 dinar darinya, sehingga haknya terpenuhi dan nasabnya bersambung.
Jika anak yang diaku (mustalhaq lah) tidak mempunyai hubungan nasab,
karena syarat-syarat dalam pengakuan tidak terpenuhi, maka ia tidak berhak
menerima warisan seperti halnya anak angkat. Hal itu disebabkan karena anak yang
diaku tidak mempunyai hubungan nasab denganmustalhiq.
3. Perkawinan
Islam mensyariatkan perkawinan adalah untuk menjaga nasab agar tidak
terjadi kerancuan dan hal itu merupakan maqâsid al-syarîah dalam Islam. Sehingga
dengan perkawinan, yang halal tetap menjadi halal dan yang haram tetap menjadi
haram. Maka, tidak dimasukkannya anak angkat sebagai mahram keluarga angkatnya
adalah agar statusnya ia sebagai orang yang halal tidak menjadi kabur dan tidak
beralih menjadi mahram. Anak angkat tetap tidak termasuk sebagai orang yang
mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan, sehingga ia tetap ajnabi
(asing).
Ketentuan ini adalah untuk menjaga timbulnya fitnah di kemudian hari,
sehingga tetap jelas apa yang halal disisi Allah dan begitu pula apa yang haram
disisi-Nya. Artinya, ketentuan tersebut untuk menghindari kesalahpahaman yang halal dan
haram. Hal ini biasanya terjadi karena anak angkat biasanya dianggap sebagai anak
sendiri dalam satu keluarga, sehingga seakan-akan dia menjadi mahram. Padahal dia
sesungguhnya orang lain yang haram disentuh, bahkan haram dilihat auratnya.
Apabila anak angkat hidup dan tinggal bersama keuarga angkatnya, maka ia
tetap harus menjaga jarak atau tetap berada dalam ketentuan Fikih Islam dalam
bisa menjadi mahram mustalhiq, jika pengakuannya sah karena statusnya menjadi
anak sah secara syar’i, ia pun menjadi mahram, bukan lagi halal (untuk dinikahi)
dalam keluarga tersebut.
Anak angkat tidak masuk dalam kategori hubungan nasab dan tidak pula
hubunganal-mushaharah. Jika ada hubungan al-mushaharahantara anak angkat dan
keluarga angkatnya, maka anak tersebut mempunyai hubungan mahram yang
menyebabkan lahirnya larangan perkawinan. Misalnya, ibu kandung anak angkat
dinikahi oleh ayah angkatnya dan terjadi persetubuhan, maka anak tersebut (bila
perempuan) tidak boleh dinikahi oleh ayah angkatnya karena statusnya sudah menjadi
anak tiri.54
Dengan demikian, anak angkat yang tidak menjadi mahram keluarga
angkatnya, dapat dinikahi oleh keluarga angkatnya. Misalnya, anak angkatnya
seorang perempuan, ia boleh dinikahi oleh ayah angkatnya atau saudara angkatnya
atau yang lainnya dalam keluarga tersebut. Bagi mustalhaq lah (jika perempuan)
tidak dapat dinikahi, karena dia haram (mahram) dengan keluargamustalhiq.55
4. Perwalian
Perwalian terhadap anak, terdiri dari perwalian terhadap dirinya, harta, dan
dirinya dan harta secara sekaligus. Anak yang masih belum mampu untuk melakukan
pekerjaan dengan baik (belum cakap hukum), perlu mendapatkan perwalian dalam
setiap urusannya. Hal ini untuk menghindarkan anak dari penipuan (misal: dalam
membelanjakan hartanya). Mendampingi anak atau menjadi walinya tidak hanya
dalam konteks membelanjakan hartanya saja, tetapi juga menjadi wali dalam
perkawinannya jika ia seorang perempuan atau bahkan dalam perwalian diri dan
hartanya secara sekaligus.
Menjadi wali nikah, pada hakikatnya hanyalah orang yang mempunyai
hubungan darah (ayah danashabah dalam kewarisan). Wali anak angkat perempuan
ialah orang tua kandungnya, bukan orang tua angkatnya. Kecuali jika orang tua
kandungnya mewakilkan kepada orang tua angkatnya.56
Berbeda dalam perwalian harta, kurator atau orang yang bertindak sebagai
wali, tidak harus orang yang mempunyai hubungan nasab. Lebih ditekankan adalah
orang yang mampu untuk mendampingi dan mengawasi anak tersebut dalam
membelanjakan hartanya dan mengurusi segala keperluannya, baik anak itu anak
angkat atau anak sah secara syar’i (mustalhaq lah). Semua itu adalah untuk
memberikan pelayanan dan pendidikan kepada setiap anak yang dilahirkan, apalagi
anak tersebut termasukal-laq’th(anak temuan).57
5. Nafkah
Pada dasarnya, pengangkatan dan pengakuan bertujuan untuk memberikan
pelayanan, perawatan, pemeliharaan dan pendidikan dan kesejahteraan terhadap anak.
Tabanni yang dianjurkan oleh Islam adalah tabanni dalam arti luas, tidak hanya
terbatas pada pengangkatan anak oleh sebuah keluarga yang tidak mempunyai
keturunan, tetapi kepentingan anak juga harus diperhatikan. Pemberian nafkah
diharapkan mampu memberikan kesejahteraan dan maslahat kepada setiap anak.
Artinya, pemberian nafkah dapa membantu anak dalam memenuhi kebutuhan dan
kepentingannya hingga ia dewasa dan mampu mandiri.
Pemberian nafkah terhadap anak angkat, sebenarnya bukan merupakan
kewajiban ayah angkatnya. Tabanni yang dilakukan oleh sebuah keluarga
menyebabkan adanya peralihan tanggung jawab dalam memberikan nafkah dari orang
tua kandung kepada orang tua angkat, terlebih orang tua kandung tidak mampu secara
ekonomi. Adanya hubungan timbal balik ini karena anak angkat nantinya juga akan
berjasa dalam keluarga, yaitu sebagai pelengkap keluarga yang tidak mempunyai
keturunan.
Tidak ada akibat hukum dari tabanni ini, yang ada hanyalah terciptanya
hubungan kasih sayang dan beralihnya tanggung jawab dalam memberikan nafkah.
Di samping itu,tabanni dalam arti mendidik, dan memelihara anak yang terabaikan
hak-haknya karena kefakiran dan kemiskinan juga bisa dijadikan sebagai sarana
mendekatkan diri kepada Allah SWT.58
Untuk pengukuhan anak, pemberian nafkah merupakan suatu kewajiban yang
menjadi konsekuensi yang ditimbulkan. Adanya hubungan ayah dan anak melahirkan
adanya hak dan kewajiban di antara keduanya, begitu juga sebaliknya. Orang tua
(secara syar’i) berkewajiban untuk memberikan pendidikan, pelayanan dan nafkah
kepada anaknya (mustalhaq lah). Ini juga sebagai usaha agar orang tuanya dapat
menghindarkan anak tersebut dari kefakiran dan kemiskinan.
Pengakuan secara tidak langsung yang masih membutuhkan pembenaran dari
pihak ketiga, tidak selamanya melahirkan kewajiban ayah terhadap anak. Apabila
pengakuan tersebut tidak dibenarkan oleh pihak ketiga, maka kewajiban untuk
memberikan nafkah berada di bawah tanggungan orang yang mengakuinya, misal
orang yang mengaku saudara. Hubungan hanya terbatas hubungan kekeluargaan saja,
seperti memberi nafkah, memelihara, dan memberikan pendidikan secukupnya tanpa
adanya hubungan nasab dengan pihak ketiga.
B. Pengangkatan Anak Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Mengangkat anak saat ini adalah merupakan hal yang wajar dilakukan bagi
setiap orang. Baik bagi mereka yang belum dikaruniai keturunan ataupun yang telah
dikaruniai keturunan. Karena mengangkat anak diperbolehkan oleh Undang-undang
dan telah diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
merupakan landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
terhadap perlindungan anak. Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya
merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional khususnya dalam memajukan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengenai pengangkatan anak dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak diatur dalam pasal 39 sampai dengan pasal 41.
Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama
dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandung. Pasal
91 ketentuan peralihan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan