• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN I Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di NAD.. 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAGIAN I Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di NAD.. 1"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

1.Pendahuluan ……… 1

2.Latar Belakang Politik……… 4

3.Pola pelanggaran HAM yang sudah terbentuk dengan baik……… 6

3.1 Milisia dan pertahanan sipil ………... 8

3.2 Pengungsian internal………... 12

3.3 Memisahkan GAM dari penduduk……… 13

3.4 Pembatasan akses bagi para pelaku kemanusiaan dan hak asasi manusia 15

4. Hukuman mati di luar jalur hukum pada masa darurat militer ……….…. 17

4.1 Kasus-kasus hukuman mati di luar jalur hukum……… 19

5. Penahanan secara sewenang-wenang dan pengadilan yang tidak adil di bawah keadaan darurat militer ……… 20

5.1 Kasus para juru runding GAM………. 23

6. Mungkin mereka tahanan hati nurani………….……… 30

6.1 Para pekerja kemanusiaan……… 31

6.2 Mahasiswa dan aktifis perempuan……… 32

6.3 Pegiat lingkungan……… 33

7. Penyiksaan dan perlakuan buruk di bawah masa darurat militer………… 34

7.1 Penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap para tahanan politik ……… 35

7.2 Contoh-contoh kasus penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap tahanan politik……… 36

7.3 Penyiksaan dan perlakuan buruk di tempat-tempat umum……… 38

7.4 Contoh-contoh kasus penyiksaan dan perlakuan buruk di tempat-tempat umum ……… 38

7.5 Kewajiban Indonesia menurut Konvensi melawan Penganiayaan…… 39

8. Kekerasan terhadap perempuan………..…… 40

8.1 Penahanan sewenang-wenang terhadap wanita……… 40

8.2 Pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya……… 41

8.3 Contoh-contoh kasus kekerasan terhadap wanita……… 41

8.4 Kewajiban Indonesia di bawah hukum internasional untuk melindungi wanita dari pelanggaran HAM……….……… 43

9. Pola impunity yang sudah terbentuk kuat……… 45

10. Pelanggaran HAM yang dilakukan GAM……….………. 48

11. Peranan komunitas internasional………..……… 50

BAGIAN II – Pengungsi Aceh di Malaysia……….. 52

(2)

13.1 Rekomendasi kepada Presiden Indonesia………..…. 61

13.2 Rekomendasi kepada GAM……….... 64

13.3 Rekomendasi kepada pemerintah Malaysia……….... 65 13.4 Rekomendasi kepada para pemerintahan kedua dan Perserikatan

Bangsa-bangsa………...….. 66

(3)

INDONESIA

Operasi-operasi militer baru, pola lama pelanggaran HAM di Aceh

(Nanggroe Aceh Darussalam, NAD)

BAGIAN I – Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di NAD

1. Pendahuluan

Pada bulan Mei 2003 keadaan darurat militer dideklarasikan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),1 Indonesia. Dalam keadaan darurat ini pemerintahan sipil ditangguhkan dan operasi besar-besaran untuk menumpas pemberontakan dilangsungkan guna melawan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan, Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tahun itu menjadi satu tahun yang paling berdarah dalam konflik 28 tahun di NAD. Pada bulan Mei 2004, status NAD diturunkan dari darurat militer menjadi darurat sipil. Meskipun memang pemerintahan dipulangkan ke tangan pihak berwenang sipil, operasi-operasi militer masih terus dilaksanakan dan pelanggaran HAM masih dilaporkan.

Amnesty International menyadari perlunya pemerintahan menanggapi ancaman yang diajukan kelompok-kelompok bersenjata. Amnesty International tidak berdiri di posisi manapun mengenai status politik NAD, dan tidak juga mendukung atau menentang tuntutan untuk kemerdekaan. Keprihatinan organisasi ini benar-benar hanya terbatas pada situasi hak asasi manusia di daerah itu. Dengan kaitan inilah penelitian diadakan baik mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan GAM maupun oleh pasukan keamanan Indonesia.

Akan tetapi pemantauan atas situasi hak asasi manusia di NAD pada saat dilangsungkannya kampanye militer yang paling belakangan ini menjadi sulit oleh pembatasan-pembatasan ketat atas akses masuk ke propinsi tersebut. Pembatasan-pembatasan yang diberlakukan pemerintah itu telah menghalangi Amnesty International dan kelompok- kelompok hak asasi manusia internasional lainnya dalam melakukan riset di NAD. Walau demikian pengumpulan data dari berbagai sumber yang bisa dipercaya masih bisa dilakukan.

Untuk menyusun laporan ini, Amnesty International melakukan wawancara di luar wilayah

1 Propinsi ini tadinya dikenal sebagai Aceh, kemudian namanya diganti menjadi Nanggroe Aceh Darussalam oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2001. Nama Aceh ini ditulis dalam ejaan modern bahasa Indonesia, terkadang juga dieja Acheh. Untuk kekonsistenan, Aceh lah yang digunakan di sini, kecuali dimana ejaan alternatif dari nama Aceh dipakai sebagai bagian dari judul resmi.

(4)

Indonesia dengan para pegiat HAM dan pengacara Aceh, dengan sekitar 55 orang pengungsi yang melarikan diri dari NAD sejak bulan Mei 2003, dan juga dengan para ahli serta pengamat independen.

Informasi yang terkumpul memberikan bukti berlimpah mengenai adanya pola yang mencemaskan mengenai pelanggaran berat atas hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya di NAD. Pasukan keamanan Indonesia lah yang memegang tanggung jawab utama atas pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut, meskipun GAM juga melakukan pelanggaran HAM berat, terutama dengan melakukan penyanderaan dan menggunakan anak-anak sebagai tentara.

Dalam hukum internasional ada prinsip-prinsip tertentu yang telah ditingkatkan menjadi norma-norma yang tidak bisa diubah lagi, yang artinya mereka tidak bisa lagi dikurangi lagi dalam keadaan macam apapun, termasuk dalam keadaan darurat nasional.

Prinsip-prinsip itu mencakup larangan perampasan kehidupan secara sewenang-wenang dan hak untuk terbebas dari penyiksaan. Akan tetapi, pembunuhan secara tidak sah dan penyiksaan masih terdapat dalam pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan selama 15 bulan terakhir ini di NAD.

Pola pelanggaran HAM dewasa ini sudah sangat dikenal penduduk NAD yang yang telah mengalami penderitaan pelanggaran HAM berat pada operasi-operasi penumpasan pemberontakan sebelumnya di propinsi tesebut. Sementara perubahan dramatis dalam dunia perpolitikan Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1998 2 dan proses pendemokrasian berlangsung ditandai dengan pemilihan anggota DPR dan presiden baru-baru ini, kelihatannya hanya ada sedikit perubahan dalam cara pasukan keamanan menanggapi baik gerakan- gerakan kemerdekaan sipil maupun bersenjata. Seperti halnya di masa lalu, dalam kasus inipun hanya ada sedikit perhatian dicurahkan terhadap situasi ini baik dari dalam negeri maupun dari dunia internasional.

Pelanggaran HAM yang terjadi selama operasi militer terakhir ini begitu melarutnya sehingga boleh dikatakan hampir tidak ada bagian dalam kehidupan di propinsi itu yang tidak terkena. Seperti halnya kampanye-kampanye militer terdahulu melawan GAM, keamanan penduduk sipil sedikit sekali diperhatikan. Militer Indonesia tidak bisa membedakan antara para petempur (combatant) dan warga sipil (non-combatant). Para pemuda sering kali dicurigai sebagai anggota GAM oleh pasukan keamanan dan yang paling beresiko terkena pelanggaran HAM, seperti pembunuhan tidak sah, penyiksaan, perlakuan buruk dan penahanan secara sewenang-wenang. Para anggota GAM juga ada yang dibunuh secara tidak sah setelah dimasukkan ke tahanan. Wanita dan para gadis menjadi sasaran pemerkosaan serta bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya. Sidang pemeriksaan pengadilan terhadap orang- orang yang disangka sebagai anggota GAM atau pendukung GAM banyak yang melanggar

2 Mantan Presiden Suharto, yang memerintah Indonesia selama 32 tahun, terpaksa harus mengundurkan diri pada bulan Mei 1998. Sampai dengan tahun 1998, secara efektif Indonesia merupakan negara dengan satu partai saja. Kebebasan berekspresi dikontrol secara ketat dan pelanggaran HAM berat dilakukan. Segera setelah pengunduran Presiden Suharto ada satu periode yang dikenal dengan nama periode reformasi dimana reformasi politik signifikan diperkenalkan dan sejumlah pembatasan atas kebebasan berekspresi dicabut.

(5)

standar internasional bagi pengadilan yang fair atau adil dan sejumlah mereka yang ditahan mungkin merupakan tahanan hati nurani atau mereka yang ditahan karena keyakinan mereka.

Dalam usaha-usahanya untuk mematahkan dukungan logistik dan moral dari penduduk terhadap GAM, pasukan keamanan juga secara paksa memindahkan warga sipil dari rumah dan desa mereka, melakukan pengraziaan bersenjata serta pemeriksaan dari rumah ke rumah dan menghancurkan rumah-rumah serta harta milik lainnya. Para warga sipil, termasuk anak-anak dipaksa untuk ikut serta dalam operasi-operasi militer dan aktifitas lainnya yang menyokong operasi militer. Pembatasan secara tidak proporsional diberlakukan pada kebebasan berekspresi dan melakukan gerakan. Pemberian bantuan kemanusiaan menjadi sangat terganggu.

Pihak militer telah menjalankan investigasi mengenai sejumlah tuduhan pelanggaran HAM dan sejumlah tentara telah diperiksa di pengadilan militer. Namun, proses-proses ini, yang hanya menangani sedikit saja dari jumlah keseluruhan tuduhan pelanggaran HAM, tidak bersifat independen dan imparsial. Sementara itu, ketika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komnas HAM, melakukan penyelidikan ke lapangan, para pengamat HAM lokal menjadi sasaran penangkapan, penahanan serta bentuk-bentuk lain pelecehan dan intimidasi.

Organisasi-organisasi HAM internasional sama sekali tidak diberi akses masuk ke propinsi itu.

Kondisi di NAD telah memaksa ratusan warga Aceh untuk mengungsi ke Malaysia dan juga negara-negara lainnya. Walau pemerintah Malaysia menunjukkan rasa toleransi terbatas atas para warga Aceh ini dan para pengungsi lain di wilayah perbatasannya, secara resmi hal ini tidak memberi mereka pengakuan atau perlindungan legal. Tanpa pengakuan semacam itu, para pengungsi di Malaysia terus mengahdapi resiko ditangkap sebagai

“imigran gelap” dan bisa menghadapi tuntutan menurut Undang-undang Imigrasi Malaysia yang bersifat menghukum, ditahan di pusat penahanan keimigrasian yang kondisinya buruk, atau bahkan kedua-duanya.

Bertentangan dengan norma-norma kebiasaan hukum internasional yang melarang dipulangkannya orang-orang ke situasi dimana mereka bisa menghadapi pelanggaran HAM berat, Malaysia telah secara paksa memulangkan para pengungsi Aceh ke Indonesia dalam beberapa kesempatan. Ancaman untuk ditahan dalam waktu lama di kamp-kamp penahanan imigrasi dalam kondisi yang sangat buruk juga telah mendorong sejumlah pengungsi Aceh untuk secara ‘sukarela’ dipulangkan ke Indonesia. Di samping resiko ditahan secara sewenang-wenang dan dipulangkan oleh Malaysia, tidak adanya penerimaan secara resmi terhadap para pencari suaka dan pengungsi Aceh menyebabkan mereka dilarang bekerja atau tidak bisa mendapatkan akses pada pelayanan-pelayanan mendasar seperti perawatan kesehatan dan pendidikan.

Laporan berikut ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama memberikan perincian mengenai keadaan HAM di NAD dewasa ini. Bagian kedua dipusatkan pada situasi bagi para pengungsi Aceh di Malaysia. Selain itu ada pula rekomendasi-rekomendasi untuk pemerintah Indonesia dan Malaysia serta juga untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan pemerintahan-pemerintahan kedua. Jika diterapkan, rekomendasi-rekomendasi tersebut bisa membantu mengurangi penderitaan rakyat Aceh.

(6)

2. Latar Belakang Politik

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan jumlah penduduk sekitar 4,2 juta orang, terletak di ujung utara pulau Sumatra. Untuk mencapai Malaysia hanya cukup menyebrang Selat Malaka sedikit. Konflik yang terjadi dewasa ini di propinsi tersebut berawal dari pertengahan tahun 1970an ketika pada tanggal 4 Desember 1976 Acheh/Sumatra National Liberation Front (ASNLF), yang banyak dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara unilateral mendeklarasikan kemerdekaan. Dukungan bagi kemerdekaan NAD memang sudah berakar panjang dari tradisi menentang dominasi dari luar, termasuk terhadap kekuasaan mantan kolonial Belanda. Pada masa-masa belakangan ini, keuntungan pembangunan ekonomi yang tidak merata, anggapan kurangnya penghormatan pada tradisi- tradisi agama dan budaya serta catatan pelanggaran HAM yang sangat menyeramkan yang dilakukan pasukan keamanan Indonesia telah menyulut kebencian banyak orang Aceh terhadap pemerintah Indonesia.

Pemberontakan tahun 1976 dengan segera ditebas oleh pasukan keamanan Indonesia.

Di antara para tetinggi GAM yang tidak dibunuh atau dipenjarakan, melarikan diri ke luar negeri. Pemerintahan dalam pengasingan yang diproklamasikan sendiri, dengan pimpinan pendiri GAM, Dr Tengku Hasan di Tiro, sejak saat itu didirikan di Swedia.

Tahun 1989, sayap militer GAM muncul kembali di NAD. Setelah adanya serangkaian serangan terhadap instalasi kepolisian dan militer, pasukan bersenjata Indonesia melancarkan operasi-operasi penumpasan pemberontakan yang kemudian ditandai dengan pelanggaran-pelanggaran HAM berat.3 Pada saat itu, NAD menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) dimana militer memiliki pengontrolan secara efektif atas propinsi itu. Status DOM akhirnya dicabut pada bulan Agustus 1998, segera setelah mantan Presiden Suharto yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun, dipaksa untuk mengundurkan diri karena menghadapi penentangan besar-besaran dari rakyat atas pemerintahannya yang otoriter dan korup.

Pencabutan DOM hanya memberikan ketenangan sebentar. Pada bulan Januari 1999, operasi pertama dari serangkaian operasi militer baru dilancarkan lagi menyusul adanya serangan pada pasukan keamanan yang dituduh dilakukan GAM. Bertentangan dengan tujuannya, operasi-operasi militer, serta juga pelanggaran HAM dan kesulitan dalam hidup pada umumnya bagi warga sipil membuat meningkatnya dukungan dari warga umum bagi GAM, atau paling tidak pada tujuan yang dideklarasikannya untuk mencapai kemerdekaan.

Pameran paling jelas atas dukungan ini terlihat pada bulan November 1999 ketika, menurut sejumlah perkiraan, satu juta orang menghadiri unjuk rasa di ibukota propinsi, Banda Aceh, untuk menuntut referendum bagi status politik NAD. Pada saat yang bersamaan, kekuatan GAM sendiri pun meningkat. Ratusan kepala desa dilaporkan memutuskan untuk berpindah

3 Bacalah dokumen Amnesty International: Indonesia: “Shock Therapy”, Restoring Order in Aceh, 1989-1993, (AI Index: ASA 21/07/93), Juli 1993.

(7)

mendukung GAM. Pada pertengahan tahun 2001, GAM mengklaim menguasai hampir 75 persen propinsi tersebut4 dan dilaporkan telah mendirikan sistem pemerintahan paralel, termasuk melakukan penarikan pajak serta melakukan pendaftaran kelahiran dan pernikahan.

Meskipun kekuatan terus menjadi definisi atas tanggapan militer dan sejumlah bagian pemimpin sipil terhadap GAM, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Oktober 1999 – Juli 2001), memulai usaha-usaha untuk mencari jalan keluar politik guna menyelesaikan masalah ini. Di satu sisi, dialog antara kedua pihak yang terlibat dalam konflik ini diperantarai oleh Pusat Dialog Kemanusiaan (Centre for Humanitarian Dialogue) yang bermarkas di Swiss.5 Pada saat yang bersamaan, satu undang-undang dirancang dengan tujuan untuk menawarkan rakyat Aceh tingkat otonomi yang lebih besar dalam pemerintahan dan administrasi propinsi itu serta juga pengontrolan lebih besar prenghasilan dari sumber-sumber daya alam. Undang- undang mengenai otonomi khusus ini dipandang para pengamat sebagai dimaksudkan untuk memberikan alternatif atas keinginan untuk merdeka dan oleh karenanya diharap bisa mengurangi dukungan bagi perjuangan bersenjata GAM.6

Undang-undang No.18 mengenai Nanggroe Aceh Darussalam, yang memberikan dasar hukum bagi otonomi khusus di NAD, ditandatangani di bulan Agustus 2001 oleh Presiden Megawati Sukarnoputri yang saat itu baru diangkat. Namun Undang-undang ini dianggap sangat tidak memadai dalam banyak bidang pokok, terutama dalam hubungannya dengan hak asasi manusia dan keadilan.7 Undang-undang ini tidak pernah diterapkan secara penuh dan secara efektif kemudian diganti oleh keadaan darurat militer yang diberlakukan di bulan Mei 2003.

Sementara itu, Pusat Dialog Kemanusiaan berhasil membawa kedua pihak ke meja perundingan. Pada tanggal 12 Mei 2002, Memorandum of Understanding mengenai Jeda Kemanussian bagi Aceh ditandatangani. Ini merupakan yang pertama dari serangkaian kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan GAM. Jeda Kemanusiaan selama tiga bulan itu dimaksudkan untuk mengfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan dan mengurangi tingkat kekerasan. Pada awalnya Jeda ini cukup berhasil, namun dalam waktu beberapa bulan tingkat kekerasan meningkat lagi. Walau demikian, perundingan berlangsung dari waktu ke waktu selama dua tahun, yang berpuncak dengan adanya penandatangan Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA) di Jenewa, Swiss, pada tanggal 9 Desember 2002.

CoHA yang merupakan kerangka kerja bagi perundingan damai, bukannya hanya merupakan penyelesaian bagi perdamaian, tetapi juga bersifat ambisius, melibatkan para

4 Aceh:Can Autonomy Stem the Conflict? International Crisis Group (ICG), 27 Juni 2001

5 Pusat ini tadinya dikenal dengan nama Pusat Henri Dunant dan masih banyak disebut sebagai HDC.

6 Untuk perincian mengenai Undang-undang Otonomi Khusus ini, bacalah: Aceh: Can Autonomy Stem the Conflict? dan Aceh: A Fragile Peace, oleh International Crisis Group (ICG), masing-masing tertanggal 27 Juni 2001 dan 27 Februari 2003.

7 Undang-undang Otonomi Khusus ini tidak merujuk pada diadilinya pelanggaran HAM yang dilakukan di masa lalu di NAD.

(8)

pengamat internasional8, dasar bagi pembentukan zona-zona damai, pelucutan senjata GAM dan penarikan mundur terbatas pasukan Indonesia.

Akan tetapi, dalam beberapa bulan saja CoHA sudah mulai tercerai berai oleh karena kedua pihak saling mempertanyakan interpretasi dari kesepakatan itu; tingkat kekerasan secara umum dan pelanggaran HAM meningkat; dan para anggota tim-tim pemantau internasional diserang oleh kelompok-kelompok vigilante, yang banyak dipercaya sebagai kaki tangan militer Indonesia.

Pada bulan April 2003, militer telah mulai mengerahkan pasukan-pasukan tambahan ke NAD sebagai persiapan bagi kampanye baru melawan GAM dan tengah malam tanggal 18 Mei 2003 keadaan darurat militer diberlakukan selama enam bulan.9 Bertentangan dengan DOM, yang memang semata-mata merupakan cara militer menanggapi, pemerintah menggambarkan kampanye baru melawan GAM ini sebagai ‘operasi terintegrasi’ dengan komponen-komponen militer, kemanusiaan, penegak hukum dan pemerintah lokal. Akan tetapi dalam kenyataannya pemusatan kampanye terakhir ini juga ditekankan pada operasi militer, seperti dilaporkan bahwa 48,000 orang pasukan dikerahkan melawan GAM yang menurut pihak berwenang Indonesia memiliki sekitar 5,000 pasukan siap tempur.

Pada bulan November 2003, keadaan darurat militer diperpanjang enam bulan lagi.

Bulan Mei 2004, statusnya diturunkan menjadi darurat sipil dan pemerintahan dipulangkan kembali kepada pemerintah sipil propinsi di bawah Gubernur Propinsi.10

3. Pola pelanggaran HAM yang sudah terbentuk dengan baik

“Tentu boleh saja memikirkan mengenai hak asasi manusia, namun yang lebih penting adalah memikirkan mengenai integritas wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia” Menteri Pertahanan, Matori Abdul Djalil.

11

Dari masa DOM sampai dengan kampanye militer terakhir ini, berbagai operasi militer yang dijalankan untuk memerangi GAM di NAD sama-sama memiliki ciri hampir sama sekali tidak memperdulikan norma-norma dan standar hak asasi manusia. Dalam empat tahun pertama DOM saja, diperkirakan sekitar 2,000 warga sipil, termasuk anak-anak dan orang tua, dibunuh secara tidak sah oleh pasukan keamanan Indonesia. Pada saat status DOM dicabut tahun 1998, beratus-ratus dan mungkin ribuan warga sipil lainnya terbunuh. Beberapa ribu orang secara sewenang-wenang ditangkap selama tahun-tahun itu karena dicurigai

8 Tentara Thailand dan Filipina bergabung bersama militer Indonesia dan GAM dalam Komite Keamanan Bersama yang dibentuk untuk memonitor situasi keamanan serta menginvestigasi pelanggaran terhadap CoHA.

9 Keputusan Presiden (Kepres) no.28/2003 mengenai Deklarasi Keadaan Berbahaya dan Pemberlakuan Darurat Militer di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

10 Gubernur NAD, Abdullah Puteh, disebut-sebut terlibat dalam kasus korupsi jutaan rupiah yang menyangkut pembelian satu helikopter Rusia. Sudah ada seruan-seruan agar ia mengundurkan diri.

11 “Mempertahankan Negara Kesatuan Indonesia lebih penting daripada hak asasi manusia”, Detikcom, 8 Juli 2003.

(9)

mendukung GAM. Banyak dari mereka yang ditahan menjadi sasaran penahanan incommunicado selama waktu yang panjang dan penyiksaan serta perlakuan buruk. Yang lainnya “menghilang” dalam tahanan polisi atau militer.

Pelanggaran HAM, sekalipun pada tingkat yang lebih rendah, masih terus dilaporkan sepanjang masa perundingan damai serta inisiatif politik lainnya. Tahun 1999, kelompok- kelompok HAM lokal memperkirakan bahwa lebih dari 421 orang dibunuh secara tidak sah di NAD. Pada tahun 2001 angka ini meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 1,014 dan pada tahun 2002 meningkat lagi menjadi 1,307.12

GAM juga turut melakukan pelanggaran HAM baik selama dan setelah masa DOM.

Menurut sumber-sumber resmi Indonesia dan laporan media massa lokal, GAM bertanggung jawab

atas pembunuhan-pembunuhan yang menjadikan para informan, pejabat pemerintah,

pegawai negeri dan lainnya yang berkaitan dengan pemerintahan Indonesia sebagai sasaran. GAM juga melakukan penyanderaan dan diduga keras terlibat dalam pembakaran sekolah-sekolah dan bangunan umum lainnya, serta mengintimidasi, melecehkan dan mungkin juga melakukan pembunuhan secara tak sah atas orang-orang non-Aceh atau para transmigran.13

Data yang dikumpulkan Amnesty International mengenai situasi HAM di bawah operasi militer sekarang ini menunjukkan pola pelanggaran berat HAM yang sangat mirip dengan pola dan intensitas pelanggaran HAM yang dilakukan pada puncak-puncak masa DOM. Memang, banyak dari mereka yang diwawancarai oleh Amnesty International menggambarkan keadaan darurat militer baru-baru ini sebagai “DOM ke 2”.

Tujuan yang dinyatakan dari kampanye militer terakhir ini adalah untuk

“menghancurkan” GAM serta memulihkan keamanan di NAD. Metode yang dipergunakan untuk mencapai hal ini, sama dengan metode-metode yang dipakai dalam operasi-operasi sebelumnya, sering kali bertentangan dengan hukum kemanusiaan internasional dan hak asasi manusia yang melarang dikuranginya hak-hak mendasar tertentu, termasuk hak untuk hidup dan hak untuk tidak dijadikan sasaran penyiksaan serta perlakuan buruk. Metode-metode semacam itu termasuk pembunuhan secara tidak sah, “penghilangan”, penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakukan lainnya yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat. GAM melakukan pembalasan dengan melakukan penyanderaan, pembunuhan tidak sah serta pelanggaran-pelanggaran lainnya.

Strategi kerjasama sipil-militer juga dipakai dimana warga sipil didaftarkan untuk memberikan dukungan pada operasi-operasi militer. Langkah-langkah juga diterapkan dengan akibat bisa mengontrol penduduk, membatasi akses ke propinsi itu serta mencegah pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai situasi HAM.

12 Angka yang diterbitkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Kontras.

13 Transmigran merupakan mereka yang berpindah dengan dasar ekonomi ke NAD dari daerah-daerah lain di negara itu. Dalam banyak kasus mereka menjadi bagian proyek transmigrasi yang disponsori pemerintah dengan tujuan mengurangi kepadatan penduduk terutama di pulau Jawa. Para transmigran di Aceh sering dianggap diperlakukan secara khusus dan mendapat keuntungan yang tidak proporsional dari pembangunan ekonomi di propinsi itu.

(10)

Strategi-strategi ini menyebabkan kehidupan yang sulit bagi penduduk, termasuk adanya pengungsian internal, gangguan pada aktifitas perekonomian, tidak bisa masuknya bantuan kemanusiaan, serta pembatasan yang tidak proporsional atas gerakan dan kebebasan berekspresi.

Di bawah keadaan darurat sipil, yang sudah diberlakukan sejak Mei 2004, operasi- operasi militer masih berlangsung seperti sebelumnya dan korban sipil masih dilaporkan.

Memang pembunuhan tak sah kelihatannya sudah dijatuhi sangsi oleh Kepala Pemerintahan Darurat Sipil Regional (yang juga adalah Gubernur Propinsi) yang pada bulan Juni 2004 menyatakan bahwa “orang-orang yang kelihatannya mencurigakan dan tidak bisa diidentifikasi” akan ditembak di tempat.14 Sementara itu beratus-ratus tahanan politik, yang diadili di pengadilan yang tidak adil dan dalam banyak hal didakwa semata-mata dengan dasar bukti-bukti yang didapatkan dari penyiksaan, tetap ditahan di penjara. Selain itu, larangan masuk ke NADyang memang sudah ada bagi orang asing juga diperpanjang, dengan akibat badan-badan kemanusiaan internasional dan hak asasi manusia masih tidak bisa melaksanakan pekerjaan mereka di propinsi itu.

3.1 Milisia dan pertahanan sipil

Operasi-operasi penumpasan pemberontakan di Indonesia memiliki sejarah menggunakan banyak warga sipil termasuk sebagai milisi, pertahanan sipil dan unit-unit pembantu pasukan militer. Operasi militer yang dilangsungkan dewasa ini di NAD tidaklah berbeda dalam hal ini.

Kelompok-kelompok vigilante dan milisia dilaporkan telah terbentuk di beberapa daerah dan juga ada laporan-laporan bahwa mereka melakukan pelanggaran HAM tanpa dijatuhi sangsi hukuman (impunity). Semua pria dewasa harus wajib mengikuti tugas ronda malam dan ada laporan-laporan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, digunakan dalam operasi- operasi militer sebagai pemandu dan mata-mata.

Konsep pertahanan sipil sudahlah terbentuk jelas dalam doktrin militer di Indonesia dimana penggunaan unit-unit pembantu militer dan polisi serta kelompok-kelompok pertahanan sipil lainnya telah terintegrasi ke dalam operasi-operasi militer di masa lalu di NAD, di Timor Timur (yang sekarang disebut sebagai Republik Demokrasi Timor-Leste) dan di tempat-tempat lainnya. Dasar hukum bagi konsep ini bisa ditemukan dalam Undang- undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa warga sipil memiliki hak serta kewajiban untuk ikut serta dalam pertahanan negara.15 Terlebih dari itu, Undang-undang 23/1959 mengenai Keadaan Bahaya juga memberikan wewenang pada militer untuk memerintahkan penduduk di satu wilayah yang berada dalam keadaan darurat militer untuk menjalankan kerja wajib demi kepentingan keamanan dan pertahanan.16

14 “Foreigners still not allowed to enter Aceh despite lifting of martial law”, The Jakarta Post, 10 Juni 2004

15 Pasal 30.1

16 Pasal 30 UU23/1959 menyatakan bahwa “Pihak berwenang darurat militer mempunyai kekuasaan untuk memerintahkan orang-orang yang tinggal di satu wilayah yang dinyatakan sebagai daerah

(11)

Akan tetapi, Indonesia juga harus mematuhi kewajiban-kewajibannya di bawah Konvensi No.29 Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengenai kerja paksa yang melarang kerja paksa atau kerja wajib17 dan Konvensi ILO No.182 mengenai bentuk-bentuk terburuk pekerjaan anak, yang secara khusus melindungi anak-anak dari kerja paksa atau wajib, termasuk perekrutan secara paksa atau wajib untuk digunakan dalam konflik bersenjata.

Amnesty International merasa prihatin karena dalam sejumlah kasus warga sipil digunakan untukmelakukan penumpasan pemberontakan dalam cara sedemikian rupa sehingga mungkin melanggar kewajiban-kewajiban tersebut di atas. Amnesty International juga merasa khawatir oleh adanya kasus-kasus dimana anak-anak digunakan oleh militer, yang jelas bertentangan dengan kewajiban Indonesia menurut Konvensi-konvensi ILO dan Konvensi mengenai Hak- hak anak (CRC).

Kapasitas milisi dalam tindak kekerasan mulanya muncul ke perhatian dunia internasional di Timor-Leste pada tahun 1999 saat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mensponsori jajak pendapat bagi kemerdekaan. Dalam bulan-bulan menjelang jajak pendapat dilangsungkan, kelompok-kelompok milisi baru dibentuk dan yang lama diaktifkan kembali.

Dengan diperlengkapi, dilatih serta didukung oleh militer Indonesia, serta dukungan pemerintah sipil, mereka berada pada garis depan kampanye untuk mengintimidasi penduduk agar menolak kemerdekaan. Ketika akhirnya hal ini gagal, mereka berpartisipasi dalam gelombang besar tindak kekerasan dimana ratusan orang dibunuh secara tidak sah, ribuan lainnya dipaksa berpindah tempat dan sebagian besar wilayah itu hancur menjadi abu.

Walaupun adanya banyak bukti-bukti, militer Indonesia terus menyangkal memiliki kaitan dengan milisi.18

Memang tidak ada bukti bahwa milisi di NAD melakukan pelanggaran HAM dalam skala seperti yang terlihat di Timor-Leste, namun melihat adanya sejarah penggunaan milisi oleh militer Indonesia, kurang jelasnya komando mereka dan pengontrolan struktur serta tidak

darurat militer untuk melakukan tugas wajib bagi penerapan peraturan-peraturan atau untuk melakukan pekerjaan lainnya demi kepentingan keamanan dan pertahanan”.

17 Menurut Konvensi ILO no.29, kerja paksa atau kerja wajib didefinisikan sebagai “semua pekerjaan atau pelayanan yang diperas dari orang mana pun yang berada di bawah ancaman hukuman dan pekerjaan yang oleh orang yang bersangkutan tidak ditawarkan untuk dilakukannya secara sukarela”.

Kekecualian dibuat untuk antara lain pekerjaan atau pelayanan yang menjadi bagian dari kewajiban normal warganegara dari satu negara yang sepenuhnya diperintah sendiri, dan pekerjaan atau pelayanan yang dibutuhkan dalam keadaan darurat. Menurut Pasal 2 (d) Konvensi itu, keadaan darurat dijabarkan sebagai “…perang atau…bencana atau ancaman adanya bencana seperti misalnya kebakaran, banjir, kelaparan, gempa bumi, wabah penyakit yang mengganas atau wabah penyakit hewan, serangan binatang, serangga, atau hama tanaman, dan secara umumnya keadaan apapun yang bisa membahayakan keberadaan atau kesehatan seluruh atau sebagian penduduk”.

18 Jajak pendapat dengan sponsor PBB ini dilangsungkan tanggal 30 Agustus 1999. Pada bulan-bulan sebelumnya dan minggu-minggu segera sesudah dilangsungkannya pemungutan suara, kelompok- kelompok milisi, yang didukung dan terkadang secara langsung melibatkan pasukan keamanan Indonesia, melakukan pelanggaran HAM berat terhadap para penduduk Timor-Leste. Bacalah laporan- laporan Amnesty International: Timor Timur: Meraih Kesempatan, (AI index: ASA 21/49/1999), Juni 1999; TimorTimur: Violence Erodes Prospect for Stability, (AI Index: ASA 21/91/99), Agustus 1999;

dan Indonesia dan Timor-Leste:Keadilan bagi Timor-Leste:Langkah ke Depan, (AI Index: ASA 21/006/2004), April 2004.

(12)

adanya mekanisme pertanggung-gugatan, keberadaan mereka di NAD menjadi penyebab keprihatinan besar.

Pada bulan Juni 2003, seorang anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komnas HAM, secara terbuka mengumumkan bahwa milisi kini direkrut di Kabupaten Aceh Tengah dan mereka mendapatkan pelatihan militer, termasuk mengenai penggunaan senjata api.19 Tuduhan ini disangkal keesokan harinya oleh Kepala Staff TNI Jendral Ryamizard Ryacudu.20 Walau demikian sejak saat itu, para komandan militer tingkat propinsi mengakui keberadaan kelompok-kelompok semacam itu, namun menggambarkan mereka sebagai secara spontan dibentuk dengan tujuan untuk membela diri dari serangan-serangan GAM. Akan tetapi, laporan-laporan terperinci baik dari para pegiat HAM lokal maupun media massa menunjukkan bahwa dukungan bagi kelompok-kelompok ini diberikan oleh pihak berwenang militer dan sipil.

Satu laporan dari bulan April 2004 yang ditulis seorang pembela HAM Aceh yang berada dalam pengasingan menjelaskan pembentukan paling tidak tujuh kelompok milisi yang berbeda di Kabupaten Aceh Tengah dan Timur sejak tahun 2001, yang menurut laporan itu, dengan derajat dukungan yang bermacam-macam dari para pejabat pemerintah lokal dan militer. Pendanaan juga disebutkan disediakan oleh para pengusaha lokal. Para anggota milisi disebut-sebut terutama direkrut dari para transmigran dan dari suku Gayo, yang kebanyakan berada di daerah tengah dan selatan propinsi itu. Meskipun demikian sejumlah kelompok yang lebih baru juga disebutkan memiliki anggota orang Aceh. Perlengkapan mereka bermacam-macam, namun menurut laporan-laporan termasuk seragam ala militer, assault rifles dan radio komunikasi dua arah serta juga senjata buatan sendiri, pisau dan parang.

Dalam sejumlah kasus, perlengkapan dilaporkan disediakan oleh militer dan amunisi dibeli dari mereka. Pelatihan dan dalam sejumlah kasus, pengawasan, dituduh diberikan oleh berbagai macam unit militer, termasuk oleh struktur komando territorial seperti Kodim, Koramil dan Komando Strategis Angkatan Darat atau Kostrad, Satuan Gabungan Intelijen atau SGI dan Brimob (Brigade mobil).21

Menurut laporan ini dan laporan lainnya di media massa, kelompok-kelompok milisi melakukan patroli, mengidentifikasikan para tersangka GAM kepada militer dan dalam sejumlah kasus melakukan penangkapan dan pembakaran. Dalam laporan yang lebih baru lagi, milisi di Kabupaten Aceh Tengah dituduh melakukan pembunuhan atas 20 orang ketika berada di tengah-tengah operasi untuk mencari GAM di kota Takengon pada bulan Juni 2004.

Menurut laporan yang tidak bisa diperiksa oleh Amnesty International, mereka yang dibunuh dituduh milisi menjadi anggota GAM, atau orang-orang yang menolak memberikan informasi

19 “TNI melatih milisi di Aceh”, Kompas, 11 Juni 2003.

20 Dalam wawancara radio dengan RRI, ketika menanggapi tuduhan Komnas HAM, Jendral Ryamizard Ryacudu mengatakan “Coba bawa saja itu Komnas HAM ke sini, saya hantam kepalanya. Mereka bisanya bicara saja.” Teks laporan Radio Republik Indonesia, 12 Juni 2003. (Diterjemahkan ke bahasa Indonesia dari laporan Amnesty International berbahasa Inggris)

21 Milisi: Tentara Pembantu Militer Indonesia di Aceh, oleh Teuku Samsul Bahri, April 2004

(13)

mengenai dimana keberadaan GAM.22 Milisi juga dilaporkan berpartisipasi dalam operasi- operasi bersama dengan militer.23

Berbagai macam kelompok mirip pertahanan sipil yang anti-GAM juga dibentuk lebih banyak lagi di seluruh propinsi itu. Dengan diperlengkapi tongkat bambu dan sabit, tugas utama mereka kelihatannya adalah membantu pasukan keamanan mengidentifikasikan para anggota GAM dan ikut serta dalam upacara-upacara untuk menunjukkan kesetiaan.

Keanggotaan dalam kelompok semacam ini tidaklah semuanya bersifat sukarela. Kepala- kepala desa sudah diminta untuk memasok anggota bagi kelompok-kelompok itu. Dalam kasus-kasus lain, kelihatannya para pemuda diperintah langsung oleh militer untuk bergabung.

Seorang pria dari Kecamatan Nisam di Kabupaten Aceh Utara menjelaskan kepada Amnesty International bagaimana tentara datang ke pasar dan memilih para pemuda yang mereka ingin rekrut ke dalam kelompok-kelompok pertahanan sipil tersebut.

Amnesty International juga menerima laporan-laporan mengenai pemaksaan pada rakyat sipil untuk berpartisipasi dalam operasi-operasi militer sebagai pemandu dan tameng manusia. Hal ini jelas melanggar prinsip-prinsip dasar hukum kemanusiaan internasional.

Seorang pria dari Lhokseumawe di Aceh Utara mengatakan kepada Amnesty International bahwa pada permulaan masa darurat militer 10 orang pemuda dari desanya secara paksa dibawa ke hutan oleh militer dalam satu operasi. Bulan September 2003 dilaporkan bahwa 1,000 orang penduduk desa dari Leupang di Kabupaten Aceh Besar dimasukkan ke dalam pasukan oleh militer guna membantu mereka dalam mencari para anggota GAM.24

Ada juga laporan-laporan bahwa para keluarga anggota GAM termasuk dalam mereka yang dipaksa untuk bertindak sebagai tameng manusia saat dilakukan operasi militer.

Pada bulan Mei 2004, contohnya, satu sumber yang bisa dipercaya memberitahu Amnesty International bahwa para penduduk desa, termasuk para istri, anak-anak dan sanak saudara mereka yang dicurigai sebagai anggota GAM, dari tiga desa yang berbeda di Kecamatan Nisam, Aceh Utara, diinstruksikan untuk masing-masing membawa dua kilo beras dan menemani mereka masuk ke hutan. Tuduhan keras menyatakan bahwa mereka diperintah untuk berjalan di depan para tentara, untuk secara efektif bertindak sebagai tameng pelindung, saat militer melakukan pencaharian terhadap anggota GAM. Sebelum dibawa ke hutan, para sanak keluarga anggota GAM itu dilaporkan dipisahkan terlebih dahulu dan dipukuli. Operasi ini dilaporkan berlangsung tiga hari mulai tanggal 16 sampai 18 Mei 2004.

Meskipun adanya larangan peraturan militer, anak-anak di bawah usia 18 tahun juga digunakan oleh militer Indonesia untuk melakukan tugas-tugas seperti memasak, membersihkan, memata-matai dan melakukan komunikasi. Menurut sumber-sumber yang terinformasi, praktek ini tidak terjadi secara sistematik, namun lebih merupakan gagasan para tentara perseorangan. Sebagai negara anggota Konvensi mengenai Hak-hak Anak (CRC), Indonesia memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa anak-anak dilindungi dari eksploitasi ketika melakukanpekerjaan, dan sebagai negara penandatangan Protokol Opsional CRC mengenai Keterlibatan Anak-anak dalam Konflik Bersenjata, pemerintah Indonesia tidak

22 Fear in the Shadows: Militia in Aceh, Eye On Aceh, Juli 2004

23 Lihatlah sebagai contoh : “Milisi dengan nama lain”, Tempo, 7 Juli 2003 dan “Garis Depan”, Tempo, Februari 2004

24 “Civilians drafted to hunt Aceh rebels”, The Jakarta Post, 17 September 2003

(14)

boleh bertindak dalam cara yang bertentangan dengan Protokol Opsional ini. Dalam hal ini, Pasal 2 Protokol Opsional melarang adanya keharusan merekrut anak-anak ke dalam angkatan bersenjata.

Selain itu, sejak minggu kedua masa darurat militer, semua pria dewasa di seluruh bagian propinsi diwajibkan berpartisipasi dalam tugas jaga malam tanpa dibayar. Sistem ronda malam sipil juga dilakukan di tempat-tempat lain di Indonesia dan sebelumnya digunakan juga di NAD, namun tidak sedemikian kuatnya. Di NAD, jaga malam ini diatur oleh kepala desa dengan petunjuk dari para camat, polisi dan militer. Para petugas ronda malam tidak dipersenjatai dan tidak mendapatkan pelatihan apapun. Jumlah frekuensi jaga malam yang harus dilakukan tiap orang tergantung dari jumlah pria yang ada di satu desa atau komunitas, namun kelihatannya bervariasi antara dua kali seminggu sampai satu kali setiap beberapa minggu. Umumnya hanya pria di atas 18 tahun yang diharuskan ikut serta, tetapi sejumlah orang dari komunitas yang lebih kecil yang diwawancarai mengatakan kepada Amnesty International bahwa anak lelaki berusia 16 dan 17 tahun juga terlibat.

Sementara memang rakyat sipil bisa saja diminta memberikan jasa bantuan dalam kasus-kasus adanya bahaya,25 Amnesty International merasa khawatir bahwa sistem wajib jaga malam yang berlaku sekarang ini bagi semua pria di NAD mungkin merupakan bentuk pelecehan terhadap penduduk secara umum. Hal ini terlihat jelas dalam situasi yang digambarkan oleh seorang pedagang di pasar dari sebuah desa di Kecamatan Muara Dua, dekat kota Lhokseumawe, kepada delegasi Amnesty International. Menurut pedagang itu, menjelang pemilihan anggota DPR pada bulan April 2004, ia dan para pria lain di desanya diharuskan melakukan jaga malam selama 20 malam berturut-turut. Mereka yang tidak datang, atau yang pekerjaan jaga malamnya tidak baik menurut pihak berwenang, dijatuhi berbagai bentuk perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat atau hukuman.

3.2 Pengungsian internal

Meskipun jumlah orang-orang yang melakukan pengungsian internal (di dalam wilayah itu sendiri/internally displaced people (IDP)) tidak pernah mencapai angka yang diproyeksikan pemerintah sebesar 200,000 orang26, puluhan ribu orang telah berpindah tempat. Sebagian besar pada bulan-bulan pertama masa darurat militer. Dalam sejumlah kasus pengungsian dilakukan di bawah ancaman menggunakan kekuatan. Sejumlah orang yang diwawancarai Amnesty International menggambarkan bagaimana militer atau polisi datang ke desa mereka serta memerintahkan mereka untuk pergi, terkadang tanpa memberikan waktu yang cukup untuk mengepak barang-barang milik mereka. Seorang pria dari Kecamatan Juli di Kabupaten Bireun mengatakan militer datang ke desanya pada bulan Agustus 2003 dan memerintahkan semua warga desa untuk pergi atau jika tidak mereka akan dianggap sebagai anggota GAM.

25 Pasal 8.3 (a) Konvenan International tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) menyatakan bahwa:

“Tidak seorang pun boleh diharuskan melakukan kerja paksa atau wajib.” Pasal 8.3 (c) (iii)

menambahkan bahwa isitilah “kerja paksa atau wajib” tidak meliputi ;”Segala jasa yang dituntut dalam keadaan darurat atau malapetaka yang mengancam kehidupan atau kesejahteraan masyarakat.”

Indonesia sudah berkomitmen untuk menandatangani ICCPR pada tahun 2004.

26 Pada bulan Mei 2003, diumumkan bahwa sampai dengan 200,000 orang Aceh akan dipindahkan dari rumah mereka ke tenda-tenda di kamp-kamp pengungsi yang dikelola pemerintah.

(15)

Mereka harus pergi dalam waktu 24 jam dan hanya diijinkan membawa satu tas kecil berisi pakaian mereka.

Jumlah IDP menurun pada tahun 2004. Angka resmi jumlah IDP di NAD sampai dengan Juni 2004 adalah 6,946. Sejumlah dari mereka yang sudah pulang kembali ke desa- desa mereka dilaporkan mendapatkan rumah mereka serta baranng milik lain dijarah atau dihancurkan dan ternak mereka dicuri atau dibunuh. Pria dari Kecamatan Juli itu mengatakan kepada delegasi Amnesty International bahwa penduduk desanya diijinkan untuk pulang setelah tiga bulan tinggal di kamp untuk IDP. Pada saat ia kembali, rumah ayahnya, tempat ia tinggal, sudah dirusak, barang-barang miliknya dihancurkan dan ternak serta barang-barang elektronik dicuri.

Departemen Sosial memberikan dana bagi mereka yang pulang guna membantu pemulangan mereka. Akan tetapi seperti seringkali terjadi dengan pendanaan pemerintah di NAD, orang yang mestinya menerima bantuan tidak pasti menerima dana secara penuh.

Menurut satu organisasi non-pemerintah (ornop) lokal yang bekerja dengan para IDP dan yang memonitor pulangnya sekitar 215 keluarga ke Kecamatan Bandar di Kabupaten Aceh Tengah di bulan Agustus 2003, mereka hanya menerima dua juta rupiah bukannya tujuh juta rupiah sebagaimana dijanjikan.

Menurut hukum kemanusiaan internasional pemaksaan pemindahan tempat atau relokasi terhadap warga sipil hanya diijinkan jika itu demi keselamatan mereka sendiri atau jika ada alasan-alasan militer yang sah.27 Jika pemindahan tempat secara paksa dilakukan untuk satu alasan yang sah menurut hukum internasional, pasukan keamanan wajib menjamin adanya evakuasi secara tertib, keadaan tempat transit yang manusiawi dan akomodasi alternatif yang memadai. Tugas pihak yang berwenang dalam membantu IDP untuk pulang ke rumah mereka secara sukarela, aman dan dengan bermartabat, atau untuk ditempatkan di bagian lain di negara itu secara sukarela tercantum dalam Prinsip-Prinsip Petunjuk PBB mengenai Perpindahan Tempat secara Internal. Pasal 29 Prinsip-prinsip Petunjuk ini menyatakan bahwa:

“Pihak berwenang yang kompeten mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk membantu pemulangan dan/atau penempatan orang yang berpindah tempat secara internal untuk mendapatkan kembali, sampai pada tingkatan yang bisa dicapai, tanah milik dan harta benda yang mereka tinggalkan atau yang dibuang saat mereka harus berpindah tempat. Jika mendapatkan kembali tanah milik dan harta benda seperti itu tidak mungkin, pihak berwenang yang kompeten harus memberikan atau membantu orang-orang ini dalam mendapatkan kompensasi yang sesuai atau bentuk lain pengganti kerugian yang pantas.”

27 Pasal 17 Protokol Tambahan II pada Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 menyatakan:

“Pemindahan tempat warga sipil tidak boleh diperintahkan untuk alasan-alasan yang berkaitan dengan konflik, terkecuali jika keamanan warga sipil terlibat atau alasan perintah militer begitu menuntutnya. Jika pemindahan semacam itu dilakukan, semua langkah-langkah yang mungkin harus diambil supaya para warga sipil bisa menerima dengan puas kondisi tempat penampungan, higienitas, kesehatan, keamanan dan nutrisi.” Ketetapan ini dipandang mencerminkan hukum kebiasaan

internasional dan oleh karenanya bisa diterapkan di Indonesia, meskipun Indonesia tidak termasuk dalam negara anggota Protokol II.

(16)

Amnesty International merasa prihatin karena pemerintah Indonesia tidak memenuhi kewajiban tersebut dalam semua kasus.

3.3 Memisahkan GAM dari penduduk

Serangkaian cara-cara yang ditujukan untuk mengidentifikasi para anggota GAM yang ada di tengah para penduduk dan memisahkan GAM dari penduduk biasa dilakukan pada masa darurat militer. Penduduk juga dupaksa untuk ikut ambil bagian dalam berbagai demonstrasi umum guna menunjukkan dukungan pada operasi-operasi militer melawan GAM. Amnesty International khawatir bahwa sejumlah dari cara-cara ini bersifat tidak proporsional dan melanggar hak-hak kebebasan berekspresi dan bergerak.

Dalam usahanya mencabut para anggota GAM dari birokrasi lokal dan penduduk umum, kartu identitas baru (dikenal sebagai kartu identitas “merah dan putih”) diperkenalkan pada minggu-minggu pertama masa darurat militer.28 Proses untuk mendapatkan kartu identitas yang baru ini menyertakan pula pendaftaran di empat kantor pemerintah lokal yang berbeda, kantor militer dan kantor polisi, menjalani wawancara dan memproklamirkan kesetiaan kepada Negara Kesatuan Indonesia. Pemeriksaan identitas sering kali dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia dan barang siapa yang tidak memiliki kartu identitas

“Merah Putih” beresiko dicap sebagai GAM.

Para pengungsi Aceh yang diwawancarai Amnesty International yang tidak memiliki kartu identitas yang baru menyatakan kecemasan mereka jika dideportasi balik ke NAD mereka akan secara otomatis dicurigai sebagai anggota GAM. Sejumlah dari mereka menjelaskan bahwa mereka tidak berani mendaftar untuk mendapatkan kartu identitas baru sebab mereka pernah ditahan di masa lalu dan karenanya sudah pernah dicurigai sebagai anggota GAM.

Terlebih dari itu pada permulaan bulan Juli 2003, para pegawai negeri NAD, yang dilaporkan jumlahnya mencapai lebih dari 85,000 orang termasuk para pejabat pemerintah lokal dan guru sekolah, diminta untuk menjalani proses pemeriksaan/screening untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada negara.29 Sejumlah pegawai negeri dilaporkan dalam media massa lokal telah dipecat karena tidak mau melakukan ikrar/sumpah setia.30 Yang lainnya dilaporkan mengundurkan diri karena takut akan menghadapi pembalasan dari GAM karena ikut upacara ikrar kesetiaan.31 Pegawai negeri juga termasuk di antara beratus-ratus orang yang ditahan pada masa darurat militer.

Penduduk sipil juga diharuskan menunjukkan dukungan pada operasi militer melalui partisipasi dalam upacara-upacara ikrar kesetiaan. Upacara-upacara ini dilangsungkan di seluruh bagian propinsi tersebut pada saat-saat yang strategis. Misalnya dalam minggu- minggu pertama masa darurat militer ada laporan-laporan di media massa lokal mengenai

28 Merah dan putih adalah warna bendera Indonesia.

29 Pendaftaran ulang ini dilakukan di seluruh bagian Indonesia, namun hanya di NAD ujian atas kesetiaan dilakukan.

30 “67,000 civil servants in Aceh face loyalty test,” The Jakarta Post, 3 Juli 2003

31 “Village heads quit en masse,” The Jakarta Post, 9 Juni 2003

(17)

adanya kelompok massa dalam jumlah besar berkumpul untuk menyatakan sumpah setia mereka kepada negara Indonesia. Upacara-upacara yang sama diadakan sebelum peringatan enam bulan dan satu tahun keadaan darurat militer. Orang-orang yang diwawancarai Amnesty International termasuk di antara ribuan orang yang diperintahkan oleh militer untuk menghadiri peristiwa-peristiwa semacam itu. Mereka menggambarkan bagaimana penduduk desa mereka, termasuk anak-anak dan orang tua, diharuskan melakukan perjalanan, dalam sejumlah kasus dengan menaiki truk-truk yang disediakan militer, ke lapangan-lapangan sepak bola, stadion dan tempat-tempat lainnya, dimana mereka diberi kaos atau spanduk- spanduk dan disuruh untuk menjeritkan slogan-slogan seperti:”jangan tinggalkan Aceh” dan

“Kami rakyat Aceh minta supaya darurat militer diperpanjang.”

Partisipasi dalam pemilihan anggota DPR yang berlangsung pada bulan April 2004 merupakan kewajiban di NAD, meskipun memberikan suara tidak diwajibkan dalam undang- undang di Indonesia. Orang-orang yang diwawancarai memberitahu Amnesty International bahwa mereka yang memiliki hak untuk memberikan suara diinstruksikan oleh militer, melalui kepala desa atau pemimpin masyarakat lainnya, untuk memberikan suara. Seperti halnya dalam upacara pemberi dukungan pada darurat militer, ancaman sering kali bersifat tersirat bukannya dinyatakan secara terbuka. Namun dipahami oleh banyak orang bahwa penolakan untuk memberi suara akan berakibat dijuluki sebagai anggota atau pendukung GAM dan tentunya hal ini membawa resiko. Tidak ada seorang pun yang melaporkan disuruh memilih salah satu partai, mereka hanya semata-mata harus ikut memberikan suara. Ada spekulasi bahwa tujuannya bukan untuk mempengaruhi hasil pemberian suara, namun lebih untuk menunjukkan bahwa pemilihan umum bisa dilangsungkan di NAD sekalipun dalam keadaan berbahaya.

3.4 Pembatasan akses bagi para pelaku kemanusiaan dan hak asasi manusia

Penduduk sipil di NAD hampir secara penuh selama lebih dari satu tahun tidak menerima bantuan dan perlindungan yang biasanya bisa didapat dari adanya para pengamat hak asasi manusia independen dan para pekerja kemanusiaan. Meniru taktik yang secara efektif diberlakukan di Timor-Leste, penguasa Indonesia juga mencoba, sebagian besar berhasil, menutup saluran-saluran lain informasi independen mengenai situasi di NAD, termasuk dengan membatasi akses masuk bagi wartawan ke propinsi tersebut.

Pernyataan yang dikeluarkan para pejabat militer, dimana oraganisasi-organisasi HAM secara terbuka dituduh mempunyai hubungan dengan GAM, dengan segera memaksa para pembela HAM untuk bersembunyi atau bahkan melarikan diri dari propinsi itu, dan dalam sejumlah kasus, juga keluar dari Indonesia. Mereka yang masih tinggal di sana tidak bisa melanjutkan pekerjaan mereka dengan efektif oleh karena ketakutan akan pelanggaran HAM. Sekurang-kurangnya 24 orang pembela HAM yang bermarkas di NAD telah ditahan sejak permulaan masa darurat militer. Enam di antaranya sedang diperiksa di pengadilan atau sudah dijatuhi hukuman penjara. Amnesty International yakin bahwa motivasi bagi sejumlah, jika tidak semuanya, penahanan ini adalah untuk mematahkan semangat para pembela HAM agar tidak melanjutkan aktifitas mereka yang sah di NAD.

(18)

Meskipun akses media massa untuk masuk ke NAD pada minggu pertama masa darurat militer secara relatif cukup terbuka, serangkaian laporan pelanggaran HAM yang dilakukan militer, termasuk pembunuhan anak-anak secara tak sah, segera membuat diberlakukannya pembatasan-pembatasan. Sejak saat itu para wartawan Indonesia berada di bawah tekanan berat untuk melaporkan peristiwa sesuai dengan versi pemerintah saja, sementara para wartawan internasional menghadapi kesulitan dalam mendapatkan ijin untuk melakukan perjalanan ke NAD.32

Akses kepada bantuan-bantuan kemanusiaan juga sangat terganggu dengan dikenakannya pembatasan pada pekerjaan-pekerjaan organisasi kemanusiaan internasional. Di bawah dekrit yang dikeluarkan pada akhir bulan Juni 2003, satu sistem diperkenalkan, dimana para staff internasional diharuskan meminta ijin dari pemerintah (atau biasa disebut sebagai

‘buku biru’) guna melakukan perjalanan ke ibukota propinsi, Banda Aceh. Ijin tambahan kemudian diperlukan pula dari pemerintah propinsi (sebelumnya yang memegang kekuasaan adalah militer, kini pemerintahan sipil lagi) untuk mendapatkan ijin melakukan perjalanan keluar Banda Aceh. Sejak diterapkannya darurat militer, sangat jarang “buku biru”

dikeluarkan. Proses untuk mendapatkannya digambarkan oleh mereka yang telah menjalaninya sebagai “sangat birokratis dan benar-benar mimpi buruk”. Sekalipun mendapat ijin, akses bagi para pekerja kemanusiaan internasional tetap dibatasi baik dalam hal waktu seberapa lama mereka bisa berada di propinsi tu (biasanya hanya beberapa minggu saja) maupun tempat-tempat yang bisa dikunjungi.33

Walau memang sejumlah perbaikan dalam hal akses sejak permulaan keadaan darurat militer telah dilaporkan, paling tidak bagi badan-badan PBB, tetap hal ini jauh dari akses penuh tanpa rintangan yang dibutuhkan oleh organisasi-organisasi kemanusiaan untuk bisa menerapkan program mereka. Gubernur Propinsi, sesaat setelah mengambil alih jabatan kepala Pemerintahan Darurat Sipil, menyatakan bahwa pembatasan yang sekarang ini ada bagi badan-badan kemanusiaan internasional akan diperpanjang. Dilaporkan juga bahwa akses masuk terutama sangat sulit ke daerah-daerah yang dipandang sebagai daerah kedudukan GAM atau daerah yang ditentukan sebagai “daerah-daerah hitam” oleh penguasa militer. Di sejumlah dari daerah-daerah ini diyakini tidak ada akses masuk bagi para pegiat kemanusiaan independen sejak bulan Mei 2003.

Dengan tidak adanya pegiat kemanusiaan yang independen dan berkualifikasi di NAD, tidaklah mungkin membuat penilaian yang bermakna mengenai situasi kemanusiaan di propinsi itu, meskipun kesan-kesan memang bisa didapatkan melalui laporan media massa yang menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian sudah mulai membaik dalam bulan-bulan belakangan ini. Akan tetapi, Amnesty International diberitahu oleh sejumlah pengungsi Aceh bahwa komunitas mereka dalam beberapa kesempatan sempat menghadapi kekurangan

32 Lihatlah: Indonesia: Protecting the protectors: Human rights defenders and humanitarian workers in Nanggroe Aceh Darussalam, Amnesty International, (AI Index: ASA 21/024/2003), 3 Juni 2003 and Indonesia: Aceh Under Martial Law: Muzzling the Messengers: Attacks and Restrictions on the Media,” Human Rights Watch, November 2003.

33 Mulanya militer tidak mengijinkan para anggota badan-badan PBB yang memiliki “buku biru” untuk melakukan perjalanan ke luar Banda Aceh. Meskipun pembatasan ini kelihatannya sudah sedikit diperlunak, garis panduan keamanan PBB saat ini tidak membolehkan perwakilannya meninggalkan ibukota propinsi itu.

(19)

makanan. Kekurangan makanan seperti itu biasa dilaporkan terjadi di daerah-daerah pedesaan pada saat-saat puncak operasi militer dimana para penduduk desa tidak bisa mengurusi sawah dan kebun mereka, atau tidak bisa pergi ke hutan untuk mencari makanan. Dalam beberapa kesempatan, pembatasan diberlakukan untuk beberapa minggu. Sejumlah orang mengeluh bahwa pada saat mereka kembali ke sawah, ladang atau kebun mereka, mereka mendapatkan tanaman mereka sudah dirusak atau dicuri.

Pemerasan oleh pasukan kemanan, meskipun tidak hanya terjadi dalam operasi militer sekarang ini, juga memberikan beban tambahan bagi perseorangan dan usaha-usaha.

Kebanyakan pemerasan dilaporkan hanya berskala kecil, biasanya dalam bentuk permintaan untuk “uang rokok” atau bon restoran yang tidak dibayar. Namun, pemilik usaha yang lebih besar telah melaporkan dipaksa untuk membuat perjanjian perlindungan dengan militer. GAM juga bertanggung jawab karena melakukan pemerasan, meskipun kapasitas mereka dalam melakukan praktek-praktek semacam itu sangat mungkin telah berkurang di bawah kampanye darurat militer.

Operasi-operasi militer mungkin juga dengan buruk mempengaruhi akses masyarakat umum kepada perawatan kesehatan serta pendidikan. Sejumlah pengungsi di Malaysia mengatakan kepada Amnesty International bahwa klinik-klinik kesehatan primer di desa mereka telah ditutup sejak permulaan masa darurat militer. Menurut sebuah laporan yang belum bisa diverifikasi dari Peureulak, di Kabupaten Aceh Timur, pada bulan Januari 2004 para perawat dan bidan dilarang bekerja di puskesmas-puskesmas di daerah pedesaan di kabupaten itu sebab mereka dicurigai memberikan bantuan kesehatan kepada GAM.

Sementara kelihatannya tidak ada lagi serangan pembakaran terhadap sekolah- sekolah sejak sekitar 600 sekolah dibakar dalam minggu-minggu pertama darurat militer,34 dan sekolah-sekolah di banyak daerah nampaknya mulai beroperasi lagi. Beberapa orang yang diwawancara menyatakan bahwa kesulitan ekonomi yang diakibatkan keadaan darurat militer membuat uang sekolah terasa sangat mahal bagi sejumlah keluarga.

4. Hukuman mati di luar jalur hukum pada masa darurat militer

“Kejar mereka dan musnahkan”, Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto berbicara mengenai GAM pada satu rapat dengan para pejabat militer di Jakarta bulan Mei 2003.35

34 Penguasa Indonesia menyalahkan GAM atas pembakaran-pembakaran itu. Amnesty International tidak memiliki bukti-bukti untuk mendukung atau menyanggah tuduhan-tuduhan ini. Dalam satu laporan yang diterbitkan pada bulan Juli 2003 yang berjudul: Aceh: How Not to Win Hearts and Minds, the International Crisis Group (ICG) menyatakan bahwa jelas dari wawancaranya bahwa GAM

bertanggung jawab atas sejumlah serangan tersebut, tapi ada ketidakpercayaan di antara orang Aceh bahwa sebegitu banyak sekolah bisa dibakar dengan cepat tanpa ada tingkat keterlibatan pasukan pemerintah.

35 “Indonesia troops told to ‘exterminate’ Aceh rebels, spare civilians,” Agence France-Presse, 20 Mei 2003.

(20)

“Indonesia tidak akan rugi kehilangan beberapa orang, lebih baik daripada membahayakan 220 juta orang lainnya”, Presiden Megawati Sukarnoputri pada permulaan masa darurat militer.36

“Kami tidak mentoleransi orang-orang di wilayah ini yang ingin bergabung dalam perayaan separatis. Tidak peduli siapa itu, kami akan menembak mereka di tempat karena mendukung gerakan itu,” Komandan Korem 011/Lilawangsa menjelang peringatan deklarasi kemerdekaan GAM.37

“…orang-orang tak dikenal yang mencurigai akan ditembak di tempat,” Gubernur NAD ketika mengambil alih kekuasaan di NAD dari tangan militer di bulan Mei 2004.38

Pernyataan-pernyataan semacam itu telah menjadi pegangan bagi tingkah laku para prajurit dalam operasi militer dewasa ini dan tidak diragukan lagi bahwa pesan-pesan dari para atasan mereka – bahwa mereka harus menembak terlebih dahulu dan baru kemudian bertanya – juga tidak diabaikan. Tidak mengherankan bahwa ada banyak tuduhan pembunuhan secara tidak sah yang dilakukan para anggota pasukan keamanan, baik terhadap warga sipil maupun terhadap anggota GAM.

Berbagai macam dan seringkali angka yang tidak konsisten mengenai jumlah orang yang terbunuh dalam operasi-operasi militer dikeluarkan. Menurut angka yang diberikan oleh militer pada bulan September 2004, 2,879 orang anggota GAM telah dibunuh sejak bulan Mei 2003. Dari angka ini, 2,409 disebutkan dibunuh pada saat keadaan darurat militer dan 440 lainnya sejak saat itu.39 Seorang jurubicara militer sebelumnya menyatakan jumlah anggota GAM yang tewas adalah 400 di enam minggu pertama keadaan darurat sipil.40 Polisi menyatakan bahwa 230 anggota GAM dibunuh dalam delapan minggu pertama masa darurat sipil.41

Militer telah mengakui mengenai adanya korban-korban warga sipil. Pertengahan bulan Agustus 2004, menurut laporan media massa, militer mengatakan bahwa 147 warga sipil terbunuh dalam 10 bulan terakhir.42 Akan tetapi menurut angka dari pusat penerangan TNI yang diumumkan bulan September 2004 jumlah korban warga sipil jauh lebih tinggi.

Berdasarkan angka-angka dari mereka, 662 warga sipil terbunuh, 579 tewas pada saat masa darurat militer dan 83 sejak permulaan darurat sipil.43

36 “Jakarta bombs rebels,” Reuters, 20 Mei 2003

37 Komandan Korem Lilawangsa, Letnan Kolonel A.Y.Nasution mengatakan sehari sebelum peringatan ke 27 deklarasi kemerdekaan GAM untuk NAD.

38 “Foreigners still not allowed to enter Aceh despite lifting on martial law,” The Jakarta Post, 10 Juni 2004

39 “TNI Klaim Telah Tewaskan 2,800 Anggota GAM”, Acehkita, 17 September 2004

40 “Indonesia Army kills 400 alleged Aceh rebels since May 19”, Associated Press, 16 Juli 2004.

41 “Indonesian military says it killed over 230 rebels in two months”, Agence France-Presse, 20 Juli 2004

42 “Nearly 1,160 Aceh Rebels Killed in 10 Months”, Laksamana. Net, 18 Agustus 2004

43 “Versi TNI: 662 Warga Sipil Tewas Sejak Darurat Militer”, Acehkita, 17 September 2004

(21)

Militer belum mengatakan siapa yang bertanggung jawab atas mereka yang meninggal ini, meskipun di masa lalu mereka menyalahkan GAM yang menyebabkan adanya korban rakyat sipil. Namun, pada saat yang bersamaan, militer juga mengakui mereka menghadapi kesulitan membedakan antara anggota GAM dan warga sipil.44

Komnas HAM yang telah diijinkan melangsungkan investigasi di NAD, telah mengkonfirmasi bahwa pembunuhan secara tidak sah dilakukan oleh kedua belah pihak, namun mereka tidak menerbitkan hasil investigasi tersebut. Ornop-ornop lokal yakin bahwa ratusan rakyat sipil dibunuh oleh pasukan keamanan.

Amnesty International memiliki sejumlah kesaksian dari orang-orang yang menjadi saksi mata pembunuhan di luar jalur hukum terhadap rakyat sipil yang dilakukan oleh militer.

Kasus-kasus tersebut dijelaskan di bawah ini. Nama-nama mereka yang diwawancarai dan desa asal mereka dirahasiakan guna melindungi mereka atau keluarga mereka dari kemungkinan adanya pembalasan.

Sebagian besar mereka yang dibunuh kelihatannya adalah kaum pria, terutama lelaki muda yang lebih mungkin dicurigai sebagai anggota GAM dan oleh karenanya secara tidak proporsional dijadikan sasaran dalam operasi-operasi tersebut. Namun, dari media massa juga dilaporkan adanya pembunuhan secara tidak sah terhadap perempuan dan anak-anak. Di antara kesaksian yang diterima oleh Amnesty International ada pula keterangan mengenai para pemuda yang ditembak mati ketika sedang bekerja di sawah atau di pertambakan udang.

Yang lainnya, termasuk anak-anak, dibunuh atau terluka akibat tembak menembak yang tidak pandang bulu. Juga ada bukti-bukti bahwa mereka yang dicurigai sebagai anggota GAM secara tak sah dibunuh setelah ditahan di penjara. Dalam sejumlah kasus, mayat mereka, terkadang masih terlihat bekas-bekas penyiksaan, ditemukan atau dipulangkan ke keluarga mereka.

4.1 Kasus-kasus hukuman mati di luar jalur hukum

Seorang petani dari Kecamatan Samalanga di Kabupaten Bireun mengatakan kepada Amnesty International bahwa kakaknya yang berusia 25 tahun, Ilhami, ditembak oleh tentara ketika sedang memotong rumput untuk makanan ternaknya pada tanggal 9 April 2004. Petani itu yakin kakaknya langsung meninggal, meskipun mayatnya dibawa oleh para prajurit dan kemudian dikirim balik ke desanya empat hari kemudian. Kedua kakak beradik ini sudah kehilangan ayah mereka di tahun 1990, pada puncak-puncaknya masa DOM, ketika ayah mereka dibawa oleh tentara dan tidak pernah kembali lagi. Sesudah kakaknya dibunuh, petani muda ini melarikan diri dari negaranya karena takut akan menghadapi resiko.

Seorang pemilik toko barang kebutuhan sehari-hari di Kecamatan Nisam di Kabupaten Aceh Utara ingat bagaimana sesudah adanya tembak menembak antara tentara dan GAM di minggu-minggu permulaan masa darurat militer, militer mendatangi desanya dan

44 “Kami sulit membedakan antara GAM dan rakyat sipil. Kami tidak bisa menjamin bahwa sama sekali tidak ada korban rakyat sipil, namun hal ini sama sekali tidak disengaja”, “Assault on Aceh targets students”, The Guardian, 26 Mei 2003.

(22)

menembak mati tiga orang yang bernama Fadli, Rosmani dan Lukman yang tengah bekerja di sawah.

Seorang lainnya yang diwawancara yang berasal dari Kecamatan Samalanga mengatakan kepada Amnesty International bahwa seorang pria yang sakit jiwa, Muhammad Hussain, yang berasal dari desanya ditembak mati di sawahnya oleh para anggota marinir setelah dituduh menyembunyikan senjata. Seorang pria lainnya dikatakan ditembak juga di kaki, namun berhasil melarikan diri. Setelah kejadian tersebut, sekitar 30 orang warga desa dijajarkan oleh marinir, dan beberapa di antaranya, termasuk orang yang diwawancarai ini, dipukuli. Orang yang diwawancarai ini tidak bisa mengingat tanggal pastinya, namun mengklaim bahwa kejadian itu terjadi dalam enam bulan pertama keadaan darurat militer.

Seorang petani berusia 25 tahun dari Kecamatan Kuala Simpang di Aceh Timur menjelaskan kepada Amnesty International alasannya melarikan diri dari Indonesia di bulan Januari 2004 adalah karena dua orang pria dari desanya dibunuh oleh militer pada bulan itu.

Yang pertama adalah teman sekolahnya yang bernama Ilyas yang secara keliru dibawa oleh militer karena namanya sama dengan nama anggota GAM yang tengah dicari militer. Mayat Ilyas ditemukan di sebuah sawah tiga hari kemudian. Narasumber yang mengaku melihat mayat Ilyas mengatakan ia hampir tidak bisa mengenalinya sebab mayatnya dipotong-potong.

Orang kedua yang dibunuh adalah seorang pria bernama Mayu. Ia memang disebut sebagai simpatisan, walaupun bukan anggota GAM, yang sebelumnya pernah menyerah kepada pasukan keamanan dan harus menjalani “pendidikan ulang”.45 Ia dibawa militer ketika sedang dilakukan operasi militer untuk mencari GAM di bulan Januari 2004 dan kemudian

“menghilang”. Keluarganya, ulama setempat dan penduduk desa lainnya dikabarkan meminta seorang komandan militer setempat untuk mengembalikan mayatnya jika ia sudah meninggal supaya bisa dimakamkan dengan pantas. Mayatnya kemudian dipulangkan kepada mereka.

Keterangan saksi mata juga diterima Amnesty International mengenai penembakan seorang anak lelaki berusia 16 tahun yang bernama Muliadi ketika ia sedang bekerja di sawahnya di Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireun, bulan Oktober 2003. Menurut keterangan itu, anak lelaki ini mencoba melarikan diri setelah ia dipanggil tentara, namun ditembak di pergelangan kakinya ketika ia mencoba lari dan kemudian tertangkap. Anak lelaki ini diyakini masih hidup setelah penembakan itu namun tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai dimana keberadaannya.

5. Penahanan secara sewenang-wenang dan pengadilan yang tidak adil di bawah keadaan darurat militer

Sampai dengan pertengahan Juli 2004, pihak yang berwenang mengaku telah menangkap sekitar 2,200 anggota GAM. Ratusan, dan mungkin lebih dari seribu, orang yang ditahan telah

45 Para anggota GAM yang menyerah kepada pemerintah Indonesia harus menjalani program pendidikan ulang selama lima bulan yang kabarnya meliputi praktek-praktek “kesetiaan” seperti upacara penaikan bendera dan kursus mengenai nasionalisme serta juga pelatihan kejuruan.

Referensi

Dokumen terkait

At the same time, Bank Indonesia shared that it may maintain the benchmark rate at 7.5%, this would trigger more selling activity as market will start to

Hasil akhir dari analisis multivariat menunjuk- kan bahwa komponen motivasi yang paling berhubungan dengan kinerja perawat dalam pendokumentasian asuhan keperawatan adalah

Hi : R 2  0, berarti ada pengaruh yang signifikan dari inflasi, tingkat suku bunga dan PDB secara serempak terhadap uang beredar di Indonesia.. Daerah

Buatlah essay sederhana tentang pandangan anda mengenai organisasi dan program kegiatan apa saja yang ingin anda jalankan jika terpilih menjadi perangkat muda HMJ Akuntansi

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG.. Sekretariat : SC Lt.4 Kampus III UMM, Hp

Setelah memperhatikan dan menimbang peraturan-peraturan yang berlaku di Pondok Pesantren Nurulhuda, maka saya bersedia untuk bekerjasama dengan pihak Pesantren dalam proses

Rekapitulasi Neraca Perusahaan Penyelenggara Program Asuransi untuk PNS, TNI-Polri, Sosial, dan BPJS Per 31 Desember (miliar rupiah), 2000-2014. Rincian PNS dan

Jumlah skor yang peneliti peroleh dalam melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL adalah 26 dan skor maksimal 36. Dengan demikian persentase