• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV IDEOLOGI PENGARANG DALAM NOVEL KITAB OMONG

4.1 Ideologi Pengarang

4.1.6 Ideologi Pengarang Mengenai Ilmu Pengetahuan

Walaupun hanya seorang pelacur, Maneka mempunyai keinginan untuk bisa membaca dan menulis. Keinginannya ini bukan tanpa sebab. Menurut Maneka, segala ilmu pengetahuan bisa dipelajari jika dia bisa membaca dan menulis. Maneka menganggap penting kemampuan membaca dan menulis karena menurutnya semua itu bisa membantunya mengubah nasib. Walaupun bodoh, Maneka tidak mau terpuruk dalam kebodohan dan ketidaktahuan. Karena itulah, Maneka selalu meminta Satya untuk bercerita atau membacakan berbagai hal yang ingin diketahuinya. Di sini dapat dilihat bahwa Maneka memiliki pandangan positif mengenai pendidikan. Walaupun sudah tumbuh dewasa, Maneka tidak merasa terlambat untuk belajar.

106

(188)“Kalau aku bisa menulis seperti Walmiki, kukira aku bisa mengubah perjalanan hidupku,” katanya.. (Ajidarma, 2004: 126) (189)Di balik keluguannya Maneka sebetulnya terus- menerus berpikir,

seperti mengebor ladang minyak di laut, sangat bernafsu menemukan pengetahuan baru. (Ajidarma, 2004: 206)

Maneka yang hanya rakyat kecil merasa iba dan kasihan setiap kali menemui para korban Persembahan Kuda yang ditemuinya di perjalanan, seperti terlihat pada kutipan (135). Kehancuran yang diakibatkan Persembahan Kuda membuat banyak orang kehilangan sanak keluarga dan harta benda mereka. Maneka melihatnya sebagai suatu hal yang harus diperjuangkan. Keadilan harus kembali ditegakkan. Ilmu pengetahuan yang hancur pun harus kembali disusun agar peradaban bisa berlangsung.

(190)Maneka melihat para pengungsi. Di sepanjang jalan hanya terlihat berjuta-juta pengungsi, dari segala penjuru saling bersimpangan arah menuju ke berbagai tujuan. Dunia kacau dan kehidupan berantakan. Mudah untuk menyerbu, membantai, dan menghancurkan peradaban, tetapi tidak pernah mudah untuk membangunnya kembali. (Ajidarma, 2004: 128)

Dalam perjalanan mencari Kitab Omong Kosong, Maneka semakin pandai dalam berargumentasi. Pola pikir Maneka pun berkembang sejak Satya banyak membacakan cerita-cerita dan berbagai ilmu pengetahuan untuknya. Hal ini terlihat saat Maneka dan Satya berdiskusi mengenai penciptaan. Bagi Maneka bukanlah suatu hal yang salah jika seseorang hanya mampu menjadi penyalin. Seorang penyalin pun menurut Maneka sama dengan pencipta. Kutipan berikut berisi pandangan Maneka mengenai seorang penyalin.

(192)“Dalam hal itulah engkau telah memperkaya dunia Satya, karena dalam penerjemahan berlangsung penciptaan. Bukankah itu berarti kamu menciptakan kembali sebuah dunia?” (Ajidarma, 2001: 165)

Satya merupakan pemuda yang pandai. Walaupun hanya seorang anak petani, kegemarannya membaca membuatnya lebih pandai daripada anak petani pada umumnya. Kegemarannya membaca dan mendengarkan cerita dari para tukang cerita semakin memperkaya wawasan dan pandangannya atas dunia. Hal ini menyebabkan pola pikir Satya yang maju. Karena itulah Satya tumbuh menjadi pemuda yang tidak mempercayai hal-hal mistis tanpa adanya pembuktian secara ilmiah. Bagi Satya, segala pertanyaan atas dunia bisa dijelaskan tanpa harus melibatkan hal- hal mistis. Satya adalah orang yang realistis sehingga dia menganggap bodoh segala hal yang dirasanya tidak masuk akal. Kutipan berikut merupakan contoh pemikiran Satya mengenai para penyembah berhala dan pemuja hal mistis.

(193)Di sepanjang jalan ia melihat patung-patung berhala yang sudah tidak terawat lagi. Satya merasa aneh, menyadari betapa masih ada orang menyembah berhala. Seperti dunia ini mundur lima ratus tahun, pikirnya. (Ajidarma, 2004: 353)

(194)“Orang-orang bodoh yang percaya mistik,’ pikirnya, ‘mengira rajah sejak lahir sebagai kutukan. Apa yang lebih bodoh dari ini?” (Ajidarma, 2004: 354)

Tulisan itu sendiri tidak penting, karena tulisan hanyalah suatu produk. Yang penting adalah prosesnya, karena dalam proses itu seorang penulis berusaha menciptakan ruang kebebasan (Ajidarma, 2005: 165). Menurut ideologi Seno, keberadaan ilmu pengetahuan sebagai penunjang hidup sangat

108

penting. Dengan ilmu pengetahuan, seorang manusia mampu menjelaskan kerumitan dan kebingungan mengenai semesta. Proses belajar adalah salah satu jalan memperoleh pengetahuan. Selama menjalani proses inilah seorang manusia ditempa untuk menjadi lebih tahan uji. Apa pun hasil yang diperoleh, proses menuju hasil inilah yang paling penting dalam keseluruhan proses belajar.

Maneka dengan segala kebodohannya mampu belajar dari proses hidup yang tengah dijalaninya. Bersama Satya, Maneka mengalami sebuah proses yang membuatnya mampu mencerap ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan di sini tak hanya sebatas kemampuan membaca dan menulis, tetapi lebih kepada pengetahuan akan dunia dan is inya. Dengan mempelajari Kitab Omong Kosong, Maneka dan Satya memperoleh sebuah pemahaman baru tentang dunia. Melalui Kitab Omong Kosong, dapat dilihat ideologi Seno dalam memandang dunia dan isinya.

Bagian pertama menceritakan Dunia Sebagaimana Adanya Dunia. Segala hal mengenai dunia dicatat dengan rinci, seperti “umur sebuah pohon kelapa dan berapa buah kelapa akan dihasilkan oleh pohon tersebut” dapat memberikan pemahaman tentang dunia. Bagian kedua adalah Dunia Seperti Dipandang Manusia. Bagian ini mengatakan bahwa segala hal yang dikatakan manusia hanya dapat berlaku dalam cara pandang manusia. Tanpa disadari (dan dipandang) manusia, maka sebuah benda sebenarnya tidak pernah ada. Dunia menjadi ada, karena manusia memandangnya dan

memahaminya. Dengan demikian sungguh sebuah omong kosong bila manusia mengatakan adanya dunia ketika ia sendiri berada di dalamnya dan masih berusaha memahaminya. Hal ini merupakan penjelasan dari bagian ketiga, Dunia Yang Tidak Ada. Manusia hanya dapat memahami cara penggambaran dunia itu untuk menyatakannya ada. Jika mustahil manusia menyatakan dunia itu ada karena tidak pernah sungguh-sungguh keluar dari dalamnya, maka dibuatlah cara untuk memahami dunia tanpa harus keluar darinya. Melalui “omong kosong” ini maka manusia menemukan cara untuk menciptakan kembali dunia yang sesungguhnya masih dipertanyakan ada atau tidaknya. Hal ini merupakan penjelasan bagian keempat, Mengadakan Dunia. Bagian terakhir Kitab Omong Kosong yaitu Kitab Keheningan. Setelah dunia akhirnya kembali dibuat “ada” melalui “omong kosong” maka bagian terakhir adalah Kitab Keheningan, yang berupa sekumpulan halaman kosong, tanpa ada tulisan apapun di dalamnya. Ketika dunia telah dapat diadakan kembali maka tidak ada lagi apa-apa yang dapat dilakukan terhadap dunia itu. Manusia dengan mudah dapat menghancurkan dan membangunnya kembali.

Sepertinya dunia ini makin canggih dalam mengesahkan nafsu kemaruknya, hidup seperti cuma mengabdi kepada pengerukan keuntungan (Ajidarma, 2002: 36). Kitab Omong Kosong yang selama ini diyakini mampu mengembalikan peradaban dan ilmu pengetahuan yang hancur akibat Persembahan Kuda telah membuat banyak orang terbunuh. Mereka begitu

110

berhasrat memperoleh Kitab Omong Kosong sehingga tega menghabisi nyawa orang lain demi mendapatkannya. Para pencari kitab ini yakin dan percaya bahwa siapa saja yang memiliki Kitab Omong Kosong, dia akan menguasai dunia. Mereka menganggap Kitab Omong Kosong berisi ilmu yang mampu membuat segala keinginan terkabul. Padahal kitab tersebut hanya bisa dipahami isinya oleh orang yang benar-benar bersih hatinya.

(195)“Masalahnya manusia yang menginginkan agar kita semua tetap bodoh dan buas, supaya kita semua tenggelam dalam kegelapan, sehingga dengan menjadi penguasa tunggal atas pengetahuan, bisa berkuasa dalam segala bidang. Padahal pengetahuan itu hak semua orang. Dengan demikian kitab itu sekarang menadi rebutan, baik antara pihak-pihak yang ingin menguasainya maupun dengan pihak yang ingin menyelamatkan dan menyebarkannya. Sejumlah penjahat besar telah mengumpulkan modal untuk menghimpun sisa-sisa peneliti yang bisa ditemukan, dan bersedia dibayar untuk kepentingan mereka, agar menemukan tempat itu. Setelah berbulan-bulan penyelidikan, diketahuilah bahwa kitab itu disimpan oleh Sang Hanoman.” (Ajidarma, 2004: 200-201)

Kita hidup di dalam dunia makna, segala sesuatu adalah simbol yang masih selalu bisa ditafsirkan kembali secara kritis (Ajidarma, 2005: 158). Manusia ternyata tidak dapat mengatasi perkembangannya sendiri. Pengetahuan sebagai hasil kebudayaan manusia seolah telah dapat berpikir sendiri dan mulai mengatur manusia. Seno ( dalam Ajidarma, 2005: 153) menyatakan bahwa fakta maupun fiksi hanyalah cara manusia memberi makna kepada dunia dan kehidupannya.

Kitab Omong Kosong yang ada pada Hano man adalah satu-satunya kitab pengetahuan yang tersisa. Kitab itu dianggap begitu berharga karena kelangsungan peradaban dan masa depan manusia bergantung pada pengetahuan yang ada dalam buku itu. Akan tetapi, buku itu justru menyatakan sebaliknya. Jangankan pengetahuan, bahkan dunia pun dikatakan tidak ada. Oleh karena itu, dunia harus dibuat ada terlebih dahulu agar masa depan me njadi ada. Seno (dalam Ajidarma, 2005: 163-164) mengatakan bahwa kebenaran itu mustahil diketahui, karena manusia selalu berada dalam kondisi ketercakrawalaannya sendiri: saya tidak akan pernah mampu menengok seberang cakrawala itu, sedangkan apa yang saya ketahui antara diri saya sampai di batas cakrawala itu, seberapa ilmiah pun, hanyalah merupakan pengetahuan manusiawi – dan saya tak pernah tahu pasti seberapa jauh sudut pandang manusiawi ini sahih, meskipun untuk secuil saja dari kebenaran itu.

Berdasarkan analisis ideologi pengarang mengenai ilmu pengetahuan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan ideologi Seno dalam memandang ilmu pengetahuan. Dalam ideologi Seno, proses belajar adalah salah satu jalan memperoleh pengetahuan. Selama menjalani proses inilah seorang manusia ditempa untuk menjadi lebih tahan uji. Apa pun hasil yang diperoleh, proses menuju hasil inilah yang paling penting dalam keseluruhan proses belajar. Dalam ideologi Seno, ilmu pengetahuan adalah alat untuk membawa perubahan yang baik dalam masyarakat bukan alat untuk menguasai.

112