• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV IDEOLOGI PENGARANG DALAM NOVEL KITAB OMONG

4.1 Ideologi Pengarang

4.1.4 Ideologi Pengarang Mengenai Cinta

Dalam hal cinta, Maneka tidak terlalu berharap dapat menemukan cinta yang muluk- muluk. Maneka sudah terlalu lama bergelut dengan dunia yang hanya menawarkan cinta palsu. Masa lalunya sebagai pelacur membuatnya tidak memberikan ruang untuk cinta. Maneka berusaha mengubur semua kenangannya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan apa itu cinta. Hal ini juga yang membuatnya tidak begitu menanggapi cinta Satya, walaupun sebenarnya dia tahu dan menyadarinya. Maneka masih berusaha menyembuhkan luka yang telah lama menggerogoti dirinya.

Bagi Maneka, cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta hadir tanpa dibuat-buat. Semuanya berjalan wajar dan alami. Itu juga yang dirasakannya saat menyadari bahwa Satya mencintainya. Semua terasa berbeda dengan cinta palsu para lelaki yang hanya menginginkan tubuhnya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Maneka juga berharap dapat menemukan sebuah cinta yang tak menuntut apa pun.

Satya tidak mau menyerah begitu saja dalam menggapai cinta Maneka. Bagi Satya, cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Satya tahu bahwa Maneka tidak menanggapi cintanya, tetapi hal tersebut tidak membuatnya patah semangat. Justru hal inilah yang membuat Satya semakin mencintai

96

Maneka. Satya sadar luka yang pernah dialami Maneka, membuatnya sulit menerima cinta laki- laki mana pun, termasuk dirinya. Menurut Satya, cinta harus diperjuangkan dengan penuh kesabaran. Ketika Maneka diculik oleh bandit-bandit Gurun Thar, Satya mencarinya tanpa mengenal lelah dan tidak peduli berapa lama waktu yang harus dilaluinya untuk menemukan Maneka kembali. Kutipan berikut memperlihatkan bagaimana Satya dengan gigihnya mencari Maneka yang dicintainya.

(173)Dengan hati yang tiba-tiba kosong dan tersayat Satya meluncur menuruni bukit. Ia terus menyeberangi padang alang-alang bermaksud mencari sebuah desa untuk menyisir kembali jejak Maneka. Pasti setidaknya ada orang yang pernah melihat Maneka, pikir Satya, betapapun ia harus menemukan Maneka, meskipun akan makan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun, dan berpuluh-puluh tahun – sampai mati pun akan mencari Maneka. (Ajidarma, 2004: 357)

(174)Orang muda bernama Satya ini mengembara meinggalkan kampung halamannya hanya demi mengantarkan Maneka, seorang pelacur malang yang terlantar dan terlunta- lunta karena ingin mempertanyakan suratan nasibnya. Walmiki telah menulis kisah cinta Rama dan Sinta yang membanjirkan darah, namun ia merasa lebih tersentuh oleh cinta Satya yang tak terucapkan. Cinta yang hanya memberi, dan tidak pernah sekali pun meminta. (Ajidarma, 2004: 370)

Saat bertemu dengan Walmiki, Satya terlibat pembicaraan panjang dengan orang tua itu. Bukannya mempertanyakan jalan cerita yang ditulis Walmiki untuknya, Satya justru menanyakan nasib Maneka yang malang. Bagi Satya tidak ada yang lebih penting dari Maneka. Bagi Satya cinta hanya memberi dan tidak pernah sekali pun meminta. Karena prinsip itulah Satya selalu setia menemani Maneka ke mana pun dan mengabulkan segala

permintaannya. Kutipan berikut memperlihatkan usaha Satya membantu Maneka mempertanyakan nasibnya.

(175)“Empu Walmiki. Sudikah dikau mendengarkan aku bicara? seseorang ingin mengubah nasib yang dituliskan olehmu’” (Ajidarma, 2004:365)

(176)“Engkau menggugat atas nasib siapa?”

“Barangkali ia juga tidak ingin menggugat, ia hanya ingin bertanya, mengapa engkau memilih dia, seorang perempuan yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, untuk menjadi korban.” (Ajidarma, 2004: 369)

Sebagai empu yang meriwayatkan Ramayana, Walmiki dikenal sebagai orang tua yang bijak. Kepiawaiannya bercerita mampu memukau banyak orang. Lewat bercerita pula Walmiki mananamkan makna cinta dan kesetiaan pada pendengarnya. Dalam pandangan Walmiki cinta Rama pada Sinta sudah merupakan takdir yang sudah digariskan oleh Sang Pencipta sejak awal mula. Akan tetapi, bagi Walmiki cinta Rama tidak lebih mulia daripada cinta rakyat jelata. Cinta yang sesungguhnya tidak meminta korban. Kutipan berikut menunjukkan pemikiran Walmiki dalam memandang makna cinta.

(177)“Begini Lawa, begini Kusa,” ujar Walmiki sambil menyeruput kopi, “ibumu memberi harga kepada penciptaan. Memang boleh-boleh saja berkesenian tanpa merasa berkewajiban, karena kesenian memang hakikatnya hanya permainan. Tanpa inilah suatu cara menghargai kehidupan. Burung-burung dan angin boleh bertiup, melayang, dan hilang, karena mereka adalah peristiwa alam. Namun suara-suara serulingmu adalah penciptaan, bukan peristiwa alam. Suara serulingmu adalah pemberian nama kepada alam dan kehidupan, dalam matamu maupun hatimu, merupakan suatu tanggapan kemanusiaan. Itulah bedanya kalian dengan beruang.” (Ajidarma, 2004:54) (178)Mungkinkah cinta meminta korban dunia? Tidakkah ini cuma

98

Walmiki banyak menyampaikan pemikirannya tentang cinta dan kekuasaan dalam Ramayana. Berdasarkan kutipan di atas, Walmiki memandang cinta sebagai sesuatu yang mulia dan penuh kesetiaan. Ketika nafsu menguasai muncul dalam cinta, maka cinta tidak lagi bisa disebut cinta. Menurut Wamiki cinta murni adanya tanpa campur tangan hal- hal lain, termasuk kekuasaan.

Upacara Persembahan Kuda yang dilakukan Rama adalah akumulasi rasa dendam sekaligus cintanya pada Sinta. Seno melihat bahwa Rama terlalu dangkal dalam memahami makna cinta dan kesetian. Kutipan berikut memperlihatkan cara pandang Walmiki dalam melihat cinta yang mulai dinodai oleh ambisi berkuasa.

(179)Tiada percintaan lain yang begitu menelan korban, selain percintaan dalam persaingan kekuasaan. (Ajidarma, 2004: 51) (180)Cinta adalah mulia dalam setia

Setia tidak dimungkinkan oleh kuasa Cinta dalam kuasa, tipu daya namanya

Kuasa dalam cinta, penjajahan namanya. (Ajidarma, 2004: 83) Melalui analisis ideologi pengarang mengenai cinta diperoleh ideologi Seno dalam memandang cinta. Dalam ideologi Seno, cinta adalah sesuatu yang suci dan sakral seperti yang dituliskan Walmiki dalam Ramayana-nya. Cinta yang sebenar-benarnya tidak menuntut banyak hal seperti yang ditunjukkan Satya pada Maneka. Cinta tidak membutuhkan pembuktian. Cinta adalah cinta yang harus diterima apa adanya dan tanpa pertanyaan. Ketika

cinta mulai dipertanyakan, maka cinta mulai kehilangan makna yang sebenarnya.