• Tidak ada hasil yang ditemukan

2012 Journal Dignitas VIII 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "2012 Journal Dignitas VIII 2012"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Dewan Redaksi:

Sandra Moniaga, Soetandyo Wignjosoebroto,

Pemimpin Redaksi: Indriaswati Dyah Saptaningrum; Redaktur Pelaksana: Widiyanto Staf Redaksi: Ikhana Indah, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyudi Djafar, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin; Sekretaris Redaksi: E. Rini Pratsnawati Sirkulasi dan Usaha: Khumaedy

Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Alamat Redaksi: Jln. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510

Telp: 021-7972662, 79192564 Fax: 021-79192519

Email: office@elsam.or.id Website: www.elsam.or.id

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ery Seda, Ifdhal Kasim, Karlina L. Supeli, Todung Mulya Lubis, Yosep Adi Prasetyo;

Jurnal Di gni tas merupakan jurnal yang terbit dua kali setahun, setiap Juni dan Desember, dengan mengangkat isu utama mengenai hak asasi manusia. Tulisan yang diterbitkan di jurnal ini memandang hak asasi manusia secara multidisipliner. Bisa dari sudut pandang hukum, filsafat, politik, kebudayaan, sosiologi, sejarah, dan hubungan internasional.

Tema yang diterbitkan diharapkan mampu memberikan kontribusi pengetahuan dan meramaikan diskursus hak asasi. Kehadiran Jurnal

Di gni tas ini ingin mewarnai perdebatan hak asasi yang ada.

(3)

DAFTAR ISI

EDITORIAL

FOKUS ______ 7

oleh ______ 9

Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh

oleh Otto Syamsuddin Ishak ______ 25

Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi

oleh Budiawan ______ 41

DISKURSUS ______ 49

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-Negara Lain

oleh Zainal Abidin ______ 51

Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

oleh Herry Sucipto dan Hajriyanto Y. Thohari ______ 75

OASE ______ 87

Puisi Pelarian Wiji Thukul

oleh Stanley Adi Prasetyo ______ 89

TINJAUAN ______ 115

”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste

oleh Razif ______ 117

KONTRIBUTOR ______ 127

PEDOMAN PENULISAN ______ 129

PROFIL ELSAM ______ 131

______ 3

(4)
(5)

Sidang Pembaca yang kami hormati!

Jurnal di gni tas kali ini mengetengahkan tema mengenai kabar penyelesaian kejahatan hak asasi manusia masa lalu. Tema ini secara sengaja dipilih guna mengungkapkan pelbagai analisis seputar proses penyelesaian kejahatan masa lalu di Indonesia yang bisa dikatakan stagnan.

Proses kanalisasi penyelesaian tampak sangat kuat sedang berlangsung dengan modus lebih sistematis, mulai dari ketentuan normatif kebijakan yang ada, hingga faktor implementasi penyelesaian yang tiada komitmennya. Itulah Indonesia. Kita bisa lihat dari perjalanan upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia.

Beberapa waktu lalu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyelesaikan tugasnya melakukan penyelidikan pro-justicia terhadap Peristiwa tahun 1965/1966. Hasilnya, Komnas HAM menemukan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat dengan melibatkan unit negara yang bertanggung jawab atas keamanan saat itu, yaitu Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

Hasil penyelidikan Komnas HAM memang menerbitkan secercah harapan. Institusi ini kemudian meminta kepada Kejaksaan Agung menindaklanjuti ke tahapan penyidikan. Namun bak nyala lilin yang tiba-tiba padam tertiup angin, Kejaksaan Agung menyatakan hendak mengembalikan berkas penyelidikan yang disusun berdasar penyelidikan selama empat tahun itu.

(6)

Asumsi yang berkembang kemudian telah terjadi pembajakan demokrasi oleh elit lama yang berganti muka menjadi penguasa baru dengan menggunakan momentum reformasi yang tak terdisain pro terhadap korban. Elit-elit lama bermetamorfosis dan melindungi kekuasaannya melalui serangkaian disain aturan hukum yang tak mencerminkan keadilan bagi korban.

Prosedur hukum menjadi pertimbangan utama, yang ternyata tak berpengaruh pada perbaikan substansi keadilan. Elit lama ini ditengarai masih menguasai ranah penegakan dan proseduralisme hukum ini. Namun, tesis ini ternyata tak berhenti di sini. Ada fenomena menarik melihat perkembangan post-reformasi di Indonesia. Pegiat hak asasi manusia Agung Putri melihat dari sudut pandang lain itu.

Menurutnya, Indonesia mengalami fase unik tatkala periode paska-reformasi sekarang lebih banyak diwarnai dengan dinamika interaksi korban dan pelaku secara intensif. Fenomena ini merujuk pada sejumlah peristiwa, seperti halnya, beberapa korban penculikan tahun 1997/1998 memilih bergabung dengan partai politik yang dikontrol oleh jenderal yang diduga kuat terlibat dalam penculikan mereka saat itu.

Demikian pula representasi korban kejahatan masa lalu yang pada akhirnya memiliki jabatan-jabatan strategis paska-reformasi dinilai gagal mengartikulasikan kepentingan kolektif korban. Mereka setidaknya memiliki kesempatan untuk mengukir sejarah dengan membuat pembatasan antara masa kini dan masa lalu.

Namun ternyata kelompok korban yang memiliki kekuasaan tersebut tak mampu melakukan pembatasan itu. Mereka malah justru memilih jalan kompromi yang akhirnya keinginan pengungkapan kejahatan masa lalu pun termoderasi dalam kepentingan pragmatis. Gambaran ini persis terjadi di Aceh, seperti dianalisis oleh Otto Syamsuddin Ishak, intelektual Aceh yang lama terlibat dalam gerakan masyarakat sipil Aceh ini.

(7)

(KKR) Aceh. Akan tetapi apa yang terjadi? Hingga kini KKR Aceh belum terbentuk dengan dalih ketiadaan dasar legalitasnya.

Terdapat dua skema utama yang selama ini dikenal luas kerangka penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat. Pertama, melalui pengadilan hak asasi manusia, dan jalur kedua lewat komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Zainal Abidin dari ELSAM menguraikan kedua mekanisme tersebut dengan becermin pada proses penyelesaian kejahatan hak asasi manusia di negara-negara lain.

Indonesia mengenal dua mekanisme penyelesaian tersebut, hanya saja untuk penyelesaian melalui KKR tidak pernah terjadi. Komisi ini bahkan tak pernah ada dan dasar hukum pembentukannya dianulir oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Sementara pengadilan hak asasi manusia telah dijamin keberadaannya lewat UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Bila terkait dengan kasus sebelum UU disahkan, mekanismenya lewat pembentukan pengadilan HAM Adhoc. Untuk kasus sesudahnya lewat pengadilan HAM biasa. Untuk pembentukan Pengadilan HAM Adhoc harus ada rekomendasi dari DPR dan pembentukannya berdasar Keputusan Presiden. Bisa dibayangkan betapa berlikunya mekanisme penyelesaian kejahatan hak asasi manusia masa lalu di negara ini.

Menur ut Hajriyanto Thohari, wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan segala kerumitan yang ada, pembentukan UU KKR sebagai sarana untuk penyelesaian kejahatan masa lalu perlu didorong kembali.

(8)

cukup keras. Ada istri yang tak siap menghadapi kesendirian, ada pula yang dengan tabah dan 'menormalkan' hidupnya yang tak normal, dan lain sebagainya.

Para korban tak langsung ini cenderung memiliki perasaan yang sama: mereka cemas akan kejelasan nasib suami, anak, atau sanak saudara mereka yang diculik, dihilangkan paksa, atau mereka yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia berat lainnya.

Stanley Adi Prasetyo berusaha mengungkapkan perasaan yang dialami oleh aktivis-cum-seniman Wiji Thukul persis saat-saat terakhir sebelum dia dihilangkan paksa oleh Orde Baru Soeharto, di tahun 1998. Wiji Thukul mengungkapkan kegetirannya melihat situasi politik dan sosial yang berkembang saat itu lewat belasan puisinya.

Menariknya, puisi-puisi Wiji Thukul ini belum pernah dipublikasikan dalam terbitan-terbitan sebelumnya. Baru di jurnal ini Stanley mengulas puisi-puisi yang dirangkainya menjadi satu rangkaian cerita yang apik. Hingga kini Wiji Thukul tak jelas keberadaannya. Tak ada pernyataan resmi dari negara mengenai penghilangan paksa yang menimpa seniman paling dicari zaman Orde Baru tersebut.

Di akhir edisi ini, kami memuat sebuah resensi buku berjudul ”Making Them Indonesia; Child Transfers Out of East Timor ” karangan Helena van Klinken. Resensi ditulis oleh Razif. Buku ini bercerita tentang pemindahan anak-anak Timor Leste berusia di bawah dua hingga belasan tahun ke Indonesia dengan sejumlah metode pemindahan dan motifnya.

Semoga Jurnal di gni tas ini dapat memperkaya bacaan dan analisis para pembaca terhadap situasi hak asasi manusia saat ini. Selamat membaca!

(9)
(10)
(11)

Agung Putri Astrid

Abstract

This article argues that the Indonesia's transition towards democracy has not been completed. It hasn't only been hijacked, but it comprises of a dynamic interaction between actors who inherit the gloomy condition of the past. Those who are held hostage by the past, who must solve the problems of the past, has blocked the path

towards settlement. Indonesia comprises of the dynamics between victims and perpetrators who live side-by-side and that has created the drama of the hijacking

of democracy, it is held hostage by the past. It seems that nation building must start from here, from the drama of the hijacking of democracy.

Catatan kenangan

Siang ini, di pertengahan tahun, sudah hari kesekian Jakarta tak lagi menanggung hujan. Dedaunan yang 5 jam lalu tegak kehijauan, kuning terkantuk-kantuk. Jalanan meliuk gang perkampungan Condet, panas dan lengang. Siapa rela memanggang diri di ketinggian matahari selain penjual asinan dan reparasi sepatu? Tak sampai satu kilo dari Condet arah timur adalah Lubang Buaya. Nama sebuah desa di kecamatan Halim, Jakarta Timur, yang sontak menjadi buah mulut dengan rasa seram di tahun 65. Situs penculikan 6 orang jendral dan seorang kapten pada 1 Oktober 1965 ini. Kini seperempat kawasannya berdiri museum dan monumen pancasila sakti, yang setiap tanggal 1 Oktober akan dibersihkan dari para gelandangan dan pedagang kaki lima karena presiden akan memimpin upacara militer di sana.

Nun di selatan Condet, dalam jarak tempuh mikrolet M-06 jurusan Kampung Melayu – Gandaria, sebuah kompleks militer pasukan khusus mencatat riwayat telah menyembunyikan sejumlah pemuda dan

(12)

menyiksa mereka di tahun 1998 dan di antara mereka jejaknya tak berbekas hingga kini. Sementara berbalik ke arah utara, menuju kampung Melayu-Matraman-Salemba tak satupun bisa menghindar melewati situs pembakaran pertokoan Ramayana, Jatinegara Mall dalam kerusuhan Mei 1998, gedung Departemen Pertanian dalam peristiwa 27 Juli 1996, dan markas PKI di Jalan Kramat 81 pada tahun 1966.

Di tengah kampung ini tergelar kembali lembar kejadian demi kejadian yang sempat kubaca dan kudengar tentang kekerasan politik. Tak sedikitpun aku pernah mengalaminya. Namun dalam berbagai sebab dan cara ikut membentuk pikiran, dan cita rasa. Ada komunitas yang secara sembarangan disebut komunitas korban kekerasan oleh negara yang aroma penderitaannya belasan tahun terhirup. Jujur, tak seluruh cerita mereka kurasai sebagai ratapan dan malah sebaliknya aku lebih suka belajar dari mereka. Kadang bila gairah hilang, kita tenggelam dalam kehidupan masing-masing.

Mulanya adalah seorang sahabat datang padaku meminta menulis soal politik yang berurusan dengan korban. Kupikir ini bukan saatnya. Waktuku habis bersama teman jalanan, para pencoleng, preman terminal, tukang kayu, pengupas bawang Pasar Induk, serta penganggur di kampungku, korban pemiskinan. Hitungan matematis mereka tentang kehidupan ini adalah mendapat hari ini untuk hari ini. Masa depan cuma akumulasi dari potongan-potongan keberuntungan hari ke hari. Bagaimanakah caraku mengkalkulasi biaya darah dan derita masa lalu untuk masa depan ketika kampung ini separuhnya berisi kaum serabutan?

Tapi ada daya tariknya permintaan temanku itu. Aku harus menjawab pertanyaan, adakah jalan keluar bagi korban dalam politik carut-marut saat ini. Aku berhadapan dengan gagahnya kesimpulan akademik teoritisi politik yang memvonis bahwa transisi di Indonesia sudah berhenti. Dan hanya ada satu sebab, menurut mereka, sistem dan institusi demokrasi telah dibajak oleh elit dominan warisan Orde Baru maupun elit baru. Rasanya tidak ada salahnya pendapat ini. Namun dalam hati aku ingin tahu, makhluk seperti apakah yang mampu menunda terselesaikannya masa lalu sekaligus membajak demokrasi dalam satu tarikan nafas?

(13)

maghrib. Mengikuti menit-menit penantian itu aku menjalin pikiran, ingatan dan perasaan sebisanya tentang serpih fakta kekerasan masa lalu yang beterbangan di kota Jakarta. Kekerasan puluhan tahun lalu memang tinggal debu politik. Namun debu itu menempel lengket. Sama lengketnya dengan lelehan darah membeku di seragam Letjen S Parman yang dipajang di museum Lubang Buaya. Debu itu mestinya bisa dibersihkan. Anehya, tak satupun melakukannya.

Dalam tragedi politik, tak mudah bagi kita menghapus jejaknya, seberapapun jauh usaha menenggelamkannya. Tiap sudut kota, orang-orangnya berelasi dengan masa lalu, baik dengan kekuasaannya maupun penghancurannya. Ingatan yang telanjur kolektif terpelihara dari generasi ke generasi, dengan cara dan tujuan yang berbeda. Tidak ada masa lalu yang benar masa lalu, meskipun masalah datang silih berhanti, orang hidup dan mati, menetap dan pindah.

Kenangan Politik

Akhir-akhir ini kerap terdengar lontaran ”Ah, masyarakat sekarang sudah pragmatis.” Artiya masyarakat hanya peduli pada uang, persetan dengan nilai kejujuran dan keadilan. Survai kompas bulan lalu mengamini lontaran ini dengan angka-angka hasil survai. Masyarakat Indonesia bukan agen perubahan, tetapi motor konservatisme kultural dan politik.

Suasana tak ingin berubah juga diberkati oleh pandangan dari Istana Negara. Presiden berhenti bicara soal masa lalu. Kunci rekonsiliasi, menurut SBY, adalah melupakan masa lalu. Ini dilontarkan di hadapan tokoh-tokoh dunia yang malang melintang memerangi kekerasan termasuk penerima hadiah Nobel, mantan presiden Timor Leste, Jose Ramos Horta. Mengingat masa lalu sama dengan menyandera diri pada masa lalu dan berhenti menatap masa depan. Presiden SBY cukupkan dengan bersyukur bahwa di masa pemerintahannya tidak terjadi pelanggaran HAM.

(14)

Apakah rakyat Indonesia tak ingin berubah, pragmatis, konservatif, oportunis atau sebaliknya, progresif, emansipatoris, dinamis, sebenarnya cuma kesimpulan permukaan. Jejak kebungkaman periode Orde Baru yang menggerus heroisme jaman revolusi hingga pertengahan tahun 60an, belum lagi dijelajahi. Bagiku, menilai bahwa demokrasi berhenti berdetak karena elit politik Indonesia tidak pro rakyat, predator, benalu kekuasaan, pewaris ketamakan Orde Baru atau maling yang masuk dalam selayar mewah pemerintahan SBY sama

1

dengan bermimpi tentang negara republik yang tidak pernah ada. Suka tak suka jalan historis penuh luka ini yang menentukan apa yang hendak diubah dan ke arah mana perubahan itu. Tiap sentimeter perubahan itu senantiasa dihidupi oleh pengalaman traumatik bangsa. Tak seorang pun bisa memulai yang baru dengan menyingkirkan yang lama, karena yang baru lahir dari yang lama, sekalipun sama memprioritaskan periuk nasi. Bahkan setelah 15 tahun, di tengah korupsi bermilyar para politisi pasca orde baru, usaha Agung Laksono dan kawan-kawannya menobatkan Suharto sebagai pahlawan Republik gagal. Pengalaman traumatis bukan cuma milik korban tetapi suatu rasa kolektif bangsa ini.

Selama berbulan-bulan menelusuri kehidupan masyarakat Afrika Selatan setelah 10 tahun berlalunya rejim apartheid tahun 2002, kutemukan betapa gaya berpolitik baru lahir justru dari pergulatan antara konservatisme lama, oportunisme baru dan sobekan sobekan luka. Semua diperebutkan, mulai dari menentukan bahasa negara, nama jalan, hingga prosedur penguasaan tanah, tender pembangunan, dan lokasi pertambangan. Ada juga yang secepat kilat menyesuaikan diri dengan hiruk pikuk bisnis pasca apartheid baik mantan polisi kulit putih

2

jaman Apartheid maupun pebisnis kulit hitam.

1. Tesis ini secara utuh disusun oleh Vedi R. Hadiz dan Richard Robison. Analisis politik yang berkembang saat ini tidak lain hanya mengekor di belakangnya. Cukup luas diketahui bahkan dalam periode heroik revolusi Agustus 1945, begitu banyak predator, maling dan orang-orang kaya yang meloncat ke perahu gerakan kemerdekaan dan banyak lainnya yang membajak revolusi itu. Pramoedya Ananta Toer melukiskan periode ini dalam novelnya: Di Tepi Kali Bekasi, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003 dan Larasati, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003. Juga penting membaca buku Robert Cribb tentang periode ini,

Gangster and Revolutionaries, Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution, 1945-1949, Jakarta, Equinox, 2009.

(15)

Metode dan praktik rekonsiliasi berkembang subur justru di negeri yang tersobek-sobek oleh rejim apartheid. Kongres ilmu politik Afrika Selatan, konperensi metodologi kesehatan masyarakat pasca apartheid maupun teologi demokrasi dan rekonsiliasi tidak lain adalah ilmu-ilmu baru di Afrika yang dibangun dari pergulatan antara masa lalu dan masa depan. Tak ada ilmu dan strategi politik yang dicangkokkan dari luar. Semua gagal.

Tak diduga, pemerintah Afrika Selatan, dalam upaya memulihkan lukanya, pun perlu mencari pegangan historis pada penggagas gerakan Asia Afrika, yang susah payah ditenggelamkan oleh Orde Baru. Bulan April 2005, Bangsa Afrika Selatan memberikan bintang kehormatan kelas 1 pada Bung Karno,The Order of the Supreme

3

Companions of Oliver R. Tambo sebagai tokoh Asia Afrika yang telah memberikan inspirasi bagi perjuangan rakyat Afrika Selatan.

Jam menunjuk pukul enam. Azan maghrib berkumandang antara masjid ke masjid sepanjang jalanan pantai Situbondo, Jawa Timur. Sejuk angin sore menyapu sisa panas siang hari. Senja yang sama menggelayuti tiap banjar di Bali oleh alunan kidung melantunkan puja puji seloka. Demikian litani ”Salam Maria” mendengung di sudut biara Susteran Canossian, Comorro, Timor Leste. Tenggelamnya matahari diberkahi umat manusia di tempat dimana luka-luka menyayat pernah

4

terjadi.

Saat maghrib, kerap menutup episode kekerasan siang hari. Letupan peluru menembus kepala mahasiswa dalam demonstrasi tahun 1998 dan 1999 di tengah kumandang azan maghrib. Kepulan asap hitam dari kantor PDI di Jalan Diponegoro 58 dan gedung-gedung di Salemba tanggal 27 juli 1996 membubung tinggi bersama senja. Ratusan warga kelurahan Koja, Tanjung Priok bersimbah darah menjelang Maghrib. Di Lampung, juga di desa Nisam, Aceh Utara, warga tidak ke surau untuk

5

berazan bila beredar desas-desus bahwa tentara mengepung desa.

3. Oliver Reginald KaizanaTambo adalah pahlawan rakyat Afrika Selatan. Bersama Nelson Mandela dan Walter Sisulu ia mendirikan ANC (African National Congres) organ utama perjuangan pembebasan rakyat Afrika Selatan dari apartheid. Namanya diabadikan pada bandara Internasional Afrika Selatan. http://www.sahistory.org.za/people/oliver-reginald-tambo.

4. Di tahun 2000an warga Situbondo panik oleh isu dukun santet dan ninja yang berujung ke pembunuhan orang-orang yang dicurigai dukun santet. Susteran Canossian menjadi tempat berlindungnya warga desa dari amukan milisi Aitarak dan Dadurus Merah Putih yang membakari desa-desa di tahun 1999. Sakralitas banjar-banjar di Bali tak hanya di segi religiusitasnya tetapi kenangan akan kekerasan tahun 1965. 5. Berbagai laporan HAM dari Aceh hingga Papua menyiratkan senja sebagai ancaman. Lihat juga buku fiksi,

(16)

Sejak drama penculikan jendral di Jumat Legi 1 Oktober 1965 dan selanjutnya, turunnya matahari berarti mulainya bencana. Penangkapan dan pengambilan orang tidak kembali sejak November 1965 hingga 1969 di desa-desa di Jawa, Bali, Sumatera berlangsung saat matahari merayap turun. Tiga puluh tahun kemudian, menyusul peristiwa Sabtu Pon tanggal 27 Juli pagi hari, jajaran pimpinan Angkatan Darat memaklumkan pengejaran aktivis PRD dan PDI melalui Jurnal Petang SCTV dan RCTI. Saat maghrib bagi kebanyakan orang Indonesia adalah waktu yang traumatik tetapi di saat sama diberkati.

Tragedi politik tidak saja menyisakan kenangan tetapi hidup bila sinyal kekerasan memancar. Lebih lagi, oleh situasi yang tetap mengancam, yang karenanya tragedi serupa mungkin berulang, trauma itu terpelihara dengan baik. Karenanya, siapakah, pimpinan politik manakah, kekuasaan apakah, yang berani menjamin bahwa drama kekerasan tidak akan terulang kembali?

Serangan kepada kelompok Ahmadiyah hanya menghidupkan sinyal lama betapa kekerasan antar masyarakat sengaja dibiarkan. Di Poso, Maluku, Sanggau, Sintang di tahun 1998, maupun Singkawang, Lombok, Bali dan pedesaan Jawa Timur di tahun 1965, polisi dan tentara berada di antara para penyerang.

Tuduhan penguasa bahwa Ahmadiyah menghina Islam dan patut diusir justru menyetrum kenangan lama tentang keberingasan masyarakat membakar rumah dan membunuh mereka yang dianggap ternoda oleh komunisme, atheisme atau aliran sesat. Para penganut agama lokal seperti Kaharingan, Sunda Wiwitan, Parmalim peka dengan gerak pensucian macam ini. Warga pun masih mengenang pembantaian Haur Koneng, Jawa Barat tahun 1984. Sinyal itu berkedip-kedip sepanjang masa karena monumen-monumen hidup warga puluhan desa di Malang Selatan, Blitar, Kediri yang hampir 100% beragama Kristen atau Katolik. Mereka ini pemeluk kejawen yang 'hijrah' massal di penghujung tahun 60an untuk menyelamatkan diri dari tuduhan atheis.

Dimensi kejadian yang berbagai-bagai itu membentuk trauma. Dimensi yang bukan peristiwa dan tak bisa disusun kronologinya. Menjadi tapol karena namanya tertera dalam daftar tangkap, karena pernah mengisi formulir, memberi pelajaran untuk mewaspadai semua formulir dan tetap memelihara identitas diri yang berbeda-beda.

(17)

segalanya hingga berdekade kemudian. Anak istri suami tercerai-berai, hilangnya tulang punggung keluarga, dan mata pencaharian serta status sosial (Roosa, et.al, ed, 2004). Orang gerah bicara politik sekaligus takut pada agama atau etnis lain. Bila perempuan angkat bicara, tak akan mungkin serupa dengan ”satriyo piningit” melainkan wujud ”gerwani” yang artinya kasar, liar dan nakal. Bila masyarakat punya masalah, jalan keluarnya berupa obat mujarab tanpa menghiraukan problem politiknya: minum obat agar sembuh dan bukan membangun sistem kesehatan agar jangan sakit. Politik kewargaan lenyap, yang ada adalah aktor-aktor yang lolos litsus. Organisasi politik hanya ada bersama keluarnya ijin. Berkumpul lebih dari 5 orang juga ijin. Patriotisme cuma ada di benak orang yang punya rencana makar. Tidak ada hidup gotong royong dan kepemimpinan warga. Masyarakat muak pada politik sekaligus takut pada kekuasaan.

Kekerasan tak semata soal kerugian psikis dan fisik. Kekerasan politik itu penuh makna sosial, bertujuan menghancurkan hubungan sosial antar individu dan individu dengan masyarakat. Yang hendak diperlihatkan adalah betapa orang bisa menjatuhkan martabat. (Hamber, 2004)

Politik Kenangan

Masyarakat yang lumpuh kepemimpinannya, dicekam takut, disergap kenangan akan kekerasan politik masa lalu, menjalani peralihan kekuasaan yang khas. Bara api semangat menyeret penguasa lama, sejatinya ikut membakar serumah-rumahnya. Namun bayi demokrasi ini menghadapi dua soal besar: keharusan menghukum pelaku kekerasan masa lalu yang disandera oleh kebutuhan konsolidasi komponen bangsa secara demokratik. Tak ada kenyataan seindah adagium pengadilan atas kejahatan masa lalu melandasi terbangunnya masyarakat demokratik.

(18)

bertahun terdepolitisasi adalah integritas kebangsaan itu sendiri. Bung Karno ada benarnya:

”perjuanganku lebih mudah dibandingkan perjuangan kalian nanti, karena sekarang aku berjuang melawan penjajah (bangsa asing), tapi akan lebih berat lagi perjuangan kalian, karena akan melawan bangsa kalian sendiri”

Keinginan menghapus mimpi buruk masa lalu dan memelihara kebebasan masa kini malah membuat perhitungan dengan mantan penguasa rejim otoritarian kerap berbatas-batas. Hingga kini, tak satu ulasan tentang peralihan politik di berbagai negeri berani menyimpulkan bahwa setelah segala tindakan mengadili pimpinan diktator otoritarian, perhitungan dengan masa lalu selesai. Chile, setelah 20 tahun masih mengadili anggota junta militer. Demikian pula Argentina.

Setelah 14 tahun menginterogasi mantan penguasa Orde Baru, kita justru diperhadapkan pada belantara sisa otoritarian yang tidak berujung. Reformasi 1998 melahirkan pengadilan HAM, suatu pengadilan paling menyeramkan untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. UU No. 26/2000 memerintahkan Komisi Nasional HAM membuat laporan pro-justicia yang menjadikannya lembaga paling prestisius dengan kewenangan mengkalkulasi perbuatan setingkat pimpinan negara. Namun pengadilan HAM dihadang oleh prosedur pembuktian yang merujuk pada kitab hukum pidana buatan pemerintah colonial, yang hanya mengenal kejahatan terorganisir. Belum sampai ke ranah pengadilan, sejak pagi-pagi Kejaksaan Agung menolak Komnas HAM, baik laporannya maupun data dan faktanya. Akhirnya tak satupun pengadilan menghukum pimpinan orkestra kekerasan Orde Baru.

(19)

sebagai ekses dari upaya aparat keamanan mencegah konflik antara gerakan pro-kemerdekaan dan pro-integrasi.

Prosedur yudisial begitu sulit menggugat kekerasan negara, kekerasan oleh aparatur negara terhadap warganya. Negara dalam khazanah pikiran orang Indonesia adalah bangunan moral dan politis bangsa. Negara bukan institusi hukum tetapi pencapaian historis gerakan anti kolonial. Negara yang rapuh serta merta akan menggerogoti bangsa (Latif, 2012).

Tetapi lebih dari soal persepsi, kebijakan pemulihan ketertiban mau tak mau menyeret lembaga negara, Kejaksaan Agung salah satunya. Lembaga ini dalam riwayatnya menjadi lembaga pemberi pembenaran hukum bagi kekerasan. Kejaksaan Agung atas masukan-masukan dari tim psikologi, Fakultas Psikologi UI, menggolongkan warga ke dalam golongan A, B, C, yang menentukan jenis hukuman mulai dari hukuman mati, penjara seumur hidup atau pembuangan. Lembaga ini berkuasa menetapkan suatu perkara sebagai tindak pidana khusus, tindakan membahayakan keamanan negara, di bawah undang-undang subversi.

Kejaksaan Agung membuat operasi berdarah di tahun 1965 berlandas hukum. Di bawah kendali operasi besar pemulihan keamanan-Kopkamtib tahun 1965, Kejaksaan Agung memimpin Operasi Justisi, dengan wewenang membuang orang, mengeksekusi mati dan menguasai

6

seluruh tempat pembuangan tahanan politik. Ialah alat hukum yang menjalankan fungsi politik. Sekalipun kewenangannya kini diciutkan melalui revisi UU Kejaksaan dan kewenangan historisnya yaitu melarang peredaran buku dilucuti melalui keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010, namun ia tetap mengabdi pada otoritarianisme, terutama meninjau dakwaan jaksa atas perkara pelanggaran HAM di

7

pengadilan HAM.

Demikian pula dengan pengadilan. Sekalipun Mahkamah Agung telah menjadi lembaga judisial independen, pengadilan HAM

6. Lembaga ini dalam satu dekade juga menjalankan perdagangan, mengantarkan panen beras dari Pulau Buru ke Pulau Ambon, atau memasok kebutuhan garam dari Jawa ke Pulau Buru. Pulau Buru adalah tempat pembuangan para simpatisan Sukarno dan PKI. Detil penggambaran hubungan antar lembaga ini lihat Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jakarta, Lentera, 1995.

7. Elsam memantau persidangan di Pengadilan HAM ad hoc dan membuat catatan hasil pemantauan. Lihat www.elsam.or.id . Lihat jug a beberapa catatan peng adilan David Cohen dalam

(20)

enggan mempertimbangkan bukti di luar dakwaan Jaksa yang sudah minim itu, misalnya mengabaikan keterangan saksi maupun korban, untuk kejahatan luar biasa yang telah menyalahgunakan kewenangan negara. Keputusan pengadilan lebih banyak menjerat pelaku lapangan dari pada pembuat kebijakan (Cohen, 2003; Elsam, 2004).

Beberapa keputusan pengadilan memang mempertimbangkan korban. Hakim mengabulkan gugatan korban untuk memperoleh kembali rumah yang diduduki militer Udayana, suatu kasus di Bali. Kemenangan memperoleh kembali tanah perkebunan yang sempat dirampas militer di daerah Blitar juga berhasil dilakukan. MA tahun 2008 mengeluarkan keputusan mencabut sebagian besar peraturan dengan syarat bebas G30S. Nani Sumarni, mantan penyanyi Istana yang mendapat cap ET bertahun-tahun, berhasil memperoleh KTP seumur hidup. Namun bagai perahu mengapung di samudra rahasia masa lalu, kemenangan ini hanya kemenangan hukum ketimbang penyelesaian pelanggaran HAM.

Ketika menjabat presiden, Gus Dur menjajagi jalan politik dengan menyatakan permintaan maafnya atas kejahatan terhadap kemanusiaan kepada warga korban kekerasan '65.

Namun langkah ini dijegal seketika oleh gelombang protes massa NU, khususnya Jawa Timur. Protes yang sama terhadap Komnas HAM ketika mengeluarkan laporan HAMnya tentang tragedi tahun 1965 13 tahun kemudian.

Faksi-faksi anti komunis yang menggantikan suara para jendral Orde Baru, mengancam: jangan coba-coba menyelesaikan kekerasan Orde Baru. Sementara itu Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya

8

tahun 2006 telah membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dengan dalil sederhana: tiadanya kepastian hukum. Akibatnya pun sederhana, hukum menyandera jalan politik untuk mengurus masa lalu. Kegagalan ini di ujungnya adalah tindakan absurd seperti memaksa pemindahan jazad Heru Atmojo dari liang kubur Taman Makam

9

Kalibata.

Menurut Robison dan Vedi (2004), sekalipun pilar ekonomi politik Orde Baru telah dilucuti ini tidak mematikan kiprah aktor Orde

8. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah komisi yang dimaksudkan membantu pemerintah menyelesaikan kekerasan masa lalu dengan cara membongkar fakta kekerasan, memberikan pengakuan resmi atas kejadian tersebut, memberikan kompensasi pada korban dan keluarganya serta penghukuman atau pemaafan bagi pelakunya. Lihat naskah UU KKR yang telah dibatalkan. www.elsam.or.id

(21)

Baru dan jaringannya. Mereka bertahan dan menyesuaikan diri dengan sistem baru. Kekuasaan politik kembali dimonopoli dan sumber daya ekonomi dikolonisasi. Demokrasi kita sudah dibajak (Priyono, 2004). Kebertahanan kaum predator ini patut diduga menjadi penghambat penyelesaian kekerasan politik masa lalu.

Namun agaknya terlalu gegabah mengatakan kegagalan menginterogasi masa lalu bersumber dari rendahnya kualitas demokrasi. Selain warisan otoritarian itu efektif bekerja di institusi-institusi peradilan, toh demokrasi yang pincang ini, demokrasi semu, demokrasi para preman, ternyata tidak bisa mengubur dosa masa lalu. Demokrasi itu sendiri tumbuh di atas lanskap politik yang dibangun melalui tragedi berdarah. Yang dihadapi , ternyata lebih dari konflik antar partai politik, antara kelompok golongan masyarakat, antara PKI dan non PKI.

Di atas orkestrasi kekerasan tahun 1965, Orde Baru menyiapkan landasan ideologi, politik, ekonomi baru, dan sebesarnya coba melenyapkan pemerintahan Kabinet Gotong Royong dan revolusi Agustus dengan sebutan Orde Lama. Bukan saja mereka yang dibunuh, dibuang, dipenjara, atau yang membunuh, membuang, dan memenjara terikat oleh tragedi itu. Tetapi juga mereka, kaum intelektual, seniman, profesional, teknokrat, pengusaha, rohaniwan, diplomat, yang membangun orde. Para reformis yang berjuang meluruskan yang diselewengkan Suharto harus menjawab pertanyaan: siapa bertanggung jawab atas berdiri dan langgengnya Orde Baru?

Para pemimpin negara masa reformasi tak putus rantainya dengan Orde Baru. Habibie, tak lepas dari sebutan ”anak emas Suharto”. Gus Dur tak mungkin membebaskan NU dari keterlibatan kekerasan di masa lalu yang kemudian menjadi korban intervensi Orde Baru dalam muktamar tahun 1984 (Aspinall, 2005). Megawati Sukarnoputri sejak muda tersingkir bersama dengan tergulingnya pemerintahan Soekarno. SBY terkait dengan peristiwa 27 Juli dan beberapa kekerasan di Timor Leste. Sementara itu mertua SBY, Jendral Sarwo Edi, adalah aktor penting pemulihan ketertiban paling berdarah tahun 1965 yang juga disingkirkan Soeharto.

(22)

dalam dengar pendapat dengan anggota Panitia Khusus RUU Komisi

10

Kebenaran dan Rekonsiliasi, DPR RI.

….Maka hendaknya kalau memang kita membuat undang-undang ini harus ditentukan terlebih dahulu niat membuat undang-undang itu, apakah kita menuju kepada rekonsiliasi ataukah kita ingin membuka kasus-kasus yang lalu itu, … Saya berpendapat bahwa kalau luka-luka yang lama itu ditelusuri, dibuka satu persatu secara nasional maka yang terjadi adalah fenomena pertikaian baru tanpa bisa dihindari. Maka yang betul adalah kita harus menutup dalam-dalam seluruh peristiwa-peristiwa yang memilukan itu kemudian kita atasi seluruh ekses-ekses yang timbul karenanya…. Hasyim Muzadi, ketua PBNU, dalam RDPU Pansus

RUU KKR 2003

Pertanyaan dasarnya: bagaimana cara kita membongkar masa lalu?

Keterbukaan yang digulirkan oleh sejumlah perwira militer, lebih dari suatu angin kebebasan dan kemenangan orde hak asasi, adalah

11

juga momentum kembalinya para politisi dan parpol tersingkir sejak masa de-sukarnoisasi 1965 hingga 1971 dan sesudahnya. Politisi NU yang bersembunyi di tubuh Golkar, menunjukkan ke NU-annya. Bahkan sejumlah tokoh Golkar justru dibesarkan oleh pemerintahan Sukarno. Bisnis keluarga Aburizal Bakri (Pohan, 2011) dan Jusuf Kalla tumbuh dari program pengusaha pribumi periode Sukarno. Sekalipun orang semacam Arifin Panigoro atau bahkan Taufik Kiemas bersikap serupa Orde Baru (Robison dan Vedi, 2004), mereka justru pendukung pemerintahan Sukarno.

Partai politik baru yang lahir dari semangat reformasi, memilih melekatkan diri pada partai lama. PKB bangkit dari masa tiarap panjang NU dari politik. PDI Perjuangan mencoba mengembalikan kejayaan PNI. PAN menjadi semacam 'sayap politik' Muhamadiyah. Partai Bulan Bintang mensenyawakan diri dengan Masyumi. PDS dengan Parkindo. PKS, eksponennya dikaitkan dengan gerakan DI/ TII.

Kita menyaksikan suatu transformasi korban, pelaku, saksi, pendukung, atau penyembah Orde Baru menjadi politisi pasca Orde

10. Lihat teks transkripsi dengar pendapat antara pemimpin NU, KH Hasyim Muzadi dengan anggota DPR RI Komisi III, 2004.

(23)

Baru. Mereka mendukung partai tertentu dan menjadi anggota legislatif, misalnya AM Fatwa, Beni biki, Yusron, dan Ribka Ciptaning. Mantan Tapol, tokoh perburuhan, Mochtar Pakpahan mendirikan partai buruh. Demikian pula Sri Bintang Pamungkas dengan partai nasionalnya. Setelah peristiwa 27 Juli muncul politisi antara lain Mangara Siahaan, Eros Djarot, dan Sophan Sophiaan.

Perwira tinggi yang namanya tersebut dalam laporan Komnas HAM membentuk partai politik, atau mem-backing partai-partai besar. Junus Josfiah, namanya tersebut berkali-kali dalam pembunuhan wartawan Australia di Balibo 1974 menjadi pimpinan PPP. Jendral Muchdi belakangan menyusul. Mereka bahkan menjadi pelindung

12

pimpinan partai politik yang menjadi korban. Pemimpin tertinggi partai Gerindra, Prabowo masih memiliki soal dengan peristiwa penculikan di tahun 1998. Jendral (purn.) Wiranto yang punya soal dengan kebijakan bumi hangus di Timor Leste tahun 1999 kini memimpin partai Hanura.

Transformasi ini bukan adegan 'ramai-ramai melupakan masa lalu'. Justru sebaliknya, sedang terjadi pengentalan identitas gerakan politik karena keterlibatan dalam kekerasan di masa lalu. Di kalangan korban pun, korban '65 misalnya, akan sulit melibatkan diri dalam partai Golkar, PKB atau PAN dan lebih memilih PDIP dan partai Sukarnois lainnya. Bali khususnya, perseteruan antara PNI dan PKI di tahun 65 membuat korban PKI kini bisa dipastikan lebih bersimpati kepada Golkar dan Partai Demokrat. Korban Tanjung Priok berada di belakang PPP. Di Aceh, partai Aceh didukung penuh oleh korban kekerasan Orde Baru.

Partai politik itu sendiri adalah korban Orde Baru, terkubur dalam fusi 3 partai, atau dibubarkan, diinterupsi, dikangkangi Golkar dan mengidap trauma yang sama. Kini pelaku politik pasca Orde Baru, korban dan pelaku, hidup bersama dalam format politik khas reformasi, yang mengikuti selera internasional (Robison dan Hadiz, 2004) dan tidak sampai membedah aktor yang mendepolitisasi masyarakat dan melumpuhkan partai politik.

(24)

Maka di tubuh parlemen, perbedaan dalam melihat masa lalu menjadi samar dalam bisik-bisik ketimbang debat terbuka sekalipun dibentuk panitia khusus untuk menguji kasus orang hilang, Trisakti Semanggi. Ketika salah satu anggota parlemen dari Golkar, Priyo Budi Santoso menolak Presiden menyatakan permintaan maaf terhadap korban 65, anggota DPR lain memilih diam.

Sementara di kepulauan yang jauh dari bencana politik nasional, korban dan pelaku pun hidup saling bertukar luka. Di Bali, korban dan pelaku hidup dalam satu rumah besar dan menghidupi persembahyangan yang sama. Di Kupang, pelaku menjalani pengobatan supra natural untuk mengusir hantu korban yang dibunuhnya di tahun 60an. Tokoh-tokoh daerah, Kepala LPM desa, penasehat perkawinan, pelukis istana, pemborong proyek perumahan punya masa lalu penuh luka (Putu Oka Sukanta, 2011). Para politisi Dayak terkemuka fasih mengurai betapa mobilisasi etnis melayu menyingkirkan mereka di sudut samping Orde Baru. Politisi Cina tak mungkin lupa akan pembantaian di Kalimantan, khususnya Sintang dan Sanggau puluhan tahun lalu.

Drama pembajakan demokrasi kalaulah ada, tidak lain adalah fungsi efekif menyandera setiap pelaku politik dengan catatan masa lalunya, bukan untuk membungkam. Politik penyelesaian kekerasan masa lalu dan politik menggunakan kenangan masa lalu ganti berganti. Kenangan akan kekerasan masa lalu pada gilirannya membentuk politik masa kini. Karenanya kalaulah ini sebuah pembajakan, maka inilah pembajakan yang abadi. Kalaulah ini bagian dari pembangunan bangsa, maka demokrasi itu harus bisa mengakhiri politik penenggelaman Sukarno dan Orde Lama bersama-sama antara pelaku dan korban.

Penting diingat bahwa trauma politik bukan sekumpulan simtom...trauma lebih berarti hancurnya individu dan sturktur sosial politik suatu masyarakat. Dalam pengertian ini memang penting membantu korban untuk menghadapi dampak konflik, tetapi trauma juga menuntut terjadinya transformasi masyarakat, memperbaiki relasi dan perubahan kondisi sosial. (Hamber, 2004)

Dalam kata Nelson Mandela:

(25)
(26)
(27)

Pendahuluan

Harapan pertama penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Aceh muncul dalam perundingan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-RI di Helsinki (2005), tapi gagal. Harapan kedua muncul ketika pembahasan draf RUU Pemerintahan Aceh (2006), tapi gagal lagi. Harapan ketiga sempat bangkit paska pemilukada gubernur (2006) yang dimenangkan oleh golongan politik yang dahulunya pejuang, tetapi gagal juga.

Paska Pemilu 2009 muncul lagi harapan ketika kursi parlemen provinsi didominasi oleh Partai Aceh (2009), tapi masih gagal juga. Harapan kelima timbul manakala kandidat gubernur/wakil gubernur dari Partai Aceh menang dalam pemilukada (2012), dan kini draft qanun KKR dijanjikan akan dibahas di parlemen provinsi Aceh. Apakah nantinya akan muncul qanun KKR sebagai instrumen untuk mencuci sebagian ”Karpet Martti” yang masih bersimbah darah?

Hal yang sudah dapat dipastikan bahwa tidak ada elite politik, militer, gerilyawan dan milisi—baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama—yang berani mengatakan atau sebaliknya membantah di depan publik perihal adanya pelanggaran HAM yang terjadi selama hampir tiga dasawarsa konflik GAM-RI di Aceh. Semua

Otto Syamsuddin Ishak

Abstract

The conflict between GAM and RI ended with the Helsinki MoU agreement on 15 August 2005. The hope to deal with past human rights violations in Aceh

appeared several times, but always ended in failures. This article explores the failures to deal with past human rights violations in Aceh inspite of the political

change occured in the region

(28)

pihak yang berkuasa saat ini bergeming untuk membahas upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu Aceh itu.

Tentu saja mandegnya upaya ini tidak sejalan dengan cita Republik sebagai sebuah negara hukum sebagaimana termaktub dalam Konstitusi. Sangat disayangkan karena realitas yang terjadi sekarang seakan-akan merupakan penegasian eksistensi Republik sebagai negara hukum, dan sebagai sebuah negara modern yang memiliki Konstitusi yang mencerminkan penghormatan dan kehendak penegakan HAM.

Memang bila dilihat dari konteks historis, sejak berdirinya Indonesia pada 1945, Republik ini belum memiliki fondasi politik yang cukup kuat untuk mewujudkan penghormatan dan kemauan penegakan HAM sebagai sebuah realitas. Ini dibuktikan dengan amat sedikitnya proses peradilan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan. Dengan kata lain, Republik ini memiliki tradisi politik yang cukup kuat untuk mengakumulasi kejahatan kemanusiaan.

Sejak Amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada 1999-2002, HAM telah menjadi bagian yang integral dalam Konstitusi. Jumlah pasal-pasalnya lebih banyak dibanding pasal yang berkenaan dengan keamanan dan pertahanan. Amandemen menghasilkan pembatasan jabatan Presiden maupun Kepala Daerah. Di level pusat telah mengalami pergantian rezim penguasa paska Reformasi 1998, sedang di Aceh telah berlangsung dua kali pemilukada (2006 dan 2012), serta satu kali perubahan komposisi anggota Parlemen Aceh, yang kini dikuasai dan didominasi oleh golongan politik yang menjadi lokomotif gerakan kemerdekaan Aceh.

Pertanyaan besarnya mengapa perbaikan kondisi hukum dan politik, baik di level Pusat maupun di Aceh ini, tidak kunjung memberikan kebenaran dan keadilan terhadap korban konflik Aceh? Padahal kejahatan kemanusiaan sebagai fakta sosial (yang terus bergerak menjadi fakta sejarah) tidak terbantahkan.

Bukankah ikhtiar memberikan kebenaran dan keadilan pada korban dan pelaku merupakan perwujudan pernyataan diri sebagai negara hukum? Faktor apa saja yang menyebabkan kegagalan penuntasan kejahatan masa lalu di Aceh?

(29)

pelanggaran HAM dalam UU Pemerintahan Aceh, serta ikhtiar organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk mendorong adanya sebuah qanun tentang komisi kebenaran.

1. Martti: ”Merumitkan Hidup”

Jika merujuk pada catatan proses perundingan di Helsinki versi Hamid Awaluddin, sebenarnya tidak ada agenda untuk membahas masalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM selama konflik. Delegasi RI tidak memasukkannya dalam agenda perundingan secara spesifik. Delegasi RI hanya mengusulkan pembahasan terkait topik

1

”penghargaan pada prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.”

Baru pada perundingan putaran kedua, Nurdin Abdul Rahman, salah seorang delegasi GAM melontarkan topik ini. Nurdin sendiri memang ditangkap pada 1990 di masa Aceh distatuskan oleh Rezim Orde Baru sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi Operasi Jaring Merah. Lalu, setelah dijatuhi hukuman 13 tahun penjara. Tetapi dengan adanya Reformasi 1998, ia bebas setelah menjalani

2

hukuman selama 10 tahun.

Dalam perundingan Helsinki putaran kedua itu Nurdin mengatakan:

”Untuk urusan hak asasi manusia dan keadilan, kita harus lakukan investigasi yang dilaksanakan oleh lembaga mandiri internasional. Saya

3

telah mengalami penganiayaan dalam penjara.”

Pengajuan masalah pelanggaran HAM oleh Nurdin dinilai

4

Hamid Awaluddin sebagai sesuatu hal yang sangat personal Nurdin Abdul Rahman. Menurut Hamid Awaluddin, pengalaman Nurdin itu selalu dijadikan titik tolak pembicaraan masalah pelanggaran HAM dan permintaan untuk adanya solusi.

Hamid Awaluddin, sebagai ketua delegasi RI, merespon panjang-lebar untuk persoalan HAM tersebut secara normatif, setelah diinterupsi oleh Martti Ahtisaari dengan istirahat minum teh dan kopi terlebih dahulu.

1. Awaluddin, Damai Di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki. Jakarta: CSIS, 2008. Halaman 72. 2. http://www.analisadaily.com/news/read/2012/04/18/46237/turut_membidani_mou_helsinki/ 3. Ibid, halaman 129.

(30)

Perkenankan saya memaparkan agenda hak smanusia. Masalah HAM ini, dunia telah menyaksikan betapa pemerintahan kita sangat serius untuk ini. Dari perspektif hukum, kita telah memiliki UU HAM dan Peradilan HAM. Sejumlah draft UU yang berkaitan dengan masalah HAM dan hak-hak sipil politik kini tengah dibahas. Dalam waktu dekat ini, dua instrument dasar HAM internasional, akan diratifikasi, yakni, Konvensi Internasional mengenai hak-hak sipil dan politik serta Konvensi Internasional mengenai hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Ini adalah tiang pancang utama HAM universal. Ini tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa kita menyentuh kedua pilar utama ini. Segi kelembagaan, kita punya Komnas HAM yang sangat mandiri. Peradilan HAM sudah berjalan.... Kini kita juga dalam proses pembentukan Komisi Rekonsiliasi.... Jadi, jika GAM berbicara tentang demokrasi dan HAM, maka segala penilaian negatifnya itu, memang

5

benar dalam konteks masa silam. Bukan sekarang ini....”

Ketika anggota delegasi GAM, Bachtiar Abdullah, menanyakan bagaimana menyikapi pelanggaran HAM di masa konflik: ”Apakah kita

6

memandangnya hanya ke depan, bukan ke belakang?” Segera direspon oleh Martti Ahtisaari dengan memuja uraian normatif Hamid Awaluddin di atas.

”Satu di antara sekian kerumitan hidup yang kita alami adalah, yang berhubungan dengan masa silam kita. Hati-hati dengan soal ini. Dengan segala respek saya pada pemerintahan sekarang, banyak sekali kemajuan yang telah dicapainya … Namun, jangan kita larut dengan kesedihan masa lalu.”

”Kita tak akan mungkin memasukkan ini dalam draft tertulis sebab sangat sensitif. Ini tidak berarti kita bahwa kita hapuskan pembicaraan tentang ini. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita harus bersihkan karpet dari agenda ini. Inilah yang kita maksudkan itikad baik. Tentu saja memang selalu mengecewakan dan tidak memuaskan. Kita butuh keberanian menghadapi ini. Singkatnya, masalah HAM

7

adalah masalah masa depan.”

(31)

Dengan pernyataannya itu, Martti Ahtisaari memang tidak hendak membersihkan ”karpet berdarah”, juga bukan hendak mengabaikannya, tapi tidak mau masuk ke dalam salah satu kerumitan hidup. Mantan Presiden Finlandia itu dengan ”berani” mengambil karpet tersebut dan memasukkannya ke dalam kotak masa lalu, lalu dia berseru: ”mari kita menatap masa depan.”

Hasil perundingan kemudian adalah tiga butir kesepakatan yang diatur dalam bab HAM. Berikut adalah poin-poin tentang pelanggaran HAM sepanjang hampir tiga dasawarsa konflik bersenjata itu, yang dirumuskan dalam MoU Helsinki:

2. Ikhtiar Pada Konteks Nasional

MoU Helsinki memberikan mandat kepada Presiden dan DPR untuk segera membuat UU baru terkait dengan Aceh dengan mengadopsi butir-butir kesepakatan Helsinki. Pengusulan dan pembahasan rancangan undang-undang untuk Aceh kemudian menjadi arena kontestasi bagi banyak individu elite politik dan pihak golongan politik.

Di Aceh, kontestasi terjadi antara kekuatan masyarakat sipil, individu elite, elite politik (eksekutif dan legislatif), dan GAM. Tentu saja masing-masing memiliki agenda sendiri. Ada elite politik yang melakukan manuver individual dengan cara mengajukan revisi UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, lalu dia menyerahkan draf tersebut ke pihak terkait di

HAM dalam MoU Helsinki

Pemerintah RI akan mematuhi Konvenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan Mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

2.1.

2.

Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh.

2.2.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.

(32)

Jakarta. Demikian pula ada inisiatif dari eksekutif untuk mendahului proses drafting RUU.

Hal yang menarik adalah organisasi masyarakat sipil juga mengambil inisiatif untuk menyusun draf RUU, sehingga pada satu kondisi politik tertentu muncul konsensus politik dari semua kekuatan politik di Aceh untuk melakukan reformulasi bersama yang menjadi draf RUU dari Aceh. Draf ini yang kemudian disandingkan dengan draf yang dibahas oleh DPR RI.

Dalam pembahasan di DPR RI, ternyata perihal hak asasi manusia tidak menjadi topik yang krusial. Perdebatan mengenai HAM seakan tidak dianggap masalah penting ketimbang tema-tema lain yang diatur dalam RUU. Sejumlah poin penting terkait HAM yang diusulkan dalam draf RUU versi Aceh justru dihilangkan.

Misalnya, perihal pelembagaan pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran. Ketentuan mengenai rentang waktu implementasi dua usulan institusi ini dihilangkan. Sehingga ketentuan waktu pendiriannya tidak mengikat. Nasib yang sama terjadi pada usulan tentang kemungkinan keterlibatan pelapor khusus dalam investigasi kejahatan HAM. Ketentuan ini dihapus dalam RUU hasil pembahasan DPR.

Berikut adalah poin-poin penting dalam draf RUU usulan Aceh yang mengalami amputasi dan koreksi ketika dibahas di DPR RI:

Usulan Aceh yang Dihilangkan di DPR RI

3. Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengesahan undang-undang ini.

4. Pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengesahan undang-undang ini.

5. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah derivasi dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional yang bertugas untuk merumuskan dan menentukan rekonsiliasi dan melakukan klarifikasi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa lalu.

Tenggang waktu dihilangkan

Ayat ini dihilangkan

(33)

Setidaknya ada tiga asumsi mengenai minimnya pembahasan serta penghilangan poin-poin penting tentang HAM dalam RUU Pemerintahan Aceh di DPR. Pertama, karena rumusan dalam MoU Helsinki menjamin ditutupnya persoalan pelanggaran HAM masa lalu (konflik). Kedua, masalah HAM di Aceh dianggap sebagai wacana ke depan. Ini seturut dengan pembahasan dalam perundingan Helsinki. Ketiga, minimnya pembahasan HAM dapat memberikan kenyamanan politik bagi kelompok elite penguasa dan politisi di DPR.

Hal yang terakhir ini menjelaskan bahwa satu karakter transisi kekuasaan di Indonesia adalah tetap adanya kontinuitas antara penguasa terdahulu dengan yang kemudian. Kontinuitas ini menjadi salah satu kendala politik yang utama dalam penegakan HAM untuk kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, karena pelanjut penyelenggara negara sekarang—baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif hingga ke pelaksana di lapangan—adalah bagian dari rezim masa lalu, baik secara struktural maupun kultural.

Justru mereka memiliki kewenangan untuk menciptakan diskontinuitas antara kejahatan masa lalu dengan pelembagaan pengadilan HAM di masa kini dengan kalimat: ”Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia

8

yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan …

Peminggiran upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Aceh juga terjadi pada proses pembahasan RUU di DPR RI. Masalah yang dianggap krusial dibahas oleh DPR RI adalah masalah seperti

8. Cetak tebal dari penulis.

6. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibentuk oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional dengan memperhatikan pertimbangan DPRA.

(34)

desentralisasi (penyerahan kewenangan Pusat ke Aceh) dan dekonsentrasi (pelimpahan kewenangan), persoalan implementasi syariat Islam agar tidak menjadi jalan bagi gerakan syariatisasi negara, serta masalah model demokrasi lokal, termasuk di dalamnya mekanisme

9

pemilihan kepala daerah dan ketentuan mengenai partai politik lokal. Koalisi organisasi masyarakat sipil yang sejak masa konflik telah mengadvokasi persoalan pelanggaran HAM menganggap tindakan politik dalam pembahasan RUU di DPR dengan mengamputasi poin penting terkait HAM sebagai tindakan ”merampas hak keadilan korban.” Mereka juga menilai tindakan politik tersebut telah ”merusak

10

tatanan hukum nasional yang menjamin keadilan.”

Pada saat yang hampir bersamaan, pada konteks nasional, munculnya gagasan pembentuk KKR Aceh memicu kembali desakan untuk segera membentuk KKR Nasional karena keberadaannya berelasi dengan keberadaan KKR Aceh. Kaitan ini sesuai dengan rumusan RUU Aceh yang sedang dibahas oleh Pansus DPR.

Sutradara Ginting, salah seorang politikus PDIP, menegaskan bahwa ”kalau KKR nasional tidak segera dibentuk, KKR di Aceh juga

11

tidak bisa jalan.” Oleh karena itu PDIP mendesak Presiden SBY untuk segera membentuk KKR Nasional.

Pendapat lain muncul setelah Mahkamah Konstitusi mencabut UU KKR sehingga pembentukan KKR Nasional yang ditunda-tunda itu justru mendapat landasan hukum untuk tidak dibentuk. Akibatnya, muncul kecemasan terhadap kemungkinan pembentukan KKR Aceh, meski Ketua MK, Jimly Asshidiqie, mengklarifikasinya. Jimly mengatakan:

KKR NAD tidak terkait dengan UU KKR. Itu ada kaitannya dengan UU PA sendiri... Kalau mau lewat mekanisme KKR, bisa dibuat lagi UU KKR yang sesuai dengan UUD daninstrumen hukum internasional. Ini

12

(UU KKR lama) kok kompensasi dikaitkan dengan amnesti…

RUU Aceh pun akhirnya disahkan menjadi UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU ini memang menjamin

9. Kompas, 1 April 2006.

10. Siaran Pers No. 15/Siaran Pers/VII/2006, Jakarta, 4 Juli 2006. Perihal ini ada kecemasan politik dari Fraksi PDIP: ”Tidak adil jika kemudian anggota Gerakan Aceh Merdeka terbebas karena telah memperoleh amnesti, sedangkan para anggota TNI/Polri terancam diadili. Karena itu, F-PDIP mengusulkan pemberian amnesti kepada semua pihak pelaku konflik di masa lampau sebelum terbentuknya pengadilan HAM dan KKR.” Kompas, 18 Mei 2006.

11. Koran Tempo, 20 Juni 2006.

(35)

keberadaan KKR di Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 229. Namun dicabutnya UU KKR oleh MK membuat KKR di Aceh tidak memiliki basis legalnya karena dalam Pasal 229 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh dinyatakan bahwa KKR Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari KKR Nasional.

Berikut adalah ketentuan mengenai HAM—termasuk KKR Aceh—yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh:

(1) Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh.

(2) Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.

(1) Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.

(2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

(3) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia di Aceh, Ko m i s i Ke b e n a r a n d a n Re ko n s i l i a s i d i A c e h d a p a t mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 229 Pasal 228

Pasal 230

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan, penetapan anggota, organisasi dan tata kerja, masa tugas, dan biaya penyelenggaraan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh diatur dengan Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

(36)

pelanggaran yang terjadi semasa tiga dasawarsa konflik di Aceh pada konteks nasional mulai pudar. Poin-poin penting mengalami amputasi. UU KKR pun dicabut oleh MK yang karena pencabutan ini, maka ikhtiar pembentukan KKR di Aceh dengan sendirinya berakhir.

Meski demikian gerakan masyarakat sipil dan korban pelanggaran HAM di Aceh tak tinggal diam. Mereka lalu memusatkan ikhtiarnya pada arena politik lokal di Aceh, tepatnya di DPRA dan Pemerintah Aceh hasil Pemilukada 2006 yang dimenangkan oleh pasangan GAM-SIRA—yang maju melalui jalur independen—yakni: Gubernur, Irwandi Yusuf, dan Wakil Gubernur, M. Nazar.

3. Ikhtiar Pada Konteks Aceh

Lalu bagaimana ikhtiar di tingkat lokal Aceh? Pada prinsipnya Gubernur Irwandi mendukung pembentukan KKR karena merupakan amanah

13

dari MoU Helsinki. Irwandi juga menyatakan ikhtiar yang sudah dilakukannya untuk mencari payung hukum bagi KKR Aceh, yakni dengan cara menulis surat pada Presiden SBY. Payung hukum nasional dibutuhkan karena "KKR di Aceh, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)

14

merupakan bagian tidak terpisahkan dari KKR." Dalam lain kata, Pemerintah Aceh bersikap akan membentuk KKR Aceh apabila ada payung hukum nasional untuk pembentukan KKR Nasional. Pada kesempatan lain, Gubernur Irwandi mengatakan:

Mengingat batas waktu yang ditetapkan UUPA telah dilewati, maka saya menyarankan kepada Presiden untuk mengupayakan percepatan pembentukan pengadilan tersebut agar tersedianya jalur hukum untuk korban-korban pelanggaran HAM di Aceh… Sebagai jalan lain, kami menyarankan agar Presiden mempertimbangkan untuk menetapkan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang KKR.

15

Ini memang dimungkinkan karena situasinya darurat.

Ikhtiar Gubernur Irwandi tersebut dibenarkan oleh Menteri Dalam Negeri Mardiyanto bahwa surat Gubernur telah diterima dan Pemerintah sedang berkonsultasi dengan para pihak yang terkait di Jakarta.

Satu-persatu ikhtiar untuk menyelesaikan kasus-kasus

13. http://www.rakyataceh.co.nr/, rakyat aceh, 16 Februari 2007. 14. Kompas, 24 Maret 2007.

(37)

Kami sudah menerima surat permohonan dari Gubernur (NAD) Irwandi Yusuf agar pemerintah segera mengeluarkan keputusan mengenai pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Surat itu akan

16

menjadi pertimbangan penyegeraan pembentukan KKR.

Perihal pembentukan KKR juga dibicarakan dalam pertemuan Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) Damai Aceh, yang merupakan forum perwakilan Pemerintah Pusat yang berkantor di Aceh. Anggota FKK, Masykur, meyakinkan bahwa Pusat siap untuk membentuk KKR, dan dia justru meragukan kesiapan Pemerintah Aceh dan pihak GAM.

Dari hasil rapat tersebut memang telah kita sepakati untuk perancangan Perpu bagi pembentukan KKR di Aceh secara lebih spesifik, mengingat acuan dasar pembentukan KKR yang didasarkan pada UU No 27 Tahun 2004 Tentang KKR, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Saat ini Perpu tersebut sedang dalam proses persiapan…. Pada prinsipnya pemerintah pusat siap untuk membentuk KKR dan pengadilan HAM di Aceh, sekarang pertanyaannya adalah apakah pihak yang dulunya

17

bertikai siap untuk menerimanya.

Di lain pihak, ternyata rancangan qanun KKR tidak masuk dalam Program Legislasi DPRA 2007, meski sudah diamanatkan dalam MoU Helsinki dan UUPA. Sejumlah organisasi masyarakat sipil pun menyikapinya dengan mendesak Pemerintah RI untuk segera membentuk KKR di Aceh sebagai perwujudan pengakuan terhadap

18

kehormatan para korban dan ahli warisnya.

Di tingkat bawah, gerakan masyarakat sipil sudah mensosialisasikan pembentukan KKR Aceh kepada para ulama. Aksi mereka mendapatkan dukungan dari ulama Aceh yang terhimpun dalam Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA).

Dalam sebuah kesempatan, Sekretaris Jendral HUDA, Tgk Faisal Ali, mengatakan bahwa korban konflik mempertanyakan tiga poin kepada Gubernur Irwandi. Ketiga poin tersebut adalah kapan pengadilan HAM di Aceh bisa dilaksanakan, kapan Komisi Kebenaran

(38)

dan Rekonsiliasi (KKR) dibentuk dan dijalankan, ketiga mengapa kinerja Badan Reintegrasi Damai-Aceh (BRA) sampai kini belum maksimal dalam menjalankan program reintegrasi untuk korban

19

konflik.

Namun Gubernur Irwandi tak serius menanggapi keluhan para ulama. Dia hanya mengatakan agar para korban bersabar. Lalu, dia mengalihkan perbincangan dengan para korban ke persoalan kebutuhan lain yang mendesak, yakni pembentukan Komisi Komplain sebagaimana yang diamanatkan MoU Helsinki.

Ini juga belum terbentuk, padahal ini sangat penting. Karena pada waktu terjadi konflik, banyak rumah, toko, kendaraan masyarakat yang dibakar dan diambil paksa. Sampai sekarang belum ada proses penggantiannya. Dalam perjanjian damai, masalah ini harus

20

dilaksanakan, agar orang yang jadi korban bisa mendapat ganti rugi.

Konsekuensi logis dari sikap Gubernur Irwandi yang menggantungkan pembentukan KKR Aceh pada payung hukum nasional berdampak pada gagalnya upaya 35 anggota DPR Aceh periode 2004-2009 yang menggunakan hak inisiatif mereka mengajukan draf rancangan qanun KKR untuk dibahas, menjadi gagal. Salah seorang inisiator, Muklis Mukhtar menjelaskan bahwa ”ada penjelasan dari Pemerintah Aceh yang meminta ditunda, maka semangat dari tim ini

21

sempat buyar.”

Ketika berkunjung ke Aceh, Martti Ahtisaari mengakui masih adanya butir-butir dalam MoU Helsinki yang belum diimplementasikan, khususnya yang menyangkut pembentukan pengadilan HAM dan KKR, namun hal ini menjadi tanggungjawab Pemerintah sepenuhnya.

Adalah menjadi kewenangan polisi untuk menyelidiki dan menindak para pelakunya, sehingga jangan sampai menjadi ancaman bagi masa

22

depan perdamaian Aceh.

(39)

23

terbentuknya KKR.”

Meskipun demikian kondisi politik di Aceh, para aktivis organisasi masyarakat sipil dan para korban tetap melakukan ikhtiar untuk pembentukan pengadilan HAM dan KKR. Harapan itu kembali muncul paska Pemilu 2009 karena Partai Aceh mendominasi kursi parlemen di provinsi. Partai ini mendapat 33 dari 69 kursi DPR Aceh. Mereka menuntut segera pembahasan dan pengesahan rancangan qanun KKR. Direktur AJMI, Hendra Budian mengatakan: ”Kepada Dewan baru agar sesegera mungkin mengesahkan Qanun KKR demi

24

menjawab rasa keadilan bagi korban konflik.” Gubernur Irwandi pun kian mempertegas sikap politiknya perihal ini:

Yang sangat penting untuk kita minta perubahan adalah Pasal 229 tentang pembentukan KKR. Dalam UUPA disebutkan kalau pembentukan KKR Aceh harus dibentuk berdasarkan UU. Dalam penjelasan UUPA, UU yang menjadi cantolan KKR Aceh adalah UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR nasional. Masalahnya UU KKR itu sudah dibatalkan oleh MK. Untuk menunggu UU yang baru, kita membutuhkan waktu yang lama. Kalau Aceh membentuk KKR dengan menggunakan payung hukum qanun, perdebatan hukum akan panas lagi. Alangkah sangat bijak kalau kita minta agar Pasal 229 ini direvisi, sehingga kita tidak perlu menunggu UU lagi untuk pembentukan KKR

25

Aceh.

4. Korban Memonumenkan Kebenaran

Di tingkat bawah, masyarakat memiliki ikhtiarnya sendiri dalam mengingat pelanggaran hak asasi manusia sepanjang konflik berlangsung. Warga Pusong di Kota Lhokseumawe bersama dengan Komunitas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Aceh Utara dan Lhokseumawe (K2HAU) mengadakan ritual tahunan berupa doa bersama dan menyantuni anak yatim dalam mengenang tragedi penyiksaan di Gedung KNPI, pada 9 Januari 1999. Dalam peristiwa ini lima warga sipil meninggal, 23 luka berat dan 21 luka ringan. Mereka juga mendesak Pemerintah di Jakarta dan Gubernur Aceh untuk membentuk pengadilan HAM dan KKR sesuai amanat MoU Helsinki.

23. Serambi, 28 Agustus 2009. 24. Serambi, 1 Oktober 2009.

(40)

Berbagai organisasi masyarakat sipil, masyarakat dan keluarga korban tragedi Simpang KKA yang terjadi pada 3 Mei 1999 di Aceh Utara juga mengkonstruksi ritual peringatan atas tragedi tersebut. Selain

26

peringatan tahunan, mereka juga mendirikan monumen dengan grafiti:

lPemerintahan Aceh dan Pusat harus mengambil langkah-langkah kongkrit misalnya dengan membentuk tim-tim pencari fakta terhadap kasus masa lalu di Aceh untuk adanya sebuah pendomentasian kasus secara menyeluruh di Aceh, pemerintahan Aceh segera membentuk Qanun KKR Aceh.

lPemerintahan di tingkat Nasional harus segera mengesahkan undang-undang KKR Nasional yang sudah dicabut.

lPembentukan pengadilan HAM untuk Aceh menjadi

bahagian dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM Aceh, mekanisme pengadilan HAM dan KKR saling berhubungan dalam proses pemberian rasa keadilan bagi korban.

Demikian pula yang dilakukan oleh masyarakat dan korban serta ahli warisnya di Jamboe Keupok, Bakongan, Aceh Selatan. Mereka mendirikan sebuah monumen untuk mengenang 16 warga sipil yang menjadi korban massal. Saburan, salah seorang anak korban, mengatakan:

Negara melakukan kejahatan, kami tidak ingin melupakan. Apalagi sampai sekarang keadilan dan tanggung jawab negara belum terwujud… Tugu ini penting sebagai bukti sejarah. Setidaknya menjadi pengobat hati

27

kami para korban dan kami tetap menuntut hak.

Di Banda Aceh, Keluarga korban penghilangan paksa se-Aceh (Kagundah) meminta agar Pemerintah Aceh membentuk qanun KKR. Hasil Kongres, menurut sekretaris jenderal Kagundah, Rukaiyah:

Orang-orang yang hilang semasa konflik itu merupakan tulang punggung bagi keluarga. Sekarang mereka tidak ada lagi, sehingga para keluarga korban kesulitan memenuhi nafkahnya… Ini harus ditunjukkan sebagai wujud kepedulian pemerintah untuk mendukung keberlangsungan

28

perdamaian yang berkeadilandi Aceh.

26. http://atjehlink.com/tragedi-simpang-kka-keadilan-bukan-sebatas-tugu/ 27. VHRmedia, 28 Oktober 2011.

(41)

Penutup

Berkaca pada kasus Aceh, penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia memang sudah menjadi satu hal yang kusut. Instrumen-instrumen hukum yang tersedia—apalagi dengan dibatalkannya UU KKR—tidak mampu menerobos stagnasi ini. Bahkan, bukan para korban dan ahli warisnya saja yang semakin sukar untuk memperoleh kebenaran sebagai haknya, akan tetapi Presiden SBY pun tidak memiliki mekanisme yang legal ketika dia hendak meminta maaf kepada para korban. Ini suatu kondisi yang berlaku secara nasional, sementara pelanggaran HAM terus terjadi dan akumulatif, sebagaimana yang terjadi di Papua (konflik vertikal) dan kasus-kasus sengketa pertanahan (konflik horizontal).

Untuk konteks Aceh, penyelesaian pelanggaran di masa konflik dapat dilihat sebagai arena politik di mana terjadi kontestasi antara persekongkolan elite berhadapan dengan para korban bersama organisasi masyarakat sipil. Sejak di meja perundingan Helsinki, masalah kejahatan masa lalu telah dimasukkan dalam laci perundingan oleh Martti Ahtisaari, dengan persetujuan pihak GAM dan RI. Hal ini lantas dilegalkan oleh Pansus RUU Pemerintahan Aceh. Apalagi, tidak lama kemudian MK membatalkan UU KKR. Kondisinya, pengadilan HAM belum dibentuk dan UU KKR—sebagai tempat sandaran hukum nasional bagi pembentukan KKR Aceh menurut pandangan elite politik Aceh dan Jakarta—dicabut.

Namun, para korban dan OMS terus berikhtiar untuk adanya pembahasan dan pengesahan terhadap draf rancangan Qanun KKR yang sudah lama mereka formulasikan. Terakhir, dalam konteks Pemilukada 2012, ada negosiasi politik antara anggota parlemen dari Partai Aceh dan para pihak untuk membahas draf tersebut sebagai hak inisiatif DPRA, yang mana hal ini tidak terlepas dari janji politik saat pemilukada. Namun, korban dan OMS hendaknya tetap bersikap waspada dan kritis terhadap kemungkinan tindakan politik mereka di parlemen Aceh untuk mengorientasikan KKR sesuai dengan kepentingannya sebagai salah satu pihak yang potensial sebagai pelaku pelanggaran ham.

(42)

yang sedang diperjuangkan tersebut. Korban dan OMS harus meneruskan pencarian bentuk komisi kebenaran yang tidak tergantung pada kebijakan politik pemerintah dan tidak terjangkau oleh intervensi golongan politik mana pun.

(43)

Abstract

Every mass political violence always brings deep trauma in various layers of victims. Direct victims were very likely to experience shock when they faced situation that has completely changed or situation that they never imagined before.

This article seeks to explain the different lived experiences of the three wives of the former political prisoners of the '1965 Tragedy' when their husbands were

released from prison.

Keywords:Political Violence, Victims Budiawan

Perang atau kekerasan politik massal hampir senantiasa menciptakan janda-janda dan anak-anak yatim piatu, entah untuk selamanya atau untuk sementara. Sebab, kebanyakan korban langsung dari kekerasan itu, entah dibunuh atau dipenjarakan, adalah laki-laki dewasa, yang notabene suami atau ayah. Begitu pula dengan tragedi 1965-66, di mana, menurut perkiraan kasar yang paling sering dilontarkan orang, sekitar setengah juta anggota atau simpatisan PKI (dan ormas-ormasnya), atau mereka yang sekadar dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI, dibunuh dalam periode waktu antara akhir 1965 hingga pertengahan 1966. Sementara lebih dari satu juta anggota atau mereka yang dituduh sebagai anggota PKI (atau ormas-ormasnya) dipenjarakan tanpa proses pengadilan sama sekali.

Jika sebagian besar mereka yang dibunuh atau dipenjarakan adalah laki-laki dewasa, yang kebanyakan di antaranya adalah suami atau

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini dibahas tentang sistem pengaturan kecepatan motor induksi dengan metode DTC (Direct Torque Control) yang dapat memberikan respon yang cepat pada

Administrasi sebagai suatu proses kegiatan manajemen saling berkaitan antara satu dengan lainnya Dalam melaksanakan administrasi, seorang administratur dibantu oleh

fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, yang antara lain dapat berupa bangunan perniagaan atau

Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan besar bahwa keberadaan sumberdaya manusia yang baik dan berkualitas sangat dibutuhkan agar kebijakan pengelolaan transportasi

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah adalah wewenang daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang

Kesimpulan Hasil penelitian dan pembahasan penggunaan Microcontroller ESP.8266 sebagai Smart-Home Controller yang telah dibuat, didapat kesimpulan jika module ini bekerja

Peta yang dihasilkan oleh perangkat desa masih banyak yang belum memenuhi kaidah kartografi dan juga banyak yang belum menampilkan informasi geospasial secara optimal pada