• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah diantaranya:

1. Saat curah hujan tinggi adanya air yang menggenangi lokasi tambang dan jalan angkut menjadi licin.

2. Adanya geometri jalan yang terlalu kecil.

3. Tidak adanya saluran penirisan pada jalan tambang.

4. Tidak adanya tanggul di sepanjang jalan angkut.

5. Waktu tunggu excavator terlalu lama.

6. Tidak tercapainya target produksi 1.3. Batasan Masalah

Supaya penelitian ini lebih terarah, maka penulis membatasi penelitian ini.

Penulis hanya membahas tentang geometri jalan tambang terhadap kinerja HD 785 dari front penambangan ke crusher 3 pada Bukit Karang Putih.

1.4. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada identifikasi dan batasan masalah maka dapat dirumuskan diantaranya:

1. Berapakah produktivitas alat angkut HD 785 yang bekerja dari front ke crusher 3 ?

2. Berapakah geometri jalan angkut yang real dari front tambang ke crusher 3 untuk saat ini?

3. Berapakah geometri jalan angkut yang ideal dari front tambang ke crusher 3 ?

1.5. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada rumusan masalah maka dapat ditentukan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Menghitung produktivitas alat angkut HD 785 yang bekerja dari front tambang ke crusher 3.

2. Menghitung geometri jalan angkut yang real dari front tambang ke crusher 3 untuk saat ini.

3. Menghitung geometri jalan angkut yang ideal dari front tambang ke crusher 3.

1.6. Manfaat Penelitian 1. Bagi Perusahaan

Dapat menjadi bahan dan pertimbangan bagi PT Semen Padang dalam melaksanakan operasi produksi untuk mencapai target produksi.

2. Bagi Peneliti

Dapat mengaplikasikan ilmu di bangku perkuliahan ke dalam bentuk penelitian, dan meningkatkan kemampuan peneliti dalam menganalisa suatu permasalahan serta menambah wawasan peneliti khususnya di bidang keilmuan teknik pertambangan.

3. Bagi institusi STTIND Padang

Dapat dijadikan sebagai salah satu masukan untuk pembuatan jurnal dan dapat dijadikan sebagai referensi dan pedoman bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian khususnya di bidang keilmuan teknik pertambangan.

5

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Profil PT. Semen Padang

PT Semen Padang merupakan pabrik semen tertua di Indonesia yang didirikan tanggal 18 Maret 1910 dengan nama NV Nederlandsch Indhische Portland Cement Maatschappij (NV NIPCM). Pada awalnya tahun 1906, dua orang ilmuwan Belanda Ir. Carl Christopus Law dan Ir. Koninberg menemukan bebatuan di Bukit Karang Putih dan Bukit Ngalau yang diduga dapat dijadikan bahan baku pembuatan semen. Setelah diteliti di laboratorium Voor Material Landerzoeki (Belanda), menunjukkan bahwa bebatuan tersebut merupakan bahan baku pembuatan semen yaitu batu kapur (lime stone) dan batu silica (silica stone).

Pada tanggal 25 Januari 1907 Christopus mengajukan izin pendirian pabrik semen ke Amsterdam (Belanda), hal ini mengundang minat pihak swasta Belanda untuk mengolah deposit bahan baku semen tersebut. Sehingga didirikanlah sebuah pabrik semen pada tanggal 18 Maret 1910 dengan nama NV NIPCM. Proses berdirinya pabrik ini melalui beberapa periode :

a. Periode I (1910-1942)

Pabrik ini berada di bawah kekuasaan Belanda yang berkedudukan di Amsterdam. Pabrik mulai beroperasi tahun 1913 dengan kapasitas produksi 22.900 ton/tahun dan tahun 1939 mencapai angka produksi tertinggi sebesar 170.000 ton / tahun.

b. Periode II (1942-1945)

Saat terjadi perang dunia II, Jepang mulai menguasai Indonesia sehingga pabrik diambil alih oleh Manajemen Asano Cement. Pada tahun 1944 perusahaan ini dibom Sekutu dan menghancurkan tiga kiln dan menewaskan banyak karyawan.

c. Periode III (1945-1947)

Pada tahun 1945, pabrik diambil alih oleh karyawan bersamaan dengan kekalahan Jepang dari sekutu dan selanjutnya diserahkan kepada

pemerintah Republik Indonesia, kemudian berganti nama menjadi Kilang Semen Indarung.

d. Periode IV (1947-1958)

Pada Agresi Militer Belanda I (1947), pabrik dikuasai oleh Belanda dan berganti nama menjadi NV Padang Portland Cement Maatschappij (NV PPCM). Jumlah produksi sangat sedikit karena banyak karyawan yang mengungsi. Setelah konferensi Meja Bundar (1949), pabrik kembali berjalan normal. Pada tahun 1957 produksi mencapai 154.000 ton / tahun.

e. Periode V (1958-1961)

Berdasarkan peraturan pemerintah (PP) No. 50 tanggal 5 Juli 1958, maka NV PPCM dinasionalisasikan dan selanjutnya ditangani oleh Badan Pengelola Perusahaan Industri dan Tambang (BAPPIT) Pusat. Pada tahun 1958 produksi semen sebesar 80.828 ton, tahun1959 sebesar 120.714 ton, tahun 1960 sebesar 107.695 ton.

f. Periode VI (1961-1971)

Status perusahaan diubah menjadi Perusahaan Negara setelah tiga tahun dikelola BAPPIT. Kapasitas produksi pada tahun itu mencapai 170.071 ton.

g. Periode VII (1971-1995)

Setelah resmi bernama PT Semen Padang, maka pengangkatan Direksi ditentukan berdasarkan RUPS sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan No. 304/MK/1972 yang berlaku semenjak perusahan berstatus PT (Perseroan).

h. Periode VIII (1995-sekarang)

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.

5326/MK.06/1995, pemerintah melakukan konsolidasi atas tiga pabrik semen milik pemerintah yaitu PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, dan PT semen Gresik yang terealisasi pada tanggal 15 September 1995, sehingga saat ini PT Semen Padang berada di bawah PT Semen Gresik.

Sejak diambil alih oleh Pemerintahan Republik Indonesia (RI), PT. Semen Padang terus berkembang dengan pesat dan meningkatkan kapasitas produksinya sebagai berikut :

1. Rehabilitas pabrik Indarung I dimulai pada tahun 1970 sampai tahun 1973.

Kapasitas produksinya meningkat dari 120.000 ton / tahun menjadi 220.000 ton / tahun. Rehabilitas Indarung I tahap kedua pada tahun 1973-1976 dengan peningkatan kapasitas produksi dari 220.000 ton / tahun menjadi 330.000 ton / tahun. Namun, sekarang pabrik Indarung I tidak berproduksi lagi.

2. Proyek Pabrik Indarung II dimulai pada tahun 1977 dengan pembuatan semen menggunakan proses kering yang bekerja sama dengan F.L. Smidth & Co. AS (Denmark). Proyek Indarung II selesai pada tahun 1980 dengan kapasitas produksi mencapai 600.000 ton/tahun. Selanjutnya, dilakukan proyek optimalisasi Indarung II, sehingga kapasitas produksinya menjadi 660.000 ton/tahun.

3. Pada tahun 1981, dibangun dua buah pabrik yaitu proyek Indarung IIIA yang selesai pada tahun 1983 dengan kapasitas produksi 660.000 ton/tahun dan proyek Indarung IIIB yang selesai pada tahun 1987 dengan kapasitas produksi 660.000 ton/tahun.

4. Pada tahun 1991-1994, proyek Indarung IIIC dilakukan secara swakelola oleh PT Semen Padang dengan kapasitas produksi 660.000 ton/tahun, dan selanjutnya Indarung IIIB dan IIIC diberi nama menjadi Indarung IV.

5. Pada tahun 1996, dimulai proyek Indarung V dengan kapasitas produksi mencapai 2.300.000 ton/tahun. Maka dengan beroperasinya Indarung V, total produksi menjadi 5.240.000 ton/tahun.

2.2.1 Produktivitas Alat Muat dan Alat Angkut

Produktivitas alat angkut dipengaruhi oleh waktu siklusnya. Waktu siklus dump truck terdiri dari waktu pemuatan, waktu pengangkutan, waktu pembongkaran muatan, waktu perjalanan kembali, dan waktu antri.

2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produksi Dump Truck 2.2.2.1 Korelasi Cycle Time Excavator dan Dump Truck

Dump Truck sebagai alat utama dalam kegiatan pengangkutan sangat berperan dalam pencapaian target produksi pada tambang terbuka yang menerapkan sistem excavator–dump truck. Selain itu dump truck juga merupakan alat berat yang dapat disesuaikan dengan alat gali/muat yang melayaninya.

Waktu edar dump truck merupakan faktor yang sangat mempengaruhi produktivitas alat muat itu sendiri. Semakin kecil waktu edar maka produktivitas alat tersebut semakin baik, begitu juga dengan sebaliknya. Menurut Peurifoy waktu edar dump truck terdiri dari beberapa bagian, yaitu loading time (waktu isi), dumping time (waktu membongkar muatan), hauling time (waktu angkut), return time (waktu kembali dalam kondisi kosongan), spoting time (waktu manuver di daerah penggalian ditambah dengan manuver di daerah penimbunan), dan delay time (waktu tunggu dump truck sebelum di isi oleh alat muat).

Waktu edar excavator adalah fill dipper (waktu yang dibutuhkan untuk mengisi bucket), swing (waktu manuver bucket untuk mengisi dump truck), dump (waktu bucket menumpahkan material), return time, (waktu kembali untuk mengisi bucket), serta delay time (waktu tunggu sebelum mengisi bak dump truck).

2.2.2.2 Pengangkutan/hauling

Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat

pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan. Peralatan pengangkutan yang biasa dipakai adalah dump truck. Produksi perjam dump truck dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

P =

q x 3600 x E ………. (1)

Cm

(Sumber :Indonesianto, 2005) Keterangan :

P = Produksi dump truck per jam (m3/jam) q = Kapasitas produksi per siklus (m3) E = Efisiensi kerja alat

Cm= Waktu siklus (detik)

Kapasitas produksi persiklus dump truck dihitung dengan rumus:

q = q1 x K x n ……… (2) (Sumber :Indonesianto, 2005)

Keterangan :

q = Kapasitas perduksi persiklus (m3) q1 = Kapasitas bucket monjong (m3)

n = Jumlah siklus yang diperlukan untuk mengisi dump truck K = Faktor bucket

2.2.2.3 Keserasian Kerja Alat Mekanis (match factor)

Match factor merupakan faktor untuk menentukan tingkat keserasian kerja alat-alat mekanis (backhoe dan dump truck). Salah satu faktor yang ikut mempengaruhi keserasian kerja dua alat mekanis diatas adalah kondisi jalan

angkut. Untuk menentukan nilai match factor dapat digunakan persamaan sebagai berikut (Yanto Indonesianto, 2005, hal 51):

MF = ………. (3)

CtaxNm CTmxNa

Keterangan :

MfF = Faktor keserasian kerja alat mekanis CTm = Waktu edar alat muat

Cta = Waktu edar alat angkut Na = Jumlah alat angkut Nm = Jumlah alat muat Bila dari hasil perhitungan diperoleh:

MF < 1

Berarti persentase kerja alat gali muat kurang dari 100%, sedangkan persentase kerja alat angkut 100%, sehingga terdapat waktu tunggu untuk alat gali muat.

MF = 1

Berarti persentase kerja alat gali muat dan alat angkut maksimal 100% sehingga tidak terdapat waktu tunggu bagi kedua alat tersebut.

MF > 1

Berarti persentase kerja alat angkut kurang dari 100%, sedangkan persentase kerja alat gali muat 100%, sehingga terdapat waktu tunggu bagi alat angkut.

2.2.2.4 Rolling Resistance

Rolling resistance merupakan tahanan gelinding/gulir yang terdapat pada roda yang sedang bergerak akibat adanya gaya gesek antara roda dengan permukaan tanah yang arahnya selalu berlawanan seperti terlihat pada Gambar 2.1

Keterangan :

O : Titik Pusat Roda W : Berat kendaraan

W p : Gaya tarik kendaraan

r : Jari-jari roda F : Tahanan Gulir

N : Gaya yang melawan berat kendaraan

a : ½ Jarak sisi roda yang ambles P dengan pusat roda

ground r

F a N

Sumber: Partanto Prodjosumarto, 1996.

Gambar 2.1 Arah Tahanan Gulir

Basarnya tergantung pada kondisi permukaan tanah yang dilewati (kekerasan dan kehalusan), tipe roda, dan berat dari kendaraan tersebut. Secara teoritis nilai dari tahanan gelinding dapat ditentukan dengan persamaan berikut (Partanto Prodjosumarto, 1996, hal 156):

……… (4) W

RR P

Dimana :

RR = Rolling resistance (lb/ton) P = gaya tarik pada kabel penarik (lb) W = berat kendaraan (ton)

Untuk menentukan nilai tahanan gulir adalah sulit untuk dilakukan karena sebenarnya jenis dan tekanan ban serta kecepatan kendaraan ikut mempengaruhi harga rolling resistance. jadi nilai rolling resistance ditentukan dalam persen berat, seperti terlihat pada Table 2.1.

TABEL 2.1

Harga Tahanan Gelinding

Sumber: Partanto Prodjosumarto, 1996.

2.2.2.5 Grade Resistance

Grade resistance adalah besarnya gaya berat yang melawan atau membantu gerak kendaraan karena kemiringan jalur jalan yang dilewati oleh kendaraan tersebut. Pengaruh kemiringan terhadap harga GR adalah naik untuk kemiringan positif (akan memperbesar rimpul) dan turun untuk kemiringan negatif (akan memperkecil rimpul). Besarnya GR tergantung pada kemiringan jalan (%) dan berat kendaraan tersebut (ton). Besarnya GR dinyatakan rata-rata 20

KONDISI JALAN ANGKUT RR Untuk Ban Karet lb/ton

Jalan keras dan licin 40

Jalan yang diaspal 45 – 60

Jalan keras dengan permukaan terpelihara baik 45 – 70 Jalan yang sedang diperbaiki dan terpelihara 85 – 100

Jalan yang kurang terpelihara 85 – 120

Jalan berlumpur dan tidak terpelihara 165 – 210

Jalan berpasir dan berkerikil 240 – 275

Jalan berlumpur dan sangat lunak 290 - 370

lb dari rimpul untuk setiap gross berat kendaraan beserta isinya pada setiap kemiringan 1 %. Harga GR untuk tiap kemiringan jalan dapat dilihat pada Tabel 2.2.

TABEL 2.2

Kemiringan Dan Tahanan Kemiringan

Sumber: Partanto Prodjosumarto, 1996.

2.2.2.6. Coeficient of Traction

Coeficient of Traction (CT) adalah suatu faktor yang menunjukan berapa bagian dari seluruh berat kendaraan itu pada ban atau track yang dapat dipakai untuk menarik atau mendorong kendaraan. Dengan kata lain CT adalah suatu faktor dimana jumlah berat kendaraan pada ban/track penggerak harus dikalikan

KEMIRINGAN

GR KEMIRINGAN GR

(%) (lb/ton) (%) (lb/ton)

1 20 11 218

2 40 12 238.4

3 60 13 257.8

4 80 14 277.4

5 100 15 296.6

6 119.8 20 392.3

7 139.8 25 485.2

8 159.2 30 574.7

9 179.2 35 660.6

10 199 40 742.8

dengan permukaan jalan sebelum roda slip. Besarnya harga coefficient of traction tergantung pada:

a. Keadaan ban atau track, yaitu keadaan dan bentuk kembangan ban.

b. Keadaan jalan (basah/kering, keras/lunak, bergelombang/rata).

c. Berat kendaraan yang diterima roda.

Besarnya harga coefficient of traction untuk macam-macam keadaan jalan dapat dilihat pada Tabel 2.3.

TABEL 2.3

Coeficient Of Traction Untuk Berbagai Kondisi Jalan

KONDISI JALAN BAN KARET

(%)

Jalan kering dan keras 80 – 100

Jalan tanah liat kering 50 – 70

Jalan tanah liat basah 40 – 50

Jalan berpasir basah dan berkerikil 30 – 40 Jalan berpasir kering yang terpisah/terpencar 20 – 30 Sumber: Partanto Prodjosumarto, 1996.

2.2.2.7 Aceleration (percepatan)

Aceleration merupakan waktu yang diperlukan untuk mempercepat kendaraan dengan menggunakan rimpull yang tidak dipergunakan untuk menggerakan kendaraan pada jalur tertentu. Lamanya waktu yang dibutuhkan unutk mempercepat kendaraan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Berat kendaraan, semakin berat kendaraan maka waktu yang dibutuhkan akan semakin lama untuk mempercepat kendaraan.

b. Kelebihan rimpull, semakin banyak rimpull yang berlebih maka akan semakin cepat kendaraan dipercepat.

c. Grade (kemiringan) jalan angkut yang dilalui.

2.2.2.8 Ketinggian Daerah Dari Permukaan Laut

Perubahan kadar Oksigen dalam udara akan berpengaruh pada horse power suatu kendaraan yang sedang beroperasi pada daerah dengan ketinggian tertentu. Semakin tinggi suatu daerah maka persediaan oksigen akan berkurang, maka kemampuan alat juga akan ikut berkurang.

2.2.2.9 Faktor Efisiensi

Nilai keberhasilan suatu pekerjaan sangat sulit ditentukan secara tepat karena mencakup beberapa faktor seperti manusia, mesin, dan kondisi kerja. Nilai keberhasilan dari suatu pekerjaan dipengaruhi oleh effisiensi waktu, effisiensi kerja atau kesediaan alat untuk dioperasikan dan efisiensi operator.

2.2.2.10 Swell Factor

Swell factor adalah faktor pengembangan material yang merupakan perbandingan antara volume material dalam keadaan insitu (belum digali = BCM) dan volume material dalam keadaan loose (telah digali = LCM). Besarnya swell factor dapat dihitung dengan persamaan berikut (Yanto Indonesianto, 2005, hal 7)

V insitu

Swell Factor = x 100 % ……… (5)

V loose

2.2.2.11 Density Material

Berat isi material akan digali, dimuat, dan diangkut oleh alat-alat mekanis akan mempengaruhi:

1. Kecepatan kendaraan

2. Kemampuan kendaraan untuk mengatasi tahanan kemiringan dan tahanan gulir.

3. Volume material yang dapat diangkut.

2.2.3 Perhitungan Produktivitas Alat Muat dan Angkut 1. Dump truck

Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan. Peralatan pengangkutan yang biasa dipakai adalah dump truck. Produksi perjam dump truck dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut. (perhitungan produktivitas dump truck mengacu ke halaman 6 sub. 2.2.2.2.)

2. Excavator (Back Hoe)

Excavator merupakan alat gali sekaligus alat muat material ke dump truck. Untuk menghitung produksi excavator dapat menggunakan persamaan berikut:

Q =

q x 3600 x E

……….. (6)

Ctm

(Sumber :Indonesianto, 2005)

Keterangan :

Q = Produktifitas excavator per jam (m3 / jam) q = Kapasitas produksi persiklus (m3)

E = Efisiensi kerja

Ctm= Waktu siklus perdetik a. Kapasitas Persiklus

Kapasitas produksi persiklus excavator dapat ditentukan dengan rumus : q = q1 x K ……… (7)

(Sumber: Indonesianto, 2005) Keterangan :

Q = Produktivitas per siklus (m3) q1 = Kapasitas bucket monjong (m3) K = Faktor bucket Kerja

2.2.4 Geometri Jalan Angkut

Geometri jalan merupakan bagian dari perencanaan yang lebih ditekankan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi dasar jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas yang beroperasi di atasnya.

Pada pengertiannya, geometri jalan tambang yang memenuhi syarat adalah bentuk dan ukuran-ukuran dari jalan tambang tersebut sesuai dengan tipe (bentuk, ukuran dan spesifikasi) alat angkut yang digunakan dan kondisi medan yang ada sehingga dapat menjamin serta menunjang segi keamanan dan keselamatan

operasi pengangkutan. Geometri jalan tersebut merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi. (Yanto indonesianto, 2005)

Adapun faktor-faktor yang merupakan geometri penting yang akan mempengaruhi keadaan jalan angkut adalah lebar jalan, jari-jari tikungan dan kemiringan jalan.

1. Lebar Jalan

Lebar jalan angkut pada tambang pada umumnya dibuat untuk pemakaian jalur ganda dengan lalu lintas satu arah atau dua arah. Dalam kenyataanya, semakin lebar jalan angkut maka akan semakin baik dan lalu lintas pengangkutan semakin aman dan lancar. Akan tetapi semakin lebar jalan angkut, biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan dan perawatan juga akan semakin besar. Untuk itu perlu dilakukan agar keduanya bisa optimal.

a. Lebar jalan angkut pada kondisi lurus

Lebar jalan angkut minimum yang dipakai sebagai jalur ganda pada jalan lurus dapat dilihat pada (gambar 2.2). Penentuan lebar jalan lurus didasarkan pada rule of thumb yang dikemukakan oleh AASHTO Manual Rural Higway Design (1990) yaitu jumlah jalur dikali dengan lebar dump truck ditambah setengah lebar truk untuk masing-masing tepi kiri, kanan, dan jarak antara dua dump truck yang sedang bersilangan. Persamaan yang digunakan adalah (Yanto Indonesianto, 2005, hal 58) :

L(m) = n.Wt + (n+1) (1/2.Wt) ………. (8)

Keterangan :

L(m) = lebar jalan angkut minimum, meter n = jumlah jalur

Wt = lebar alat angkut total, meter

(Sumber: Yanto Indonesianto, Pemindahan Tanah Mekanis, 2005)

Gambar 2.2

Lebar Jalan Angkut Pada Kondisi Lurus

a. Lebar Jalan Pada Tikungan

Lebar jalan angkut pada tikungan selalu dibuat lebih besar dari pada jalan lurus. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya penyimpangan lebar alat angkut yang disebabkan oleh sudut yang dibentuk oleh roda depan dengan badan truk saat melintasi tikungan (lihat Gambar 2.14). Untuk jalur ganda, lebar jalan minimum pada tikungan dihitung berdasarkan pada:

a. Lebar jejak roda

b. Lebar juntai atau tonjolan (overhang) alat angkut bagian depan dan belakang pada saat membelok

c. Jarak antar alat angkut saat bersimpangan d. Jarak alat angkut terhadap tepi jalan.

(Sumber: Yanto Indonesianto, Pemindahan Tanah Mekanis, 2005) GAMBAR 2.3

Lebar Jalan Angkut Pada Tikungan Untuk 2 Jalur

Persamaan yang digunakan adalah (Yanto Indonesianto, 2005, hal 58) : W = 2 ( U + Fa + Fb + Z ) + C

C = Z = ½ ( U + Fa + Fb ) ……… (9) Keterangan :

W = lebar jalan angkut pada tikungan (meter) U = jarak jejak roda (meter)

Fa = lebar juntai depan (meter) Fb = lebar juntai belakang (meter) Z = lebar bagian tepi jalan (meter)

C = jarak antara alat angkut saat bersimpangan (meter)

2. Jari–jari dan Superelevasi (kemiringan jalan pada tikungan)

Kemampuan alat angkut truk untuk melewati tikungan terbatas, maka dalam pembuatan tikungan harus memperhatikan besarnya jari-jari tikungan jalan.

Masing-masing jenis truk mempunyai jari-jari lintasan jalan yang berbeda.

Perbedaan ini dikarenakan sudut penyimpangan roda depan pada setiap truk

belum tentu sama. Semakin kecil sudut penyimpangan roda depan maka jari-jari lintasan akan terbentuk akan semakin besar. Dengan semakin besarnya jari-jari lintasan maka kemampuan truk untuk melintasi tikungan tajam berkurang.

Dalam pembuatan jalan menikung, jari-jari tikungan harus dibuat lebih besar dari jari-jari lintasan alat angkut atau minimal sama. Jari-jari tikungan jalan angkut juga harus memenuhi keselamatan kerja di tambang atau memenuhi faktor keamanan yang dimaksud adalah jarak pandang bagi pengemudi di tikungan, baik horizontal maupun vertikal terhadap kedudukan suatu penghalang pada jalan tersebut yang diukur dari mata pengemudi.

Hal lain yang tidak bisa diabaikan dalam pembuatan tikungan adalah superelevasi, yaitu kemiringan melintang jalan pada tikungan. Besarnya angka superelevasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Yanto Indonesianto, 2005, hal 59):

………. (10) R

f V

e 127

2

 Keterangan :

e = angka superelevasi f = faktor gesekan V = kecepatan, km/jam R = jari-jari tikungan, meter

Untuk mengatasi gaya sentrifugal yang bekerja pada alat angkut yang sedang melewati tikungan jalan ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu : pertama, dengan mengurangi kecepatan dan cara ke dua adalah membuat kemiringan ke arah titik pusat jari-jari tikungan. Yang mana kemiringan ini berfungsi untuk menjaga alat angkut tidak terguling saat melewati tikungan

dengan kecepatan tertentu. Cara pertama sangat tidak efisien karena waktu hilang yang ditimbulkan akan besar, oleh karena itu cara kedua dianggap lebih baik.

Apabila suatu kendaraan bergerak dengan kecepatan tetap pada datar atau miring dengan lintasan berbentuk lengkung seperti lingkaran, maka pada kendaraan tersebut bekerja gaya sentrifugal mendorong kendaraan secara radial keluar dari jalur jalannya, berarah tegak lurus terhadap kecepatan (lihat gambar 2.4). Untuk dapat mempertahankan kendaraan tersebut tetap pada jalurnya, maka perlu adanya gaya yang dapat mengimbangi gaya tersebut sehingga terjadi suatu keseimbangan.

Sumber: Yanto Indonesianto, 2005.

Gambar 2.4

Gaya Sentrifugal Pada Tikungan

Untuk menghitung besarnya gaya sentrifugal dapat digunakan rumus:

Fsf = ……… (11) g

G R V2

Keterangan :

Fsf = Gaya Sentrifugal G = Berat Kendaraan g = Gaya grafitasi bumi V = Kecepatan kendaraan R = Jari-jari lengkung lintasan

Untuk menentukan angka koefisien gesek samping berdasarkan kecepatan kendaraan yang beroperasi dapat menggunakan tabel 2.4.

TABEL 2.4

Rekomendasi Aashto Untuk Koefisien Gesekan Samping

Kecepatan rencana (mph) 20 30 40 50 60 70 80

Kecepatan rencana (km/jam) 32 48 64 80 97 113 129

Koefisien 0,17 0,16 0,15 0,14 0,12 0,10 0,08

Sumber: Yanto Indonesianto, 2005.

3. Kemiringan Jalan Produksi dan Grade Resistance

Kemiringan jalan angkut dapat berupa jalan menanjak ataupun jalan menurun, yang disebabkan perbedaan ketinggian pada jalur jalan. Kemiringan jalan berhubungan langsung dengan kemampuan alat angkut, baik dalam pengereman maupun dalam mengatasi tanjakan. Kemampuan dalam mengatasi tanjakan untuk setiap alat angkut tidak sama, tergantung pada jenis alat angkut itu sendiri. Sudut kemiringan jalan biasanya dinyatakan dalam persen, yaitu beda tinggi setiap seratus satuan panjang jarak mendatar.

Tahanan kemiringan (grade resistance) ialah besarnya gaya berat yang melawan atau membantu gerak kendaraan karena kemiringan jalur jalan yang dilaluinya. Tahanan kemiringan tergantung dua faktor, yaitu:

a. Besarnya kemiringan yang biasanya dinyatakan dalam persen.

b. Berat kendaraan itu sendiri yang dinyatakan dalam ton.

Besarnya tahanan kemiringan rata-rata dinyatakan dalam 20 lbs dari rimpull untuk tiap gross ton berat kendaraan beserta isinya pada kemiringan 1 %.

Kemiringan suatu jalan biasanya dinyatakan dalam persentase, dimana kemiringan 1 % merupakan kemiringan permukaan yang menanjak atau menurun 1 meter secara vertikal dalam jarak horizontal 100 meter. Kemiringan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Yanto Indonesianto, 2005, hal 60):

h

Grade (%) = 100 % ……….. (12)

x

Keterangan:

h: Beda tinggi antara dua titik yang diukur (meter) x: Jarak datar antara dua titik yang diukur (meter) c. Daya Dukung Jalan Terhadap Beban Yang Melintas

Daya dukung jalan adalah kemampuan jalan untuk menopang beban yang ada di atasnya. Menentukan daya dukung tanah secara tepat hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli mekanika tanah yang berkualifikasi. Walaupun demikian, Kontruksi Perkerasan Jalan

Susunan lapis perkerasan jalan yang digunakan di dalam dan di luar tambang adalah menggunakan metode Un-Bound Method, yaitu seluruh kontruksi perkerasan terdiri dari butiran-butiran lepas (tanpa adanya bahan pengikat aspal/semen) yang mempunyai sifat seperti lapisan pasir ialah meneruskan gaya

Susunan lapis perkerasan jalan yang digunakan di dalam dan di luar tambang adalah menggunakan metode Un-Bound Method, yaitu seluruh kontruksi perkerasan terdiri dari butiran-butiran lepas (tanpa adanya bahan pengikat aspal/semen) yang mempunyai sifat seperti lapisan pasir ialah meneruskan gaya