• Tidak ada hasil yang ditemukan

Milisia dan pertahanan sipil

Operasi-operasi penumpasan pemberontakan di Indonesia memiliki sejarah menggunakan banyak warga sipil termasuk sebagai milisi, pertahanan sipil dan unit-unit pembantu pasukan militer. Operasi militer yang dilangsungkan dewasa ini di NAD tidaklah berbeda dalam hal ini.

Kelompok-kelompok vigilante dan milisia dilaporkan telah terbentuk di beberapa daerah dan juga ada laporan-laporan bahwa mereka melakukan pelanggaran HAM tanpa dijatuhi sangsi hukuman (impunity). Semua pria dewasa harus wajib mengikuti tugas ronda malam dan ada laporan-laporan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, digunakan dalam operasi-operasi militer sebagai pemandu dan mata-mata.

Konsep pertahanan sipil sudahlah terbentuk jelas dalam doktrin militer di Indonesia dimana penggunaan unit-unit pembantu militer dan polisi serta kelompok-kelompok pertahanan sipil lainnya telah terintegrasi ke dalam operasi-operasi militer di masa lalu di NAD, di Timor Timur (yang sekarang disebut sebagai Republik Demokrasi Timor-Leste) dan di tempat-tempat lainnya. Dasar hukum bagi konsep ini bisa ditemukan dalam Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa warga sipil memiliki hak serta kewajiban untuk ikut serta dalam pertahanan negara.15 Terlebih dari itu, Undang-undang 23/1959 mengenai Keadaan Bahaya juga memberikan wewenang pada militer untuk memerintahkan penduduk di satu wilayah yang berada dalam keadaan darurat militer untuk menjalankan kerja wajib demi kepentingan keamanan dan pertahanan.16

14 “Foreigners still not allowed to enter Aceh despite lifting of martial law”, The Jakarta Post, 10 Juni 2004

15 Pasal 30.1

16 Pasal 30 UU23/1959 menyatakan bahwa “Pihak berwenang darurat militer mempunyai kekuasaan untuk memerintahkan orang-orang yang tinggal di satu wilayah yang dinyatakan sebagai daerah

Akan tetapi, Indonesia juga harus mematuhi kewajiban-kewajibannya di bawah Konvensi No.29 Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengenai kerja paksa yang melarang kerja paksa atau kerja wajib17 dan Konvensi ILO No.182 mengenai bentuk-bentuk terburuk pekerjaan anak, yang secara khusus melindungi anak-anak dari kerja paksa atau wajib, termasuk perekrutan secara paksa atau wajib untuk digunakan dalam konflik bersenjata.

Amnesty International merasa prihatin karena dalam sejumlah kasus warga sipil digunakan untukmelakukan penumpasan pemberontakan dalam cara sedemikian rupa sehingga mungkin melanggar kewajiban-kewajiban tersebut di atas. Amnesty International juga merasa khawatir oleh adanya kasus-kasus dimana anak-anak digunakan oleh militer, yang jelas bertentangan dengan kewajiban Indonesia menurut Konvensi-konvensi ILO dan Konvensi mengenai Hak-hak anak (CRC).

Kapasitas milisi dalam tindak kekerasan mulanya muncul ke perhatian dunia internasional di Timor-Leste pada tahun 1999 saat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mensponsori jajak pendapat bagi kemerdekaan. Dalam bulan-bulan menjelang jajak pendapat dilangsungkan, kelompok-kelompok milisi baru dibentuk dan yang lama diaktifkan kembali.

Dengan diperlengkapi, dilatih serta didukung oleh militer Indonesia, serta dukungan pemerintah sipil, mereka berada pada garis depan kampanye untuk mengintimidasi penduduk agar menolak kemerdekaan. Ketika akhirnya hal ini gagal, mereka berpartisipasi dalam gelombang besar tindak kekerasan dimana ratusan orang dibunuh secara tidak sah, ribuan lainnya dipaksa berpindah tempat dan sebagian besar wilayah itu hancur menjadi abu.

Walaupun adanya banyak bukti-bukti, militer Indonesia terus menyangkal memiliki kaitan dengan milisi.18

Memang tidak ada bukti bahwa milisi di NAD melakukan pelanggaran HAM dalam skala seperti yang terlihat di Timor-Leste, namun melihat adanya sejarah penggunaan milisi oleh militer Indonesia, kurang jelasnya komando mereka dan pengontrolan struktur serta tidak

darurat militer untuk melakukan tugas wajib bagi penerapan peraturan-peraturan atau untuk melakukan pekerjaan lainnya demi kepentingan keamanan dan pertahanan”.

17 Menurut Konvensi ILO no.29, kerja paksa atau kerja wajib didefinisikan sebagai “semua pekerjaan atau pelayanan yang diperas dari orang mana pun yang berada di bawah ancaman hukuman dan pekerjaan yang oleh orang yang bersangkutan tidak ditawarkan untuk dilakukannya secara sukarela”.

Kekecualian dibuat untuk antara lain pekerjaan atau pelayanan yang menjadi bagian dari kewajiban normal warganegara dari satu negara yang sepenuhnya diperintah sendiri, dan pekerjaan atau pelayanan yang dibutuhkan dalam keadaan darurat. Menurut Pasal 2 (d) Konvensi itu, keadaan darurat dijabarkan sebagai “…perang atau…bencana atau ancaman adanya bencana seperti misalnya kebakaran, banjir, kelaparan, gempa bumi, wabah penyakit yang mengganas atau wabah penyakit hewan, serangan binatang, serangga, atau hama tanaman, dan secara umumnya keadaan apapun yang bisa membahayakan keberadaan atau kesehatan seluruh atau sebagian penduduk”.

18 Jajak pendapat dengan sponsor PBB ini dilangsungkan tanggal 30 Agustus 1999. Pada bulan-bulan sebelumnya dan minggu-minggu segera sesudah dilangsungkannya pemungutan suara, kelompok-kelompok milisi, yang didukung dan terkadang secara langsung melibatkan pasukan keamanan Indonesia, melakukan pelanggaran HAM berat terhadap para penduduk Timor-Leste. Bacalah laporan-laporan Amnesty International: Timor Timur: Meraih Kesempatan, (AI index: ASA 21/49/1999), Juni 1999; TimorTimur: Violence Erodes Prospect for Stability, (AI Index: ASA 21/91/99), Agustus 1999;

dan Indonesia dan Timor-Leste:Keadilan bagi Timor-Leste:Langkah ke Depan, (AI Index: ASA 21/006/2004), April 2004.

adanya mekanisme pertanggung-gugatan, keberadaan mereka di NAD menjadi penyebab keprihatinan besar.

Pada bulan Juni 2003, seorang anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komnas HAM, secara terbuka mengumumkan bahwa milisi kini direkrut di Kabupaten Aceh Tengah dan mereka mendapatkan pelatihan militer, termasuk mengenai penggunaan senjata api.19 Tuduhan ini disangkal keesokan harinya oleh Kepala Staff TNI Jendral Ryamizard Ryacudu.20 Walau demikian sejak saat itu, para komandan militer tingkat propinsi mengakui keberadaan kelompok-kelompok semacam itu, namun menggambarkan mereka sebagai secara spontan dibentuk dengan tujuan untuk membela diri dari serangan-serangan GAM. Akan tetapi, laporan-laporan terperinci baik dari para pegiat HAM lokal maupun media massa menunjukkan bahwa dukungan bagi kelompok-kelompok ini diberikan oleh pihak berwenang militer dan sipil.

Satu laporan dari bulan April 2004 yang ditulis seorang pembela HAM Aceh yang berada dalam pengasingan menjelaskan pembentukan paling tidak tujuh kelompok milisi yang berbeda di Kabupaten Aceh Tengah dan Timur sejak tahun 2001, yang menurut laporan itu, dengan derajat dukungan yang bermacam-macam dari para pejabat pemerintah lokal dan militer. Pendanaan juga disebutkan disediakan oleh para pengusaha lokal. Para anggota milisi disebut-sebut terutama direkrut dari para transmigran dan dari suku Gayo, yang kebanyakan berada di daerah tengah dan selatan propinsi itu. Meskipun demikian sejumlah kelompok yang lebih baru juga disebutkan memiliki anggota orang Aceh. Perlengkapan mereka bermacam-macam, namun menurut laporan-laporan termasuk seragam ala militer, assault rifles dan radio komunikasi dua arah serta juga senjata buatan sendiri, pisau dan parang.

Dalam sejumlah kasus, perlengkapan dilaporkan disediakan oleh militer dan amunisi dibeli dari mereka. Pelatihan dan dalam sejumlah kasus, pengawasan, dituduh diberikan oleh berbagai macam unit militer, termasuk oleh struktur komando territorial seperti Kodim, Koramil dan Komando Strategis Angkatan Darat atau Kostrad, Satuan Gabungan Intelijen atau SGI dan Brimob (Brigade mobil).21

Menurut laporan ini dan laporan lainnya di media massa, kelompok-kelompok milisi melakukan patroli, mengidentifikasikan para tersangka GAM kepada militer dan dalam sejumlah kasus melakukan penangkapan dan pembakaran. Dalam laporan yang lebih baru lagi, milisi di Kabupaten Aceh Tengah dituduh melakukan pembunuhan atas 20 orang ketika berada di tengah-tengah operasi untuk mencari GAM di kota Takengon pada bulan Juni 2004.

Menurut laporan yang tidak bisa diperiksa oleh Amnesty International, mereka yang dibunuh dituduh milisi menjadi anggota GAM, atau orang-orang yang menolak memberikan informasi

19 “TNI melatih milisi di Aceh”, Kompas, 11 Juni 2003.

20 Dalam wawancara radio dengan RRI, ketika menanggapi tuduhan Komnas HAM, Jendral Ryamizard Ryacudu mengatakan “Coba bawa saja itu Komnas HAM ke sini, saya hantam kepalanya. Mereka bisanya bicara saja.” Teks laporan Radio Republik Indonesia, 12 Juni 2003. (Diterjemahkan ke bahasa Indonesia dari laporan Amnesty International berbahasa Inggris)

21 Milisi: Tentara Pembantu Militer Indonesia di Aceh, oleh Teuku Samsul Bahri, April 2004

mengenai dimana keberadaan GAM.22 Milisi juga dilaporkan berpartisipasi dalam operasi-operasi bersama dengan militer.23

Berbagai macam kelompok mirip pertahanan sipil yang anti-GAM juga dibentuk lebih banyak lagi di seluruh propinsi itu. Dengan diperlengkapi tongkat bambu dan sabit, tugas utama mereka kelihatannya adalah membantu pasukan keamanan mengidentifikasikan para anggota GAM dan ikut serta dalam upacara-upacara untuk menunjukkan kesetiaan.

Keanggotaan dalam kelompok semacam ini tidaklah semuanya bersifat sukarela. Kepala-kepala desa sudah diminta untuk memasok anggota bagi kelompok-kelompok itu. Dalam kasus-kasus lain, kelihatannya para pemuda diperintah langsung oleh militer untuk bergabung.

Seorang pria dari Kecamatan Nisam di Kabupaten Aceh Utara menjelaskan kepada Amnesty International bagaimana tentara datang ke pasar dan memilih para pemuda yang mereka ingin rekrut ke dalam kelompok-kelompok pertahanan sipil tersebut.

Amnesty International juga menerima laporan-laporan mengenai pemaksaan pada rakyat sipil untuk berpartisipasi dalam operasi-operasi militer sebagai pemandu dan tameng manusia. Hal ini jelas melanggar prinsip-prinsip dasar hukum kemanusiaan internasional.

Seorang pria dari Lhokseumawe di Aceh Utara mengatakan kepada Amnesty International bahwa pada permulaan masa darurat militer 10 orang pemuda dari desanya secara paksa dibawa ke hutan oleh militer dalam satu operasi. Bulan September 2003 dilaporkan bahwa 1,000 orang penduduk desa dari Leupang di Kabupaten Aceh Besar dimasukkan ke dalam pasukan oleh militer guna membantu mereka dalam mencari para anggota GAM.24

Ada juga laporan-laporan bahwa para keluarga anggota GAM termasuk dalam mereka yang dipaksa untuk bertindak sebagai tameng manusia saat dilakukan operasi militer.

Pada bulan Mei 2004, contohnya, satu sumber yang bisa dipercaya memberitahu Amnesty International bahwa para penduduk desa, termasuk para istri, anak-anak dan sanak saudara mereka yang dicurigai sebagai anggota GAM, dari tiga desa yang berbeda di Kecamatan Nisam, Aceh Utara, diinstruksikan untuk masing-masing membawa dua kilo beras dan menemani mereka masuk ke hutan. Tuduhan keras menyatakan bahwa mereka diperintah untuk berjalan di depan para tentara, untuk secara efektif bertindak sebagai tameng pelindung, saat militer melakukan pencaharian terhadap anggota GAM. Sebelum dibawa ke hutan, para sanak keluarga anggota GAM itu dilaporkan dipisahkan terlebih dahulu dan dipukuli. Operasi ini dilaporkan berlangsung tiga hari mulai tanggal 16 sampai 18 Mei 2004.

Meskipun adanya larangan peraturan militer, anak-anak di bawah usia 18 tahun juga digunakan oleh militer Indonesia untuk melakukan tugas-tugas seperti memasak, membersihkan, memata-matai dan melakukan komunikasi. Menurut sumber-sumber yang terinformasi, praktek ini tidak terjadi secara sistematik, namun lebih merupakan gagasan para tentara perseorangan. Sebagai negara anggota Konvensi mengenai Hak-hak Anak (CRC), Indonesia memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa anak-anak dilindungi dari eksploitasi ketika melakukanpekerjaan, dan sebagai negara penandatangan Protokol Opsional CRC mengenai Keterlibatan Anak-anak dalam Konflik Bersenjata, pemerintah Indonesia tidak

22 Fear in the Shadows: Militia in Aceh, Eye On Aceh, Juli 2004

23 Lihatlah sebagai contoh : “Milisi dengan nama lain”, Tempo, 7 Juli 2003 dan “Garis Depan”, Tempo, Februari 2004

24 “Civilians drafted to hunt Aceh rebels”, The Jakarta Post, 17 September 2003

boleh bertindak dalam cara yang bertentangan dengan Protokol Opsional ini. Dalam hal ini, Pasal 2 Protokol Opsional melarang adanya keharusan merekrut anak-anak ke dalam angkatan bersenjata.

Selain itu, sejak minggu kedua masa darurat militer, semua pria dewasa di seluruh bagian propinsi diwajibkan berpartisipasi dalam tugas jaga malam tanpa dibayar. Sistem ronda malam sipil juga dilakukan di tempat-tempat lain di Indonesia dan sebelumnya digunakan juga di NAD, namun tidak sedemikian kuatnya. Di NAD, jaga malam ini diatur oleh kepala desa dengan petunjuk dari para camat, polisi dan militer. Para petugas ronda malam tidak dipersenjatai dan tidak mendapatkan pelatihan apapun. Jumlah frekuensi jaga malam yang harus dilakukan tiap orang tergantung dari jumlah pria yang ada di satu desa atau komunitas, namun kelihatannya bervariasi antara dua kali seminggu sampai satu kali setiap beberapa minggu. Umumnya hanya pria di atas 18 tahun yang diharuskan ikut serta, tetapi sejumlah orang dari komunitas yang lebih kecil yang diwawancarai mengatakan kepada Amnesty International bahwa anak lelaki berusia 16 dan 17 tahun juga terlibat.

Sementara memang rakyat sipil bisa saja diminta memberikan jasa bantuan dalam kasus-kasus adanya bahaya,25 Amnesty International merasa khawatir bahwa sistem wajib jaga malam yang berlaku sekarang ini bagi semua pria di NAD mungkin merupakan bentuk pelecehan terhadap penduduk secara umum. Hal ini terlihat jelas dalam situasi yang digambarkan oleh seorang pedagang di pasar dari sebuah desa di Kecamatan Muara Dua, dekat kota Lhokseumawe, kepada delegasi Amnesty International. Menurut pedagang itu, menjelang pemilihan anggota DPR pada bulan April 2004, ia dan para pria lain di desanya diharuskan melakukan jaga malam selama 20 malam berturut-turut. Mereka yang tidak datang, atau yang pekerjaan jaga malamnya tidak baik menurut pihak berwenang, dijatuhi berbagai bentuk perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat atau hukuman.