• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Dunia dan Strukturas

TERAPAN STRUKTURALISME GENETIK PADA PUTRI CINA

C. Pandangan Dunia dan Strukturas

Pandangan dunia dalam strukturalisme genetik dianggap sebagai sebuah pandangan aspirasi-aspirasi, gagasan-gagasan, dan perasaan-perasaan kelompok atau kelas sosial. Kelompok atau kelas sosial di sini mengacu pada Putri Cina dan kaumnya yang merupakan subkultur di Tanah Jawa. Mereka mewakili kelas

pemilik produksi. Pandangan dunia dipahami melalui konsep homologi atau kesamaan. Konsep homologi menekankan hubungan kesamaan pandangan dunia dalam karya sastra dan dunia kenyataan realitas sosial. Pandangan dunia itu sendiri bertujuan, yakni sebagai akomodasi kelompok untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya.

Putri Cina dan kaumnya adalah bagian subkultur di Tanah Jawa. Sebenarnya mereka adalah keturunan dari orang-orang di Tanah Cina, karena mereka menganggap tanah leluhur mereka berada di sana. Namun, sebagai keturunan Cina yang menyebar ke berbagai wilayah, mereka tidak lagi mampu menggunakan bahasa Cina. Mereka telah kehilangan sebagian kebudayaan dari tanah leluhurrnya. Bahkan, mereka sendiri tidak tahu bagaimana keadaan tanah leluhurnya itu. Pandangan ini, sebagaimana digambarkan dalam Putri Cina memiliki kesamaan dengan kenyataan sosial. Di dalam dunia nyata, pandangan dunia Putri Cina memiliki kesamaan dengan masyarakat Tionghoa peranakan. Masyarakat Tionghoa peranakan seperti dalam deskripsi Skinner (melalui Tan, 1979:x) adalah orang-orang yang mengalami proses akulturasi mendalam dengan kebudayaan di mana mereka dibesarkan dan dilahirkan.

Putri Cina dan kaumnya sebagaimana diceritakan dalam Putri Cina merupakan subjek kolektif yang memegang materialisme sebagai bagian dari kehidupannya. Kelompok tersebut digambarkan sebagai kelompok yang gemar mengumpulkan kekayaan. Mereka mengumpulkan harta dengan berdagang. Itulah yang menyebabkan mereka menjadi kelas penguasa di atas kelas orang-orang Jawa itu sendiri.

Prabu Amurco Sabdo berusaha menciptakan keadaan teratur dengan menekan pergerakan orang-orang Cina dan melarang aktivitas kebudayaan Cina. Putri Cina dan kaumnya tidak boleh menggelar kebudayaan yang berasal dari leluhurnya Tanah Cina. Mereka dileburkan dengan kebudayaan setempat yakni Jawa dengan mengganti nama asli mereka dengan nama orang-orang Jawa. Kebijakan yang diberikan oleh Prabu Amurco Sabdo terhadap orang-orang Cina sebenarnya memiliki kesamaan dengan kenyataan sosial. Kenyataan sosial itu adalah kebijakan yang muncul pada masa Orde Baru yang dikenal sebagai anti kebudayaan Cina. Produk Orde Baru tentang anti kebudayaan itu adalah sebagai berikut:

1. Keputusan presidium kabinet no. 127/U/Kep/12/1966 mengenai ganti nama bagi Warga Negara Indonesia yang memakai nama Cina.

2. Instruksi presiden no. 14 th.1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina tanggal 6 Desember 1967. Isi intruksi ini adalah

a. Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan, memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata cara ibadat Cina yang memiliki afinitas kulturil yang berpusat pada negeri leluhurnya pelaksanaan harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan.

b. Perayaan-perayaan pesta agama dan adat-istiadat dilakukan secara tidak menyolok di depan umum melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.

3. Keppres 240/1967 tgl.10 april 1967 tentang kebijaksanaan pokok yang menyangkut WNI keturunan asing. Isi dari kebijakan ini meliputi persamaan

kedudukan warga negara RI termasuk yang keturunan asing. Yang terakhir akan dibina melalui proses asimilasi dan pencegahan ekslusive rasial.

4. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1978 tentang kebijaksanaan pembauran etnik Cina. Juga GBHN tahun 1988 yang menyatakan, usaha-usaha pembauran bangsa perlu dilanjutkan di segala bidang kehidupan, baik di bidang ekonomi maupun sosial dan budaya, dalam rangka usaha memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta memantapkan ketahanan nasional (Greif, 1991:xvii-xx).

Meskipun begitu, nyatanya peraturan yang menekan orang-orang Cina nyatanya tak mampu membendung sikap antagonisme kelas itu sendiri. Hal itu dipahami karena saat rakyat marah dan meminta Prabu Amurco Sabdo turun tahta, dengan mudah kemarahan tersebut disasarkan kepada orang-orang Cina.

Putri Cina adalah bagian dari kelompok orang-orang Cina. Ia memiliki ‗kesadaran nyata‘ sebagai anggota kelompok, kelompok yang kehilangan sebagian besar kebudayaan leluhurnya dan bagian kelas penguasa ekonomi yang materialis. Akan tetapi, Putri Cina sebagai tokoh utama juga memiliki ‗kesadaran yang mungkin‘, yakni kesadaran yang tidak dimiliki secara kolektif kelompok itu sendiri. Ia adalah tokoh problematis, tokoh yang berusaha mencari jalan keseimbangan untuk keluar dari situasi krisis.

Putri Cina membangun keseimbangan dengan mempertanyakan sekaligus mengkritik identitas dan pandangan orang-orang Cina. Keseimbangan tidak hanya dibangun melalui fokus orang-orang Cina, melainkan juga mempertimbangkan kedudukan orang-orang Jawa sebagai kelas lain.

Apa artinya merasa menjadi saudara serumpun dan seleluhur, jika mereka tidak mempunyai bahasa yang menjalin mereka untuk saling bicara? Ia berpikir, andaikan ia dan kaumnya tidak terikat dengan daging dan darah, tidak akan pernah mereka saling bersaudara. Betapa daging dan darah sama sekali tak cukup untuk menjadikan dirinya sebagai manusia sepenuh- penuhnya. Malahan daging dan darah itu membatasi dia untuk manusia di tempat ia berada. Ya, setiap kali ia mengeluh tentang dirinya, ia pun bertanya:

Kita datang ke dunia ini sebagai saudara;

Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah? (Sindhunata, 2007:9-10).

Kutipan ini menunjukan bahwa orang-orang Cina sendiri pada dasarnya memiliki identitas yang kabur. Identitas ini kabur karena hanya mematok pada hubungan daging dan darah yang sebenarnya mengacu pada hubungan fisik orang-orang Cina. Namun, kutipan diatas nyatanya juga sebagai kritik, bahwa identitas itu sendiri tidak hanya berhenti pada hubungan daging darah, tetapi juga pemahaman tentang Cina itu sendiri. Bagaimanapun orang-orang Cina seperti yang digambarkan pada kutipan di atas tidak mampu memahami Cina, sampai akhirnya Putri Cina menyerukan kepada kaumnya agar menentukan sikap yakni agar menjadikan Tanah Jawa sebagai tanah leluhurnya.

Memang, pikir Putri Cina, Tanah Jawa seharusnya tak boleh hanya menjadi sekadar tempat untuk lewat, di mana orang hanya bisa mampir minum belaka. Tanah Jawa seharusnya menjadi tanah yang mengikat badan dan jiwa manusianya, agar mereka tidak hanya menjadi seperti roh halus yang sekadar menengok kejadian hidup di dunia. Memang semua orang harus meninggalkan dunia ini, tapi itu tidak boleh berhenti, seakan hanya surgalah tempat hidup mereka satu-satunya. Dunia, ya Tanah Jawa ini, juga seharusnya menjadi tempat orang merasakan kebahagiannya. Dengan demikian, Tanah Jawa ini menjadi pancaran bagi kebahagiaan abadi yang akan diperoleh manusiannya nanti (2007:113).

Sikap materialis adalah sikap orang-orang Cina sebagaimana tergambar dalam Putri Cina. Putri Cina pun menyadari hal itu karena ia bagian dari

kelompok. Padahal leluhurnya mengajarkan untuk tidak terikat terlalu pada harta dan benda. Di sini ada perbedaan antara keterikatan dengan tanah leluhur dan ajaran leluhur. Putri Cina mengajak kaumnya untuk lepas dari tanah leluhur yakni Tanah Cina, namun mereka tetap memegang ajaran leluhur itu sendiri. Ajaran leluhurlah yang membimbing orang-orang Cina agar mereka tidak diperbudak dengan harta.

Sungguh itu adalah hal yang berlawanan dengan ajaran K‘ung Tzu. Sebab tidaklah K‘ung Tzu berkata, jauhilah harta, jika hidupmu dperbudak olehnya, hingga kamu menjadi seperti binatang tak bernyawa. Berkali-kali K‘ung Tzu mengajarkan jangan anak-cucunya jatuh kepada tetek bengek dunia yang membuat mereka lupa apa yang pokok bagi hidup mereka. Dan siapa hanya mengejar harta, tak mungkin ingat, bahwa ia harus mengejar lebih dari harta, dan itu adalah kemanusiaannya sendiri. Kata K‘ung Tzu, kemanusiaan itu melebihi api dan air. Manusia bisa mati karena harta. Tapi kemanusiaan belum tentu ada, kendati manusianya ada karena berharta. Bila manusia demikian mati, ia akan hilang untuk selamanya, karena kemanusiaan tak ada padanya. Seharusnya, ia mati, tapi kemanusiaannya tetap tinggal abadi. Itu artinya, selama hidup ia juga harus mencari kemanusiaannya itu, melebihi perburuan akan harta yang akan binasa, ketika ia mati nanti (2007:111).

Akan tetapi konflik terlanjur terjadi karena sikap materialis orang-orang Cina. Dari sikap itu, kemudian mereka dipinggirkan dari kebudayaan Tanah Jawa. Melalui peraturan anti kebudayaan Cina, orang-orang Cina seolah menjadi bagian terpisah dengan orang-orang Jawa. Padahal, mereka seperti yang telah dijelaskan di atas, telah kehilangan sebagian besar kebudayaannya, bahkan menjadi orang- orang Jawa. Putri Cina pun bertanya ―Apa salahnya orang Cina menumpuk harta? Menumpuk harta memang tidak salah. Orang Jawa pun banyak yang menumpuk harta. Begitu jawab Putri Cina sendiri.‖ (2007:79). Kutipan ini menunjukan bahwa adanya ketidakadilan dalam memperlakukan orang Cina dan Jawa. Dengan diberlakukannya anti kebudayaan Cina memperjelas ketidakadilan tersebut.

Orang-orang Cina tidak dibebaskan mengekspresikan kebudayaannya. Berbeda dengan orang-orang Jawa, mereka dibebaskan mengekspresikan kebudayaan karena tidak ada peraturan yang mengengkang mereka. Anti kebudayaan Cina seterusnya mengukuhkan posisi orang-orang Jawa sebagai masyarakat asli (pribumi) di Jawa yang mengadung makna anti kemanusiaan karena memisahkan berdasarkan ras. Oleh karena itu, Putri Cina pun menganggap bahwa jalan keluar ini adalah menghilangkan hak ekslusif kepemilikan tanah yang terlihat seperti syair Tao Yuan Ming di bawah ini:

Tak berakarlah hidup manusia ini, seperti debu jalanan, kita berterbangan, dibawa angin, dan ditebarkan kemana-mana, terlalu lemah tubuh kita untuk melawan.

Karena kelahiran kita di duna, kita dipersaudarakan, mengapa masih juga bertanya,

siapakah yang termasuk keluarga kita? (2007:301-302).

Dokumen terkait