• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Permasalahan pada Tahapan Rantai Nilai Komoditas Kakao

Dalam dokumen Policy Paper Buku BPN UH FINAL (Halaman 190-199)

Analisis Rantai Nilai Komoditas Kakao di Pulau Sulawes

4. Identifikasi Permasalahan pada Tahapan Rantai Nilai Komoditas Kakao

nKegiatan Usaha Tani

Serangan hama dan penyakit serta umur tanaman yang sudah tua merupakan masalah utama yang dihadapi petani dan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan komoditas ini di masa depan. Secara rata-rata, umur tanaman kakao berada di atas 15 tahun dan telah mengalami penurunan tingkat produktivitas yang cukup signifikan. Berbagai jenis hama dan penyakit telah menyerang pohon, daun, dan buah yang juga berpotensi menurunkan produksi, tingkat produktivitas, dan mutu kakao sehingga pada gilirannya akan menurunkan tingkat kesejahteraan petani kakao. Serangan terhadap buah menyebabkan biji kakao menjadi kering, hitam, dan rusak pada bagian dalam buah. Serangan hama dan penyakit terhadap tanaman kakao ditemukan pada semua lokasi survey. Jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman kakao di Pulau Sulawesi terdiri atas penggerek buah kakao (PBK), kepik penghisap buah kakao, penggerek batang, busuk buah, dan kanker batang. Hasil studi PATANAS (2012) juga menunjukkan temuan serupa bahwa hama dan penyakit paling banyak menyerang tanaman kakao dibanding tanaman perkebunan lainnya.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah mencanangkan Program Gerakan Revitalisasi Kakao Nasional (Program GERNAS) pada tahun 2008. Pada awalnya, program ini hanya diperuntukkan bagi empat provinsi di Pulau Sulawesi, yakni Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, yang merupakan sentra penghasil kakao Nasional. Namun hingga tahun 2011, program ini telah diperluas hingga mencakup 26 provinsi dan 98 kabupaten. Program yang akan berakhir pada tahun 2013 ini tampaknya belum sepenuhnya dapat dianggap berhasil jika peningkatan produksi, produktivitas dan mutu kakao dijadikan sebagai indikator keberhasilan.

171

P3KM UNHAS

Tabel 4.12: Persepsi Responden Petani Kakao Mengenai Masalah dan Kendala yang dihadapi Menurut Lokasi Survei

Jenis Biaya Luwu Luwu Utara

Polewali

Mandar Mamuju Donggala Kolaka Kolaka

Utara Rata-

Rata Kekurangan air 1.05 1.15 1.50 1.15 1.00 1.30 1.00 1.16 Lahan kurang subur 1.45 1.30 1.70 1.05 1.39 1.50 1.20 1.37 Saprodi tidak tersedia 1.60 1.05 1.50 1.10 1.43 1.70 1.45 1.40 Biaya tenaga kerja mahal 1.70 1.85 1.75 1.45 1.48 1.60 1.65 1.64 Modal terbatas 2.60 2.50 2.80 2.55 2.13 1.50 1.85 2.28 Pohon tua 2.25 2.65 2.80 1.85 2.70 2.05 1.80 2.30 Hama penyakit 3.00 3.00 2.90 3.00 3.00 2.85 2.85 2.94 Bibit kurang baik 1.25 1.70 2.05 2.05 1.96 1.05 1.85 1.70 Pengetahuan petani kurang 1.90 1.55 1.55 1.95 2.35 1.10 1.80 1.74 Sarana pasca-panen kurang 1.25 1.60 1.35 1.05 1.22 1.35 1.65 1.35 Harga pembelian pedagang

rendah 2.40 2.30 1.80 2.15 2.00 1.85 2.05 2.08 Infrastruktur jalan tidak

mendukung 2.35 1.35 2.45 2.10 1.91 1.65 1.95 1.97

Sumber: Data Primer, diolah

Keterangan: Skala 1-3, dimana 1=tidak bermasalah; 2=sedang; dan 3=sangat bermasalah Umur tanaman yang tua dan serangan hama, tampaknya telah memunculkan berbagai masalah derivatif, berupa rendahnya tingkat produktivitas dan mutu biji kakao. Tingkat produktivitas kakao di tingkat petani rata-rata hanya 600 -700 Kg per Ha dengan mutu biji kakao yang juga relatif rendah, yang ditandai oleh tingkat kadar air, kotoran, dan jamur yang berada di atas standar. Peremajaan sebagai pilihan yang rasional bagi petani, juga hampir tidak bisa dilakukan karena terkendala oleh dua faktor, yaitu: (1) penanaman pohon baru membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai pada tahap menghasilkan, dan selama proses itu petani tidak memiliki alternatif sumber penghasilan; (2) bibit yang dipersiapkan sendiri oleh petani untuk peremajaan seringkali diserang pula oleh hama/penyakit seperti yang terjadi pada tanaman dewasa lainnya. Oleh karena itu, saat ini, pilihan yang paling realistik oleh petani adalah melakukan sambung samping, meski tidak ada jaminan bahwa tanaman kakao akan terbebas dari serangan hama dan penyakit. Bagi petani, upaya ini hanya akan mengatasi masalah dalam jangka pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang.

Rendahnya mutu kakao juga disebabkan belum berkembangnya kegiatan fermentasi di tingkat petani. Sebagian besar petani yang disurvey tidak melakukan kegiatan fermentasi. Dari tujuh kabupaten lokasi survey, kegiatan fermentasi di tingkat petani hanya ditemukan di Kabupaten Luwu dan Mamuju. Mereka memiliki berbagai alasan, antara lain: (1) keinginan untuk

sesegera mungkin mendapatkan uang tunai; (2) kegiatan fermentasi memerlukan tambahan biaya dan tenaga; (3) petani tidak melihat adanya perbedaan harga yang signifikan antara kakao fermentasi dan non- fermentasi; dan (4) meski jumlahnya tidak banyak, sejumlah petani mengaku tidak mengetahui teknik fermentasi.

Kendala utama sebagian petani dalam mengelola usaha tani dan melakukan kegiatan pasca panen adalah keterbatasan anggaran. Secara umum, keterbatasan anggaran merupakan masalah ketiga yang paling dirasakan oleh petani, setelah hama/penyakit dan tanaman tua. Kendala ini telah menyebabkan petani tidak dapat melakukan perawatan tanaman kakao sebagaimana mestinya, seperti pemupukan, penyemprotan pestisida, peremajaan tanaman, rehabilitasi lahan, dan sebagainya. Tindakan ini tidak dapat meminimalisir serangan hama dan penyakit tanaman, meningkatkan produktivitas, dan memperbaiki kualitas kakao. Oleh petani, isu keterbatasan anggaran lebih dikaitkan dengan pengelolaan usaha tani, ketimbang kegiatan pasca panen.

Di beberapa lokasi survey, sejumlah petani mengeluhkan produksi kakao mereka yang cenderung menurun, setidaknya jika dibandingkan 4-5 tahun lalu. Mereka mengaku bahwa, saat ini, untuk setiap hektar lahan dengan jumlah tegakan 8.000 – 1.000 pohon, produksi hanya mencapai 20 – 35 Kg per minggu, padahal lima tahun lalu mereka bisa memproduksi 40 - 60Kg per minggu. Penurunan tingkat produktivitas mereka dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: tingkat kesuburan tanah, tingkat perawatan dan pemeliharaan tanaman, intensitas pemupukan, dan serangan hama dan penyakit.

Program Gerakan Revitalisasi Kakao Nasional (Program GERNAS) dipersepsi secara berbeda oleh petani. Petani kakao di Kolaka misalnya, menganggap bahwa Program Gernas Kakao telah memberi manfaat bagi mereka, dan karena itu, tetap berharap agar program ini dapat terus dilanjutkan di masa depan. Sebaliknya, petani kakao di Polewali Mandar menganggap bahwa program ini tidak memberi dampak berarti terhadap produktivitas dan mutu kakao. Program ini dianggap tidak bisa menyelesaikan masalah utama yang dihadapi oleh petani, yaitu usia tanaman yang tua dan serangan hama/penyakit tanaman. Bantuan yang menyertai program ini, juga dinilai tidak hanya memiliki kualitas yang rendah, tetapi juga diwarnai dengan

173

P3KM UNHAS

berbagai bentuk penyimpangan, seperti tidak sesuainya nilai bantuan yang diberikan dengan luasan areal dan jumlah tegakan pohon yang dimiliki petani.

Pola dan tahapan penyaluran bantuan sarana dan prasarana produksi yang tidak sekuens, juga merupakan salah satu aspek yang dikeluhkan para petani terkait dengan Program GERNAS. Petani seringkali memperoleh bantuan pupuk terlebih dahulu, baru kemudian memperoleh bantuan bibit. Kualitas bantuan, seperti peralatan semprot, juga dinilai juah berada di bawah standar. Ini menimbulkan persepsi di kalangan para petani bahwa Program GERNAS tidak lebih dari sekedar “proyek”. Studi yang dilakukan oleh KPPOD (2013) juga menemukan adanya keterlambatan distribusi pupuk dan benih kepada petani yang berpotensi menghambat keberhasilan Program GERNAS.

nPerdagangan Dalam Pulau

Volume perdagangan yang semakin menurun turut dirasakan oleh para pedagang pengumpul. Omzet perdagangan saat ini dinilai relatif lebih kecil dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Fenomena ini sediktinya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) menurunnya volume produksi di tingkat petani terkait dengan masalah usaha tani; (2) adanya fenomena konversi lahan kakao menjadi lahan kelapa sawit di beberapa wilayah yang berpotensi menurunkan volume produksi; dan (3) adanya akses langsung petani kepada pedagang besar dan eksportir.

Pembukaan kantor cabang di sentra-sentra produksi kakao oleh perusahaan besar/eksportir berpotensi mematikan keberadaan pedagang pengumpul skala kecil. Di beberapa lokasi survey, misalnya di Desa Batupanga Daala, Kec. Luyo, Kab. Polewali Mandar, pedagang pengumpul skala kecil (tingkat desa dan kecamatan) tidak lagi eksis. Para petani mengorganisasir diri di dalam kelompok tani untuk berinteraksi langsung dengan pihak eksportir. Cara ini dianggap efektif oleh petani karena dapat menghemat biaya transportasi, menciptakan skala ekonomi, memperkuat posisi tawar dalam melakukan negosiasi harga dengan pihak eksportir, dan menikmati margin keuntungan yang relatif lebih besar.

Perdagangan kakao antar pulau telah menyebabkan adanya margin keuntungan dan nilai tambah yang tidak dinikmati oleh aktor di Pulau Sulawesi. Sejumlah produksi kakao dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tenggara diantar-pulaukan menuju pelabuhan Surabaya dan Jakarta, untuk selanjutnya di ekspor ke manca negara atau mensupplai kebutuhan industri pengolahan kakao di kedua wilayah tersebut. Selisih yang cukup tajam antara volume produksi kakao dengan volume ekspor kakao Pulau Sulawesi mengindikasikan besarnya volume kakao yang diantar-pulaukan.Sekiranya volume ini diolah di Pulau Sulawesi dalam bentuk produk olahan kakao, maka wilayah ini akan menikmati nilai tambah dan memberikan multiplier effect bagi perekonomian Pulau Sulawesi.

Tabel 4.13: Persepsi Responden Pedagang Mengenai Masalah dan Kendala yang dihadapi Pedagang Menurut Lokasi Survei

Jenis Biaya Luwu Luwu Uatar

Polewali

Mandar Mamuju Donggala Kolaka Kolaka Utara

Rata- Rata Kualitas kakao 0.83 1.00 1.00 1.00 1.00 0.57 0.80 0.89 Produksi kakao turun/ rendah 1.00 0.83 1.00 0.57 0.80 1.00 0.80 0.86 Modal terbatas 0.33 0.33 1.00 0.29 0.20 0.71 0.40 0.47 Biaya tenaga kerja mahal 0.33 0.33 0.67 0.29 0.30 0.71 0.40 0.43 Banyak pungutan liar 0.17 0.17 0.67 0.86 0.10 0.29 0.20 0.35 Sarana pendukung terbatas 0.50 0.33 0.00 0.86 0.00 0.43 0.20 0.33 Banyak calo 0.00 0.17 0.00 0.86 0.00 0.29 0.40 0.25 Biaya keluar kakao mahal 0.17 0.17 0.17 0.86 0.50 0.00 0.20 0.30 Pembinaan petani oleh

pemerintah 0.33 0.33 0.00 1.00 0.20 0.57 0.40 0.40

Rata-Rata 0.41 0.41 0.50 0.73 0.34 0.51 0.42 0.47

Sumber: Data Primer, diolah

Keterangan: Skala 1 dan 2, dimana 1=bermasalah; dan 2=tidak ada masalah

Dari berbagai masalah yang dihadapi pedagang, kualitas kakao yang rendah dan produksi yang turun/rendah merupakan masalah yang paling dikeluhkan oleh para pedagang. Hampir semua pedagang di lokasi survey dan ibu kota kabupaten sepakat bahwa kualitas kakao dan produksi merupakan masalah yang paling dirasakan terkait dengan usaha perdagangan mereka. Kedua masalah ini telah menurunkan omzet perdagangan mereka dan menurunkan margin keuntungan dan pendapatan yang mereka terima.

175

P3KM UNHAS

nPerdagangan Antar Pulau dan Ekspor

Pajak ekspor untuk biji kakao merupakan salah satu sumber keluhan para eksportir. Pengenaan bea keluar terhadap ekspor biji kakao sebesar 5 persen, yang telah ditetapkan pemerintah sejak tahun 2010, dianggap cukup tinggi oleh para eksportir, terutama oleh perusahaan yang masih mengekspor biji kakao ke pasar internasional. Meski kebijakan ini dinilai baik, terutama untuk mendorong berkembangnya industri pengolahan kakao dalam negeri, namun berpotensi mematikan perusahaan eksportir biji kakao. PT. Armajaro misalnya telah menutup kegiatan pembelian biji kakao di beberapa wilayah di Indonesia yang produksinya relatif kecil, seperti di Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan NED commodities, tidak lagi melakukan ekspor biji kakao karena alasan pajak eskpor, dan memilih untuk menjual biji kakao ke perusahaan asing yang ada cabangnya di Indonesia. Tabel 4.14: Matrik Masalah dan Kendala dalam Pengembangan Komoditas

Kakao Menurut Persepsi Petani, Pedagang, dan Eksportir

No. Aspek Masalah dan Kendala 1 Usaha Tani §Umur tanaman yang sudah tua;

§Serangan hama dan tanaman yang cukup intens;

§Tingkat produktifitas lahan masih rendah;

§Mutu kakao yang dihasilkan masih rendah;

§Di beberapa lokasi, petani masih mengalami hambatan dalam memperoleh saprodi;

§Harga saprodi dirasakan semakin mahal dari waktu ke waktu;

§Kegiatan fermentasi belum berkembang;

§Di beberapa lokasi, keberadaan dan peran kelompok tani masih sangat terbatas;

§Akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan sangat terbatas;

§Rendahya kemampuan petani untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan usaha tani kakao.

§Lambatnya inovasi untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan kakao;

§Usaha tani masih dikelola secara tradisional dengan menggunakan peralatan yang terbatas;

§Fasilitasi pemerintah daerah bagi pengelolaan dan pengembangan usaha tani masih sangat terbatas;

§Infrastruktur jalan yang menghubungkan sentra-sentra produksi kakao dengan pasar masih belum memadai di beberapa wilayah.

No. Aspek Masalah dan Kendala 2 Perdagangan

Domestik

§Pembukaan kantor cabang di sentra-sentra produksi kakao oleh perusahaan besar/eksportir berpotensi mematikan keberadaan pedagang pengumpul skala kecil, meski menguntungkan petani karena rantai nilai menjadi semakin pendek;

§Tingkat harga yang cenderung fluktuatif;

§Meski dalam skala terbatas, masih terdapat kasus dimana harga di tingkat petani sepenuhnya ditentukan oleh pedagang pengumpul.

§Adanya fenomena konversi lahan kakao menjadi lahan kelapa sawit di beberapa wilayah yang berpotensi menurunkan volume produksi; 3 Perdagangan

Eskpor

§Pengenaan pajak ekspor sebesar 5 persen berpotensi mematikan eksportir;

§Persaingan antar eksportir dan industri pengolahan kakao semakin meningkat;

§Mutu biji kakao eskpor masih rendah;

§Adanya fenomena konversi lahan kakao menjadi lahan kelapa sawit di beberapa wilayah yang berpotensi menurunkan volume produksi;

Sumber: Data primer, diolah

Kebijakan pajak ekspor telah merubah mekanisme penentuan harga kakao di tingkat petani. Harga referensi kakao yang semula didasarkan pada patokan harga di pasar internasional secara perlahan-lahan mulai bergeser ke patokan harga di industri pengolahan kakao dalam negeri. Perubahan nilai kurs Rupiah terhadap Dollar misalnya, tidak lagi berpengaruh terhadap perubahan harga di tingkat petani. Cepat atau lambat, industri pengolahan kakao akan menjadi penentu harga, dan diperkirakan pada saat itu, posisi petani menjadi lemah karena eksportir sebagai penyeimbang harga tidak lagi eksis.

Tingkat persaingan antar eksportir dan industri pengolahan kakao semakin meningkat seiring dengan masuknya beberapa perusahaan asing di Pulau Sulawesi. Perusahaan-perusahaan tersebut tengah mengembangkan industri pengolahan kakao dan memproduksi kakao olahan jenis premium, baik untuk tujuan ekspor maupun untuk memasok kebutuhan pasar domestik. Perusahaan terebut antara lain PT. Comextra Mayora/PT. Barry Callebout. Kecenderungan ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang mengenakan pajak ekspor sebesar 5 persen bagi kakao yang diekspor dalam bentuk biji.

Mutu biji kakao yang diekspor masih relatif rendah. Sebagian besar biji kakao yang diekspor masih dalam bentuk biji kering. Padahal pasar internasional masih sangat prospektif untuk biji kakao fermentasi dan berkualitas tinggi. Menurut para eskportir, pasar Amerika maupun Uni Eropa merupakan pasar

177

P3KM UNHAS

potensial yang sangat menjanjikan, baik untuk biji kakao berkualitas tinggi maupun produk-produk berbasis kakao. Ini menjadi tantangan bagi eksportir untuk mendorong para petani agar menghasilkan biji kakao berkualitas.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

nKeberlanjutan produksi secara konsisten dengan produktivitas dan mutu yang tinggi menjadi tantangan utama bagi komoditas kakao di masa depan. Program yang diarahkan untuk merevitalisasi tanaman kakao perlu diupayakan secara berkelanjutan. Program tersebut harus mencakup dimensi yang luas, mulai dari perbaikan usaha tani, penguatan kelembagaan petani, penataan tata niaga, hingga beberapa unsur penting yang terkait dengan keberlangsungan usaha kakao, seperti konservasi tanah, pengendalian hamadan penyakit terpadu, dan diversifikasi usaha tani kakao. Upaya peremajaan kebun tampaknya juga cukup mendesak untuk segera direalisasikan mengingat sebagian besar tanaman kakao telah berumur tua. Pemerintah bersama berbagai

stakeholder kunci perlu terlibat dalam upaya ini dengan menyediakan

berbagai isentif, bantuan, subsidi, dan dana kompensasi kepada petani. nPerlu pengembangan klon bibit unggul yang tidak rentan terhadap hama

dan penyakit tanaman dan buah. Dalam jangka panjang, perlu dikembangkan varietas kakao beserta sistem sertfikasinya, yang bukan hanya memiliki tingkat produktivitas dan mutu yang tinggi, tetapi juga tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Pada saat yang sama, ketersediaan ketersediaan sarana dan prasarana produksi pada tingkat harga yang terjangkau dan mudah diperoleh, juga perlu terus diupayakan.

nPengembangan sistem intensif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas dan mutu kakao. Aspek ini penting mengingat hampir seluruh lahan kakao di Pulau Sulawesi merupakan perkebunan rakyat. Insentif dapat diberikan dalam bentuk penyediaan bibit unggul, bantuan sarana produksi, penjaminan harga, perbaikan infrastruktur pertanian, dan sebagainya.

nMeski tidak mudah, pengembangan kakao fermentasi di tingkat petani atau kelompok tani perlu terus diupayakan. Insentif harga bagi kakao fermentasi perlu diberikan. Mekanisme penentuan harga kakao fermentasi dalam rantai tata-niaga kakao perlu ditata kembali agar pasar dapat memberikan perlakuan harga yang berbeda terhadap biji kakao fermentasi. Pada saat bersamaan – meski masalah ini sudah sangat klasik - petani perlu difasilitasi untuk menghasilkan biji kakao fermentasi.

nUntuk meningkatkan posisi tawar petani kakao, perlu dilakukan penataan rantai nilai usaha kakao, terutama pola relasi antara petani dengan pedagang pengumpul. Keterikatan dan ketergantungan petani kepada pedagang pengumpul perlu segera diputus untuk memastikan petani dapat memperoleh tingkat harga yang lebih sesuai dengan harga pasar. Pengembangan kredit-mikro yang lebih inovatif, yang dapat menjangkau petani dengan prosedur administrasi yang lebih sederhana dan jauh dari praktek perbankan konvensional, perlu segera diupayakan. Relasi antara kelompok tani dengan lembaga keuangan mikro juga perlu dibangun untuk menjamin akses petani terhadap sumber perkreditan. Dalam kaitan ini, tampaknya diperlukan pendampingan teknis untuk penguatan kelompok tani.

nPerlu menfasilitasi penguatan kelembagaan kelompok tani. Fakta lapangan menunjukkan bahwa kelompok tani yang kuat dapat membantu petani untuk meningkatkan produktivitas, memperbaiki mutu kakao, memperbaiki posisi tawar mereka dan meningkatkan aksesibilitas mereka terhadap pasar.

nKeterlibatan berbagai stakeholder dalam pengembangan kakao pelu lebih diintensifkan. Keterlibatan tersebut perlu lebih diarahkan pada peningkatan produktivitas, pengawasan mutu dan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada skala yang lebih luas. Ini sangat dimungkinkan mengingat jumlah dan variasi stakeholder yang terlibat dalam rantai nilai kakao sangat banyak, mulai dari petani, penyedia saprodi, pedagang, eksportir, industri pengolahan kakao, asosiasi kakao, pemerintah, perguruan tinggi, hingga LSM.

179

P3KM UNHAS

Dalam dokumen Policy Paper Buku BPN UH FINAL (Halaman 190-199)