• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas Orang Tionghoa dalam Putri Cina

TERAPAN STRUKTURALISME GENETIK PADA PUTRI CINA

D. Pemahaman dan Penjelasan

1. Identitas Orang Tionghoa dalam Putri Cina

Identitas Putri Cina dan kaumnya seperti dikemukan di atas adalah identitas yang kabur, rumit dan kompleks. Satu sisi, seperti yang digambarkan dalam Putri Cina, Putri Cina dan kaumnya ialah keturunan dari Tanah Cina. Mereka dihubungkan pada daging dan darah yang merujuk pada hubungan yang bersifat fisik. Di sisi lain, Putri Cina dan kaumnya dihadapkan pada situasi bahwa mereka telah kehilangan sebagian besar kebudayaannya, khususnya bahasa. Ditambah lagi, Putri Cina dan kaumnya sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan tanah leluhurnya itu. Di cerita bagian pertama, kerumitan identitas Putri Cina ditegaskan dengan pernyataan ―Dimanakah ia ketika tiada lagi wajahnya? Ia pun bertanya, siapa ia sesungguhya, dan mengapa ia bernama Putri Cina?‖ (Sindhunata, 2007:14).

Pandangan dunia yang ada di dalam Putri Cina bersifat abstrak dan hanya nyata di dalam konteks Putri Cina. Pandangan dunia ini nyata jika kemudian di letakan dalam wilayah keseluruhan yakni dalam wilayah kenyataan sosial.

Di kenyataan sosial, identitas orang Cina atau Tionghoa tidaklah sederhana, bahkan cenderung rumit. Gondomono melalui Upaya Mencari Jatidiri mengungkapkan bahwa Cina diungkapan oleh bangsa Barat melalui beberapa bahasa seperti a Chinese, een Chinesen dalam bahasa Belanda, atau un Chinois dalam bahasa Perancis dan lain-lain. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa orang Cina sendiri tidak pernah menyebutkan dirinya sebagai orang Cina—atau dalam bahasa Cina disebut C’ in ren, suatu nama yang mengacu pada dinasti pertama yang bisa mempersatukan wilayah yang sangat luas di Asia bagian timur dalam sejarah Cina yaitu dinasti C’in (221-206SM). Lebih lanjut, sekarang penduduk RRC lebih suka menggunakan sebutan orang Han (hen ren) yang mengacu pada dinasti setelah masa dinasti C’in (206 sm-221 ad) (1998:63).

Orang Cina untuk menyebutkan identitasnya biasanya mengacu wilayah yang sangat beragam. Hal ini tentunya dimaknai sebelum adanya nasionalisme Cina. Gondomo memberikan keterangan lebih, bahwasanya penyebutan dari mana asal mereka mesti dibedakan dari tingkat intelektualitas mereka, secara kasar diungkapkan antara rakyat jelata dan kaum terdidik. Dalam hal ini, rakyat jelata lebih suka menyebut asal mereka berdasarkan wilayah desa, sedangkan kaum terdidik mengacu pada negara atau kemudian juga dinasti ketika ia dilahirkan dan dibesarkan (1998:63).

Gondomono memberikan sebuah pandangan yang benar dan masuk akal mengingat wilayah Asia Timur yang terus berubah sehingga penyebutan asal-usul pun berubah mengikuti zamannya. Sebagai contoh pada awalnya filsuf besar dari Cina, Konghucu yang seringkali dianggap sebagai ‗nabi‘ mulanya dikenal sebagai

orang Lu (nama tempat di mana ia dilahirkan) 551 SM. Namun, kemudian orang- orang yang lahir di tempat yang sama tidak menyebut Konghuchu sebagai orang Lu melainkan dengan sebutan orang Shantung karena ia dilahirkan di dalam wilayah yang sekarang termasuk provinsi Shantung. Orang Cina menggunakan nama desa sebagai acuan, mungkin juga tidak berubah-ubah sekalipun wilayah tersebut dikuasai oleh negara yang berbeda (1998:63).

Asal-usul penyebutan Cina juga diungkapkan oleh Sutami, menurutnya kata Cina (China dalam bahasa Inggris, Chinees dalam bahasa Belanda, Chinesische dalam bahasa Jerman dan Chinois dalam bahasa Prancis) adalah berasal dari bahasa Sansekerta yakni China yang memiliki arti daerah yang sangat jauh. Kata tersebut sudah berada dalam, buku Mahabarata sekitar 1400 tahun sebelum masehi. Kemudian kata China menyebar dari Asia ke Eropa dengan mengalami penyesuaian fonologis. Penjelajah dari Eropa itu antara lain adalah Marcopolo yang menyebut dengan nama Chin, lalu oleh Barbosa (1516) dan Gracia de Orta (1563) dengan sebutan China. Istilah tersebut (yang memiliki pengucapan mirip) kemudian oleh bangsa barat dibawa ke nusantara sejak awal abad ke 16 (melalui Lembong, 2011:3-4).

Penyebutan nama Cina oleh Gondomono dan Sutami memiliki dua perspektif yang berbeda. Satu sisi Gondomo menyebutkan Cina merujuk pada nama dinasti yang pernah berkuasa di Cina daratan. Di sisi lain, Sutami melalui Lembong memberikan perspektif yang berbeda berdasarkan buku Mahabarata yang berasal dari 1400 SM. Akan tetapi, dari dua sudut pandang ini memiliki pengertian yang sama, pada dasarnya orang Cina sendiri tidak menyebut Cina

untuk mengidentifikasi dirinya, melainkan dari orang lain. Hal tersebut kemudian ditekankan oleh Wang Gungwu yang dikutip oleh Lembong, bahwa orang-orang Tionghoa sendiri tidak mengenal apalagi menggunakan istilah Cina atau China (2011:4).

Selain Cina, istilah Tionghoa juga digunakan untuk menyebutkan kelompok masyarakat yang berasal dari Cina daratan itu. Menurut Darmosumarto, istilah Tionghoa berasal dari kata Zhong Guo dari dialek Hokkian. Tionghoa memiliki arti Negara Tengah (Darmosumarto, 2012).

Dalam sejarah perjalanan Indonesia, istilah Cina dan Tionghoa digunakan secara bergantian berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi. Lembong memaparkan, mula-mula masyarakat di Nusantara menggunakan istilah Cina tanpa konotasi buruk. Kemudian karena besarnya pengaruh politik ―devide et impera‖ oleh Belanda, istilah Cina digunakan dengan aksen penuh kebencian. Setelah itu, istilah Tionghoa muncul untuk menggantikan Cina –yang memiliki konotasi buruk— ditandai dengan kemunculan Tiong Hoa Hwe Koan (Perhimpunan Kaum Tionghoa). Istilah Tionghoa juga dikukuhkan seperti ditunjukan di harian Sin Po yang berkembang pada dekade 1920-an dengan mengganti istilah Cina menjadi Tionghoa dalam penulisannya. Di lain pihak, istilah Tionghoa pada tahun 1928 mendapat pengakuan pemerintah kolonial Belanda. Pada masa perang dingin, khususnya setelah Gerakan 30 September 1965 (G30S), Seminar II AD di Bandung tanggal 25 sampai dengan 31 Agustus 1966 mengusulkan untuk mengganti sebutan Republik Rakyat Tiongkok menjadi warga negara Tjina (Cina) dengan alasan mengembalikan istilah yang telah lazim

dan menghilangkan rasa inferior pada bangsa sendiri dan menghilangkan rasa superior pada bangsa yang bersangkutan (2011:5-9).

Namun, karena tingginya sentimen anti Republik Rakyat Tiongkok setelah G30S, penggunaan istilah Cina kemudian kembali digunakan oleh banyak orang. Menurut Coppel dan Suryadinata (melalui Lembong, 2011:10), minggu pertama September 1966 hampir semua surat kabar beralih dari istilah Tionghoa ke Cina. Akan tetapi, istilah Tionghoa dan Tiongkok muncul lagi yang dipelopori oleh Presiden Abdurahman Wahid dengan mencantumkan Republik Rakyat Tiongkok di dalam laporan kerja pada Agustus 2000 (Darmosumarto, 2012).

Pembahasan istilah di atas pada dasarnya tidak menyelesaikan siapa sebenarnya orang Cina atau Tionghoa di Indonesia. Selanjutnya istilah ‗Cina‘ dan ‗Tionghoa‘ akan digunakan secara bergantian. Hal ini semata-mata hanya untuk membedakan konteks wilayah. Istilah Cina digunakan untuk menyebut Putri Cina dan kaumnya dalam konteks Putri Cina. Istilah Cina juga digunakan untuk menyebutkan wilayah dalam kenyataan yakni mengacu pada masyarakat dan wilayah Cina daratan (Republik Rakyat Cina). Istilah Tionghoa dipakai untuk menyebutkan masyarakat dalam konteks sosial kenyataan di Indonesia dengan tanpa memberikan muatan politis dan semata-mata karena istilah ini lazim di masa kini.

Secara awam, untuk mengidentifikasi Tionghoa sangatlah mudah. Lazimnya apa yang diungkapkan oleh Supatra dapatlah dilihat secara fisiknya yakni berkulit kuning, berambut lurus, bermata sipit, dan sebagainya (2009:11).

Atau seperti yang diungkapkan oleh Skinner (1979:1) bahwa untuk mengidentifikasi orang Tionghoa adalah melalui namanya yang terdiri dari tiga suku kata itu. Nyatanya, Skinner sendiri kemudian menyangkal, sebab berdasarkan situasi kultural dan politik –yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya— mengindikasikan bahwa ras dan nama bukanlah patokan yang kuat untuk menilai ketionghoaan mereka.

Tidaklah berbeda jauh antara orang Cina dan orang Indonesia. Pengertian ini mengacu bahwa pada dasarnya di Cina daratan terdiri dari masyarakat yang beragam etnis. Orang Cina tidak homogen sama sekali. Mereka ini seperti apa yang diungkapkan oleh Skinner berasal dari propinsi Fukien dan Kwantung (1979:6). Imigran dari Cina daratan ini pada mulanya adalah laki-laki. Mereka datang dari wilayah asalnya menggunakan perahu-perahu jung dan ahirnya sampai di nusantara. Pada umumnya migrasi yang dilakukan oleh orang-orang Cina dimotori oleh motif ekonomi dan ketidakstabilan pemerintah Cina waktu itu yang membuat mereka merasa tidak nyaman.

Telah diungkapkan sebelumnya, orang Cinatidaklah homogen. Orang Cina terdiri dari bermacam-macam etnis. Di daerah asalnya mereka ini sebagian besar dari orang-orang etnis Hokkian, Hakka dan Kanton.

Orang-orang Hokkian adalah orang Tionghoa pertama kali bermukim di Indonesia dalam jumlah besar. Mereka merupakan imigran terbesar di antara imigran-imigran lainnya sampai abad ke-19. Orang-orang Hokkian yang kemudian menempati wilayah Indonesia di Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai barat Sumatra.

Selain orang-orang Hokkian, ada juga etnis Teociu. Orang-orang Teociu berasal dari pedalaman Siatow. Siatow terletak di sebelah selatan dari orang-orang Hokkian berasal. Mereka kemudian tinggal di sepanjang pantai timur Sumatra, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat serta di distrik-distrik sekitarnya.

Orang-orang Hakka termasuk golongan yang melakukan migrasi secara besar-besaran ke Indonesia. Pusat kampung halamannya adalah di pedalaman Kwantung yang memiliki keadaan alam yang tidak begitu subur. Mulanya mereka tertarik untuk mengusahakan sumber-sumber mineral. Orang-orang Hakka merupakan etnis yang paling banyak di antara orang Tionghoa yang berada di distrik tambang emas Kalimantan Barat. Sejak akhir abad ke-19 banyak orang Hakka yang berdatangan ke Jawa Barat. Mereka tertarik dengan cepatnya pertumbuhan Jakarta dan dibukanya Priangan sebagai pusat perdagangan orang- orang Tionghoa.

Masih ada lagi orang-orang Kanton. Mereka tinggal di delta raya Sungai Mutiara dan Sungai Barat. Mulanya orang Kanton kebanyakan berada di wilayah Bangka. Namun berbeda dengan etnis Tionghoa yang lain, orang Kanton kemudian menyebar secara merata seperti di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bangka, Sumatra Tengah. Sekarang melebar ke Riau, Jambi dan Sumatra Barat.

Lambat laun para imigran yang kebanyakan laki-laki ini mau tidak mau menjalin hubungan dengan wanita pribumi setempat. Seterusnya melahirkan keturunan dan generasi yang bernama Tionghoa peranakan. Atau seperti deskripsi Skinner di atas, mereka adalah orang-orang yang mengalami proses akulturasi

mendalam dengan kebudayaan di mana mereka dibesarkan dan dilahirkan (melalui Tan, 1979:x). Jika digolongankan dalam ras, sebenarnya Tionghoa peranakan bukanlah orang-orang golongan Tionghoa murni lagi.

Akan tetapi, perlu dipahami juga bahwa tidak semua orang Tionghoa yang ada di Indonesia adalah orang Tionghoa peranakan. Selain Tionghoa peranakan terdapat pula Tionghoa totok. Tionghoa totok adalah orang Tionghoa yang lahir di Cina daratan. Istilah Tionghoa totok juga digunakan untuk menunjuk orang Tionghoa yang berorientasi pada kultur leluhurnya. Hal itu seperti yang tulis Supatra ―Lagi pula umumnya disepakati bahwa ukuran ketotokan Tionghoa Indonesia ini bukanlah kemurnian darah mereka melainkan budaya dan bahasa utama dalam hidup sehari-hari mereka‖ (2009:13).

Budaya dan bahasa memang bisa dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengidentifikasi ketionghoaan orang Tionghoa Indonesia. Dalam sebuah kutipan Oetama melalui Kemultibahasaan dan Identitas Orang Cina Indonesia menjelaskan seperti berikut:

Pemakaian bahasa oleh suatu komunitas Cina dengan sendirinya sudah menyatakan suatu identitas Cina yang terpisah, dalam arti bahwa suatu komunitas Cina dapat diidentifikasikan sebagai terpisah melalui bahasa yang digunakan dalam komunitas itu (1991:131).

Kutipan di atas sebenarnya adalah sebuah penanda yang menunjukan bahwa bahasa membentuk streotip orang-orang Tionghoa adalah majemuk dan sebagai orang asing atau bisa diistilahkan nonpribumi. Penanda yang menunjukan orang Tionghoa majemuk adalah bahasa komunitas yang mereka gunakan pastilah berbeda-beda. Hal ini dikarenakan seperti yang sudah dijelaskan pada bagian

sebelumnya, mereka adalah etnis yang heterogen, memiliki bahasa identitas sendiri-sendiri sesuai darimana asal mereka. Kemudian penanda yang menunjukan bahwa mereka diistilahkan sebagai nonpribumi adalah bahasa identitas ini jelas berbeda dengan bahasa masyarakat setempat.

Dalam kehidupan keseharian mereka, orang Tionghoa mengenal bahasa keakraban. Bahasa keakraban adalah varietas bahasa yang digunakan di lingkungan rumah tangga dan keluarga dekat juga kerabat dekat (Oetama, 1991:133). Bahasa ini dianggap sebagai ciri yang khusus mengenai identitas Tionghoa karena bahasa ini adalah bahasa yang khas mereka bawa dari daerah asalnya. Paling tidak masih bahasa ini terbawa dari generasi ke generasi. Namun ada sebuah pengeculian, yakni untuk orang-orang Tionghoa di wilayah Kalimantan Barat yang berbahasa Hakka atau Teociu, komunitas Kepulauan Riau yang berbahasa Hokkian dan bahasa yang digunakan di wilayah Bangka Belitung. Di wilayah ini bahasa keakraban mereka gunakan sebagai bahasa komunitas, berbeda dengan wilayah lain yang menggunakan bahasa keakraban dalam wilayah yang terbatas. Hal ini menunjukan bahwa pada gelombang kedatangan mereka selanjutnya, mereka datang dalam jumlah (baik pria maupun wanita) yang relatif banyak di daerah yang dulunya sepi penghuni. Bisa jadi, di wilayah tersebut mereka bukan lagi sebagai orang totok yang nonprubumi. Bahkan mereka dianggap sebagai suku asli. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Ong Hok Ham bahwa sistem totok dan peranakan hanya ada di wilayah Jawa (2008:2).

Pandangan Sindhunata sebagai subjek trans-individual atas masyarakat Tionghoa yang dituangkan dalam Putri Cina menyatakan bahwa bahasa yang

digunakan Putri Cina dan kaumnya beragam tergantung dimana mereka tinggal relatif benar. Meskipun begitu, faktanya bahasa sebagai bentuk identitas ketionghoaan nyatanya belum bisa menjelaskan secara detil siapa sebenarnya identitas Tionghoa di kehidupan nyata juga di dalam Putri Cina.

Sejalan dengan klasifikasi secara kultural, khususnya bahasa, rasanya belum cukup untuk menjawab pertanyaan siapakah sebenarnya jatidiri orang Tionghoa di Indonesia. Klasifikasi masyarakat Tionghoa di Indonesia nyatanya terpilah-pilah lagi secara politis. Secara khusus Jawa, seperti latar utama yang disajikan Sindhunata. Tetap saja mereka seperti yang ditulis Sindhunata sebagai berikut:

Sia-sialah segala kerinduan untuk pulang ke tanah air, yang entah tidak ia ketahui dimana. Di sinilah, di tanah Jawa ini, ia hanya melengkapi takdirnya, dengan hidup sebagai Putri Cina, entah ia keturunan Cina asli dari negeri Cina, entah ia keturunan Jawa yang diperanakan oleh anak- cucu Jaka Prabangkara di Negeri Cina (2007:25).

Pandangan dunia ini menunjukan bahwa orang Cina dalam Putri Cina memiliki identitas yang kabur, entah mereka Cina atau Jawa. Jika ditarik dalam konsep keseluruhan, pandangan ini menunjuk pada identitas masyarakat Tionghoa itu sendiri. Mereka terlalu Tionghoa untuk disebut Jawa atau terlalu Jawa untuk disebut Tionghoa. Namun juga bukan berarti berada di tengah-tengah. Seperti apa yang dinyatakan oleh Supatara, identitas orang Tionghoa terus-menerus bergeser sejalan dengan peristiwa-peristiwa penting sejarah (2009:13).

Identitas orang Tionghoa selalu berubah mengikuti kebijakan politik yang menyertainya. Perkembangan secara politis ini dimulai sejak Belanda menginjak

kakinya di nusantara. Benar memang jika perkembangan orang Tionghoa tidak terlepas dari semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial.

Pemerintah kolonial yang berkuasa di nusantara membagi sistem kemasyarakatan menjadi tiga. Pertama orang Barat yang terdiri dari orang-orang Belanda. Kedua orang Timur Asing seperti Arab, India, dan Cina. Ketiga adalah orang pribumi sebagai strata paling bawah (Ong Hok Ham, 2008:3; Sadeli 1998:96).

Pengelompokan itu dimaksudkan untuk membagi masyarakat di nusantara menjadi kategori kelas berdasarkan ras. Sistem inilah yang kemudian dipahami, meskipun orang Tionghoa telah mengalami akulturasi—kehilangan bahasa dan budayanya hingga melahirkan pembagian golongan (peranakan dan totok)—tetap saja mereka dianggap sebagai minoritas asing (nonpribumi). Pemahaman berdasarkan itulah yang juga dipahami sampai sekarang.

Sepanjang perkembangan orang Tionghoa Indonesia, nyatanya juga tidak terlepas dari perkembangan orang Cina di Cina daratan. Diketahui, gerakan nasionalisme Cina lebih dulu berkembang daripada gerakan nasionalisme di Indonesia. Sejalan dengan itu, orang Tionghoa di Indonesia pada dasarnya sudah terbelah menjadi dua kubu yakni Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok. Mereka adalah kaum yang memiliki akar yang sama namun terpisah jauh secara kultural. Totok dalam hal ini menganggap bahwa orang peranakan tidaklah memiliki seratus persen darah Tionghoa. Pandangan ini disikapi oleh totok perlunya untuk mentionghoakan kembali kaum peranakan. Di sisi lain, dengan sukarela mereka yang berdarah campuran ini untuk ikut andil dalam proyek ini.

Maka muncullah gerakan Pan Tionghoa dengan tujuan khusus mentionghoakan kembali kaum peranakan.

Pan Tionghoa memiliki program khusus untuk mewujudkan cita-cita itu yakni dengan program pendidikan dan membuka perkumpulan-perkumpulan khusus yang sejalan dengan tujuan itu. Di sektor pendidikan mereka menggunakan bahasa Tionghoa dengan harapan menyatukan kembali bahasa mereka yang sebelumnya terpecah-belah karena akulturasi yang mendalam seperti sudah disebutkan di atas. Di dalam perkumpulan, mereka menjujung tinggi ketionghoaan mereka dan memperjuangkan status kedudukan mereka supaya sejajar dengan orang-orang Belanda.

Pada jalannya program Pan Tionghoa tidaklah seutuhnya menyuarakan apa yang diinginkan oleh orang-orang peranakan. Seperti apa yang diungkapkan Skinner, gerakan ini pada akhirnya hanya berorientasi pada mereka golongan totok. Terbukti pada tahun 1915 Tionghoa totok mengambil alih pimpinan gerakan tersebut dan pada tahun 1920 bahwa syarat-syarat penyatuan mengikuti kebijakan Tionghoa totok (1979:14).

Belanda tidak serta merta membiarkan gerakan ini tumbuh dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia. Maka untuk mengimbangi dan menghalangi menjamurnya gerakan ini, dibukalah sekolah-sekolah dengan bahasa Belanda sebagai pengantar. Orang-orang peranakan sebenarnya sudah merasa bahwa Tionghoa totok tidak menyuarakan aspirasi suara mereka. Dengan pandangan tersebut para pemimpin-pemimpin Tionghoa peranakan menyerukan agar masyarakatnya untuk ikut ke dalam sekolah ini. Hal ini dikarenakan sekolah

tersebut dianggap lebih mewakili keinginan mereka untuk setara dengan orang- orang Belanda. Atau dengan kata lain, sekolah dengan bahasa Belanda dianggap lebih modern.

Tetapi perlu dipahami juga bahwa sekolah Belanda tidak hanya mempengaruhi mereka (peranakan) hanya untuk berorientasi pada Belanda. Sekolah ini pada seterusnya juga mempengaruhi jalan hidup orang Tionghoa untuk berorientasi kepada Indonesia mengingat apa yang mereka terima adalah sikap-sikap modern dari sekolah Belanda. Terbukti, dari gerakan yang dimulai dari Pan Tinghoa ini kemudian melahirkan beberapa organisasi yang menentukan kemana arah politik mereka condong.

Ada dua organisasi yang berpengaruh pada masa itu yaitu Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dan Chung Hwa Hui (CHH). PTI adalah partai yang dibentuk oleh mahasiswa radikal yang menentang baik golongan nasionalis yang berkiblat ke Cina juga golongan Belanda. Bisa dikatakan bahwa partai tersebut adalah partai yang mendukung kemerdekaan Indonesia (pro Indonesia). Program partai tersebut sebagaimana tercatat oleh Greif bertujuan memperjuangkan status dominan untuk Indonesia dan satu kewarganegaraan untuk semua orang tak perduli rasnya. Akan tetapi PTI tidak bertahan lama, partai ini mendapatkan serangan yang berarti dari kubu Tionghoa lainnya. Selain itu, besarnya pengaruh politik Belanda adu domba yang memisahkan mereka dengan golongan lain membuat partai ini hancur oleh golongan nasional Indonesia sendiri (1991:8). Untuk CHH seperti yang sudah dijelaskan, partai ini berkiblat ke Belanda.

Jepang mendarat di Indonesia pada bulan maret 1942. Kedatangan mereka menandai atas akan berakhirnya masa Belanda di Indonesia. Di lain pihak perseteruan antara peranakan dan totok mereda dan menjadi tidak penting karena bagi Jepang mereka adalah masyarakat kelas dua. Di sini, antara peranakan dan totok dipersatukan kembali dalam perasaan senasib dan sepenanggungan.

Bom atom yang diluncurkan oleh sekutu menghancurkan dua kota penting di Jepang (Hiroshima dan Nagasaki). Seketika itu juga Jepang menyerah tanpa syarat dan mencabut kedudukannya atas Indonesia. Dua hari setelah itu, dimanfaatkan untuk para patriot Indonesia untuk memproklamasikan Indonesia. Pada tahun 1946 pemerintah Indonesia menawarkan kepada semua orang Tionghoa yang lahir dan telah lima tahun berturut-turut di Indonesia untuk memilih kewarganegaraannya. Usia kemerdekaan yang terlalu dini dan dinilai membuat pemerintahan tidak terlalu stabil, akibatnya pemecahan masalah mengenai identitas kewarganegaraan cenderung tidak terlalu berhasil.

Usaha untuk mestabilkan keadaan negara terus diupayakan. Baru pada tahun 1949 —mengacu pada perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB)—orang Tionghoa kelahiran Indonesia diperbolehkan memilih kewarganegaraanya. Sedangkan untuk orang Tionghoa kelahiran Cina tidak ada pilihan, mereka harus menjadi warga negara Cina. Proses ini nyatanya tidak terlepas dari gerakan nasionalisme Cina yakni apa yang disebut perseteruan dua kelompok besar antara Partai Komunisme Cina (PKC) yang berhaluan komunis dan Partai Kuomintang (KMT) yang berhaluan liberal. PKC mendesak golongan totok untuk merangkul para Tionghoa peranakan kembali ke tanah leluhurnya Cina. Sebaliknya KMT

mendesak golongan peranakan Tionghoa untuk memilih kewarganegaraan Indonesia. Hingga akhirnya, kemenangan PKC mengakhiri perseteruan dua kelompok besar ini. Bagaimanapun kemenangan PKC atas KMT tidaklah berpengaruh besar, sebagian besar dari masyarakat peranakan lebih memilih kewarganegaraan Indonesia. Hal tesebut dibuktikan mengingat ketika perjanjian KMB tidak mendapatkan jalan keluar –karena orang Tionghoa tidak menolak kewarganegaraan Indonesia juga memilih kewarganegaraan Cina sekaligus— orang Tionghoa peranakan lebih memilih kewarganegaraan Indonesia mengacu Perjanjijan Dwikewarganegaraan pada tahun 1955 yang mewajibkan orang-orang Tionghoa memilih satu kewarganegaraan.

Dari penjelasan di atas dapatlah ditarik sebuah simpulan sederhana, jika kebudayaan khususnya bahasa dapat dijadikan patokan untuk mengidentifikasi

Dokumen terkait