• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikhtiar Pada Konteks Nasional

Dalam dokumen 2012 Journal Dignitas VIII 2012 (Halaman 31-36)

MoU Helsinki memberikan mandat kepada Presiden dan DPR untuk segera membuat UU baru terkait dengan Aceh dengan mengadopsi butir-butir kesepakatan Helsinki. Pengusulan dan pembahasan rancangan undang-undang untuk Aceh kemudian menjadi arena kontestasi bagi banyak individu elite politik dan pihak golongan politik.

Di Aceh, kontestasi terjadi antara kekuatan masyarakat sipil, individu elite, elite politik (eksekutif dan legislatif), dan GAM. Tentu saja masing-masing memiliki agenda sendiri. Ada elite politik yang melakukan manuver individual dengan cara mengajukan revisi UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, lalu dia menyerahkan draf tersebut ke pihak terkait di

HAM dalam MoU Helsinki

Pemerintah RI akan mematuhi Konvenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan Mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

2.1.

2.

Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh.

2.2.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.

Jakarta. Demikian pula ada inisiatif dari eksekutif untuk mendahului proses drafting RUU.

Hal yang menarik adalah organisasi masyarakat sipil juga mengambil inisiatif untuk menyusun draf RUU, sehingga pada satu kondisi politik tertentu muncul konsensus politik dari semua kekuatan politik di Aceh untuk melakukan reformulasi bersama yang menjadi draf RUU dari Aceh. Draf ini yang kemudian disandingkan dengan draf yang dibahas oleh DPR RI.

Dalam pembahasan di DPR RI, ternyata perihal hak asasi manusia tidak menjadi topik yang krusial. Perdebatan mengenai HAM seakan tidak dianggap masalah penting ketimbang tema-tema lain yang diatur dalam RUU. Sejumlah poin penting terkait HAM yang diusulkan dalam draf RUU versi Aceh justru dihilangkan.

Misalnya, perihal pelembagaan pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran. Ketentuan mengenai rentang waktu implementasi dua usulan institusi ini dihilangkan. Sehingga ketentuan waktu pendiriannya tidak mengikat. Nasib yang sama terjadi pada usulan tentang kemungkinan keterlibatan pelapor khusus dalam investigasi kejahatan HAM. Ketentuan ini dihapus dalam RUU hasil pembahasan DPR.

Berikut adalah poin-poin penting dalam draf RUU usulan Aceh yang mengalami amputasi dan koreksi ketika dibahas di DPR RI:

Usulan Aceh yang Dihilangkan di DPR RI

3. Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengesahan undang-undang ini.

4. Pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengesahan undang-undang ini.

5. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah derivasi dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional yang bertugas untuk merumuskan dan menentukan rekonsiliasi dan melakukan klarifikasi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa lalu.

Tenggang waktu dihilangkan Ayat ini dihilangkan Tugas untuk klarifikasi dihilangkan

Setidaknya ada tiga asumsi mengenai minimnya pembahasan serta penghilangan poin-poin penting tentang HAM dalam RUU Pemerintahan Aceh di DPR. Pertama, karena rumusan dalam MoU Helsinki menjamin ditutupnya persoalan pelanggaran HAM masa lalu (konflik). Kedua, masalah HAM di Aceh dianggap sebagai wacana ke depan. Ini seturut dengan pembahasan dalam perundingan Helsinki. Ketiga, minimnya pembahasan HAM dapat memberikan kenyamanan politik bagi kelompok elite penguasa dan politisi di DPR.

Hal yang terakhir ini menjelaskan bahwa satu karakter transisi kekuasaan di Indonesia adalah tetap adanya kontinuitas antara penguasa terdahulu dengan yang kemudian. Kontinuitas ini menjadi salah satu kendala politik yang utama dalam penegakan HAM untuk kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, karena pelanjut penyelenggara negara sekarang—baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif hingga ke pelaksana di lapangan—adalah bagian dari rezim masa lalu, baik secara struktural maupun kultural.

Justru mereka memiliki kewenangan untuk menciptakan diskontinuitas antara kejahatan masa lalu dengan pelembagaan pengadilan HAM di masa kini dengan kalimat: ”Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia

8

yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan …

Peminggiran upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Aceh juga terjadi pada proses pembahasan RUU di DPR RI. Masalah yang dianggap krusial dibahas oleh DPR RI adalah masalah seperti

8. Cetak tebal dari penulis.

6. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibentuk oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional dengan memperhatikan pertimbangan DPRA.

Dalam hal tidak adanya jaminan proses investigasi yang adil dilakukan terhadap kasus-kasus kejahatan berat hak asasi manusia tertentu di wilayah, pemerintah memberi kesempatan kepada pelapor khusus (special rappourteur) dan/atau pejabat lain Pererikatan Bangsa-Bangsa untuk masuk ke wilayah Aceh.

”memperhatikan pertimbangan DPRA” dihilangkan Perihal membuka kesempatan untuk melibatkan pelapor khusus dihilangkan

desentralisasi (penyerahan kewenangan Pusat ke Aceh) dan dekonsentrasi (pelimpahan kewenangan), persoalan implementasi syariat Islam agar tidak menjadi jalan bagi gerakan syariatisasi negara, serta masalah model demokrasi lokal, termasuk di dalamnya mekanisme

9

pemilihan kepala daerah dan ketentuan mengenai partai politik lokal. Koalisi organisasi masyarakat sipil yang sejak masa konflik telah mengadvokasi persoalan pelanggaran HAM menganggap tindakan politik dalam pembahasan RUU di DPR dengan mengamputasi poin penting terkait HAM sebagai tindakan ”merampas hak keadilan korban.” Mereka juga menilai tindakan politik tersebut telah ”merusak

10

tatanan hukum nasional yang menjamin keadilan.”

Pada saat yang hampir bersamaan, pada konteks nasional, munculnya gagasan pembentuk KKR Aceh memicu kembali desakan untuk segera membentuk KKR Nasional karena keberadaannya berelasi dengan keberadaan KKR Aceh. Kaitan ini sesuai dengan rumusan RUU Aceh yang sedang dibahas oleh Pansus DPR.

Sutradara Ginting, salah seorang politikus PDIP, menegaskan bahwa ”kalau KKR nasional tidak segera dibentuk, KKR di Aceh juga

11

tidak bisa jalan.” Oleh karena itu PDIP mendesak Presiden SBY untuk segera membentuk KKR Nasional.

Pendapat lain muncul setelah Mahkamah Konstitusi mencabut UU KKR sehingga pembentukan KKR Nasional yang ditunda-tunda itu justru mendapat landasan hukum untuk tidak dibentuk. Akibatnya, muncul kecemasan terhadap kemungkinan pembentukan KKR Aceh, meski Ketua MK, Jimly Asshidiqie, mengklarifikasinya. Jimly mengatakan:

KKR NAD tidak terkait dengan UU KKR. Itu ada kaitannya dengan UU PA sendiri... Kalau mau lewat mekanisme KKR, bisa dibuat lagi UU KKR yang sesuai dengan UUD daninstrumen hukum internasional. Ini

12

(UU KKR lama) kok kompensasi dikaitkan dengan amnesti…

RUU Aceh pun akhirnya disahkan menjadi UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU ini memang menjamin

9. Kompas, 1 April 2006.

10. Siaran Pers No. 15/Siaran Pers/VII/2006, Jakarta, 4 Juli 2006. Perihal ini ada kecemasan politik dari Fraksi PDIP: ”Tidak adil jika kemudian anggota Gerakan Aceh Merdeka terbebas karena telah memperoleh amnesti, sedangkan para anggota TNI/Polri terancam diadili. Karena itu, F-PDIP mengusulkan pemberian amnesti kepada semua pihak pelaku konflik di masa lampau sebelum terbentuknya pengadilan HAM dan KKR.” Kompas, 18 Mei 2006.

11. Koran Tempo, 20 Juni 2006.

12. Detikcom, 8 Desember 2006. Kajian Elsam atas Keputusan MK tentang pencabutan UU KKR menyatakan, antara lain, membuka jalan bagi terbentuknya kultur impunitas di Indonesia. Elsam, ”Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Hak Konstitusional,” Seri Briefing Paper No. 01 Januari 2007.

keberadaan KKR di Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 229. Namun dicabutnya UU KKR oleh MK membuat KKR di Aceh tidak memiliki basis legalnya karena dalam Pasal 229 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh dinyatakan bahwa KKR Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari KKR Nasional.

Berikut adalah ketentuan mengenai HAM—termasuk KKR Aceh—yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh:

(1) Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh. (2) Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.

(1) Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.

(2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

(3) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia di Aceh, Ko m i s i Ke b e n a r a n d a n Re ko n s i l i a s i d i A c e h d a p a t mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 229 Pasal 228

Pasal 230

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan, penetapan anggota, organisasi dan tata kerja, masa tugas, dan biaya penyelenggaraan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh diatur dengan Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

pelanggaran yang terjadi semasa tiga dasawarsa konflik di Aceh pada konteks nasional mulai pudar. Poin-poin penting mengalami amputasi. UU KKR pun dicabut oleh MK yang karena pencabutan ini, maka ikhtiar pembentukan KKR di Aceh dengan sendirinya berakhir.

Meski demikian gerakan masyarakat sipil dan korban pelanggaran HAM di Aceh tak tinggal diam. Mereka lalu memusatkan ikhtiarnya pada arena politik lokal di Aceh, tepatnya di DPRA dan Pemerintah Aceh hasil Pemilukada 2006 yang dimenangkan oleh pasangan GAM-SIRA—yang maju melalui jalur independen—yakni: Gubernur, Irwandi Yusuf, dan Wakil Gubernur, M. Nazar.

Dalam dokumen 2012 Journal Dignitas VIII 2012 (Halaman 31-36)

Dokumen terkait