• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanian KTI dalam Geopolitik Indonesia

Dalam dokumen Policy Paper Buku BPN UH FINAL (Halaman 157-161)

Tantangan Pertanian Indonesia Timur

2. Pertanian KTI dalam Geopolitik Indonesia

Kawasan Timur Indonesia (KTI) dalam tulisan ini mencakup empat pulau besar Indonesia yakni Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Di dalamnya terdapat 12 provinsi yakni Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat. Pernah ada masanya kawasan ini tersuarakan besar kepentingannya pada level nasional, maka dibentuk sebuah kementerian khusus pembangunan KTI. Setelah itu wacana KTI menghilang dan yang muncul adalah wacana daerah tertinggal, dan karena daerah yang tertinggal bukan hanya ada di KTI, maka perhatian khusus atas ketertinggalan KTI dinetralisir oleh wacana daerah tertinggal tadi. (Catatan: Maka belum percayakah tuan pada kekuatan wacana, bahwa wacana bisa mengubah realitas?). Pertanyaannya: betulkah KTI tidak tertinggal oleh Indonesia? Atau, siapa tahu Indonesia yang tertinggal oleh KTI?

Setelah desentralisasi dan otonomi daerah menjadi pilihan dalam pengelolaan Indonesia, dilihat dari kontribusi wilayah atas perekonomian nasional, maka nyata bahwa KTI memang tertinggal oleh Indonesia. Pada 2004 total kontribusi PDRB Nasional pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua hanya 7,54% dari 100% PDRB Nasional Indonesia. Pada 2012, kontribusi itu tidak berubah nyata, hanya meningkat menjadi 8,03% (Tabel 1). Artinya, kalau tipe ideal yang dituju adalah “besarnya kontribusi dalam perekonomian” (yang berkorelasi dengan kesejahteraan), maka KTI tertinggal oleh Indonesia. Tentu saja penyebabnya adalah karena manusia yang menghuni kawasan ini lebih sedikit jumlahnya dibanding yang menghuni Indonesia lainnya, sehingga kontribusinya atas PDRB Nasional juga rendah. Tetapi mengapakah manusia dari Indonesia lainnya tidak mau menghuni kawasan ini? Jawabannya adalah karena kawasan ini tertinggal! Kalau tipe ideal kita adalah “tidak apa-apa kontribusi dalam PDRB Nasional rendah yang penting warga KTI bahagia-bahagia saja”, maka itu berarti justeru Indonesia yang tertinggal oleh KTI. Mengapa, karena bukankah maju dan tertinggal adalah soal persepsi semata dari manusia? Persepsi

melahirkan pengetahuan, pengetahuan melahirkan wacana, wacana melahirkan tindakan, dan tindakan melahirkan realitas. Maka, who lag

behind what? Inilah pertanyaan geopolitik KTI untuk Indonesia. Inilah pula

pertanyaan geopolitik Indonesia untuk KTI.

Wilayah Kontribusi PDRB Nasional (%)

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumatera 22,15 21,87 21,88 21,60 21,44 21,18 21,07 21,04 20,96 Jawa 59,77 59.91 60,25 60,74 60,90 60,92 61,04 61,22 61,36 Bali 1,25 1,25 1,25 1,29 1,30 1,30 1,30 1,30 1,31 Kalimantan 9,30 9,16 9,04 8,78 9,75 8,64 8,58 8,46 8,35 Sulawesi 4,35 4,38 4,45 4,49 4,60 4,70 4,79 4,87 4,98 Nusa Tenggara 1,53 1,48 1,46 1,44 1,41 1,47 1,47 1,38 1,32 Maluku 0,33 0,33 0,33 0,32 0,32 0,32 0,33 0,33 0,33 Papua 1,33 1,63 1,35 1,33 1,27 1,45 1,43 1,40 1,40 Total KTI 7,54 7,83 7,59 7,58 7,60 7,94 8,06 7,98 8,03

Tabel 4.1: Kontribusi Wilayah KTI dalam PDRB Nasional, 2012.

Sumber: Kompas, 27 Maret 2014 (Diolah dari BPS)

Premis mayor: Indonesia adalah bangsa agraris. Premis minor: KTI adalah bagian dari bangsa Indonesia. Konklusi: KTI adalah bangsa agraris. Ini adalah praktek pelajaran logika dari Madilog (Tan Malaka, 2010), bahwa berdasarkan silogisme KTI adalah perekonomian pertanian, KTI adalah bangsa agraris. Tabel-2 menunjukkan bahwa porsi kontribusi pertanian dalam struktur PDRB 12 provinsi di KTI adalah di atas rata-rata porsi kontribusi pertanian pada PDRB Indonesia. Ini adalah pelajaran data dan angka-angka dalam bentuk persentase. Artinya, baik berdasarkan logika silogisme maupun berdasarkan data-angka-statistika, ekonomi KTI lebih ekonomi pertanian dari ekonomi Indonesia, dan itu juga berarti bahwa bangsa KTI lebih bangsa agraris dari bangsa Indonesia. Kalau ada yang tidak percaya dengan kebenaran koherensi dan korespondensi ini maka kubur saja logika dan statistika.

Tafsir apa yang bisa diberikan kepada kebenaran ini? Pertama, KTI menyadari betul bahwa struktur mereka adalah pertanian, tetapi dengan sadar pula memilih skenario menghindari pembangunan pertanian, karena dengan

139

P3KM UNHAS

pembangunan pertanian mereka tidak bisa mengejar ketertinggalan dari rata-rata Indonesia yang sudah industri dan jasa. Ini sama dengan pilihan Indonesia ketika merasa modernisasi pertaniannya sudah cukup setelah berswasembada beras (1984), lalu berbelok ke “jalan yang benar” yakni bangun industri dan jasa serta tinggalkan pertanian, karena citra pertanian akan mengidentikkannya dengan ketertinggalan. Bila skenario ini berlanjut, bisa saja Indonesia lain akan tersadar dan membangun kembali pertaniannya, sehingga pada 2045 mereka tidak hanya maju pada industri dan jasa tetapi juga kuat dalam pertanian. Maka saat itu akan tersaksikan KTI tidak hanya tidak memiliki industri dan jasa tetapi juga sudah terlemahkan pertaniannya. Skenario ini berasumsi bahwa KTI memutuskan sendiri pilihan kebijakannya, dan skenario pertama ini adalah buah dari kebijakan itu. Sama dengan kondisi pertanian Indonesia saat ini yang merupakan dampak dari pilihan “kebijakan meninggalkan pertanian” pasca swasembada beras (1984-1997) dan kebijakan “semakin meninggalkan pertanian” pasca reformasi (1998-2014).

Tabel 4.2: Kontribusi pertanian dalam struktur PDRB KTI, 2012

Provinsi Kontribusi Sektoral atas PDRB

Kontribusi Pertanian (%) Papua 23,94 Papua Barat 12,16 Maluku Utara 34,35 Maluku - Sulawesi Barat 47,43 Gorontalo 30,34 Sulawesi Tenggara 30,12 Sulawesi Selatan 24,79 Sulawesi Tengah - Sulawesi Utara 20,39

Nusa Tenggara Timur 35,98

Nusa Tenggara Barat 30,74

Rata-Rata Indonesia Timur

Rata-Rata Indonesia 14,40

Kedua, KTI menjadi bagian dari skenario umum kebijakan Indonesia. Bahwa karena Indonesia secara rata-rata sudah maju, perekonomiannya sudah industri dan jasa, maka tidak usah lagi bangun pertanian, biarkan pertanian menjadi urusan pilihan saja. Lebih baik perbaiki pelayanan publik, lebih baik gratiskan pendidikan dan kesehatan, lebih baik bangun kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, lebih baik biayai pesta demokrasi. Artinya, tidak ada ruang bagi KTI untuk berbeda dari arah kebijakan makro Indonesia yang sudah mulai bergeser dari “pembangunan ekonomi” ke “pelayanan publik”. Apalagi bila melihat bahwa pertanian KTI tidak terlalu relevan dengan pertanian arus utama Indonesia. Pertanian arus utama Indonesia adalah pangan, dan pangan pokok Indonesia adalah beras; sementara pertanian KTI tidaklah dominan pangan, dan pangan KTI tidaklah dominan beras. Bukankah pangan Papua lebih berbasis sagu dan ubi-ubian, bukankah pertanian Maluku dan Sulawesi lebih berbasis rempah-rempah dan kakao? Seperti itulah posisi pertanian KTI dalam geopolitik Indonesia. Secara internal, 12 provinsi di KTI struktur perekonomiannya masih dominan pertanian, tenaga kerjanya masih dominan petani. Tetapi secara eksternal, dalam arti KTI dibanding total Indonesia, kinerja pertanian KTI tidaklah signifikan terhadap total Indonesia. Padi yang menjadi arus utama pertanian Indonesia tidaklah signifikan dikontribusi oleh provinsi KTI, kecuali Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada 2012, luas panen total Indonesia sebesar 13.445.524,00 hektar, sementara luas panen KTI hanya 2.305.629,00 atau 17,14%. Produktivitas padi sawah rata-rata Indonesia pada 2012 sebesar 51,36 Kw/hektar, sementara produktivitas rata-rata KTI hanya 43,47 Kw/hektar atau 84,63% dari produktivitas nasional. Total produksi padi Indonesia pada 2012 sebesar 69.056.126,00 ribu kwintal, sementara produksi KTI hanya 15,88% dari angka tersebut (Tabel 3).

141

P3KM UNHAS

Tabel 4.3: Luas panen, produktivitas dan produksi padi KTI, 2012. Provinsi Luas Panen (Ha) Produktivitas (Kw/Ha) Produksi (Kw)

Papua 37.149,00 37,16 138.032,00 Papua Barat 7.750,00 39,03 30.245,00 Maluku Utara 17.794,00 36,91 85.686,00 Maluku 20.489,00 41,13 84.271,00 Sulawesi Barat 83.796,00 49,21 412.338,00 Gorontalo 51.193,00 48,01 245.786,00 Sulawesi Tenggara 124.511,00 41,47 516.291,00 Sulawesi Selatan 981.394,00 50,98 5.003.011,00 Sulawesi Tengah 229.080,00 44,71 1.024.316,00 Sulawesi Utara 126.931,60 48,46 615.062,00 Nusa Tenggara Timur 200.094,00 34,91 698.566,00 Nusa Tenggara Barat 425.448,00 49,69 2.114.231,00 Total KTI 2.305.629,00 (17,14%) 43,47 (84,63%) 10.967.835,00 (15,88%) Indonesia 13.445.524,00 51,36 69.056.126,00

Sumber: BPS, 2013.

Tulisan ini sampai kepada kesimpulan bahwa tantangan utama pertanian KTI adalah bagaimana melawan logika umum dan wacana dominan yang berlaku sekarang, yang berkecenderungan untuk meninggalkan pembangunan pertanian, dan lebih suka membangun “yang lain”. Pengambil kebijakan pada pemerintah KTI perlu berpikir jangka panjang dengan horizon 2045, tentang defisit pangan yang mengancam dalam perjalanan wilayah ini dan Indonesia kedepan, dan skenario ketergantungan pangan kepada negara maju yang akan menjerat. Pengambil kebijakan KTI perlu keluar dari cara pikir yang menempatkan pertanian sebagai urusan inferior berhubung pembagian urusan dalam pemerintahan daerah memang hanya menempatkan pertanian sebagai urusan pilihan. Pada daerah yang potensi pertaniannya dalam arti luas potensil, kelembagaan pemerintah daerah pada urusan terkait pertanian tersebut perlu diperkuat, jumlah dan kompetensi SDM aparatur yang terkait dengannya perlu diperkuat pula.

3. Petani dan Pertanian sebagai Orientasi, Bukan Pemodal dan Agribisnis

Dalam dokumen Policy Paper Buku BPN UH FINAL (Halaman 157-161)