• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Peran Pemerintah dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove

5.2.3. Peran Pemerintah dalam Pendanaan

Berdasarkan jumlah pendanaan yang digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di daerah penelitian, tidak ditemukan jumlah pasti berupa angka nominal yang dipergunakan untuk kegiatan tersebut. Pada saat penelitian berlangsung, NGO internasional dan lembaga nasional yang telah memberikan bantuan rehabilitasi hutan mangrove tidak lagi beroperasi di NAD, hal ini dikarenakan kondisi NAD yang sudah membaik dan masa tugas NGO internasional dan nasional sudah berakhir di NAD. Sedangkan jumlah dana pemerintah yang sudah dialokasikan untuk rehabilitasi hutan mangrove pada wilayah penelitian tidak dapat

diinformasikan termasuk dana bantuan NGO terhadap rehabilitasi hutan mangrove yang merupakan kerjasama NGO dengan pemerintah pada pelaksanaan sebelumnya. Padahal informasi penggunaan dana sangat penting terhadap pengukuran peranan pemerintah dalam pengalokasian dana untuk rehabilitasi hutan mangrove.

Berdasarkan wawancara dengan responden dari salah satu instansi pemerintahan, biasanya bentuk pendanaan yang dilakukan pemerintah adalah dengan melibatkan masyarakat dalam pengadaan bibit dengan hitungan nilai uangnya dalam satuan bibit. Jumlah harga satuan bibit tidak dapat disamakan pada setiap proyek yang dijalankan. Biaya tersebut tergantung jumlah dana yang ada dan kondisi lahan yang dikerjakan. Jika dana yang ada dalam jumlah besar, maka bibit mangrove tersebut akan dilakukan melalui program tender kepada pengusaha. Namun jika sebaliknya, maka pengadaan bibit dari masyarakat akan dihitung persatuannya. Demikian juga dengan NGO, pendanaan untuk rehabilitasi diberikan langsung kepada masyarakat sebagai pekerja dengan upah harian bervariasi antara Rp. 25.000 sampai dengan Rp. 40.000,- perhari dengan cakupan kerja antara lain pengisian polibag, penyemaian bibit, pembuatan lubang tanaman, pengangkutan bibit dan penanaman.

Keterlibatan pemerintah dalam pendanaan ini, bukanlah sepenuhnya bersumber dari pemerintah. Dana untuk rehabilitasi ini, berasal dari bantuan LSM yang memiliki program rehabilitasi hutan mangrove dan bersama pemerintah mengorganisir dan merealisasikan dana rehabilitasi dengan keterlibatan masyarakat. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Isd:

“Dalam hal pengusulan dana, pemerintah dan kelompok petani mangrove tidak pernah mengusulkan dana. Namun kegiatan rehabilitasi yang sedang berjalan ini merupakan kesadaran dari pihak LSM pemerhati lingkungan yang mengalokasikan dananya untuk rehabilitasi hutan mangrove melalui dukungan pemerintah dalam memenuhi kelengkapan administrasinya dan sampai saat ini pengalokasian dana sudah sangat baik dan tepat sasaran dilakukan (Wawancara, 20 Agustus, 2008)”.

Pernyataan di atas juga dipertegas oleh Drwn:

“Alokasi dana dari pemerintah tidak dapat memenuhi sepenuhnya untuk aktivitas rehabilitasi hutan mangrove oleh karena kerusakan yang terjadi sangat membutuhkan dana yang sangat besar. Untuk menanggulangi ini, pemerintah melakukan kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) yang dapat mengalokasikan dananya untuk rehabilitasi hutan mangrove, sehingga pelaksanaan rehabilitasi tersebut dilakukan sampai kesemua wilayah yang rusak. Sampai saat ini, upaya rehabilitasi telah menyebar ke penjuru Desa (Wawancara, 23 Agustus, 2008)”.

Pada awal kegiatan rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami, pengadaan bibit oleh NGO dilakukan melalui pemesanan dari pengusaha pembibitan mangrove di luar wilayah NAD, misalnya Sumatera Utara. Hal ini dilakukan mengingat kondisi alam dan sumberdaya manusia wilayah NAD pasca tsunami tidak memungkinkan untuk pengadaan bibit, sehingga pendanaan yang dilakukan di wilayah penelitian dikelompokkan pada kegiatan penanaman dan pemeliharaan.

Hasil temuan di lapangan, pemerintah dan NGO melakukan program rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan pendanaan proyek dengan prinsip 30 persen dana diberikan kepada kelompok masyarakat pada saat kesepakatan jumlah bibit mangrove yang akan dikelola disetujui dan 40 persen dana diberikan kemudian saat berlangsungnya kegiatan pembibitan dilaksanakan dan 30 persen sisa dana dari 100 persen diberikan setelah selesainya program rehabilitasi yang disepakati. Hal ini

mengisyaratkan bahwa pelaksanaan rehabilitasi tersebut merupakan aktivitas proyek mencari keuntungan semata. Pada akhirnya setelah proyek selesai dan dana yang dialokasikan untuk kesepakatan rehabilitasi tersebut telah habis, maka proyek dinyatakan telah selesai tanpa memperhatikan kelanjutan keberhasilan proyek beberapa waktu kemudian oleh karena pendanaan telah habis.

Pendanaan rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan oleh pemerintah dan NGO dengan pendekatan proyek dipertegas oleh Bdn saat wawancara yang dilakukan pada tanggal 25 Agustus 2008 yaitu:

“Dana rehabilitasi hutan mangrove dengan melibatkan partisipasi masyarakat, melalui kelompok tani dengan membuat kesepakatan terlebih dahulu pada awal mufakat akan dilakukan rehabilitasi hutan mangrove, perjanjian tersebut adalah 30 % dana diberikan pada awal kesepakatan jumlah bibit mangrove yang dikelola, 40 % pada saat pelaksanaan telah berlangsung 50 persen pengerjaan dan sisanya 30 % diberikan setelah pelaksanaan penanaman bibit mangrove selesai”.

Pembiayaan program atau proyek rehabilitasi hutan dan lahan mangrove yang dilakukan sepenuhnya diketahui pelaksana kegiatan tidaklah bersifat perencanaan dari bawah atau bottom up. Pendanaan ini diperoleh berdasarkan anggaran yang disusun NGO dan Pemerintah yang didasarkan atas kesanggupan lembaga donor, bukan dari bagaimana kebutuhan perencanaan rehabilitasi yang bersumber dari rancangan masyarakat atau bottom up melainkan bersumber dari keputusan sepihak yang bersifat top down, di mana pendanaannya sesuai kesanggupan donor. Hal ini sesuai dengan pendapat Kasim (1993) bahwa pendekatan perencanaan pembangunan dikenal dengan top down dan bottom up, pada kenyataannya top down masih berperan pada beberapa wilayah, perencanaan top

down jauh lebih dominan diberlakukan karena keputusan alokasi anggaran dilakukan tanpa melalui proses negosiasi yang optimal sehingga tidak sempat diperhitungkan kebutuhan dan prioritas yang diusulkan dari bawah. Hal ini disebabkan besarnya dan tergantung dari jumlah dana yang disediakan lembaga donor untuk kepentingan rehabilitasi, sedangkan jumlah tersebut berdasarkan hitungan matematis lembaga donor sepihak. Selanjutnya, pengorganisasian dana dirancang oleh Ism lokal, pemerintah dan masyarakat yang terlibat langsung pada program rehabilitasi tersebut.

Kesanggupan donor atau LSM yang memiliki dana untuk rehabilitasi hutan mangrove, akan direalisasi sesuai dengan kebutuhan daerah yang telah disurvey. Pemerintah dan LSM biasanya mencari alternatif pengorganisasian dana untuk pelaksanaan rehabilitasi yang didukung oleh kegiatan lainnya sehingga tujuan rehabilitasi dapat lebih maksimal. Hal ini seperti diungkapkan oleh Ekl:

“Alokasi dana digunakan untuk membuat pembibitan mangrove, melakukan penanaman, perawatan dan pengembangan usaha ekonomi kelompok tani. Adapun pengalokasian anggaran dana kegiatan 40 % untuk rehabilitasi mangrove, 30 % untuk usaha ekonomi dan 30 % untuk manajemen kelompok tani”.

Kerjasama pemerintah dalam rehabilitasi mangrove dan kegiatan pendukung rehabilitasi tersebut, lebih banyak dilakukan pada muatan kerjasama berupa dukungan pemerintah kepada NGO yang akan melakukan rehabilitasi hutan mangrove di wilayah penelitian serta pemerintah mengetahui di atas kertas melalui MoU bentuk kegiatan NGO yang melakukan aktivitas rehabilitasi hutan mangrove, sedangkan untuk masalah pendanaan pemerintah tidak ikut campur dalam operasional pencairan dana tunai. NGO dominan melakukan sendiri pencairan dana tunai untuk

rehabilitasi hutan mangrove langsung melalui keterlibatan masyarakat dengan tata cara dan mekanisme yang telah diatur sendiri oleh NGO tersebut.

Oleh karena anggaran dana yang dipergunakan untuk rehabilitasi hutan mangrove tidak diketahui secara detail jumlahnya, tidak dapat diukur secara finansial keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove dengan penyesuaian jumlah dana yang telah terpakai untuk program tersebut. Pengukuran keberhasilan pendanaan yang dipergunakan dapat dilakukan bila ada jumlah angka yang valid terhadap upaya rehabilitasi tersebut.