• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iklan Politik Mega-Prabowo ( Iklan Negatif Bersifat Menyerang)

Dalam dokumen PERSEPSI IKLAN POLITIK PADA PEMILIH PEMULA (Halaman 103-110)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Iklan Politik Mega-Prabowo ( Iklan Negatif Bersifat Menyerang)

Pada penelitian sebelumnya, disebutkan salah satu karakter iklan politik Indonesia, dari sisi konten, lebih didominasi oleh iklan politik yang bersifat “santun” dan tidak berbentuk attack campaign (Danial: 2009). Setidaknya, hal itu mungkin dipengaruhi oleh faktor kultur masyarakat Indonesia yang masuk ke dalam kategori masyarakat high context culture. Dalam kategori masyarakat semacam itu, ada hal-hal yang sudah menjadi rahasia umum, namun dinilai tidak pantas untuk diungkapkan secara terbuka di hadapan publik. Oleh karena itu, iklan negatif kurang popular dikalangan kandidat politik di Indonesia. Namun ditengah maraknya iklan politik yang sekedar memperlihatkan sisi baik kandidat, Megawati dan Prabowo mengeluarkan iklan politik yang cukup eksplisit mengkritisi kinerja pemerintah.

Ansolabehere mendefinisikan iklan negatif sebagai iklan yang fokus menyerang kebijakan yang gagal pada lawan politik mereka. “Negative advertising is defined as advertising that focuses on the policy failures or undesirable attributes of the opponent” (Ansolabehere et al. 1994). Iklan Mega-Prabowo menyerang kebijakan pemerintah mengenai kenaikan harga bahan bakar

commit to user

dan kebutuhan pokok. Pesan iklan disampaikan dengan menyajikan angka-angka kenaikan harga dan data-data faktual. Persepsi partisipan terhadap iklan ini cenderung beragam, dari kalangan pelajar SMA menilai bahwa iklan memberikan janji yang menarik dan mengkritisi pemerintah. Dari kalangan mahasiswa, ada anggapan bahwa menawarkan janji-janji; hanya menjelek-jelekkan masa pemerintahan SBY dan mengusung kemiskinan sebagai hal yang basi. Sedangkan kalangan pekerja, mengakui iklan ini menarik karena mengusung kemiskinan dan janji menurunkan harga, namun satu partisipan mengangap biasa saja karena isinya memojokkan lawan politik lain.

Dari sisi konten, Setiyono (2008: 51-52) berpendapat seharusnya iklan politik baik di televisi maupun media lain lebih berorientasi pada isu atau program yang dijanjikan para politikus. Iklan politik juga seharusnya memuat visi dan misi yang bisa dijadikan dasar pijakan bagi pemilih untuk menentukan pilihan. Iklan politik Mega-Prabowo versi “Pro Keluarga Pro Rakyat” nampaknya memenuhi kriteria yang diajukan oleh Setiyono. Kemiskinan menjadi isu yang diangkat oleh tim kampanye dan Mega-Prabowo memberikan janji akan memperbaiki perekonomian Indonesia.

Secara verbal, iklan politik Mega-Prabowo mengungkapkan keprihatinannya akan kehidupan ekonomi rakyat kecil dan juga membandingkan masa pemerintahan yang sedang dipimpin oleh SBY dengan masa kepemerintahan Megawati. Melalui narasi dan data indeksial harga kebutuhan pokok yang terus menerus naik selama dibawah kepemimpinan SBY, iklan Megawati-Prabowo menyerang pemerintahan SBY dengan

commit to user

mengatakan hanya memberikan janji kosong belaka. Pemerintah dianggap telah gagal dalam mengurusi perekonomian Indonesia dan mengklaim perekonomian ketika dibawah kepemimpinan Megawati lebih baik.

Ada kecenderungan persepsi yang menarik diantara partisipan yang penulis amati pada iklan politik Mega-Prabowo, partisipan perempuan umumnya menilai iklan ini tidak menarik karena menjelek-jelekkan salah satu pihak kandidat lain, sedangkan partisipan pria berpendapat menarik karena janji-janjinya yang disampaikan menarik tanpa menyinggung persoalan bahwa Mega-Prabowo menyerang kebijakan pemerintah.

Dari kalangan pelajar SMA, Diptanta berpendapat bahwa iklan Mega dan Prabowo menarik dan berbobot karena dari isu permasalahan dan janji-janji yang disampaikan dalam iklan, pemilih jadi mengetahui apa yang akan dilakukan oleh kandidat jika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Listiyo dari kalangan mahasiswa dan Miftah dari kalangan pekerja. Listiyo mengatakan:

“Saya memandang disini tujuan mereka untuk kampanye, untuk menyampaikan visi dan misi. Dan sebuah visi dan misi itu kalau dalam sebuah ranah politik, visi dan misi itu bisa menimbulkan sebuah janji, nah janji-janji itu yang sebenarnya mereka tawarkan kepada masyarakat. Dan saya pikir, sasaran dari kampanye mereka adalah masyarakat bawah. Masyarakat-masyarakat mikro, dalam artian Masyarakat-masyarakat-Masyarakat-masyarakat kalangan menengah ke bawah indonesia.”

Lebih lanjut Listiyo mengungkapkan bahwa informasi pesan yang disampaikan di iklan Politik Mega-Prabowo cukup lengkap dan menarik. Dimana disitu dijelaskan keadaan kehidupan rakyat kelas menengah ke bawah, sedikit profil tentang latar belakang Megawati dan Prabowo serta visi

commit to user

misi mereka ke depan dalam memperbaiki situasi di Indonesia. Namun data dan fakta yang diberikan relatif diragukan kebenarannya.

“ee.. iklan itu, kalo yang iklan ini menurut saya menarik si. Kalo untuk ukuran ee,, masyarakat-masyarakat ee.. yang mungkin dalam iklan ini termuat. Maksudnya kalau di situ tadi ada petani... ada masyarakat kelas bawah dan ada juga pedagang dan sebagainya..itu, iklan untuk mereka cukup menggiurkan. Cukup.. apa ya, mungkin janji yang ditawarkan oleh pasangan ini. Untuk masyarakat tersebut cukup mengena. Tapi kalau menurut saya, iklan ini kurang bersifat luas, maksudnya universal. Misalnya ehmm, ya oke lah kalau memang mega dan prabowo itu mengusung ekonomi kerakyatan, ekonomi yang ditujukan untuk masyarakat indonesia, utamanya tentang kemiskinan. Tapi kalau saya lihat dari iklan ini, itu data dan fakta yang diutarakan oleh iklan ini kurang kuat, bukti yang menyertainya tidak ada. Dan ini menurut saya bersifat spekulatif. Kalau boleh saya bilang itu menurut versi mereka. Jadi seperti itu.”

Data dan fakta yang disini mengacu pada narasi yang mengatakan “setiap pagi para pekerja tak mampu membeli bahan bakar minyak dan transportasi, uang mereka terus menipis, setiap malam kekurangan pangan”. Fakta yang tentang narasi tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan karena tidak adanya data tentang tingkat kemiskinan Indonesia dari lembaga yang resmi.

Di kalangan partisipan perempuan, persepsi tentang data dan fakta yang diragukan kebenarannya juga tak juga dikemukakan oleh mereka. Alfiana, dari kalangan pelajar SMA, ia melihat iklan ini hanya mengkritisi pemerintah dari satu sisi yaitu perekonomian. Dan data yang diperlihatkan tentang pemerintah hanya informasi mengenai kebijakannya yang buruk saja. Sedangkan di pihak Megawati informasi yang ditunjukkan hanya tentang keberhasilan Megawati. Namun keberhasilan Megawati yang ditunjukkan pada iklan sendiri dinilai Alfiana kurang bisa dibanggakan.

commit to user

“Isinya biasa lah, ee.. cuma sekedar mengkritisi pemerintah. ee..dan ia hanya menampilkan dari sisi ekonomi aja gitu lho mengkritisinya, enggak dilihat dari sisi bagusnya, maksudnya ee.. perbandingannya. Lagipula dia mengatakan mega gitu, pas jamannya tu harga sembako murah, iya harga sembako murah..hutangnya banyak..trus aset-aset dijual.”

Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Kacung Marijan, menilai efektifitas iklan politik yang menyerang kebijakan yang dibuat oleh lawan politiknya sangat tergantung pada bagaimana rakyat melihat track record pihak yang beriklan (Danial, 2009: 230). Hal ini terbukti pada penelitian yang dilakukan penulis. Proses penilaian persepsi partisipan menanggapi pesan verbal iklan politik Mega-Prabowo diikuti juga oleh pengetahuan partisipan mengenai track record Mega-Prabowo.

Di pertengahan periode tahun 1999-2004, tepatnya tahun 2001-2004, Megawati pernah menduduki kursi kepresidenan menggantikan Gusdur. Ia menjadi presiden RI ketika situasi ekonomi Indonesia sedang mengalami krisis. Warisan utang dan kemampuan keuangan negara yang sangat berat saat itu membuat presiden ke-5 RI ini mengambil beberapa jalan yang sangat tidak populer, yaitu melego saham BUMN, menguras simpanan pemerintah, dan menjual aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Di dalam iklan, Megawati mencoba membentuk citra yang baik dengan menyerang lawan politik SBY untuk memperlihatkan perbandingan bahwa perekonomian Indonesia ketika di bawah kepemimpinan Megawati lebih baik daripada SBY. Disebutkan pada masa pemerintahan SBY harga-harga kebutuhan pokok serba naik dan menyengsarakan rakyat, sedangkan pada masa pemerintahan Mega harga-harga lebih terjangkau. Ilmuwan

commit to user

komunikasi politik Universitas Indonesia, Effendi Gazali, terkait dengan iklan yang bersifat menyerang menyatakan iklan semacam itu sah-sah saja sejauh berdasarkan data valid dan dinilai positif karena mendorong pemilih untuk menilai para calon presiden pada Pemilu 2009, berdasarkan rekam jejak, bukan berdasarkan sanjungan saja.

Pada iklan Mega-Prabowo informasi yang seharusnya mendukung pembentukan citra Mega lebih baik daripada SBY nampaknya tidak sejalan dengan persepsi partisipan terutama mengenai track record Megawati. Umumnya mereka berpendapat bahwa track record atau kinerja Megawati dulu juga terbilang tidak bagus. Farah, misalnya, menyatakan:

“...disini tu kesannya iklan ini tu menjelek-jelekkan masa.. apa, masa pemerintahannya SBY. Menganggap tu kesannya bahwa SBY tu cuma me..apa ya istilahnya, ga ada yang bermanfaat untuk masyarakat dengan naiknya harga seperti ini-seperti itu. Padahal kan itu memang ada alasannya tersendiri dan disini sepertinya pasangan megawati dan prabowo kesannya membesarkan nama mereka yang dulu kan mega tu presiden menganggap bahwa masanya tu lebih baik daripada sekarang tapi kok menurut saya kok enggak ya, buktinya waktu megawati mencoba untuk mencalonkan lagi tapi tidak jadi, itu kan sebagai bukti bahwa masyarakat tu ga percaya dengan negara itu diperintah oleh megawati lagi.”

Beberapa partisipan dari kalangan kelas menengah ke bawah yang ditargetkan sebagai subyek yang dituju oleh Megawati dan Prabowo pada iklan ini pun juga mengatakan bahwa masa pemerintahan Megawati tidak lebih baik seperti yang diutarakan. Tidak seperti kalangan pelajar yang melihat kinerja Megawati secara luas, kalangan pekerja melihat dari sudut bagaimana kehidupannya saat itu. Keadaan ekonomi yang tidak lebih baik menjadi titik tolak bahwa Megawati juga tidak membawa keberhasilan di masanya. Iin mengatakan :

commit to user

Megawati menurut saya belum layak untuk menjadi presiden, itu terbukti pada masa kepemimpinannya saya tidak merasakan dampak perubahan yang lebih baik dari sebelumnya, keluarga saya tetap pas-pasan.”

Begitu juga dengan pendapat Widi yang merupakan satpam di perumahan Fajar Indah, ia mengatakan bahwa iklan yang disampaikan memang bagus tapi dulu harga-harga menurut dia sama saja mahalnya. Disini nampak jelas adanya persepsi yang berbeda akan track record keberhasilan kepemimpinan yang dicapai menurut tim kampanye Mega dengan kalangan pemilih pemula.

Secara non verbal, iklan Mega-Prabowo memperlihatkan gambaran masyarakat kalangan menengah ke bawah. Gambaran sejatinya ditonjolkan oleh pembuat iklan untuk mendukung narasi yang mengangkat tentang isu kemiskinan. Namun sayangnya strategi ini dirasa kurang tepat untuk menggaet simpati masyarakat Indonesia. Direktur Indonesian Research and development Institute (IRDII), Notrida Mandica Nur menjelaskan bahwa memanfaatkan gambaran orang miskin dalam iklan politik justru memberikan citra buruk. Berdasarkan survei nasional IRDI tanggal 6-13 Oktober 2008 terhadap 2.000 responden di seluruh Indonesia, 44,35 persen responden menyatakan tidak setuju terhadap iklan kampanye parpol yang menampilkan gambar orang miskin. Sedangkan 69 persen tidak setuju jika iklan kampanye menonjolkan kelemahan partai lain.

Tuning, partisipan dari kalangan pelajar, juga menunjukkan kesan kurang menyukai terhadap iklan yang memberikan gambaran orang-orang miskin. Seolah sudah cukup sering isu tentang kemiskinan diangkat namun

commit to user

tidak membuahkan hasil, bahkan ketika dulu Indonesia dipimpin oleh Megawati.

“Cuma gambaran orang-orang miskin kayak gitu, itu kan uda basi. Uda gitu tadi kan dia bilang buat apa janji, padahal kan pada masa pemilihan dia juga ga jauh beda, malah dia ee.. sering apa, malah dia pernah berjualan pulau, jadi iklan itu menurut saya tidak tepat, yang ditahun ini dia akan membuat perubahan padahal di tahun dia juga sama aja.”

2. Iklan Politik Televisi Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono (Iklan

Dalam dokumen PERSEPSI IKLAN POLITIK PADA PEMILIH PEMULA (Halaman 103-110)

Dokumen terkait