• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potret Sosial – Ekonomi KTI dan Tantangan yang Menyertainya

Dalam dokumen Policy Paper Buku BPN UH FINAL (Halaman 36-45)

KINERJA DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN KAWASAN TIMUR INDONESIA (KTI)

2. Potret Sosial – Ekonomi KTI dan Tantangan yang Menyertainya

Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa sedikitnya dalam satu dekade terakhir pembangunan KTI telah mencatat berbagai kemajuan. Perekonomian KTI bertumbuh rata-rata 5,82 persen per tahun. Angka ini berada di atas Nasional yang hanya bertumbuh rata-rata 5,50 persen per tahun pada periode yang sama. Namun selisih margin pertumbuhan ini tidak signifikan untuk menyempitkan kesenjangan antara KTI dengan KBI. Pertumbuhan ekonomi KTI terutama digerakkan oleh Pulau Sulawesi yang mengalami pertumbuhan ekonomi paling impresif, yaitu rata-rata 7,17 persen per tahun, yang menempatkannnya sebagai kawasan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi dan merupakan wilayah paling dinamis di Indonesia. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Pulau Sulawesi yang tinggi tampaknya berangkat dari tingkat PDRB yang rendah, atau dengan kata lain, Pulau Sulawesi tumbuh dari basis yang rendah. Ini setidaknya ditunjukkan oleh kecilnya kontribusi Pulau Sulawesi terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional yang hanya 4,98 persen (2012), jauh berada di bawah Pulau Jawa (62,67%), Pulau Sumatera (20,95%), dan Pulau Kalimantan (8,35%).

Gambar 2.1: Pertumbuhan ekonomi menurut pulau besar di Indonesia, 2003-2012

Sumber: BPS, Statistik Indonesia, berbagai seri, diolah.

17

P3KM UNHAS

Gambar 2.2: Kontribusi pulau besar terhadap pembentukan PDB Nasional, 2012

Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia, Agustus 2013. Secara keseluruhan, kontribusi KTI terhadap pembentukan PDB Nasional hanya sebesar 8,03 persen (2012). Jika data 2001 dijadikan sebagai referensi awal, maka tampak bahwa kontribusi KTI cenderung meningkat, dimana pada 2001 hanya sebesar 7,80 persen. Namun peningkatan ini tidak dignifikan untuk memburu ketertinggalan KTI. Peningkatan ini juga tidak dikontribusi secara merata oleh seluruh wilayah di KTI. Peningkatan ini semata-mata dikotribusi oleh Pulau Sulawesi yang perannya bergerak naik dari 4,25 persen (2001) menjadi 4,98 persen (2012). Sebaliknya, peran Pulau Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua tehadap pembentukan PDB Nasional justru semakin melemah. Hal serupa juga terjadi pada Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sebaliknya, peran Pulau Jawa (termasuk Bali) terus membesar dan pada tahun 2012 telah mencapai 62,67 persen. Peningkatan peran Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi telah menekan peran pulau-pulau lainnya dalam pembentukan PDB Nasional. Kecenderungan ini akan menggeser sedikit isu kesenjangan antara KTI - KBI (setidaknya karena kesenjangan antara Sulawesi dengan Sumatera dan Kalimantan semakin membaik), akan tetapi semakin memperkuat isu kesenjangan antara Jawa dengan Luar-Jawa. Kesenjangan antara sesama wilayah di KTI (terutama antara Sulawesi dengan Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua), juga akan menjadi pola kesenjangan baru di masa depan, jika kecenderungan ini terus berlangsung.

Gambar 2.3: Perbandingan komposisi sektoral antar pulau besar di Indonesia, 2012

Sumber: P3KM-UNHAS dan Bank Dunia Jakarta, Laporan Public Expenditure Analysis (PEA) Provinsi Sulawesi Selatan, 2014.

Gambar 2.4: Tingkat kemiskinan di KTI, 2005-2012

Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia, berbagai seri.

19

P3KM UNHAS

Secara sektoral,posisi relatif KTI cukup menonjol pada sektor pertambangan dan penggalian serta sektor pertanian. Pada tahun 2012, dari seluruh nilai tambah yang tercipta di sektor pertambangan dan penggalian secara Nasional, KTI menyumbang sekitar 21,65 persen. Untuk sektor pertanian, KTI menyumbang 14,29 persen. Namun, seperti bisa diduga, kontribusi KTI untuk sektor sekunder dan tertier sangat kecil. Untuk industri pengolahan misalnya, KTI hanya menyumbang 3,66 persen yang merupakan angka terendah dari seluruh sektor ekonomi. Sedangkan untuk sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, sumbangan KTI terhadap Nasional hanya sebesar 4,57 persen. Fakta ini, sekali lagi menegaskan bahwa perekonomian KTI masih bertumpu pada sektor primer (mengandalkan pada potensi sumberdaya alam) dengan ciri utama pembentukan nilai tambah yang rendah, multiplier effect yang kecil dan spillover yang terbatas. Pembentukan nilai tambah di sektor pertambangan sesungguhnya juga tidak dinikmati oleh wilayah KTI karena sumberdaya tambang potensial dieksploitasi oleh perusahaan multi-nasional. Perubahan struktur atau transformasi ekonomi di KTI berjalan lamban dan tidak mengalami perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Gambar 2. 5: Jumlah penduduk miskin menurut provinsi di KTI, 2012

Gambar 2. 6: Tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurut provinsi di KTI, 2003-2012

Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia, berbagai seri. Pertumbuhan ekonomi KTI tampaknya telah memberi dampak positif terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Dalam 10 tahun terakhir, tingkat kemiskinan di KTI menurun secara sistematis, meski secara umum, angkanya masih relatif tinggi. Sembilan dari 12 provinsi di KTI, menunjukkan tingkat kemiskinan di atas angka rata-rata Nasional. Provinsi Papua dan Papua Barat menunjukkan tingkat kemiskinan tertinggi, baik di KTI maupun Nasional. Setiap tiga orang penduduk di Papua/Papua Barat, satu diantaranya terkategori miskin. Secara absolut, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Papua dan Nusa Tenggara Barat merupakan wilayah konsentrasi penduduk miskin di KTI. Pada tahun 2012, lebih dari setengah (51%) dari seluruh penduduk miskin di KTI, bermukim di ketiga wilayah tersebut. Ketiga wilayah tersebut juga menunjukkan penurunan angka kemiskinan yang relatif lamban, setidaknya jika dibandingkan dengan Pulau Sulawesi. Provinsi Nusa Tenggara Timur misalnya, hanya mengalami penurunan jumlah penduduk miskin rata- rata 2,78 persen per tahun dalam lima tahun terakhir, padahal seluruh provinsi di Pulau Sulawesi, kecuali Sulawesi Barat, mengalami penurunan rata-rata di atas 5 persen per tahun pada periode yang sama. Keseluruhan fakta ini menegaskan bahwa KTI masih membutuhkan dukungan kebijakan untuk menekan angka kemiskinan ke level yang lebih rendah dan mempercepat penurunan angka kemiskinan di wilayah-wilayah yang menjadi konsentrasi penduduk miskin.

Seperti halnya tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di KTI juga menunjukkan penurunan secara konsisten dalam 10 tahun terakhir. Jika

21

P3KM UNHAS

dibandingkan dengan angka Nasional, TPT di KTI secara umum relatif lebih rendah. Dari 12 provinsi di KTI, hanya Sulawesi Utara dan Maluku yang menunjukkan TPT di atas angka Nasional. Jika dihubungkan dengan angka kemiskinan, fakta ini tampak menarik, sebab daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi justru menunjukkan TPT yang rendah. Sedikitnya ada dua penjelasan yang dapat diajukan atas fakta ini: (1) penduduk yang bekerja memiliki tingkat produktivitas yang rendah, sehingga pendapatan yang mereka peroleh - ketika dirata-ratakan dengan jumlah anggota keluarga - berada di bawah garis kemiskinan; (2) definisi bekerja yang digunakan oleh BPS, yaitu melakukan pekerjaan yang lamanya paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu, sepertinya terlalu sederhana untuk mengidentifikasi pengangguran.

Gambar 2.7: Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut provinsi di KTI, 2002-2011

Tabel 2.1: Komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut provinsi di KTI, 2012

No. Provinsi Angka Harapan Hidup (SP 2010) Angka Melek Huruf Rata-rata Lama Sekolah Pengeluaran Per Kapita Riil 1 Nusa Tenggara Barat 64.3 83.68 7.2 484,661

2 Nusa Tenggara Timur 65.5 88.73 7.1 397,111 3 Sulawesi Utara 70.6 98.85 9.0 686,099 4 Gorontalo 66.5 95.22 7.3 542,220 5 Sulawesi Tengah 66.6 94.95 8.1 584,341 6 Sulawesi Selatan 69.2 88.73 7.9 553,324 7 Sulawesi Barat 62.8 88.79 7.3 416,912 8 Sulawesi Tenggara 70.0 91.49 8.3 531,498 9 Maluku 64.5 97.08 9.1 597,163 10 Maluku Utara 66.9 96.43 8.5 562,421 11 Papua 64.3 65.69 6.1 602,751 12 Papua Barat 64.7 94.74 9.2 700,639 Indonesia 70.7 93.25 8.1 633,269

Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia, Agustus 2013 Penjelasan mengenai rendahnya tingkat produktivitas penduduk yang bekerja di KTI tampaknya terkonfirmasi oleh data kualitas sumberdaya manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di KTI sangat rendah, meskipun menunjukkan tren positif dalam satu dekade terakhir. 11 dari 12 provinsi di KTI memperlihatkan angka IPM yang berada di bawah Nasional. Bahkan dari 10 provinsi dengan IPM terendah di Indonesia, sembilan diantaranya berada di KTI. Peningkatan angka IPM di sejumlah provinsi tersebut juga bergerak lebih lambat dibandingkan dengan rata-rata Nasional. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia masih menjadi tantangan utama pembangunan KTI di masa yang akan datang.

Jika ditelusuri berdasarkan komponen pembentuk IPM, maka hampir semua indikator menunjukkan capaian yang relatif rendah. Pada tahun 2012, setengah dari seluruh provinsi di KTI menunjukkan angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah (RLS) di bawah rata-rata Nasional. Provinsi Papua bahkan menunjukkan angka yang jauh berada di bawah rata-rata KTI dan

23

P3KM UNHAS

Nasional. Untuk indikator pengeluaran per kapita riil, 10 dari 12 provinsi di KTI menunjukkan angka di bawah rata-rata Nasional. Derajat kesehatan, yang diukur dengan indikator angka harapan hidup (AHH), juga memperlihatkan gambaran serupa, dimana 11 dari 12 provinsi di KTI, menunjukkan AHH di bawah rata-rata Nasional. Mengamati berbagai indikator ini, perbaikan derajat kesehatan dan peningkatan aktivitas ekonomi harus menjadi fokus kebijakan di masa depan, terutama untuk mengatasi kesenjangan kualitas manusia antara KTI dengan KBI.

Gambar 2.8: Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses terhadap Listrik Menurut Provinsi di KTI, 2012.

Sumber: BPS, Statistik Indonesia, 2013

Meskipun terkesan seperti masalah klasik, namun infrastruktur dasar masih menjadi masalah utama pembangunan KTI. Untuk infrastruktur listrik misalnya, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan listrik (PLN dan Non-PLN) di KTI masih relatif rendah. Dari 12 provinsi di KTI, 11 diantaranya memperlihatkan angka di bawah rata-rata Nasional. Provinsi Papua Barat menunjukkan angka paling rendah, baik di KTI maupun Nasional. Di daerah ini, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan listrik hanya sebesar 41,86 persen. Artinya, setiap 10 rumah tangga di Papua Barat hanya 4 rumah tangga yang memiliki akses terhadap listrik. Gambaran ini sangat kontras dengan Pulau Sumatera (rata-rata 95,2%), Jawa (99,5%) dan Bali (99,2%).

Tabel 2.2: Persentase rumah tangga dengan sumber air minum bersih yang layak menurut provinsi di KTI, 2008-2012

No Provinsi 2008 2009 2010 2011 2012 1 Nusa Tenggara Barat 42.81 44.96 46.20 43.15 43.79 2 Nusa Tenggara Timur 46.53 45.45 49.29 50.11 50.34 3 Sulawesi Utara 45.21 44.49 44.51 38.20 39.41 4 Gorontalo 36.93 44.85 40.09 40.45 37.78 5 Sulawesi Tengah 40.57 44.36 35.10 40.72 41.99 6 Sulawesi Selatan 47.49 50.13 45.12 42.31 44.37 7 Sulawesi Barat 42.21 42.92 37.44 30.24 33.63 8 Sulawesi Tenggara 55.88 59.12 50.74 53.69 50.52 9 Maluku 47.54 55.50 56.95 50.47 48.30 10 Maluku Utara 44.15 43.75 54.18 46.18 47.16 11 Papua 33.20 35.44 32.42 26.28 25.24 12 Papua Barat 38.80 48.08 45.34 40.39 36.53 Indonesia 46.45 47.71 44.19 42.76 41.11

Sumber: BPS, Statistik Indonesia, 2013

Dibandingkan dengan layanan listrik, akses penduduk terhadap air minum bersih yang layak relatif lebih baik, setidaknya jika dibandingkan dengan rata-rata Nasional. Pada tahun 2012, secara Nasional, proporsi rumah tangga dengan sumber air minum bersih yang layak sebesar 41,11 persen. Angka ini berada di bawah capaian sejumlah provinsi di KTI (Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengara, Maluku dan Maluku Utara). Provinsi Papua mencatat angka paling rendah, dimana hanya seperempat dari seluruh rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum bersih yang layak. Tiga provinsi hasil pemekaran, yaitu Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Papua Barat juga menunjukkan capaian di bawah rata-rata Nasional. Rendahnya akses penduduk terhadap air minum bersih yang layak, tampaknya bukan hanya masalah di KTI tetapi juga menjadi masalah Nasional.

25

P3KM UNHAS

Dalam dokumen Policy Paper Buku BPN UH FINAL (Halaman 36-45)