• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ALUR, TOKOH UTAMA, DAN PENOKOHAN TOKOH UTAMA

2.4 Rangkuman Alur, Tokoh Utama, dan Penokohan Tokoh Utama

Analisis alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama dalam KOK dapat disimpulkan secara umum. Alur yang digunakan dalam KOK adalah alur maju. Bagian awal cerita yang berisi perkenalan dimulai dengan peristiwa Persembahan Kuda yang dilakukan Rama sebagai Raja Ayodya untuk menaklukkan anak benua. Balatentara Ayodya dan Goa Kiskenda menghancurkan dan memusnahkan apa pun yang mereka lewati. Konflik berlanjut ketika pasukan Ayodya dan Goa Kiskenda mendapat lawan yang tangguh. Mereka adalah Lawa dan Kusa yang tak lain adalah putra kembar Rama dan Sinta. Konflik juga terjadi pada Satya dan Maneka yang menjadi korban Persembahan Kuda. Satya dan Maneka yang bertemu secara tidak sengaja, memutuskan untuk mencari Walmiki untuk mengubah nasib. Konflik semakin meningkat ketika Satya dan Maneka memutuskan untuk mencari Kitab

Omong Kosong. Konflik batin juga terjadi pada Satya dan Maneka. Satya diam-diam mencintai Maneka. Sementara itu, Maneka berusaha mengabaikan perasaan Satya karena trauma akan masa lalunya sebagai pelacur. Konflik memuncak ketika Maneka diculik para bandit Gurun Thar dan hampir dijadikan korban persembahan.

Klimaks terjadi saat Hanoman mengubur semua orang Gurun Thar tersebut dan menanamkan sebuah totem sebagai peringatan tentang orang jahat yang terhukum. Dengan kemarahan yang luar biasa, Hanoman menghukum semua orang Gurun Thar tanpa ampun. Klimaks menurun saat Satya dan Maneka akhirnya bertemu. Mereka juga berhasil menemui Walmiki dan meminta undur diri dari cerita yang ditulisnya. Satya dan Maneka juga berhasil bertemu dengan Hanoman . Penyelesaian terjadi ketika Satya dan Maneka berhasil menemukan semua bagian dari Kitab Omong Kosong dan berhasil memahami isinya.

Tokoh utama dalam KOK adalah Satya, Maneka, Hanoman, Walmiki, dan Rama. Maneka adalah seorang perempuan bekas pelacur berusia 20 tahun yang berkemauan keras, pantang menyerah, memiliki keinginan kuat untuk mempelajari segala hal, pemberontak, dan tertutup dalam menanggapi cinta. Satya adalah seorang pemuda berusia 16 tahun yang sabar, penuh pengertian, pandai, berkemauan kuat, dan sangat menghargai kesucian cinta. Hanoman adalah wanara putih yang pemberani, setia, menjunjung tinggi kebenaran, berani melawan arus jika hal yang diyakininya benar, bijaksana, dan membenci ketidakadilan. Walmiki adalah penulis Ramayana

yang sangat termashur. Dia adalah orang tua yang bijaksana, penuh pengertian, dan kesepian. Rama adalah sosok raja yang penuh keraguan, ambisius, dan arogan.

68 BAB III

PENGARANG IMPLISIT

DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

3.1 Pengarang Implisit

Implied author atau pengarang implisit adalah seseorang yang ada di balik pengarang dan dipakai pada saat menuliskan karyanya (Taum, 1997: 28). Seno sebagai pengarang nyata melibatkan diri dalam karya yang ditulisnya. Penulis nyata adalah pengarang sendiri yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap kalimat-kalimat yang diajukan dalam karyanya itu. Jadi kalimat-kalimat-kalimat-kalimatnya sesuai dengan intensi pengarang itu sendiri, namun intensi itu bukanlah rencana yang dipikirkan sebelum penciptaan atau motif yang mendorong penulisan, melainkan apa yang diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan dalam karyanya (Taum, 1997: 29).

Tamba dalam tulisannya yang berjudul Wayang dalam Sastra: Tertawa Versus Ketegangan mengatakan bahwa dalam novel KOK, Seno mencoba mengukuhkan mitos wayang Ramayana namun sekaligus pula mencoba membongkar, memberontak dan mendekontruksi mitos dan nilai- nilai tentang lakon Ramayana yang sudah mengakar di masyarakat. Upaya pembongkaran ini pertama sekali terletak pada penyusunan alur cerita. Kalau kitab Ramayana asli dibagi dalam urut-urutan tujuh kanda, yakni Bala Kanda, Ayodya Kanda, Aranya Kanda, Kiskenda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Utara Kanda, dalam novel KOK, Seno justru memulai dari ide cerita Utara

Kanda yang justru merupakan bagian akhir Ramayana yang tidak populer di Jawa (http://www.ppsjs.com.htm)

Seno sebagai pengarang nyata (real author) berada dalam karyanya sebagai sosok lain, yaitu pengarang implisit (implied author). Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston pada tanal 19 Juni 1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Ayahnya Prof. Dr. MSA Sastromidjojo adalah guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. Tapi, lain ayah, lain pula si anak. Seno Gumira Ajidarma bertolak belakang dengan pemikiran sang ayah. Walau nilai untuk pelajaran ilmu pasti tidak jelek-jelek amat, ia tak suka aljabar, ilmu ukur, dan berhitung. “Entah kenapa. Ilmu pasti itu kan harus pasti semua dan itu tidak menyenangkan,” ujar Seno (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/26/kampus/buku.htm).

Dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, Seno gemar membangkang terhadap peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap sebagai penyebab setiap kasus yang terjadi di sekolahnya. “Aku pernah diskors karena membolos,” tutur Seno. Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Selama tiga bulan ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gela rnya profesor doktor. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia minta duit pada ibunya. Tapi ibunya mengirim tiket untuk pulang. Seno pulang dan meneruskan sekolah (ibid).

70

Ketika SMA ia sengaja memilih SMA yang tidak memakai seragam. “Jadi aku bisa pakai celana jeans, rambut gondrong.” Komunitas yang dipilih sesuai dengan jiwanya. Bukan teman-teman di lingkungan elit perumahan dosen Bulaksumur UGM, tetapi komunitas anak-anak jalanan yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro. “Aku suka itu karena liar, bebas, dan tidak ada aturan.” (ibid).

Seno mengalami banyak hal selama berkarir sebagai seorang wartawan. Seno dikenal sebagai wartawan yang berani mengungkapkan fakta dalam setiap tulisannya. Sastra merupakan salah satu caranya dalam mengungkapkan kebenaran. Dalam kumpulan esainya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Seno menyatakan bahwa ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena jika jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran (Ajidarma, 2005: 40).

Seno sebagai pengarang implisit melihat kekuasaan sering digunakan sebagai alat penindasan. Hal tersebut terlihat saat Rama menggunakan kekuasaannya dengan semena- mena. Penaklukan anak benua yang dilakukan dengan berbagai perusakan dianggap suatu hal yang sah. Seno sebagai pengarang implisit tidak setuju dengan hal tersebut. Kutipan berikut menunjukkan ketidaksetujuan Seno.

(134) Satu pembunuhan menimbulkan luka satu keturunan, seribu pembantaian menimbulkan luka satu generasi. Bagaimanakah suatu bangsa akan tumbuh dengan luka panjang dalam sejarahnya? Bagaimanakah suatu kesakitan harus diterima? (Ajidarma, 2004: 190)

(135) Mudah untuk menyerbu, membantai, dan menghancurkan peradaban, tetapi tidak pernah mudah membangunnya kembali (Ajidarma, 2004: 128).

(136)Maka berlangsunglah Persembahan Kuda, sebuah upacara untuk dewa-dewa atas nama perdamaian yang menginjak- injak hak asasi manusia. (Ajidarma, 2004: 15)

(137) Penderitaan tidak melahirkan perenungan, melainkan dendam terhadap kemapanan. Kejahatan marak di mana- mana. Perampokan, pemerkosaan, danpembunuhan bukan lagi suatu kesalahan (Ajidarma, 2004: 128).

Pemberontakan Seno sebagai pengarang implisit terhadap penguasa dalam

KOK juga tercermin dalam kehidupan Seno sebagai pengarang nyata. Seno adalah sosok yang tidak suka dengan tindakan semena-mena penguasa yang kadang meremehkan rakyat kecil. Seno juga sosok ayah yang sangat menyayangi anaknya. Jiwa Seno kembali terusik ketika Timur Angin, anaknya, menjadi salah satu korban. Timur Angin terlibat demonstrasi di boulevard UGM pada 3 April 1998 yang berakhir dengan penyerbuan aparat keamanan ke dalam kampus. Dia mengirim somasi kepada Panglima ABRI yang saat itu berkuasa untuk meminta maaf secara terbuka. Kutipan berikut merupakan penggalan surat terbuka Seno yang ditujukan pada Panglima ABRI.

(138) Seperti telah diketahui, saya melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta telah mengajukan tuntutan kepada Panglima Angkatan Bersenata Republik Indonesia, berhubungan dengan Tragedi 3 April di Universitas Gadjah Mada. Dalam peristiwa itu, anak saya, Timur Angin, 19, telah diseret dan diinjak- injak

kepalanya oleh para petugas keamanan. (http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/04/08/0027.h

tml)

(139) Saya telah mengajukan tuntutan, dan hal ini telah dipublikasikan. Sehubungan dengan hal itu banyak pihak telah memperingatkan saya bahwa “seperti yang lain- lain” pasti akan diteror. Maksudnya? Tekanan tidak resmi supaya saya mencabut gugatan. Saya bukan orang yang begitu beraninya melawan teror, melainkan saya masih percaya bahwa jiwa ksatria seperti yang ada pada diri Kolonel (Pol) Chaerul belum hilang sama

72

sekali dari ABRI milik rakyat Indonesia ini. (http:// www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/04/08/0027.html) Pada usia 17 tahun ia bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar A.N. sejak itu , ia terus terlibat dalam dunia kesenian. Seno memulai kegiatan sastranya dengan menulis puisi, cerita pendek, baru kemudian menulis esai. Puisinya yang pertama dimuat dalam rubrik Puisi Lugu majalah Aktuil asuhan Remy Silado. Cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional dan esainya yang pertama tentang teater dimuat di surat kabar Kedaulatan Rakyat (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/26/kampus/buku.htm).

Pada tahun 1997 Seno pindah ke Jakarta dan kuliah di Departemen Sinematografi Lembaga Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta). Pada tahun yang sama Seno mulai bekerja sebagai wartawan lepas pada surat kabar Merdeka.

Tidak lama kemudian ia menerbitkan majalah kampus bernama Cikini dan majalah film bernama Sinema Indonesia. Setelah itu, ia juga menerbitkan mingguan Zaman

dan ikut menerbitkan majalah berita Jakarta-Jakarta pada tahun 1985. Pekerjaan sebagai wartawan terus dijalani Seno sambil tetap menulis cerpen dan esai (ibid).

Pada tahun 1992 Seno dibebastugaskan dari jabatan redaktur pelaksana

Jakarta-Jakarta berkaitan dengan pemberitaan tentang insiden Dili pada tahun 1991. Selama menganggur, Seno kembali ke kampus, yang ketika itu telah menjadi Fakultas Televisi dan Film, Institut Kesenian Jakarta. Ia menamatkan studinya dua tahun kemudian. Setelah sempat diperbantukan di tabloid Citra pada akhir tahun 1993,

Seno kembali diminta memimpin Jakarta Jakarta yang telah berubah menjadi majalah hiburan (ibid).

Pengarang implisit dalam KOK melihat bahwa tindakan semena- mena penguasa tidak harus diterima dengan rasa takut, tetapi dilawan. Hal ini terlihat dari tokoh Hanoman yang berani melawan Rama yang sudah mulai dibutakan oleh kekuasaan. Hanoman mengambil tindakan berani untuk meninggalkan Rama, raja yang selama ini dijunjungnya, karena Rama tidak lagi menjadi penguasa yang mengayomi rakyat. Tindakan berani yang diambil Hanoma n merupakan upaya pemberontakan pengarang implisit dalam mempertahankan kebenaran. Hanoman berani melawan arus, walaupun dengan konsekuensi dia harus meninggalkan Ayodya karena prinsipnya.

Seno dalam KOK melihat kaum miskin dan terpinggirkan sebagai kaum yang istimewa. Hal ini terlihat dari cara Seno mengangkat Satya dan Maneka ke dalam alur cerita Ramayana-nya. Seno sebagai pengarang implisit membuat Satya dan Maneka yang semula hanya tokoh tak berarti menjadi bagian penting dalam perjuangan manusia mencapai kesempurnaan peradaban dan ilmu pengetahuan. Melalui tokoh Satya dan Maneka ini, pengarang implisit hendak menegaskan betapa pentingnya peran kaum terpinggirkan dalam dunia ini, walaupun kehadiran mereka banyak terlupakan. Penguasa sekalipun tidak akan memperoleh kekuasaannya tanpa bantuan mereka. Akan tetapi, betapa pun pentingnya kehadiran kaum terpinggirkan ini, mereka selalu menjadi korban atas segala tindakan penguasa. Kutipan berikut menunjukkan pengarang implisit yang berpihak pada kaum terpinggirkan.

74

(140) Selalu rakyat yang jadi korban (Ajidarma, 2004: 136)

Melalui perjalanan Maneka dan Satya dalam mencari Walmiki dan Kitab Omong Kosong, terlihat usaha pengarang implisit untuk memperlihatkan usaha kaum terpinggirkan dalam mengubah nasibnya. Maneka dan Satya diceritakan begitu gigih dalam mencari Walmiki untuk menuntut perubahan jalan hidupnya. Mereka juga sangat total dalam mencari Kitab Omong Kosong. Kedua hal tersebut mereka jalani walaupun jalan berliku harus dilewati. Tak jarang mereka menghadapi masalah dalam perjalanan, bahkan Maneka sampai diculik oleh para bandit Gurun Thar dan hampir dijadikan korban persembahan. Usaha keras keduanya bukannya tanpa hasil. Mereka berhasil menemukan Walmiki dan menuntut keluar dari jalan ceritanya. Mereka juga berhasil menemui Hanoman dan menemukan Kitab Omong Kosong, bahkan berhasil memahami isinya. Akan tetapi, segala perjalanan dan lika- liku yang ditempuh seakan tidak menunjukkan hasil yang luar biasa. Hal tersebut tidak lantas membuat mereka menjadi orang yang paling berkuasa atau orang yang paling pandai. Keduanya menjalani kehidupan biasa setelah berhasil melewati semua itu. Perbedaannya, kini mereka bisa menjalani kehidupan yang lebih baik. Maneka tidak lagi tersiksa dengan masa lalunya sebagai pelacur dan bisa menjalani kehidupan normal, demikian juga Satya. Pengarang implisit seakan ingin menunjukkan bahwa usaha kaum terpinggirkan untuk mengubah hidupnya, terkadang juga berimbas pada perubahan dunia. Walaupun hal tersebut tidak disadari orang, toh rakyat kecil juga ikut ambil bagian penting dalam membawa perubahan.

Di bagian paling akhir KOK, diketahui bahwa ternyata Togog- lah yang menuliskan cerita ini. Togog dikenal sebagai abdi para tokoh jahat dalam dunia pewayangan. Dia adalah saudara Sema r. Togog selalu mengabdi pada tokoh-tokoh yang memiliki sifat buruk. Tugasnya adalah menjadi penasihat bagi para tuannya yang jahat agar bisa melaksanakan setiap niat liciknya. Akan tetapi, Togog juga selalu diabaikan dan dianggap tidak penting. Di sini, Seno sebagai pengarang implisit hendak menampilkan Togog sebagai pencerita. Seorang Togog-pun patut untuk didengarkan. Tidak selamanya tokoh yang dianggap jahat selamanya memiliki sifat buruk dan tokoh yang baik memiliki sifat yang terpuji. Tokoh yang dianggap buruk sifatnya pun bisa mengungkapkan kebenaran dari sudut pandangnya.

(141) Saya Togog, penulis cerita ini, mohon maaf kepada Pembaca yang Budiman, telah menghabiskan waktu Pembaca sekian lama untuk mengikuti cerita ini. Saya Togog hanyalah tukang cerita yang bodoh tidak diberkati para dewa. Saya Togog, hanyalah orang terbuang, tidak disayang seperti Semar, memang tidak layak diperhatikan, buruk rupa, terlalu banyak bicara, banyak bohong, berpanjang-panjang mengarang cerita (Ajidarma, 2004 618).

Pengarang implisit dalam KOK memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah perempuan. Sinta dan Maneka adalah dua tokoh perempuan yang tertindas. Sinta adalah istri Rama yang harus pergi meninggalkan Ayodya dan terlunta- lunta di hutan akibat ketidakpercayaan suaminya sendiri. Maneka adalah pelacur malang yang menderita akibat rajah kuda yang dimilikinya sama dengan kuda yang digunakan Rama dalam Persembahan Kuda. Sinta dan Maneka adalah dua wanita dari dua kelas sosial yang berbeda, tetapi mengalami nasib yang hampir sama. Keduanya menjadi

76

korban kekuasaan. Pengarang implisit melihat bahwa perempuan dari berbagai kalangan selalu menjadi korban.

(142)“Menyerahlah perempuan dengan rajah kuda di punggung! Menyerahlah! Kamu terkutuk untuk menadi korban!” (Ajidarma, 2004: 313)

(143) “Ia tak pernah peracaya aku setia, ia mencintaiku atau menguasaiku?” (Ajidarma, 2004: 82)

Sinta berjuang mempertahankan cinta dan kesetiaannya selama berada dalam tawanan Rahwana. Sementara itu, Rama justru terpengaruh dengan hasutan rakyat dan mengusir Sinta dari Ayodya karena menganggapnya sudah tidak suci lagi. Di sini terlihat pengarang implisit yang peduli pada permasalahan-permasalahan perempuan.

Pengarang implisit juga melihat kompleksnya cinta yang harus dijalani Sinta, Satya, dan Maneka. Bagi sebagian orang, cinta dan kesetian harus mampu dibuktikan. Hal ini juga yang dituntut Rama. Dia ingin istrinya membuktikan bahwa dirinya masih suci. Sementara itu, cinta yang dipendam Satya pada Maneka adalah cinta yang suci dan tidak menuntut.

Sejak kecil Seno dikenal sebagai sosok yang pembangkang. Karena kebebasannya untuk menuliskan Insiden Dili dalam pemberitaan telah dipasung, Seno berusaha menuliskannya ke dalam bentuk lain yaitu sastra. Dari sinilah lahir kumpulan cerpen Saksi Mata dan sebuah novel Jazz, Parfum, dan Insiden yang berlatar belakang insiden Dili. Menulis cerpen merupakan usaha lain untuk mengungkapkan kebenaran. Dalam kumpulan esainya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Seno mengungkapkan proses kreatifnya perihal cerpen dan novelnya yang berlatar insiden Dili. Dalam bukunya ini, Seno dengan juga

mengungkapkan cara berpikirnya dalam ‘pembungkaman’ yang dilakukan pemerintah Orde Baru atas Jakarta Jakarta. Kutipan berikut menunjukkan pengakuan Seno seputar pemberhentiannya dari Jakarta Jakarta dan usaha perlawanan yan dilakukan untuk mengungkap kebenaran.

(144) Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena jika jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran. Ini membuat saya dengan sengaja mencari segala segi dari Insiden Dili yang bisa menjadi cerpen – sebagai suatu cara untuk melawan (Ajidarma, 2005: 40).

(145) Peristiwa yang saya alami – tanpa merujuk lembaga apapun – saya anggap merupakan keangkuhan kekuasaan, yang begitu tidak rela terusik, meski melakukan kesalahan. Angkuh bukanlah suatu kesalahan, kesalahannya adalah karena harus mengorbankan orang lain. Tapi jika orang lain itu adalah saya, dengan rendah hati, meski tanpa saya kehendaki, saya akan melawan. Dalam bahasa preman, “acing diinjak pun menggeliat, apala gi manusia.” Dengan ini saya ingin menyatakan, perlawanan saya bukanlah suatu tindakan heroik – itu hanya soal naluri alamiah (Ajidarma, 2005: 97-98)

(146) Saya diberhentikan karena meloloskan berita mengenai Insiden Dili 12 November 1991: laporan 17 saksi mata mengenai peristiwa berdarah itu, yang jelas berbeda dengan berita-berita di media massa resmi. Saya menafsirkan pemberhent ian saya sebagai usaha pembungkaman untuk mengungkap fakta seputar Insiden Dili, saya menganggap perlawanan paling tepat adalah mengungkapkan kembali fakta tersebut. Namun karena saat itu saya mengalami pencekalan dalam dunia fakta, maka saya hanya berpeluang mengungkapkannya dalam dunia fiksi (Ajidarma, 2005:180-181)

Seno yang berjiwa bebas juga tercermin dalam karyanya. Seno sebagai pengarang implisit berbicara mengenai kebebasan. Satya dan Maneka adalah dua tokoh yang menuntut perubahan dalam jalan hidupnya. Keduanya mencari Walmiki untuk menuntut jalan cerita yang telah dituliskan untuk mereka. Satya dan Maneka bukan satu-satunya tokoh yang minta keluar dari jalinan cerita yang ditulis Walmiki.

78

Ada Talamariam, Kapi Moda, dan beberapa tokoh tak bernama yang menemui Walmiki dan minta undur diri untuk menuliskan cerita mereka sendiri. Tokoh-tokoh yang dikisahkan menggugat Walmiki ini adalah tokoh-tokoh kecil dalam alur cerita

Ramayana. Seno sebagai pengarang implisit melihat bagaimana tokoh kecil atau kaum terpinggirkan selalu berusaha menuntut perubahan nasib, tetapi kehadiran mereka bahkan tidak disadari dan cenderung dilupakan.

(147) “Walmiki,” kata wanara tua itu, “kamu lupa membunuhku.” (Ajidarma, 2004: 484)

(148) Walmiki, meskipun ingat akan Kapimoda, lupa- lupa ingat akan perannya (Ajidarma, 2004: 485).

(149) “Itulah masalahnya, Walmiki, riwayatku berubah-ubah daris atu penulis ke penulis lain. Mereka menafsirkanku dengan cara yang berbeda-beda sama sekali, kadang-kadang dengan sangat bertolak belakang. Akumerasa terpontang-panting dari watak satu ke watak lain.” (Ajidarma, 2004: 513).

(150) “Itulah masalahnya, setelah pribadiku tidak jelas, aku tak berperan apa pun, para pengarang tidak pernah peduli lagi kepadaku, aku menadi terlantar.s etelah berubah-ubah begitu rupa, aku menadi bukan siapa-siapa. Padahal aku ini tetap ada. Siapakah aku, wahai pengarangku, engkau harus memberekan aku.” (Ajidarma, 2004: 513-514)

(151) Itulah pertanyaannya. Seberapa jauh seorang juru cerita bertanggung jawab atas nasib tokoh-tokohnya? (Ajidarma, 2004: 369)

“Jalan ilmu pengetahuan terstruktur membukakan kesadaran bahwa realitas ‘yang benar’ adalah konvensi, kesepakatan; bahwa yang bernama ‘realitas’ sebenarnya merupakan konstruksi sosio-historis. Segala sesuatu diciptakan karena ada kebutuhan. Teori juga begitu. Mereka lahir dari yang sudah ada. Posmodernisme lahir karena modernisme, dekonstruksi lahir karena konstruksi, poststruktularisme lahir karena strukturalisme,” ujarnya

(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/19/Sosok/197999.htm). Dalam KOK ilmu pengetahuan menjadi kunci utama membangun peradaban yang hancur akibat bencana Persembahan Kuda. Kitab Omong Kosong menjadi kunci untuk menyatukan lagi segala ilmu pengetahuan dan membangun peradaban yang telah hancur. Akan tetapi, ilmu pengetahuan menjadi alat untuk memperebutkan kekuasaan. Kitab Omong Kosong dianggap mampu membuat seseorang berkuasa jika berhasil mendapatkan dan memilikinya. Seno sebagai pengarang implisit melihat ilmu pengetahuan dalam KOK menjadi salah satu alat pemenuh hasrat manusia untuk berkuasa.