Lalu bagaimana ikhtiar di tingkat lokal Aceh? Pada prinsipnya Gubernur Irwandi mendukung pembentukan KKR karena merupakan amanah
13
dari MoU Helsinki. Irwandi juga menyatakan ikhtiar yang sudah dilakukannya untuk mencari payung hukum bagi KKR Aceh, yakni dengan cara menulis surat pada Presiden SBY. Payung hukum nasional dibutuhkan karena "KKR di Aceh, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
14
merupakan bagian tidak terpisahkan dari KKR." Dalam lain kata, Pemerintah Aceh bersikap akan membentuk KKR Aceh apabila ada payung hukum nasional untuk pembentukan KKR Nasional. Pada kesempatan lain, Gubernur Irwandi mengatakan:
”Mengingat batas waktu yang ditetapkan UUPA telah dilewati, maka saya menyarankan kepada Presiden untuk mengupayakan percepatan pembentukan pengadilan tersebut agar tersedianya jalur hukum untuk korban-korban pelanggaran HAM di Aceh… Sebagai jalan lain, kami menyarankan agar Presiden mempertimbangkan untuk menetapkan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang KKR.
15
Ini memang dimungkinkan karena situasinya darurat.”
Ikhtiar Gubernur Irwandi tersebut dibenarkan oleh Menteri Dalam Negeri Mardiyanto bahwa surat Gubernur telah diterima dan Pemerintah sedang berkonsultasi dengan para pihak yang terkait di Jakarta.
Satu-persatu ikhtiar untuk menyelesaikan kasus-kasus
13. http://www.rakyataceh.co.nr/, rakyat aceh, 16 Februari 2007. 14. Kompas, 24 Maret 2007.
15. Serambi, 24 November 2007. Kepala Biro Hukum dan Humas Setda Aceh, A Hamid Zein bahkan memberikan harapan yang lebih besar tentang pembentukan KKR “bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) KKR sudah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2008.” Serambi, 26 November 2007.
”Kami sudah menerima surat permohonan dari Gubernur (NAD) Irwandi Yusuf agar pemerintah segera mengeluarkan keputusan mengenai pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Surat itu akan
16
menjadi pertimbangan penyegeraan pembentukan KKR.”
Perihal pembentukan KKR juga dibicarakan dalam pertemuan Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) Damai Aceh, yang merupakan forum perwakilan Pemerintah Pusat yang berkantor di Aceh. Anggota FKK, Masykur, meyakinkan bahwa Pusat siap untuk membentuk KKR, dan dia justru meragukan kesiapan Pemerintah Aceh dan pihak GAM.
”Dari hasil rapat tersebut memang telah kita sepakati untuk perancangan Perpu bagi pembentukan KKR di Aceh secara lebih spesifik, mengingat acuan dasar pembentukan KKR yang didasarkan pada UU No 27 Tahun 2004 Tentang KKR, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Saat ini Perpu tersebut sedang dalam proses persiapan…. Pada prinsipnya pemerintah pusat siap untuk membentuk KKR dan pengadilan HAM di Aceh, sekarang pertanyaannya adalah apakah pihak yang dulunya
17
bertikai siap untuk menerimanya.”
Di lain pihak, ternyata rancangan qanun KKR tidak masuk dalam Program Legislasi DPRA 2007, meski sudah diamanatkan dalam MoU Helsinki dan UUPA. Sejumlah organisasi masyarakat sipil pun menyikapinya dengan mendesak Pemerintah RI untuk segera membentuk KKR di Aceh sebagai perwujudan pengakuan terhadap
18
kehormatan para korban dan ahli warisnya.
Di tingkat bawah, gerakan masyarakat sipil sudah mensosialisasikan pembentukan KKR Aceh kepada para ulama. Aksi mereka mendapatkan dukungan dari ulama Aceh yang terhimpun dalam Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA).
Dalam sebuah kesempatan, Sekretaris Jendral HUDA, Tgk Faisal Ali, mengatakan bahwa korban konflik mempertanyakan tiga poin kepada Gubernur Irwandi. Ketiga poin tersebut adalah kapan pengadilan HAM di Aceh bisa dilaksanakan, kapan Komisi Kebenaran
16. Kompas, 27 November 2007. 17. Serambi, 4 Oktober 2007. 18. Serambi, 19 Agustus 2007.
dan Rekonsiliasi (KKR) dibentuk dan dijalankan, ketiga mengapa kinerja Badan Reintegrasi Damai-Aceh (BRA) sampai kini belum maksimal dalam menjalankan program reintegrasi untuk korban
19
konflik.
Namun Gubernur Irwandi tak serius menanggapi keluhan para ulama. Dia hanya mengatakan agar para korban bersabar. Lalu, dia mengalihkan perbincangan dengan para korban ke persoalan kebutuhan lain yang mendesak, yakni pembentukan Komisi Komplain sebagaimana yang diamanatkan MoU Helsinki.
”Ini juga belum terbentuk, padahal ini sangat penting. Karena pada waktu terjadi konflik, banyak rumah, toko, kendaraan masyarakat yang dibakar dan diambil paksa. Sampai sekarang belum ada proses penggantiannya. Dalam perjanjian damai, masalah ini harus
20
dilaksanakan, agar orang yang jadi korban bisa mendapat ganti rugi.”
Konsekuensi logis dari sikap Gubernur Irwandi yang menggantungkan pembentukan KKR Aceh pada payung hukum nasional berdampak pada gagalnya upaya 35 anggota DPR Aceh periode 2004-2009 yang menggunakan hak inisiatif mereka mengajukan draf rancangan qanun KKR untuk dibahas, menjadi gagal. Salah seorang inisiator, Muklis Mukhtar menjelaskan bahwa ”ada penjelasan dari Pemerintah Aceh yang meminta ditunda, maka semangat dari tim ini
21
sempat buyar.”
Ketika berkunjung ke Aceh, Martti Ahtisaari mengakui masih adanya butir-butir dalam MoU Helsinki yang belum diimplementasikan, khususnya yang menyangkut pembentukan pengadilan HAM dan KKR, namun hal ini menjadi tanggungjawab Pemerintah sepenuhnya.
”Adalah menjadi kewenangan polisi untuk menyelidiki dan menindak para pelakunya, sehingga jangan sampai menjadi ancaman bagi masa
22
depan perdamaian Aceh.”
Dalam hal ini cara pandang Pemerintah Aceh (termasuk staf ahli gubernur) dan Martti Ahtisaari dalam melihat siapa pihak yang bertanggung jawab dalam pembentukan pengadilan HAM dan KKR adalah Pemerintah Pusat. Dalam bahasa staf ahli Gubernur, M Nur Rasyid, ”Pemerintah RI masih punya utang, antara lain belum
19. Serambi, 7 September 2007. 20. Serambi, 7 September 2007. 21. Serambi, 11 Februari 2009. 22. Serambi, 26 Februari 2009.
23
terbentuknya KKR.”
Meskipun demikian kondisi politik di Aceh, para aktivis organisasi masyarakat sipil dan para korban tetap melakukan ikhtiar untuk pembentukan pengadilan HAM dan KKR. Harapan itu kembali muncul paska Pemilu 2009 karena Partai Aceh mendominasi kursi parlemen di provinsi. Partai ini mendapat 33 dari 69 kursi DPR Aceh. Mereka menuntut segera pembahasan dan pengesahan rancangan qanun KKR. Direktur AJMI, Hendra Budian mengatakan: ”Kepada Dewan baru agar sesegera mungkin mengesahkan Qanun KKR demi
24
menjawab rasa keadilan bagi korban konflik.” Gubernur Irwandi pun kian mempertegas sikap politiknya perihal ini:
”Yang sangat penting untuk kita minta perubahan adalah Pasal 229 tentang pembentukan KKR. Dalam UUPA disebutkan kalau pembentukan KKR Aceh harus dibentuk berdasarkan UU. Dalam penjelasan UUPA, UU yang menjadi cantolan KKR Aceh adalah UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR nasional. Masalahnya UU KKR itu sudah dibatalkan oleh MK. Untuk menunggu UU yang baru, kita membutuhkan waktu yang lama. Kalau Aceh membentuk KKR dengan menggunakan payung hukum qanun, perdebatan hukum akan panas lagi. Alangkah sangat bijak kalau kita minta agar Pasal 229 ini direvisi, sehingga kita tidak perlu menunggu UU lagi untuk pembentukan KKR
25
Aceh.”