• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelanggaran HAM yang dilakukan GAM

GAM dilaporkan melakukan pelanggaran HAM terhadap target militer maupun sipil baik pada saat maupun sebelum operasi militer yang tengah berlaku saat ini. Amnesty International benar-benar mengecam tindak-tindak kekerasan, seperti pembunuhan secara tidak sah dan penyanderaan, yang dilakukan kelompok-kelompok oposisi bersenjata dan telah berulang kali selama bertahun-tahun menyerukan agar GAM menjunjung serta mentaati prinsip-prinsip hukum kemanusiaan internasional.

GAM dipercaya telah menculik atau menyandera beberapa ratus orang pada tahun lalu yang artinya melanggar hukum kemanusiaan internasional. Sekitar 140 orang dilaporkan telah dibebaskan pada bulan Mei 2004. Di antara mereka yang diculik adalah orang-orang yang dicurigai berkolaborasi dengan pasukan keamanan Indonesia; politisi lokal; pegawai negeri; para individu yang terlibat dalam proyek-proyek pemerintah, sanak keluarga petugas militer atau kepolisian dan wartawan.

Di antara sandera yang diambil termasuk Ersa Siregar, wartawan saluran televisi swasta Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), juru kamera Ferry Santoso dan supir mereka. Ketiga orang ini dihentikan oleh GAM pada saat mengendarai mobil melalui Langsa, Kabupaten Aceh Timur tanggal 29 Juni 2003. Diyakin bahwa mereka menjadi sasaran karena

84 “TNI Admits to Wrongdoings in Aceh”, The Jakarta Post, 6 Mei 2004.

dalam kendaraan mereka ada dua orang istri perwira TNI yang juga disandera pada waktu yang sama. Salah satu dari kedua wanita itu adalah Cut Soraya yang saat itu sedang hamil.

Tanggal 3 Juli 2003, satu siaran pers dikeluarkan oleh Tengku Sofyan Dawood, juru bicara militer GAM di NAD, yang menyatakan bahwa kelima orang itu ditahan untuk diinvestigasi dan bahwa “jika mereka terbukti tidak bersalah menurut norma-norma internasional, dan kami yakin bahwa mereka bukan mata-mata TNI … kami akan membebaskan mereka segera”.85 Malik Mahmmod, dari ASNLF di Swedia, menyangkal bahwa para wartawan ini disandera sebab tidak ada tuntutan untuk membayar atau tuntutan lainnya sebagai syarat bagi pembebasan mereka. Dalam kasus kedua wanita itu, ia mengakui bahwa Komandan GAM setempat pada awalnya meminta agar mereka ditukar dengan para istri anggota GAM yang ditahan oleh pasukan keamanan Indonesia. Namun, dengan campur tangan ASNLF di Swedia, permintaan ini dibatalkan.86 Sementara jika pun ada hanya sedikit saja permintaan diajukan GAM sebagai syarat bagi pembebasan mereka, Amnesty International menganggap bahwa orang-orang ini disandera karena akan nampak kelihatan bahwa mereka diambil dan ditahan dengan tujuan memberikan tekanan pada pemerintah dan agen-agennya.87

Tanggal 19 Desember 2003, Rahmatsyah (20 tahun), supir kru televisi itu dibebaskan.

Sepuluh hari kemudian, Ersa Siregar tebunuh dalam tembak menembak antara GAM dan marinir. Satu Investigasi yang dilakukan militer Indonesia mendapatkan bahwa peluru militer yang membunuh jurnalis berusia 52 tahun itu. Ia menikah dan punya tiga anak. Akhir Januari 2004, dua wanita yang disandera juga dibebaskan. Dan baru pertengahan bulan Mei 2004 lah, atau 11 bulan setelah disandera, perundingan-perundingan berhasil membebaskan Ferry Santoro.

Dalam wawancara menyusul pembebasannya, Ferry Santoro mengklaim bahwa ia pernah diancam akan dibunuh, namun secara umum perlakuan terhadapnya cukup baik. Cut Soraya dilaporkan mengalami keguguran kandungan ketika ditahan serta juga mengklaim dipukuli beberapa kali.

Selain melakukan penyanderaan, GAM juga sering dituduh pemerintah Indonesia melakukan pembunuhan secara tidak sah terhadap warga sipil, termasuk anak-anak. Media massa juga melaporkan pembunuhan tak sah yang dilakukan GAM. Sebagai contoh, dalam wawancara dengan seorang jurnalis Australia, seorang pedagang dari Kecamatan Selimeum di Kabupaten Aceh Besar menyatakan menyaksikan pembunuhan yang dilakukan GAM

85 Siaran pers yang dikeluarkan oleh Front Nasional Pembebasan Acheh-Sumatra, Pusat Informasi Militer Tentara Nasional Acheh (TNA), 3 Juli 2003.

86 Surat kepada Sekretaris Jendral International Federation of Journalists dari Malik Mahmood, perdana menteri pemerintahan yang diproklamasikan sendiri dalam pengasingan.

87 Pasal 1 Konvensi Internasional melawan Penyanderaan mendefinikan penyandera sebagai; “Barang siapa pun yang mengambil atau menahan dan mengancam akan membunuh, melukai atau akan menyandera orang lainnya (yang dirujuk sebagai “sandera”) agar memaksa pihak ketiga, yaitu satu negara, satu organisasi antar-pemerintah internasional, satu petugas pengadilan atau satu orang biasa, satu kelompok orang, untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan apa pun sebagai persyaratan eksplisit atau implisit bagi pembebasan sandera melakukan pelanggaran melakukan penyanderaan sebagaimana termaksud dalam Konvensi ini.”

terhadap sekretaris desa.88 Dalam laporan lainnya, seorang wartawan dari harian Waspada yang berbasis di Sumatra Utara menyatakan bahwa istrinya, seorang guru sekolah dasar, ditembak mati para anggota GAM pada bulan Juli 2003 karena ia tidak bisa membayar

“pajak” sebesar US$2,000 yang diminta mereka.89 Juga banyak keterangan yang bisa dipercaya bahwa GAM melakukan pembunuhan tak sah di masa lalu.90 Akan tetapi dengan tidak adanya akses ke NAD tidaklah mungkin memeriksa laporan-laporan terkini.

Anak-anak juga dilaporkan direkrut oleh GAM. Kebanyakan anak-anak yang terlibat dalam GAM adalah anak lelaki, meskipun sejumlah orang yang dituduh sebagai anggota unit perempuan GAM, yang disebut Inong Bale, dan telah ditangkap berusia di bawah 18 tahun.

Menurut ornop-ornop setempat, anak-anak dilibatkan dalam berbagai tugas seperti bertindak sebagai informan, mengumpulkan “pajak”, ikut serta dalam pembakaran, menyediakan makanan serta pasokan lainnya, memasak serta mengumpulkan kayu bara.91 Tidak jelas sampai sejauh mana rekrutmen ini bersifat sukarela dan ada laporan bahwa sejumlah anak mungkin dipaksa untuk bergabung, atau dipaksa untuk tetap ikut GAM jika mereka bergabung atas kehendak sendiri.

Penggunaan anak-anak dalam konflik bersenjata melanggar Protokol Pilihan dari Konvensi mengenai Hak Anak-anak yang melarang pemerintah dan kelompok bersenjata menggunakan anak-anak di bawah usia 18 tahun dalam konflik serta juga melarang perekrutan sukarela terhadap anak-anak di bawah 18 tahun oleh kelompok-kelompok bersenjata.

Amnesty International khawatir bahwa kemungkinan pelanggaran HAM yang dilakukan GAM bisa meningkat akibat pernyataan yang dikeluarkan ASNLF untuk menanggapi keputusan pemerintah Indonesia untuk menurunkan keadaan darurat militer menjadi darurat sipil tanpa mengurangi jumlah pasukan. Dalam pernyataannya, ASNLF mendeklarasikan bahwa GAM “sejak itu harus memandang semua fasilitas militer atau pemerintahan sipil Indonesia serta personelnya, sebagai bagian dari mesin perang penjajahan kolonial, dan GAM memiliki hak untuk menyerang mereka”.92

88 “Living in fear in Aceh’s black belt”, The Australian, 28 Juni 2004.

89 “Suspected rebels kill journalist’s wife in Aceh, Indonesia”, Associated Press, 21 Juli 2003

90 International Crisis Group (ICG), satu organisasi internasional yang pekerjanya difokuskan pada pencegahan konflik, mencatat bahwa mereka mendengar keterangan-keterangan yang bisa dipercaya mengenai pelanggaran HAM oleh para anggota GAM, termasuk pembunuhan atas 19 orang selama periode tujuh bulan di tahun 2000 dan pembunuhan terhadap sekurangnya 10 orang penduduk non-Aceh di non-Aceh Tengah yang dituduh berkolaborasi dengan pasukan keamanan. Baca: non-Aceh: Can Autonomy Stem the Conflict? ICG, 27 Juni 2001.

91 Armed Conflict in Aceh: Involvement of Children in Armed Forces, Kelompok Kerja Studi Perkotaan, Yayasan Anak Bangsa, People’s Crisis Centre and Jesuit Refugee Service, 2004.

92 “Comments on Martial Law and Civil Emergency in Acheh”, Pernyataan mengenai Kebijakan oleh ASNLF, 16 Mei 2004.