• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyiksaan dan perlakuan buruk di bawah masa darurat militer

“Ini pelajaran bagus mengenai bagaimana para tentara [Amerika dan Inggris] di Irak memperlakukan para tahanan. Kami masukkan hal ini dalam pelajaran di Kopassus bahwa mereka tidak boleh dan jangan sampai mencontoh hal ini.”

Mayor Jendral Sriyanto, Komandan Kopassus.65

“Misalnya, tentara saya menampar di muka. Itu tidak jadi masalah asal orang itu masih bisa berfungsi setelah diinterogasi. Tapi jika menyebabkan seseorang menjadi cacat itu namanya penyiksaan berat…itu benar-benar tidak boleh.”

Mantan Panglima Kodam Iskandar Muda dan Komandan Penguasa Darurat Militer Daerah, Brigadir Jendral Bambang Darmono, November 2003.66

Penyiksaan dan perlakuan buruk pada saat pemeriksaan kelihatannya adalah hal yang rutin baik dalam tahanan militer ataupun tahanan polisi di NAD. Akan tetapi praktek-praktek semacam itu tidak hanya dibatasi di tempat-tempat penahanan saja. Pemukulan serta bentuk-bentuk lain penyiksaan dan perlakuan buruk, terutama terhadap kaum pria muda, guna mengorek keterangan mengenai keberadaan GAM, untuk mengintimidasi dan menghukum merupakan hal yang banyak terjadi dalam operasi-operasi pembersihan (sweeping) oleh pasukan keamanan di desa-desa. Pemerkosaan dan bentuk tindak kekerasan lainnya terhadap perempuan dan para gadis juga terjadi dalam konteks ini.

Metode penyiksaan pada saat darurat militer yang telah terdokumentasikan oleh Amnesty International bersifat konsisten dengan pola-pola penyiksaan dan perlakuan buruk yang telah terbentuk dengan mantap di NAD selama bertahun-tahun. Ini sangatlah menyolok karena meskipun adanya perubahan-perubahan yang signifikan di dunia perpolitikan Indonesia serta reformasi penting di sejumlah bidang, penyiksaan tetap nampaknya menjadi modus operandi di situasi-situasi dimana ada perlawanan terhadap negara, baik dengan menggunakan senjata ataupun tidak.

Mereka yang bertanggung jawab utama atas penyiksaan-penyiksaan tersebut tentunya adalah para petugas militer dan kepolisian. Tingkatan dan beratnya penyiksaan di NAD, serta ketidakmampuan penguasa Indonesia untuk mengambil langkah-langkah pencegahan yang efektif meskipun adanya banyak tuduhan baik di masa kini maupun masa lampau, menunjukkan tingginya tingkat pengetahuan dan juga penerimaan atas praktek-praktek ini di lingkungan para pejabat tinggi, kalaupun tidak berupa pemberian ijin.

7.1 Penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap para tahanan politik

Para pengacara di NAD mengatakan kepada Amnesty International bahwa para tahanan politik, hampir tanpa kekecualian, disiksa dan diperlakukan dengan buruk dalam hari-hari

65 “Kopassus chiefs want new Aussie ties”, Australian Associated Press, 17 Mei 2004

66 “Military chief approves of beatings”, Associated Press, 22 November 2003.

pertama penahanan. Tujuan utama penyiksaan ini adalah untuk mengorek pengakuan tentang keanggotaan di GAM atau dukungan yang diberikan pada GAM, yang kemudian akan digunakan sebagai dasar penyusunan dakwaan terhadap mereka.

Metode penyiksaan yang umumnya diderita oleh para tahanan politik di NAD termasuk: pemukulan, yang ummnya dengan menggunakan ujung senjata, tongkat rotan, lempengan besi atau balok kayu; kemudian tampar, tinju, tendang dengan menggunakan sepatu bot militer yang berat dan dinjak-injak. Metode lainnya yang digunakan termasuk disetrum/dilistrik; dicekik dengan melingkarkan tali plastik atau kawat ke leher dan diikat keras; dibuat hampir tak bisa bernafas dengan cara memasangkan tas plastik di kepala;

dibakar dengan rokok atau pemantik; kulit dilukai dengan sangkur/bayonet atau senjata tajam lainnya, moncong senjata dimasukkan ke mulut; diancam akan dibunuh; dibenamkan di air untuk waktu yang lama; dimandikan dengan air dingin atau air seni; plecehan seksual dan pemerkosaan. Para tahanan juga dipaksa menelan benda-benda seperti kotak karton pembungkus mie, sekrup dan rambut.

Selain itu, para tahanan juga dipaksa menyaksikan tahanan lainnya disiksa dan disuruh ikut serta dalam penyiksaan atau perlakuan buruk terhadap yang lainnya. Ada laporan-laporan tentang kasus dimana tahanan diperintah memukuli dan menampar tahanan lainnya. Dalam sejumlah kasus mereka juga diperintahkan untuk mencium, mengendus, mengelitik atau menjilat ketiak atau melakukan oral seks terhadap tahanan lainnya. Dalam satu kasus yang dilaporkan kepada Amnesty International, seorang tahanan pria dipaksa melakukan sanggama dengan tahanan pria lainnya.

Intensitas penyiksaan atau perlakuan buruk ini dilaporkan berkurang setelah tujuh hari penahanan, atau setelah pengakuan didapatkan. Akan tetapi resiko disiksa atau mendapat perlakuan buruk lagi tidak sepenuhnya hilang, dan menurut para penasehat hukum, ancaman akan dikembalikan di tahanan militer atau polisi untuk disiksa lagi, memaksa banyak orang yang dituntut melakukan kejahatan politik langsung mengaku bersalah atau tidak membuat pembelaan.

7.2 Contoh-contoh kasus penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap tahanan politik

Informasi yang termuat dalam kasus-kasus berikut ini didapatkan Amnesty International baik dari wawancara dengan para korban maupun dari sumber-sumber yang bisa dipercaya di NAD. Nama-nama korban dan nama desa mereka tidak kami berikan di sini guna melindungi mereka dari kemungkinan adanya pembalasan.

a) Seorang pria berusia 22 tahun dari Kecamatan Leupung di Kabupaten Aceh Besar ditangkap pada tanggal 8 Juni 2003 dan dibawa ke Polres Aceh Besar. Di sana, selama empat hari dilaporkan bahwa ia dipukuli dengan gagang senapan, tongkat rotan dan sepatu kulit, ditendang, diinjak-injak oleh sekitar 30 orang serta dibakar dengan menggunakan rokok. Ada tuduhan bahwa ia juga diperintahkan makan kotak karton mie instan dan menelan sekrup besi.

Ia kemudian dipindahkan ke kantor polisi Lambaro, Aceh Besar. Disana ia dilaporkan ditendang, moncong senapan SS1 assault riffle ditodongkan ke mulutnya dan ia dinjak-injak.

Pada satu kesempatan ia dilaporkan dipaksa untuk telanjang dan berdiri dengan kepala di bawah serta pada lain kalinya ia disuruh melakukan oral seks pada tahanan lainnya.

Tangannya ditindih dengan palang besi yang biasa dipakai untuk mengunci pintu sel dan matanya ditusuk dengan jari. Ia juga dipaksa minum alkohol dan menghisap marijuana. Di penjara Keudah di Banda Aceh, tempat kemana ia dipindahkan kemudian, ia diperintahkan untuk lari telanjang kaki di atas jalan beraspal panas sehingga akibatnya kakinya terbakar.

Sejak saat itu ia diyakini sudah diajukan ke pengadilan, meskipun hasilnya belum diketahui.

b) Seorang pria berusia 20 tahun dari Kecamatan Indrapuri di Kabupaten Aceh ditangkap pada pukul 8 pagi tanggal 8 Juli 2003 oleh tentara dari Kodam III Siliwangi dan polisi dari Polda. Menurut informasi yang diterima Amnesty International, sebelum dibawa ke pos militer di Lam Klieng, Aceh Besar, ia dibawa keliling desa dan dipukuli. Di pos militer ada tuduhan bahwa wajahnya dilumuri kotoran sapi dan ia dipaksa makan kotoran ayam. Ia juga dipukul dengan sebatang kayu, jari tangannya dimasukkan ke colokan listrik sampai ia tersentrum, dan disiram dengan air kemih. Dilaporkan bahwa ia dipindahkan ke pos militer lainnya dimana dituduhkan bahwa tangannya ditindih dengan kursi dan ditusuk dengan jarum.

Dikatakan bahwa ia juga kemudian ditendang dan dipukuli di Kodam dan Polda NAD. Di Polda, dimana ia ditahan selama lima hari, tahanan lain disuruh menamparnya. Di Penjara Keudah dimana ia ditahan sambil menunggu pemeriksaan pengadilan ia diperintahkan merangkak masuk ke got. Sejak saat itu ia sudah dijatuhi hukuman penjara satu tahun enam bulan.

c) Seorang pemilik toko kecil berusia 25 tahun dari Kabupaten Aceh Utara ditangkap oleh para anggota Brimob pada bulan Januari 2004. Ia dituduh menjadi anggota intelijen GAM. Ia membantah dan dipercaya bahwa ia ditahan karena menolak permintaan para anggota Brimob untuk memberi mereka uang rokok. Ia dibawa ke pos Brimob setempat dan ditahan selama 24 jam dimana ia menyatakan bahwa ia dipukuli di muka dan di matanya dengan gagang senapan sampai hidungnya patah. Ia juga disundut dengan rokok di lengan, perut dan paha. Puluhan bekas luka bakar masih terlihat di lengannya ketika Amnesty International menemuinya pada bulan Mei 2004. Hidungnya juga mengalami pendarahan. Ia kemudian dibebaskan setelah para warga desanya mencarinya dan membayar 200.000 rupiah.

Sejak saat itu ia sudah keluarga dari Indonesia.

d) Seorang petani padi berusia 30 tahun, juga dari Aceh Utara, ditangkap bulan Maret 2004 oleh tentara Kodam III Siliwaingi. Ia menyatakan dibawa ke pos militer sementara dimana ia disiksa karena tidak mau memberikan nama-nama anggota GAM. Menurut pengakuannya, tangannya diikat ke belakang dan ia dipukuli serta di tinju oleh 12 orang di muka dan badannya. Pada satu saat kepalanya dipukul dengan antena radio komunikasi dan besi solder listrik yang panas digoretkan di dadanya lima kali. Penyiksaan ini dilakukan pada hari pertama penahanannya. Dua hari kemudian ia dibebaskan setelah setuju untuk membayar setengah juta rupiah. Ia diberi tiga hari untuk mengumpulkan uangnya, namun ia kabur sebelum hari pembayaran dan sekarang ia tinggal di luar negeri.

e) Seorang petani berusia 29 tahun dari Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar ditangkap tanggal 15 Agustus 2003 sekitar pukul 5 sore oleh tentara dari unit Rajawali dan polisi setempat. Ia dibawa ke balai masyarakat kecamatan untuk diinterogasi. Saat pemeriksaan itu ia ditinju di mukanya, ditendang di dadanya. Dipukul dengan balok kayu di punggungnya, dan diinjak-injak. Dilaporkan ia kemudian dipukuli lagi di pos polisi militer dan di Penjara Keudah. Di Polda Banda Aceh dilaporkan bahwa ia dipaksa bersenggama dengan tahanan pria lainnya. Sejak saat itu ia sudah dijatuhi hukuman dua tahun penjara.

f) Seorang tukang bangunan usia 23 tahun dari Kecamatan Darussalam di Kabupaten Aceh Besar ditangkap tanggal 15 Juli 2003 oleh tentara dan petugas kepolisian lokal. Ia dibawa ke Kodim. Di sana ia dilaporkan dikurung di satu ruangan kecil bersama 12 orang tentara yang memukulinya dengan tinju, gagang senapan dan helm (pengaman kepala) militer.

Sore hari yang sama ia diperintahkan berdiri di depan selnya lengkap dengan bajunya sementara delapan ember air dingin disiramkan kepadanya. Di pos militer Mata Ie, Aceh Besar, ada tuduhan bahwa ia dipukul dengan palu kayu di kepala dan kukunya serta disundut api di bibir, tangan dan sikunya. Di Polda Banda Aceh ia dipukuli lagi serta ditendang para petugas kepolisian. Bersama tahanan lainnya ia diperintahkan untuk saling menggelitik dan saling menjilat ketiak satu sama lainnya. Sejak saat itu ia sudah dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman tiga tahun dan enam bulan penjara.

g) Seorang pedagang di pasar dari Muara dua, Lhokseumawe, ditangkap oleh para anggota militer sesaat sebelum pemilihan anggota DPR yang dilangsungkan tanggal 5 April 2004. Ia mengatakan kepada Amnesty International bahwa ia memberikan makanan serta bantuan lain kepada GAM, tetapi ia bukan anggota. Ia mengatakan ia ditahan 24 jam di pos militer di desanya dimana ia disiksa saat ia ditanyai mengenai keberadaan GAM dan senjata mereka. Menurut pengakuannya, ia dipukuli gagang senapan, digantung dengan kepala di bawah kaki di atas selama sekitar 20 menit dan kantung plastik dipasangkan di kepalanya. Ia juga merasa satu kali punggungnya dibakar namun tidak bisa melihat apa yang membakarnya.

Ia melarikan diri dari Indonesia segera setelah dibebaskan.

7.3 Penyiksaan dan perlakuan buruk di tempat-tempat umum

Baik militer maupun polisi juga melakukan penyiksaan dan perlakuan buruk di tempat-tempat umum dan di rumah-rumah. Hal ini sering terjadi saat ada “pembersihan” (sweeping) ke desa-desa dan penggeladahan dari rumah ke rumah. Hal ini terutama banyak dilakukan di daerah-daerah pedesaan dan sering setelah adanya tembak menembak antara pasukan keamanan dan GAM. Pada saat penggeladahan semacam itu sudah umum jika para pria di desa dikumpulkan dan dipukuli, ditendang serta ditampar guna memaksa mereka mau bekerjasama dalam mencari seorang tersangka atau juga sebagai bentuk pembalasan.

Penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat juga dipakai sebagai hukuman atas alasan-alasan seperti tidak muncul atau tidak hadir pada wajib jaga malam, atau jatuh tertidur pada saat jaga malam atau menolak memberi para anggota militer atau kepolisian rokok gratis atau bahan-bahan lain yang diminta.

Hukuman yang dilaporkan diberikan untuk pelanggaran ringan semacam itu adalah pemukulan, dibenamkan ke dalam air selama waktu yang lama, dipaksa berbaring di got kotor atau disuruh pura-pura berenang sementara berbaring di tanah kering.

7.4 Contoh-contoh kasus penyiksaan dan perlakuan buruk di tempat-tempat umum

a) Seorang pemilik took barang keperluan sehari-hari, usia 51 tahun, dari Kecamatan Nisam di Aceh Utara, menjelaskan kepada Amnesty International bahwa ia dipandang oleh militer Indonesia sebagai seorang “separatis” dan dijadikan sasaran pemukulan beberapa kali sebab dia memberi rokok, karena dipaksa, kepada anggota-anggota GAM. Satu kali, sebelum ia kemudian kabur meninggalkan Indonesia di bulan April 2004, sekitar 60 orang tentara

mendatangi desanya dan mengumpulkan sekitar 20 sampai 30 pria. Mereka dipukuli, termasuk pemilik toko itu, akibatnya jari kelingkingnya patah dan rusuknya memar.

b) Seorang petani berusia 31 tahun dari Kecamatan Banda Baru di Kabupaten Pidie meninggalkan Indonesia pada bulan Maret 2004 untuk melarikan diri dari pemukulan berkali-kali yang dialaminya selama operasi militer di desanya. Ia menggambarkan bagaimana para pria di desanya telah berulangkali dibariskan dan mereka masing-masing, terutama para pemuda, akan dipanggil keluar dari barisan dan dipukuli. Ia mengaku dipukuli dalam 12 kejadian terpisah sejak dimulainya darurat militer.

c) Seorang petani berusia 27 tahun dari Kecamatan Muara Tiga di Kabupaten Pidie menyatakan bahwa ia diberhentikan oleh dua orang prajurit berpakaian sipil di pos pemeriksaan tanggal 16 Juli 2003 saat ia dalam perjalanan menuju ladangnya. Para tentara menuduhnya sebagai anggota GAM. Ketika ia menyangkalnya, ia dipukuli. Ia menderita patah tulang lutut karena ditendangi dan satu giginya juga patah ketika mulutnya dipukul dengan ujung senapan. Ia dibiarkan tergeletak di jalan dan pulang dengan tertatih-tatih.

Belakangan ia mendengar bahwa ia dicari oleh militer, oleh karenanya ia melarikan diri, pertama ke Medan, ibukota Sumatra Utara. Namun karena merasa tidak aman di sana, akhirnya ia keluar dari Indonesia pada bulan Januari 2004. Ketika Amnesty International bertemu dengannya bulan Mei 2004, jalannya masih timpang akibat luka-luka yang dideritanya.

d) Para penjaga malam di desa di Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar menjadi sasaran pemukulan dan dipaksa melakukan tindakan-tindakan yang memalukan karena tidak hadir saat wajib jaga malam, tertidur ketika menjalankan tugas, atau tidak menjalankan kewajiban mereka. Hukuman termasuk pemukulan dan berdiri di air selama beberapa jam. Suatu ketika, sejumlah pemuda dari desa memindahkan batang tiang-tiang penjagaan terbuat dari bambu sebagai lelucon. Ketika para anggota Brimob tiba dan menemukan apa yang terjadi, semua pria di kompleks itu dikumpulkan dan diperintahkan berdiri di air kotor dan harus menyaksikan seorang guru sekolah setempat dipilih dan dihina dengan kata-kata di depan umum. Seorang pelapor lain menceritakan bagaimana seorang lelaki bernama Abdurrahman yang berusia 35 tahun dari desanya di Kecamatan Jeunieb, di Kabupaten Bireun, dipaksa berbaring dalam air selama setengah hari karena tidak muncul dalam tugas jaga malam pada bulan Desember 2003.

7.5 Kewajiban Indonesia menurut Konvensi melawan Penganiayaan

Indonesia menyatakan persetujuannya pada Konvensi melawan Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang Lain, Tidak Manusiawi atau Hukuman yang menghinakan (Konvensi melawan Penganiayaan) pada tahun 1988. Dalam pertimbangan laporan awal Komite melawan Penganiayaan67 di tahun 2001, Komite itu mengemukakan kekhawatiran mengenai “sejumlah besar tuduhan adanya tindakan penyiksaan dan perlakuan buruk yang dilakukan para anggota kepolisian terutama Brimob, TNI, dan kelompok-kelompok paramiliter yang

67 Badan urusan traktat komite ini terdiri dari para pakar independen yang memantau kepatuhan pada Konvensi melawan Penganiayaan.

dilaporkan mempunyai hubungan dengan pihak berwenang, dan di daerah-daerah dengan konflik bersenjata (Aceh, Papua, Maluku dll)”68

Keperihatinan Komite Melawan Penganiayaan tersebut menggemakan keprihatinan yang sudah dikemukakan hampir 10 tahun sebelumnya oleh Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan setelah melakukan kunjungan ke Indonesia. Dalam laporannya tahun 1992 setelah melakukan kunjungan, Pelapor Khusus itu mencatat bahwa:

“… Pelapor Khusus tidak bisa menghindari kesimpulan bahwa penyiksaan memang dilakukan di Indonesia, terutama dalam kasus-kasus yang dipandang membahayakan keamanan negara. Di daerah-daerah yang dicap sebagai tidak stabil, … penyiksaan dikatakan dipraktekkan dengan cukup rutin”.69

Sebagai negara yang menjadi bagian Konvensi Melawan Penganiayaan, Indonesia diharuskan menggunakan perundangan, administrasi, pengadilan atau cara-cara lain yang efektif guna mencegah tindakan penyiksaan dilakukan. Akan tetapi, hanya ada sedikit kemajuan sejauh ini telah dibuat untuk mengimplementasikan berbagai langkah yang terkandung dalam Konvensi Melawan Penganiayaan, atau menerapkan rekomendasi-rekomendasi yang dibuat oleh Komite Melawan Penganiayaan.