• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukuman mati di luar jalur hukum pada masa darurat militer

“Kejar mereka dan musnahkan”, Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto berbicara mengenai GAM pada satu rapat dengan para pejabat militer di Jakarta bulan Mei 2003.35

34 Penguasa Indonesia menyalahkan GAM atas pembakaran-pembakaran itu. Amnesty International tidak memiliki bukti-bukti untuk mendukung atau menyanggah tuduhan-tuduhan ini. Dalam satu laporan yang diterbitkan pada bulan Juli 2003 yang berjudul: Aceh: How Not to Win Hearts and Minds, the International Crisis Group (ICG) menyatakan bahwa jelas dari wawancaranya bahwa GAM

bertanggung jawab atas sejumlah serangan tersebut, tapi ada ketidakpercayaan di antara orang Aceh bahwa sebegitu banyak sekolah bisa dibakar dengan cepat tanpa ada tingkat keterlibatan pasukan pemerintah.

35 “Indonesia troops told to ‘exterminate’ Aceh rebels, spare civilians,” Agence France-Presse, 20 Mei 2003.

“Indonesia tidak akan rugi kehilangan beberapa orang, lebih baik daripada membahayakan 220 juta orang lainnya”, Presiden Megawati Sukarnoputri pada permulaan masa darurat militer.36

“Kami tidak mentoleransi orang-orang di wilayah ini yang ingin bergabung dalam perayaan separatis. Tidak peduli siapa itu, kami akan menembak mereka di tempat karena mendukung gerakan itu,” Komandan Korem 011/Lilawangsa menjelang peringatan deklarasi kemerdekaan GAM.37

“…orang-orang tak dikenal yang mencurigai akan ditembak di tempat,” Gubernur NAD ketika mengambil alih kekuasaan di NAD dari tangan militer di bulan Mei 2004.38

Pernyataan-pernyataan semacam itu telah menjadi pegangan bagi tingkah laku para prajurit dalam operasi militer dewasa ini dan tidak diragukan lagi bahwa pesan-pesan dari para atasan mereka – bahwa mereka harus menembak terlebih dahulu dan baru kemudian bertanya – juga tidak diabaikan. Tidak mengherankan bahwa ada banyak tuduhan pembunuhan secara tidak sah yang dilakukan para anggota pasukan keamanan, baik terhadap warga sipil maupun terhadap anggota GAM.

Berbagai macam dan seringkali angka yang tidak konsisten mengenai jumlah orang yang terbunuh dalam operasi-operasi militer dikeluarkan. Menurut angka yang diberikan oleh militer pada bulan September 2004, 2,879 orang anggota GAM telah dibunuh sejak bulan Mei 2003. Dari angka ini, 2,409 disebutkan dibunuh pada saat keadaan darurat militer dan 440 lainnya sejak saat itu.39 Seorang jurubicara militer sebelumnya menyatakan jumlah anggota GAM yang tewas adalah 400 di enam minggu pertama keadaan darurat sipil.40 Polisi menyatakan bahwa 230 anggota GAM dibunuh dalam delapan minggu pertama masa darurat sipil.41

Militer telah mengakui mengenai adanya korban-korban warga sipil. Pertengahan bulan Agustus 2004, menurut laporan media massa, militer mengatakan bahwa 147 warga sipil terbunuh dalam 10 bulan terakhir.42 Akan tetapi menurut angka dari pusat penerangan TNI yang diumumkan bulan September 2004 jumlah korban warga sipil jauh lebih tinggi.

Berdasarkan angka-angka dari mereka, 662 warga sipil terbunuh, 579 tewas pada saat masa darurat militer dan 83 sejak permulaan darurat sipil.43

36 “Jakarta bombs rebels,” Reuters, 20 Mei 2003

37 Komandan Korem Lilawangsa, Letnan Kolonel A.Y.Nasution mengatakan sehari sebelum peringatan ke 27 deklarasi kemerdekaan GAM untuk NAD.

38 “Foreigners still not allowed to enter Aceh despite lifting on martial law,” The Jakarta Post, 10 Juni 2004

39 “TNI Klaim Telah Tewaskan 2,800 Anggota GAM”, Acehkita, 17 September 2004

40 “Indonesia Army kills 400 alleged Aceh rebels since May 19”, Associated Press, 16 Juli 2004.

41 “Indonesian military says it killed over 230 rebels in two months”, Agence France-Presse, 20 Juli 2004

42 “Nearly 1,160 Aceh Rebels Killed in 10 Months”, Laksamana. Net, 18 Agustus 2004

43 “Versi TNI: 662 Warga Sipil Tewas Sejak Darurat Militer”, Acehkita, 17 September 2004

Militer belum mengatakan siapa yang bertanggung jawab atas mereka yang meninggal ini, meskipun di masa lalu mereka menyalahkan GAM yang menyebabkan adanya korban rakyat sipil. Namun, pada saat yang bersamaan, militer juga mengakui mereka menghadapi kesulitan membedakan antara anggota GAM dan warga sipil.44

Komnas HAM yang telah diijinkan melangsungkan investigasi di NAD, telah mengkonfirmasi bahwa pembunuhan secara tidak sah dilakukan oleh kedua belah pihak, namun mereka tidak menerbitkan hasil investigasi tersebut. Ornop-ornop lokal yakin bahwa ratusan rakyat sipil dibunuh oleh pasukan keamanan.

Amnesty International memiliki sejumlah kesaksian dari orang-orang yang menjadi saksi mata pembunuhan di luar jalur hukum terhadap rakyat sipil yang dilakukan oleh militer.

Kasus-kasus tersebut dijelaskan di bawah ini. Nama-nama mereka yang diwawancarai dan desa asal mereka dirahasiakan guna melindungi mereka atau keluarga mereka dari kemungkinan adanya pembalasan.

Sebagian besar mereka yang dibunuh kelihatannya adalah kaum pria, terutama lelaki muda yang lebih mungkin dicurigai sebagai anggota GAM dan oleh karenanya secara tidak proporsional dijadikan sasaran dalam operasi-operasi tersebut. Namun, dari media massa juga dilaporkan adanya pembunuhan secara tidak sah terhadap perempuan dan anak-anak. Di antara kesaksian yang diterima oleh Amnesty International ada pula keterangan mengenai para pemuda yang ditembak mati ketika sedang bekerja di sawah atau di pertambakan udang.

Yang lainnya, termasuk anak-anak, dibunuh atau terluka akibat tembak menembak yang tidak pandang bulu. Juga ada bukti-bukti bahwa mereka yang dicurigai sebagai anggota GAM secara tak sah dibunuh setelah ditahan di penjara. Dalam sejumlah kasus, mayat mereka, terkadang masih terlihat bekas-bekas penyiksaan, ditemukan atau dipulangkan ke keluarga mereka.

4.1 Kasus-kasus hukuman mati di luar jalur hukum

Seorang petani dari Kecamatan Samalanga di Kabupaten Bireun mengatakan kepada Amnesty International bahwa kakaknya yang berusia 25 tahun, Ilhami, ditembak oleh tentara ketika sedang memotong rumput untuk makanan ternaknya pada tanggal 9 April 2004. Petani itu yakin kakaknya langsung meninggal, meskipun mayatnya dibawa oleh para prajurit dan kemudian dikirim balik ke desanya empat hari kemudian. Kedua kakak beradik ini sudah kehilangan ayah mereka di tahun 1990, pada puncak-puncaknya masa DOM, ketika ayah mereka dibawa oleh tentara dan tidak pernah kembali lagi. Sesudah kakaknya dibunuh, petani muda ini melarikan diri dari negaranya karena takut akan menghadapi resiko.

Seorang pemilik toko barang kebutuhan sehari-hari di Kecamatan Nisam di Kabupaten Aceh Utara ingat bagaimana sesudah adanya tembak menembak antara tentara dan GAM di minggu-minggu permulaan masa darurat militer, militer mendatangi desanya dan

44 “Kami sulit membedakan antara GAM dan rakyat sipil. Kami tidak bisa menjamin bahwa sama sekali tidak ada korban rakyat sipil, namun hal ini sama sekali tidak disengaja”, “Assault on Aceh targets students”, The Guardian, 26 Mei 2003.

menembak mati tiga orang yang bernama Fadli, Rosmani dan Lukman yang tengah bekerja di sawah.

Seorang lainnya yang diwawancara yang berasal dari Kecamatan Samalanga mengatakan kepada Amnesty International bahwa seorang pria yang sakit jiwa, Muhammad Hussain, yang berasal dari desanya ditembak mati di sawahnya oleh para anggota marinir setelah dituduh menyembunyikan senjata. Seorang pria lainnya dikatakan ditembak juga di kaki, namun berhasil melarikan diri. Setelah kejadian tersebut, sekitar 30 orang warga desa dijajarkan oleh marinir, dan beberapa di antaranya, termasuk orang yang diwawancarai ini, dipukuli. Orang yang diwawancarai ini tidak bisa mengingat tanggal pastinya, namun mengklaim bahwa kejadian itu terjadi dalam enam bulan pertama keadaan darurat militer.

Seorang petani berusia 25 tahun dari Kecamatan Kuala Simpang di Aceh Timur menjelaskan kepada Amnesty International alasannya melarikan diri dari Indonesia di bulan Januari 2004 adalah karena dua orang pria dari desanya dibunuh oleh militer pada bulan itu.

Yang pertama adalah teman sekolahnya yang bernama Ilyas yang secara keliru dibawa oleh militer karena namanya sama dengan nama anggota GAM yang tengah dicari militer. Mayat Ilyas ditemukan di sebuah sawah tiga hari kemudian. Narasumber yang mengaku melihat mayat Ilyas mengatakan ia hampir tidak bisa mengenalinya sebab mayatnya dipotong-potong.

Orang kedua yang dibunuh adalah seorang pria bernama Mayu. Ia memang disebut sebagai simpatisan, walaupun bukan anggota GAM, yang sebelumnya pernah menyerah kepada pasukan keamanan dan harus menjalani “pendidikan ulang”.45 Ia dibawa militer ketika sedang dilakukan operasi militer untuk mencari GAM di bulan Januari 2004 dan kemudian

“menghilang”. Keluarganya, ulama setempat dan penduduk desa lainnya dikabarkan meminta seorang komandan militer setempat untuk mengembalikan mayatnya jika ia sudah meninggal supaya bisa dimakamkan dengan pantas. Mayatnya kemudian dipulangkan kepada mereka.

Keterangan saksi mata juga diterima Amnesty International mengenai penembakan seorang anak lelaki berusia 16 tahun yang bernama Muliadi ketika ia sedang bekerja di sawahnya di Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireun, bulan Oktober 2003. Menurut keterangan itu, anak lelaki ini mencoba melarikan diri setelah ia dipanggil tentara, namun ditembak di pergelangan kakinya ketika ia mencoba lari dan kemudian tertangkap. Anak lelaki ini diyakini masih hidup setelah penembakan itu namun tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai dimana keberadaannya.

5. Penahanan secara sewenang-wenang dan pengadilan