• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Hidup Orang Tionghoa dalam Putri Cina

TERAPAN STRUKTURALISME GENETIK PADA PUTRI CINA

D. Pemahaman dan Penjelasan

2. Pandangan Hidup Orang Tionghoa dalam Putri Cina

Perjalanan orang Tionghoa di Indonesia telah mengalami sejarah yang panjang. Namun, tetap saja mereka diragukan berkaitan dengan loyalitas mereka. Melihat hal tersebut, pemerintah mengupayakan banyak cara untuk mengatasi permasalahan orang-orang Tionghoa ini. Puncaknya dengan diberlakukannya program asimilasi yang gencar-gencarnya dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.

Pemerintah Orde Baru secara gigih dan konsisten mengupayakan terjadinya suatu masyarakat yang tertib. Hal itu membuat pemerintah melaksanakan asimilasi secara ketat. Asimilasi sendiri memiliki pengertian seperti yang diungkapkan oleh Jahja (melalui Greif, 1991:xiii), tidak menganggap etnik Cina yang sudah warga negara Republik Indonesia (RI) sebagai minoritas maupun sebuah suku baru yang sederajat dengan Jawa, suku Aceh, suku Madura, dan sebagainya. Lanjutnya, asimilasi berarti menghilangkan ekslusivisme-seketurunan yang sudah ada sejak zaman dahulu. Atau dengan kata lain meleburkan budaya asli.

Program asimilasi Orde Baru sejatinya adalah program anti kebudayaan Cina seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Program ini meliputi penggantian nama, dari nama Cina ke nama Indonesia. Kemudian pelarangan terhadap aktivitas kebudayaan Cina. Dalam konteks kenyataan sosial, asimilasi

berdampak hebat pada aktivitas masyarakat Tionghoa. Asimilasi merupakan penghapusan pilar-pilar kebudayaan Tionghoa meliputi pers berbahasa Tionghoa, sekolah menengah Tionghoa dan organisasi etnik Tionghoa. Kebijakan tersebut tidak pernah dilakukan oleh Orde Lama, karena pada dasarnya asimilasi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Kebijakan Orde Baru dinilai sangat kabur. Penilaian itu mendasar karena asimilasi yang dianggap menyatukan, pada jalannya asimilasi lebih bersifat anti asimilasi. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Suryadinata di bawah ini:

Namun, dalam praktiknya seringkali asimilasi berjalan dengan kabur dan bertentangan dan bahkan dalam beberapa kebijakan Soeharto cenderung anti asimilasi karena pertimbangan keadaan politis. Sebagai contoh, toleransi terhadap agama-agama minoritas dan pembedaan terhadap pribumi dan nonpribumi cenderung malah memilah, bukan mempersatukan etnik Tionghoa dan orang Indonesia asli. Dengan perkataan lain, etnik Tionghoa tetap terpisah dengan komunitas tuan rumah (2003:2).

Jika demikian, maka bisa dikatakan asimilasi (anti kebudayaan Cina) merupakan sebuah program yang serampangan. Tentu saja, mengingat baik di dalam Putri Cina maupun di dalam kenyataan sosial, mereka (baik Putri Cina dan kelompoknya atau masyarakat Tionghoa dalam kenyataan sosial) merupakan kelompok yang telah kehilangan sebagian besar kebudayaannya. Program asimilasi justru kembali memposisikan mereka sebagai orang asing. Tanpa adanya program asimilasi, mereka dengan sendirinya sudah melakukan asimilasi secara alamiah karena melebur dengan kebudayaan setempat. Di dalam kenyataan, orang Tionghoa yang telah kehilangan sebagian besar kebudayaannya dapat dilihat dari wawancara yang dilakukan Greif terhadap wanita berusia 52 tahun di

Yogyakarta. Responden tersebut memiliki suami berasal dari keluarga campuran. Mereka mengaku tidak tahu menahu tentang nenek moyang mereka.

T: Apa-apa sajakah yang menjadi identitas Anda?

J: Kami adalah kelompok lama yang tidak terpisahkan dari budaya Jawa. Kami bangga dengan latar belakang budaya campuran kami. Kami menganggap jawa Tengah, dan bukan Cina, sebagai kampung halaman kami (1991:49-50).

Meskipun asimiliasi dijalankan secara ketat, nyatanya program ini tidak mampu menghilangkan sentimen yang bersifat rasial pada orang-orang Tionghoa. Sentimen ini tidak muncul begitu saja, namun telah memiliki sejarah yang panjang.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, keberadaan orang Tionghoa di Indonesia tidak bisa dipisahkan oleh keberadaan pemerintah Belanda. Awalnya kedua kelompok ini memiliki tujuan yang sama yakni untuk berdagang. Selanjutnya mereka menjalin kerja sama dan menjadikan orang Tionghoa berkedudukan sebagai perantara. Akan tetapi pada jalannya, hubungan ini tidak berjalan mulus seperti apa yang ditulis Ong Hok Ham, hubungan ini melahirkan pembantai besar-besaran di Batavia pada tahun 1740 yang menewaskan kurang lebih 10.000 jiwa (2008:20) .

Setelah peristiwa itu, pemerintah Belanda memberikan kebijakan resmi untuk membagi masyarakat menjadi tiga golongan yaitu golongan Barat, Golongan Timur Asing (Cina, Arab, dan lain-lain), dan golongan pribumi. Pada praktiknya kebijakan ini juga membagi mereka berdasarkan tempat tinggalnya. Untuk orang Tionghoa wilayah tempat tinggal mereka disebut pecinan. Kebijakan

ini juga ditambah dengan memberlakukan pajak jalan untuk orang Tionghoa sehingga menghalangi pergerakan fisik mereka.

Dengan pembatasan ini orang Tionghoa hanya mampu mengembangkan kehidupan di bidang ekonomi. Namun tidak semua orang Tionghoa harus mengalami kesusahan apa yang dialami oleh orang Tionghoa lainnya. Hal ini dikarenakan orang-orang yang secara mapan di bidang ekonomi kemudian ditunjuk untuk menjadi opsir-opsir Belanda menarik pajak.

Munculnya gerakan Pan Tionghoa berpengaruh langsung pada kehidupan mereka. Gerakan ini pada jalannya menuntut mereka untuk setara dengan pihak Belanda dengan menghapuskan sistem tempat tinggal yang terpusat itu. Gerakan ini memang terbukti berhasil. Efek dari gerakan ini adalah keluarnya dari modal orang Tionghoa yang sebelumnya terpusat pada wilayah-wilayah tempat tinggal mereka sebelumnya. Hasilnya adalah berkembangnya usaha mereka disertai dengan rasa tidak senang oleh golongan pribumi terutama golongan menengah atas seperti yang Ong Hok Ham ungkap sebagai berikut:

Ketika pemerintah mencabut larangan pembatasan mobilitas orang Cina pada 1905, para pengusaha Cina berpindah keluar dari perkampungan minoritas dan datang berbondong-bondong untuk bersaing dengan kelas pengusaha jawa.

Sarekat Dagang Islamiyah yang kemudian menjadi Sarekat Islam (1912) terbentuk sebagai respon dari perkembangan ini dan terus berlanjut menjadi gerakan massal sosial dan politik di Hindia,

Huru-hara anti Cina yang pertama terjadi pada 1908 di Kota Kudus yang memiliki borjuasi orang Jawa dan muslim yang kuat. Awal mulanya karena prosesi klenteng Cina yang melukai orang muslim. Akan tetapi, insiden ini terjadi karena latar belakang persaingan kelas menengah (2008:22).

Nampaknya kekerasan yang berbau rasial memang berasal dari pemerintah Belanda yang memilah-milah kelompok masyarakat berdasarkan ras itu. Konflik lainnya terjadi pada tahun 1959 sejak diberlakukannya Perjanjian Dwikewarganegaraan. Orang-orang Tionghoa dilarang berdagang di pedesaan. Selain itu, konflik juga terjadi pada tahun 1963 di Bandung, Cirebon, Semarang, dan sekitarnya.

Orde Baru dengan asimilasi secara ketat dinilai tidak mampu menyelamatkan mereka dari konflik-konflik bersifat rasial yang sebagian besar dipengaruhi oleh motif ekonomi. Puncaknya, konflik itu sendiri berulang ketika Orde Baru berakhir.

Kerusuhan anti Cina yang sekarang terjadi di Jakarta merupakan akibat kecemburuan dan sentimen berbau rasis. Komunitas Cina telah menunjukan kreativitas dan memperoleh sukses meskipun kedudukan mereka tidak dikenal dalam masyarakat (Ong Hok Ham, 2008:24).

Keberhasilan orang Tionghoa memang sulit dipisahkan dari keunggulan mereka di bidang ekonomi. Mereka dianggap elemen penting di antara kelas menengah dan kelas atas kapitalis Indonesia. Kebanyakan dari mereka adalah usahawan, pedagang, profesional dan orang terlatih.

Walaupun terdapat orang-orang cina miskin, namun tidak boleh dilupakan bahwa tujuh atau delapan dari sepuluh besar kapitalis di indonesia aslinya orang Cina. Dalam daftar 200 orang terkaya di seluruh negara Indonesia, lebih dari 50% adalah orang Cina (Ong Hok Ham, 2008:19).

Gordon Reading (melalui Ong Hok Ham, 2008:29) menyatakan bagaimanapun orang Cina tidak akan menghilangkan identitasnya, artinya selalu merasa sebagai bagian dari peradaban yang palng kuno. Pandangan itu kemudian ditolak Ong Hok Ham. Hal ini dikarenakan, untuk menilai ketionghoaan mesti

dilihat dari beberapa sisi. Identitas ekonomi orang Tionghoa relatif terjaga daripada segi politis dan kultural mereka. Hal ini beralasan karena posisi politis dan kultural mereka berubah-ubah berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Perkembangan politis dan kultural sulit digunakan untuk menjangkau keberhasilan mereka di bidang ekonomi. Oleh karena itu, untuk menjangkau keberhasilan tersebut perlunya melihat kehidupan religius mereka.

Orang Tionghoa memiliki karakteristik yang khas dalam kehidupan religius mereka. Begitulah laporan penelitian Wilmott (1960) di Semarang (melalui Supatra, 2009:17). Sikap keagamaan mereka baik di Cina daratan maupun di Semarang memiliki kesamaan dan belum dipengaruhi oleh idiologi Barat ataupun agama Kristen dalam menyikap agama-agama yang ada.

Ciri pertama adalah toleran. Sikap toleran itu diduga masih berhubungan dengan Konfusius. Bagi orang Tionghoa, Yang Maha Kuasa itu baik, maka untuk menyatakan sikap religius ini diwujudkan dengan membahagiakan sesama manusia. Berangkat dari sini, seperti apa yang diketengahkan Willmott kepada respondennya terhadap pemilihan jodoh, 50 % menjawab latar belakang agama menjadi pertimbangan penting, 50 % menjawab tidak. Ini menunjukan sikap religius mereka bisa dikatakan tetap walaupun berpindah-pindah dari agama satu ke agama lain. Tentu juga hal tersebut dipengaruhi sikap agama yang dipeluk, jika agama yang dipeluk konservatif maka sikap toleran tidak dipertahankan, begitu juga sebaliknya.

Ke dua adalah ekletik. Orang Tionghoa di Indonesia mengenal Tri Dharma sebagai bagian dari kehidupan religius mereka. Tri Dharma sendiri terdiri Budha,

Konfusius dan Tao, kadang juga ditambah shenism. Mereka tidak segan-segan menggabungkan beberapa unsur kepercayaan karena bagi mereka semua agama adalah baik.

Ciri berikutnya adalah pragmatis. Orang Tionghoa tidak segan memungut ajaran apapun jika itu dirasa membawa kebaikan bagi mereka. Sudah tentu dapat dilihat dari sikap mereka dalam pemujaan terhadap dewa dan leluhurnya. Mereka membawa ―apa-apa‖ saja untuk persembahan seperti makanan, minuman, uang- uang, rumah-rumahan, dan lain-lain. Keyakinan mereka terhadap akhirat diwujudkan dengan keyakinan terhadap dunia dengan membahagiakan sanak- saudara mereka. Sikap inilah yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi orang Tionghoa. Bagi orang Tionghoa menjadi kaya dibenarkan oleh Tuhannya, karena dengan menjadi kaya kebajikan dapat dilakukan terhadap saudara mereka, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Pandangan dunia dalam Putri Cina yang menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang kaya relatif benar. Spirit berdagang untuk mencari kekayaan (materialis) ditunjang oleh aktivitas religius mereka, seperti aktivitas yang ditunjukan Giok Tien pada kutipan berikut:

Giok Tien juga selalu menyiapkan makanan dan kue-kue kesenangan kedua kakaknya di meja sembahyangan itu. Dihidangkannya di sana nasi bakmoi dan mihun goreng, serta sup merah. Ditaruhnya kue mangkok, kue ku, kue perut ayam, roti kukus, roti goreng, dan cakwe. Juga buah pir dan kelengkeng. Tak lupa, sepoci teh dengan tiga buah cangkir, dan sesloki ciu.

Sambil memandang asap hio yang membumbung dari hiolo, tempat dupa, Giok Tien teringat, betapa dulu mereka bertiga amat menyukai makanan dan kue-kue itu. Sekarang Giok Hong dan Giok Hwa tak mungkin lagi menemaninya, menikmati teh Cina, dan menghangatkan diri dengan

minuman ciu, bertiga satu sloki, sebagai tanda eratnya persaudaraan mereka (Sindhunata, 2007:280).

Dokumen terkait