• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak di jumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003).

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 (delapan) famili, dan terdiri atas 12 (dua belas) genera tumbuhan berbunga yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora, bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Languncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2002).

Lugo dan Snedaker dalam Day, et al, (1989), mengklasifikasikan hutan mangrove menjadi 6 (enam) tipe komunitas hutan mangrove berdasarkan pada bentuk hutan dan kaitannya dengan proses geologi serta hidrologi di Florida, USA, yang

disajikan pada Gambar 2.1, yaitu 1) hutan delta (over wash forest); 2) hutan tepi pantai (fringe forest); 3) hutan tepi sungai (riverin forest); 4) hutan daratan (basin forest); 5) hammock forest; dan 6) hutan semak (scrub forest). Namun Soemodihardjo, et al, (1986) mengklasifikasikan hutan mangrove Indonesia menjadi 4 (empat) kelas, yaitu 1) delta, terbentuk di muara sungai yang berkisaran pasang surut rendah, 2) dataran lumpur, terletak di pinggiran pantai, 3) dataran pulau, berbentuk sebuah pulau kecil yang pada waktu surut rendah muncul di atas permukaan air, dan 4) dataran pantai, habitat mangrove yang merupakan jalur sempit memanjang sejajar garis pantai.

Sumber: Lugo dan Snedaker dalam Day et.al, 1989 dan Tomascik et.al. 1997 dalam Dahuri, 2003. Gambar 2.1. Enam Tipe Komunitas Mangrove

Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jening and Bird dalam Idawaty, 1999). Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2002), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk:

1. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas:

a. Bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya: Avecennia spp, Xylocarpus, dan Sonerratia spp) untuk mengambil oksigen dari udara. b. Bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora

spp).

2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi:

a. Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. b. Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur

keseimbangan garam.

c. Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut dengan cara

mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sediment.

Kestabilan dan kelestarian ekosistem hutan mangrove sangat bergantung pada beberapa faktor lingkungan. Menurut Sukardjo (1993), menyatakan bahwa ada empat faktor yang dibutuhkan hutan mangrove yaitu temperatur, curah hujan, tinggi tempat, dan tanah. Selanjutnya Dahuri, (2003), menyatakan bahwa parameter lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove adalah suplai air tawar, salinitas, pasokan nutrient dan stabilitas substrat.

Bengen (2002), menyatakan bahwa penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia:

1. Daerah yang paling dekat dengan laut dengan subtrak agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.

2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguziera spp.

3. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguziera spp, dan

4. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypafrutican, dan beberapa spesies palem lainnya.

2.3.1. Dampak Tsunami dan Gempa terhadap Mangrove

Gelombang tsunami setinggi 10-15 m dengan kecepatan lebih dari 40 km perjam yang menghantam pesisir Aceh telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah. Kerusakan paling parah melanda sepanjang pesisir barat Aceh termasuk Kecamatan Baitussalam (Wibisono et al, 2006).

Wibisono et al, (2006) menyatakan bahwa kerusakan ekosistem pesisir yang ditimbulkan oleh tsunami setidaknya terjadi melalui dua mekanisme, yaitu:

(a). Mekanisme pertama yaitu energi gelombang tsunami secara langsung menghantam pesisir sehingga menghancurkan hutan mangrove, tegakan cemara, kebun kelapa dan berbagai vegetasi lainnya. Dalam hal ini, kerusakan sebagai

hantaman gelombang tsunami berjalan sangat cepat. Tanaman yang rusak karena hantaman energi gelombang umumnya dalam keadaan rusak atau telah tidak utuh lagi. Bahkan di lokasi yang hantamannya sangat kuat, banyak sekali pohon bakau yang tercabut dari substaratnya.

(b). Mekanisme kedua yaitu genangan air laut yang terbawa oleh gelombang tsunami. Genangan air laut yang salinitasnya tinggi membuat vegetasi yang ada dipesisir stres, kering dan mati. Kematian tanaman yang diakibatkan oleh genangan air asin selalu terjadi secara perlahan-lahan. Berbeda dengan kerusakan karena hantaman ombak yang dalam kondisi hancur, tanaman yang mati karena genangan umumnya dalam kondisi utuh namun mati berdiri.

2.3.2. Rehabilitasi Hutan Mangrove

Rehabilitasi hutan mangrove adalah penanaman kembali hutan mangrove yang telah mengalami kerusakan. Agar rehabilitasi dapat berjalan secara efektif dan efisien perlu didahului survei untuk menetapkan kawasan yang potensial untuk rehabilitasi berdasarkan penilaian kondisi fisik dan vegetasinya.

Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan berdasarkan pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU No. 41/1999) menyatakan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan:

1. Reboisasi, 2. Penghijauan, 3. Pemeliharaan,

5. Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.

Selanjutnya Pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.

Model pengembangan rehabilitasi hutan mangrove disusun dengan pendekatan Participatory Rural Apprasial (PRA), pendekatan ini memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat sebagai pelaku pembangunan untuk berperan aktif dalam pembangunan. Proses penyusunan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi selalu melibatkan masyarakat (Rawana, 2002).

Kegiatan rehabilitasi dilakukan untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove yang telah rusak agar ekosistem mangrove dapat menjalankan kembali fungsinya dengan baik. Upaya rehabilitasi harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang berhubungan dengan kawasan mangrove. Rehabilitasi kawasan mangrove dilakukan sesuai dengan manfaat dan fungsi yang seharusnya berkembang, serta aspirasi masyarakat (Anonimous, 2005).

Rencana rehabilitasi disusun dengan mempertimbangkan zonasi kawasan, manfaat dan fungsi, serta aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam menyusun rencana rehabilitasi adalah pendekatan fisik, pendekatan biologi, dan pendekatan sosial. Pendekatan fisik dimaksudkan sebagai upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan kawasan mangrove dengan membangun bangunan fisik (alat pemecah ombak, cerucuk, dan

sebagainya) untuk mengurangi energi gelombang laut yang mengenai bibir pantai. Pendekatan biologi merupakan upaya vegetatif (penanaman pohon mangrove) untuk memperkuat bibir pantai dan mencegah terjadinya erosi. Sedangkan pendekatan sosial merupakan upaya meningkatkan dan menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan di kawasan pantai (Anonimous, 2005).