Dewi اﻮﯾدارﺪﻨ 6 CandraDewi
هﺪﻨﮭﯾا 2 ayahandah هﺪﻨﮭﯾا 9 ayahandah ayahan dah
A. Identifikasi Tokoh Laki-Laki 1.Syeikh Bi`l-Maʻruf
Syeikh Bi`l-Maʻruf adalah suami Darma Taʻsiya dan ayah Candra Dewi. Di dalam teks dikisahkan bahwa Syeikh Bi`l-Maʻruf begitu taat kepada Allah. Dia mengisi waktunya dengan terus beribadah. Setiap pagi Syeikh Bi`l-Maʻruf pergi ke khalwat dan pulang ketika sore hari. Hal ini terangkum dalam kutipan.
Bermula suaminya bernama Syeikh Bi`l-Maʻruf terlalu baik rupanya lagi pertapa kepada Allah Taala dan mukmin dan lagi suci hatinya pada segala hamba Allah. (HDT:1)
Adapun Syeikh Bi`l-Maʻruf itu pagi-pagi hari masuk ke dalam khalwatnya tempat ia berbuat ibadah setelah sudah magrib, maka ia pulang ke rumahnya. (HDT:2)
Sebagai seorang suami dan ayah, Syeikh Bi`l-Maʻruf merupakan laki-laki yang menyayangi keluarga. Syeikh Bi`l-Maʻruf sangat menyayangi Darma Taʻsiya dengan segala kebaktiannya. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut.
Setelah itu, maka Syeikh Bi`l-Maʻruf pun masuklah ke dalam khalwatnya dengan sukacitanya dari sebab menengar kata-kata isterinya. (HDT:2)
Maka katanya, “Apakah dosa diri? Karena diri mengikut Fathimah
Az-Zahra Radliya `l-Lāhu ʻanha”. (HDT:6)
Sri Suhandjati Sukri (Sukri, 2009:383-384) berpendapat bahwa suami adalah teman bagi istrinya. suami dan istri mempunyai kedudukan yang seimbang dan setara di hadapan Allah. Agar tercipta keharmonisan dalam rumah tangga, maka suami dan istri perlu memperlakukan pasangan dengan hormat, baik, dan pantas. Keharmonisan rumah tangga Syeikh Bi`l-Maʻruf dengan Darma Taʻsiya mengalami cobaan, seperti dalam kutipan berikut.
pada hati tuan Syeikh itu (HDT:6)
Maka suatu malam Syeikh Bi`l-Maʻruf itu makan nasi. Maka pada masa itu Darma Taʻsiya ada hadir mengadap suaminya makan itu dan anaknya diribanya, maka sumbu pelita pun hendak padam. Maka Darma Taʻsiya pun pikirlah dalam hatinya, “Apa diriku akan meninggalkan suamiku tengah makan lagi pun anakku ini akan menangis. Karena terlalulah besar dosanya orang meninggalkan suaminya itu makan kepada Allah Taala dan derhaka kepada
Rasulullah”.
Hatta maka Darma Taʻsiya pun mengambil pisau seraya ia mengerat rambutnya itu tujuh helai, dibuatnya sumbu pelita. (HDT:7).
Di dalam teks HDT pada episode 8, dikisahkan mengenai Darma Taʻsiya yang sedang melayani Syeikh Bi`l-Maʻruf. Syeikh Bi`l-Maʻruf sedang makan, sedangkan Darma Taʻsiya menemaninya sambil meriba Candra Dewi ketika pelita hampir padam. Darma Taʻsiya mengalami dilema karena takut mendapatkan dosa apabila meninggalkan Syeikh Bi`l-Maʻruf yang masih makan, dan Candra dewi pun akan menangis apabila ditinggalkan. Pada akhirnya Darma Taʻsiya memutuskan untuk mengerat tujuh helai rambut untuk dijadikan sumbu pelita. Syeikh Bi`l-Maʻruf melihat kejadian tersebut dan memarahi Darma Taʻsiya karena tidak meminta izin terlebih dahulu ketika memutuskan untuk mengerat rambut. Hal ini menyebabkan Syeikh Bi`l-Maʻruf mengusir Darma Taʻsiya. Kemarahan Syeikh Bi`l-Maʻruf dapat dilihat pada kutipan berikut.
Setelah Syeikh itu menengar kata Darma Taʻsiya itu, maka terlalu sangat marahnya seperti api bernyala rupanya. Maka Tuan Syeikh itu pun pergilah mengambil rotan lalu dipukulnya Darma Taʻsiya itu. Maka pengsanlah ia tiada khabarkan dirinya. (HDT:11)
Maka apabila didengar oleh Syeikh itu makinlah bertambah-tambah marahnya. Maka dihambatnya bergelang tiang rumahnya. Maka Darma Taʻsiya pun menangislah dan air matanya turun umpama hujan. Maka dipalunya juga. Maka larilah Darma Taʻsiya membawa dirinya daripada suatu tiang datang kepada suatu tiang, itu pun dipalunya juga. (HDT:12)
semakin marah ketika Darma Taʻsiya memohon ampunan. Syeikh Bi`l-Maʻruf tidak dapat menahan amarahnya sehingga memukul Darma Taʻsiya (menggunakan rotan) hingga pingsan.
Hal ini bertentangan dengan makna nama Syeikh Bi`l-Maʻruf. Berdasarkan arti kata secara leksikal Syeikh berarti sebutan untuk alim ulama (Kamus Dewan, 1994:1334). Berdasarkan arti kata secara etimologi Bi`l-Maʻruf berasal dari kata
َف َﺮَﻋ (ʻarafa) yang berarti mengenal atau mengetahui, menjadi ( ُف ْوُﺮ ْﻌَﻤْﻟَا) al-maʻrūfu yang berarti yang diketahui, menjadi ف ْوُﺮ ْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ (bi`l-Maʻruf) yang berarti
dengan secara baik atau ramah (Munawwir, 1984:919—921). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa makna nama Syeikh Bi`l-Maʻruf adalah seorang alim ulama yang baik.
Sikap Syeikh Bi`l-Maʻruf yang tidak dapat menahan amarah dan melakukan kekerasan terhadap Darma Taʻsiya tidak mencerminkan seorang suami yang baik. Abu Malik Kamal dalam Fiqhus Sunnah lin-Nisāʻ Fiqih Sunnah Wanita (Kamal, 2007:154) menyebutkan bahwa sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang suami di antaranya adalah beragama dengan baik, hafal beberapa bagian dari Alquran, memiliki kemampuan, bersikap lemah-lembut, menyenangkan untuk dilihat, setara dengan istri, dan tidak mandul. Sebagai ulama yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah, seharusnya Syeikh Bi`l-Maʻruf dapat mengendalikan amarahnya. Dalam Alquran, Allah telah berfirman bahwa suami merupakan pelindung bagi istrinya. Namun, tindakan Syeikh Bi`l-Maʻruf bertentangan dengan firman Allah berikut.
َٓﺴﱢﻨﻟا ﻰَﻠَﻋ َن ْﻮُﻣاﱠﻮَﻗ ُلﺎَﺟﱢرَا
ُﷲ ﻞﱠﻀَﻓﺎَﻤِﺑ ِءﺎ
ٰﻠَﻋ ْﻢُﮭَﻀْﻌَﺑ
ٓﺎَﻤِﺑﱠو ٍﺾْﻌَﺑ ﻰ
ْﻦِﻣ ْﻮُﻘَﻔْﻧَا
ّٰﺼﻟﺎَﻓ ْﻢِﮭِﻟاَﻮْﻣَا
ٰﺤِﻠ
ٰﻗ ُﺖ
ٰﺘِﻨ
ٰﺣ ٌﺖ
ٰﻈِﻔ
ﱢﻟ ٌﺖ
ّٰﻟاَو ُﷲ َﻆِﻔَﺣ ﺎَﻤِﺑ ِﺐْﯿَﻐْﻠ
ﱠﻦُھَزْﻮُﺸُﻧ َن ْﻮُﻓﺎَﺨَﺗ ْﻲِﺘ
َﺗ َﻼَﻓ ْﻢُﻜَﻨْﻌَطَا ْنِﺎَﻓ ﱠﻦُھْﻮُﺑِﺮْﺿاَو ِﻊِﺟﺎَﻀَﻤْﻟا ﻰِﻓ ﱠﻦُھْوُﺮُﺠْھاَو ﱠﻦُھْﻮُﻈِﻌَﻓ
ﱠﻦِﮭْﯿَﻠَﻋ اْﻮُﻐْﺒ
ﺎًّﯿِﻠَﻋ َنﺎَﻛ َﷲ ﱠنِا ًﻼْﯿِﺒَﺳ
اًﺮْﯿِﺒَﻛ
٣٤
Ar-rijālu qawwāmūna ʻala`n-nisā`i bimā fadl-dlala`l-Lāhu
baʻdlahum ʻalā baʻdliw wa bimā anfaqū min amwālihim,
Fa`sh-shālihāti qānitātun hāfizhātu`l-lilghaibi bimā hāfizha`l-Lāhu,
wa`l-lātī takhāfūna nusyūzahunna faʻizhūhunna wahjurūhunna
fi`l-madlājiʻi wadlribūhunna, fa in athaʻnakum falā tabghū ʻalaihinna sabīlan, inna`l-Lāha kāna ʻaliyyan kabīrā (34)
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan
nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah
mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar. (QS. An-Nisa [4]: 34)
Pada saat Darma Taʻsiya pulang ke rumah dan menyamar sebagai suruhannya, Syeikh Bi`l-Maʻruf tidak mengenalinya. Syeikh Bi`l-Maʻruf begitu tergila-gila kepada Darma Taʻsiya yang sedang menyamar, seperti pada kutipan berikut.
Tuan Syeikh pun berlinang-linang air matanya menengarkan pesan Darma Taʻsiya itu, serta menyesallah rasa hatinya. Akan tetapi, matanya tiada lepas daripada memandang Darma Taʻsiya juga. (HDT:25)
Maka tuan Syeikh pun pergilah ke dapur, meniup api itu sekali memandang muka Darma Taʻsiya hingga tujuh kali. Maka api itu pun padam pula. (HDT:27-28)
Demikianlah juga lakunya, sekali mengapak kayu itu hingga enam tujuh kali memandang-mandang muka Darma Taʻsiya seperti orang gila lakunya. (HDT:28)
Taʻsiya. Dikisahkan pada episode 22—25 bahwa Darma Taʻsiya berterus terang dan menceritakan perjalanan hidupnya selama meninggalkan rumah. Syeikh Bi`l-Maʻruf bersyukur karena istrinya merupakan perempuan yang berbakti kepada suami sehingga mendapatkan rida-Nya. Darma Taʻsiya kembali kepada Syeikh Bi`l-Maʻruf dan hidup sejahtera, seperti dalam kutipan berikut.
Syahdan adindahlah yang beroleh rahmat Allah dan syukurlah kita beribu-ribu syukur akan Allah Taala”. Maka Syeikh Bi`l-Maʻruf pun sukacitalah hatinya. Dan berkasih-kasihanlah ia dua laki isteri, selamat sejahteralah ia dunia akhirat. (HDT:39)
Melalui tokoh Syeikh Bi`l-Maʻruf, pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa setiap manusia yang beriman harus sabar serta dapat mengendalikan hawa nafsu. Di dalam teks, dicontohkan bahwa Syeikh Bi`l-Maʻruf tidak dapat menahan hawa nafsu berupa amarah sehingga menimbulkan penyesalan di dalam dirinya karena ditinggalkan oleh Darma Taʻsiya. Berbicara mengenai sabar, Allah swt telah berfirman sebagai berikut.
ِﺮ ْﺼَﻌْﻟا َو
١
ٍﺮْﺴ ُﺧ ْﻲِﻔَﻟ َنﺎَﺴْﻧ ِ ْﻻا ﱠنِا
٢
ٰا َﻦْﯾِﺬﱠﻟاﱠﻻِا
ّٰﺼﻟااﻮُﻠِﻤَﻋَواْﻮُﻨَﻣ
ٰﺤِﻠ
ا ْﻮ َﺻ ا َﻮَﺗ َو ِﺖ
ﱢﻖ َﺤْﻟﺎِﺑ
ِﺮْﺒﱠﺼﻟﺎِﺑا ْﻮ َﺻا َﻮَﺗ َو
٣
Wa`l-ʻashri (1) inna`l-insāna lafī khusrin (2) ill a`l-lazīna āmanū wa amilu`sh-shālihāti wa tawā shaubilhaqqi wa tawā shaubi`sh-shabri (3)
1. Demi masa, 2. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaram dan saling menasihati untuk kesabaran. (QS. Al-Ashr [103]: 1—3)
Berdasarkan ayat di atas, pada dasarnya manusia berada dalam kerugian kecuali orang yang beriman. Orang yang beriman adalah orang yang mengerjakan kebajikan dan saling menasihati dalam kebenaran serta bersabar. Syeikh Bi`l-Maʻruf sebagai seorang suami dan sebagai seorang ulama yang baik, telah
dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Di dalam Alquran, suami diperbolehkan memarahi istri untuk memberikan pelajaran agar istri berbakti kepada suami, tetapi melalui beberapa tahapan, sebagai berikut.
ّٰﺼﻟﺎَﻓ
ٰﺤِﻠ
ٰﻗ ُﺖ
ٰﺘِﻨ
ٰﺣ ٌﺖ
ٰﻈِﻔ
ﱢﻟ ٌﺖ
ِﻔَﺣ ﺎَﻤِﺑ ِﺐْﯿَﻐْﻠ
ّٰﻟاَو ُﷲ َﻆ
ﱠﻦُھْﻮُﻈِﻌَﻓ ﱠﻦُھَزْﻮُﺸُﻧ َن ْﻮُﻓﺎَﺨَﺗ ْﻲِﺘ
َﷲ ﱠنِا ًﻼْﯿِﺒَﺳ ﱠﻦِﮭْﯿَﻠَﻋ اْﻮُﻐْﺒَﺗ َﻼَﻓ ْﻢُﻜَﻨْﻌَطَا ْنِﺎَﻓ ﱠﻦُھْﻮُﺑِﺮْﺿاَو ِﻊِﺟﺎَﻀَﻤْﻟا ﻰِﻓ ﱠﻦُھْوُﺮُﺠْھاَو
اًﺮْﯿِﺒَﻛ ﺎًّﯿِﻠَﻋ َنﺎَﻛ
٣٤
Fa`sh-shālihāti qānitātun hāfizhātu`l-lilghaibi bimā hāfizha`l-Lāhu, wa`l-lātī takhāfūna nusyūzahunna faʻizhūhunna wahjurūhunna
fi`l-madlājiʻi wadlribūhunna, fa in athaʻnakum falā tabghū ʻalaihinna sabīlan, inna`l-Lāha kāna ʻaliyyan kabīrā (34)
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz,
hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar. (QS. An-Nisa [4]: 34)
Seperti yang telah diuraikan di atas, makna nama Syeikh Bi`l-Maʻruf adalah seorang ulama yang baik. Namun, perilaku memukuli Darma Taʻsiya hingga pingsan dan mengusirnya secara semena-mena tanpa mendengarkan penjelasan Darma Taʻsiya terlebih dahulu, serta lebih mengutamakan hawa nafsu dibandingkan logika, begitu bertentangan dengan makna yang tersemat pada namanya dan telah melenceng dari perintah Allah swt.
Hal ini dapat menjadi pengajaran bagi setiap manusia terutama laki-laki (suami) agar dapat mengendalikan hawa nafsu. Pengendalian hawa nafsu dapat menjaga manusia agar tidak termasuk ke dalam golongan yang berada dalam kerugian seperti yang disampaikan dalam Alquran surat Al-Ashr [103]: 1—3.
Syeikh Al-Akbar adalah ayah Darma Taʻsiya. Pada saat Darma Taʻsiya diusir oleh Syeikh Bi`l-Maʻruf dan memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya, Syekh Al-Akbar menolak kedatangan Darma Taʻsiya dengan tegas. Seperti dalam kutipan berikut.
Maka kata ayah bundanya “Bahwa akupun tiada mau menerima
engkau, karena engkau sudah lepas daripada tanganku. Akan sekarang, mengapa juga kemari karena engkau sudah kuserahkan kepada anakku Syeikh Bi`l-Maʻruf . Karena takut aku kepada Allah Taala dan malu aku akan nabi Muhammad Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi
wa sallam” (HDT:15).
“Jikalau aku memberi engkau air niscaya berkenanlah aku akan
kejahatanmu itu. Pada bicara aku, sebab jahat perangaimu dan kelakuanmu itu .. Dan janganlah lagi engkau hampiri lagi kepada aku, karena tiada aku mahu memandang muka orang yang durhaka kepada suaminya, dan Allah Taala pun tiada berkenan akan orang
yang demikian itu” (HDT:16).
Di dalam teks HDT sekuen 11c—11g, dikisahkan bahwa Syeikh Al-Akbar tidak mau menerima Darma Taʻsiya. Syeikh Al-Akbar tidak mau ikut campur dalam kehidupan rumah tangga putrinya. Syeikh Al-Akbar memberikan pelajaran mengenai kemandirian dan tanggung jawab kepada Darma Taʻsiya melalui penolakan ini. Di samping itu, Darma Taʻsiya telah menjadi tanggung jawab suaminya sehingga apabila melakukan kesalahan, maka Syeikh Al-Akbar sebagai orang tua tidak memiliki kewajiban untuk membantu.
Melalui tokoh Syeikh Al-Akbar, pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa setiap orang tua harus memberikan pendidikan sekaligus kasih sayang kepada anak-anaknya. Salah satu pendidikan sekaligus kasih sayang yang diberikan Syeikh Al-Akbar adalah menolak kepulangan Darma Taʻsiya setelah diusir oleh Syeikh Bi`l-Maʻruf. Penolakan ini merupakan bentuk kasih sayang
permasalahannya tanpa campur tangan orang tua. Hal ini sesuai dengan firman Allah, sebagai berikut.
ْﺴَﻣَو ٍعاَر ُمﺎَﻣِ ْﻷا ِﮫِﺘﱠﯿِﻋَر ْﻦَﻋ ٌلْﻮُﺌْﺴَﻣ ْﻢُﻜﱡﻠُﻛَو ٍعاَر ْﻢُﻜﱡﻠُﻛ
ُﻞُﺟﱠﺮﻟاَو ِﮫِﺘﱠﯿِﻋَر ْﻦَﻋ ٌلْﻮُﺌ
َﻣ َﻮُھَو ِﮫِﻠْھَأ ْﻲِﻓ ٍعاَر
ﺎَﮭِﺟْوَز ِﺖْﯿَﻧ ْﻲِﻓ ٌﺔَﯿِﻋاَر ُةَأْﺮَﻤْﻟاَو ِﮫِﺘﱠﯿِﻋَر ْﻦَﻋ ٌلْﻮُﺌْﺴ
ْﻦَﻋ ٌﺔَﻟ ْﻮُﺌْﺴَﻣ َو
َر ﺎَﮭِﺘﱠﯿِﻋKullukum rāʻin wa kullukum mas`ūlun ʻan raʻiyyatihi`l-imāmu rāʻin wa mas`ulūn ʻan raʻiyyatihi wa`r-rajulu rāʻin fī ahlihi wa huwa mas`ulūn ʻan raʻiyyatihi wa`l-mar`atu rāʻiyyatun fī baiti zaujihā wa mas`ulatun ʻan raʻiyyatihā (HR. Al-Bukhari)
Setiap kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang pemimpin (kepala negara) yang memimpin manusia (masyarakat), akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang laki-laki juga pemimpin dalam keluarganya, akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Dan seorang perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya, akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (HR. Al- Bukhari). Sesuai dengan firman Allah di atas, para orang tua dapat meneladani sikap Syeikh Al-Akbar dalam memberikan pendidikan serta kasih sayang kepada anaknya sehingga hubungan orang tua dan anak menjadi harmonis. Orang tua tidak mencampuri urusan rumah tangga anak sehingga anak menjadi mandiri, serta dapat menyelesaikan permasalahannya dengan penuh tanggung jawab.