• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERAPAN STRUKTURALISME GENETIK PADA PUTRI CINA

D. Pemahaman dan Penjelasan

3. Jalan Keluar dari Konflik

Permasalahan mendasar dalam Putri Cina terhadap orang-orang Cina dan kenyataan sosial pada masyarakat Tionghoa ialah identitas dan sikap materialis. Permasalahan identitas kenyataan sosial merupakan bentuk kecurigaan terhadap loyalitas yang dipengaruhi oleh motif ekonomi. Maka, untuk mengendalikan masyarakat Tionghoa diberlakukanlah program asimilasi oleh pemerintah Orde Baru, yakni meleburkan kebudayaan yang sebenarnya telah hilang. Asimilasi dianggap kembali memposisikan orang-orang Tionghoa sebagai orang asing (nonpribumi).

Kebijakan asimilasi dinilai mengorbankan banyak hal daripada memberikan manfaat. Kebijakan untuk menyatukan orang Tionghoa dalam kebangsaan Indonesia cenderung anti kemanusiaan karena terpengaruh dengan kebijakan kolonial yang memisahkan mereka berdasarkan ras. Tokoh Putri Cina sebagai tokoh trans-indivual selalu menekankan untuk memegang nilai-nilai leluhur tetapi tidak berorientasi pada tanah leluhurnya itu. Pandangan dunia ini dekat dengan konsep integrasi yang ada pada Orde Lama. Integrasi berarti menjadikan orang Tionghoa sebagai suku bangsa baru keturunan Cina. Konsep ini muncul di bawah organisasi Badan Permusyawaratan Kewaganegaraan Indonesia (Baperki) yang didirikan tahun 1954 dan bubar pada tahun 1965. Baperki lebih menekankan pada persolan kewarganegaraan. Sebagaimana dinyatakan Suryadinata (2003:8), konsep kewarganegaraan lebih bersifat hukum atau politik.

Lebih jauh, Sindhunata melalui Putri Cina menolak asimilasi (anti kebudayaan Cina) yang cenderung pada persolan pribumi dan nonpribumi dengan menekankan pada ‗kemanusiaan‘ itu sendiri kepada khalayak luas. Kemanusiaan itu sendiri diwujudkan dengan menolak sikap ekslusif kepemilikan wilayah (konsep pribumi dan nonpribumi) melalui syair dari penyair Tao Yuan Ming seperti yang disebutkan di atas. Syair tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tidak punya akar dan bertebaran kemana-mana. Syair Tao Yuan Ming tersebut sejalan dengan Abdurahman Wahid yang dikutip oleh Suryadinata sebagai berikut:

Banyak orang Indonesia, termasuk NU yang dipimpinnya, seringkali menganggap etnis Tionghoa orang Indonesia, dan mencatat bahwa ini salah. Kesalahan tersebut berasal dari konsep pribumi, yang menganggap bahwa orang Tionghoa sebagai ras non pribumi. Ia mengatakan lebih lanjut bahwa Indonesia terdiri bukan hanya dari dua ras, melainkan tiga, yaitu: ras melayu, austro melanesia dan cina. Ketiga ras tersebut yang membentuk kebangsaan kita. Ia sendiri menyatakan dirinya berdarah sebagian Cina dan sebagian Arab, dan mengatakan bahwa tidak ada keturunan asli (2003:7).

Eddy Sadeli melalui Pribumi dan Non-Pribumi Benarkah Ada? menyatakan bahwa dua ribu tahun yang lalu, Indonesia adalah wilayah yang kosong, lalu wilayah ini didatangi oleh orang-orang dari beberapa dari golongan ras yaitu Ras Negroid, Wedoid, Melayu Tua, Melayu Muda, Indo Asia dan Indo Eropa (1998:92).

Ras Negroid memiliki ciri-ciri kulit hitam, tinggi dan rambut kriting. Mereka berasal dari Afrika dan sekarang menempati Irian. Ras Wedoid memiliki ciri-ciri kulit hitam, tubuh sedang dan rambut keriting. Ras ini datang dari India bagian selatan dan sekarang mendiami Kepulauan Maluku, Timor-timor dan

Kupang. Ras Melayu Tua memiliki ciri-ciri kulit sawo matang, tubuh tidak terlalu tinggi dan rambut lurus. Ras ini berasal dari Tiongkok bagian selatan, mereka menempati wilayah Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, dan Sulawesi. Ras Melayu Muda memiliki ciri-ciri kulit sawo matang agak kuning, tubuh tidak terlalu tinggi, dan rambut lurus. Ras ini menempati Riau, Minangkabau, Palembang, Lampung, Toraja, dan Manado. Terakhir adalah Indo Asia dan Indo Eropa, mereka ini terdiri dari etnis Arab, etnis India, etnis Jepang, etnis Pakistan, etnis Tionghoa dan lain-lain.

Dalam Putri Cina ajaran leluhur sangat berperan pada kehidupan tokoh Putri Cina. Pada kenyataan sosial, orang Tionghoa sebelum memeluk agama yang bersifat monoteistik seperti agama Islam, Kristen, Katolik, dan Yahudi cenderung mengalami kesulitan untuk menafsirkan agama mereka sendiri. Agama monoteistik mengenal tuhan, kitab suci dan nabi sebagai bagian dari kehidupan religius. Namun, berbeda dengan orang Tionghoa, mereka tidak mengenal tuhan, kitab suci, dan nabi sebagai bagian dari kehidupan religius mereka. Orang-orang Tionghoa pada kehidupan religius mereka lebih mengenal dewa-dewa yang jumlahnya ratusan daripada tuhan, nabi ataupun kitab suci. Seperti apa yang ditulis Ong Hok Ham, untuk memahami kehidupan orang Tionghoa, perlunya menggunakan kerangka kepercayaan orang Romawi kuno. Dari sini dapatlah diketahui bahwa kerangka kepercayaan orang Tionghoa mengacu pada kepercayaan yang sifatnya tradisional. Penjabaran dari kepercayaan tradisional ini

dapat ditemui saat mereka menjadikan Laksamana Cengho sebagai dewa yang disembah (2008:118).

Orang Tionghoa mengenal kelenteng sebagai tempat peribadahan mereka. Kelenteng berbeda dengan masjid atau gereja. Di kelenteng orang Tionghoa meminta pertolongan pada kekuatan supranatural seperti meminta rezeki, kesehatan, karir, jodoh, dan lain-lain. Sudah menjadi jelas bahwa permohonan pada kekuatan supranatural merupakan penjabaran dari kepercayaan terhadap kekuatan magis dewa-dewa seperti yang telah disebutkan di atas. Hal ini menunjukan bahwa mereka masih memegang tradisi kepercayaan lokal tradisional yang jauh untuk dikatakan sebagai sebuah agama (Ong Hok Ham, 2008:118).

Di dalam Putri Cina struktur ini ditemui di beberapa bagian. Salah satunya dapat dilihat di kutipan berikut:

Ia melanjutkan sembahyangnya. Bersujudlah ia di kimsin atau patung Kongco Hok Tek Ceng Sin. Kongco Hok Tek Ceng Sin adalah pelindung orang miskin. Ia tidak menuntut persembahan apa-apa. Ia juga mau ditempatkan di mana saja. Jamban pecah pun bisa dijadikan sebagai tempat pemujaannya. Katanya akan mudah terkabullah bila orang memohon rezeki lewat perantara Kongco Hok Tek Ceng Sin. Panen akan berhasil, dan ternak akan berkembang biak, kalau orang rajin memuja Kongco Hok Tek Ceng Sin.

Karena kemurahan hatinya, ia diangkat menjadi petugas Pintu Langit Selatan untuk menjaga kebun buah dewa. Karena itu orang-orang memuja dia sebagai dewa bumi. Kongco Hok Tek Ceng Sin digambarkan sebagai orang tua, ptuih jenggot dan rambutnya, dan selalu tersenyum ramah. Ia ditemani seekor harimau, yang namanya Hu Jiang Jun. Harimau itulah yang membantu Kongco Hok Tek Ceng Sin mengusir roh jahat dan menolong rakyat dari malapetaka (Sindhunata, 2007:39).

Orang Tionghoa juga mengenal Konfusius sebagai bagian dari kehidupan religius mereka. Inti ajaran Konfusius adalah dunia yang harmonis. Hubungan harmonis ini diwujudkan melalui pengabdian seorang anak kepada orang tua, baik

yang sudah hidup maupun yang sudah meninggal. Dalam hierarki yang lebih besar, kepercayaan ini diwujudkan melalui penghormatan terhadap dinasti. Ini masih jauh dari kategori agama karena Konfisius hanya mempertimbangkan dunia, bukan akhirat(Ong Hok Ham, 2008:120).

Orang Tionghoa yang melakukan migrasi pada umumnya adalah ekonomi kelas bawah. Konsep tentang Konfusius tidak terlalu berpengaruh. Pada masa dinasti Quing orang-orang Tionghoa yang keluar dari Cina dianggap pengkhianat. Hal ini disebabkan mereka (para perantau) telah meninggalkan tanah leluhur dianggap telah mengkhianati ajaran Konfusius. Meski begitu, orang-orang perantauan beranggapan lain, bagi mereka penghormatan terhadap orang tua dimulai dari tempat mereka berada. Orang inilah yang disebut sebagai generasi pertama.

Secara umum penghormatan terhadap dewa dan orang (leluhur) yang sudah meninggal disebut senism. Menurut Gondomo, pemeluk senism percaya bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya tergantung pada kerajinan, kepandaian, kepiawaian atau kerja keras, namun juga tergantung pada arwah-arwah, para dewa dan tokoh yang didewakan, serta terutama sekali dari leluhur mereka sendiri (1998:66).

Dalam praktik senism (baik penghormatan kepada dewa-dewa dan konfosius) orang Tionghoa mengibaratkan kehidupan di akhirat seperti kehidupan di dunia nyata. Mereka membawa buah-buahan, makanan, minuman sebagai prosesi ritual mereka. Atau juga membakar uang (dari kertas), rumah-rumahan

dari kayu, mobil-mobilan dari kardus dengan harapan orang yang sudah meninggal dapat menikmatinya di kehidupan sana.

Dengan melihat penjabaran sikap religius orang Tionghoa di atas. Sudah barang tentu sulit untuk menilai agama mereka. Sikap religius mereka bisa dipandang negatif karena mereka akan dinilai sebagai orang-orang yang hanya mementingkan urusan dunia. Maka dari itu, wajar jika mereka lebih sering mengalami konflik yang sifatnya ekonomi. Akan tetapi juga bisa positif jika mereka tetap berpijak pada nilai-nilai konfusius. Orang-orang Tionghoa perantauan harus menganggap bahwa tanah yang baru adalah tanah leluhur mereka. Maka mereka haruslah berbakti pada tanah yang baru ini sesuai dengan prinsip-prinsip Konfusius. Jadi, masuk akal bila Sindhunata selalu menekankan kepada orang-orang Tionghoa melalui Putri Cina untuk berpegang teguh pada nilai-nilai luhurnya agar mereka tidak dianggap sebagai binatang ekonomi.

Mengapa orang Cina hanya sibuk mencari harta? Begitu pikir Putri Cina. Ia bilang, nafsu akan harta bukanlah kodrat orang Cina. Tidakkah K‘ung Tzu berkata ―Kau tak usah resah jika kau tak punya jabatan. Tapi kau harus resah jika jabatanmu tak ada nilainya. Kau tidak usah resah, jika kau tidak mempunyai kehormatan, tapi kau harus resah, jika kehormatanmu tiada nilainya. Kau tidak usah resah jika kau tidak punya harta, tapi kau harus resah, jika hartamu tidak ada nilainya.‖

Jadi menurut K‘ung Tzu, orang tak dilarang mencari harta, asalkan harta itu ada nilainya. Pikir Putri Cina, adakah nilai dalam kekayaan yang kini diburu mati-matian oleh orang Cina, jika harta itu tidak dibagikan kepada sesamanya? (Sindhunata 2007:78).

Dokumen terkait