• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iklan Politik Televisi Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono

Dalam dokumen PERSEPSI IKLAN POLITIK PADA PEMILIH PEMULA (Halaman 110-128)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2. Iklan Politik Televisi Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono

Pada pemilu presiden tahun 2004, kemenangan pasangan SBY-JK merupakan hasil dari kekuatan “citra” yang dikemas secara apik oleh tim komunikasi sehingga mampu mengalahkan pasangan Mega-Hasyim. Pada pemilu presiden tahun 2009. SBY bersama pasangan calon presidennya yang baru, Boediono, kembali mengedepankan pencitraan positif figur kandidat. Citra adalah gambaran manusia mengenai sesuatu, atau jika mengacu pada Lippman, citra adalah persepsi akan sesuatu yang ada di benak seseorang dan citra tersebut tidak selamanya sesuai dengan realitas sesungguhnya.

Menurut Akmad Danial (2009:232), iklan-iklan yang lebih “menjual” karakteristik personal atau kualitas yang ada pada kandidat, seperti latar belakang, pengalaman, langkah atau prestasi yang dicapai sebelum pencalonan, karakter dan sebagainya terkadang dibuat secara artificial dan bahkan hanya menutupi track record kandidat yang sebenarnya. hal ini dikarenakan realitas yang ditampilkan dalam media adalah realitas yang sudah diseleksi—realitas tangan kedua (Rakhmat, 2002: 224). Dalam artian apa yang ditampilkan dalam media telah

commit to user

melewati tahap seleksi atau gate keeping. Begitu juga dengan iklan politik yang disiarkan di media televisi.

Iklan politik SBY-Boediono memperlihatkan kualitas kandidat dengan penggambaran mengenai latar belakang kedua pasangan. Latar belakang yang berasal dari keluarga sederhana menjadi pesan utama yang disampaikan untuk menimbulkan rasa kesamaan dengan latar belakang rakyat Indonesia pada umumnya. Dengan begitu, menimbulkan citra bahwa SBY dan Boediono bisa merasakan apa yang dirasakan rakyat kecil dan akan berjuang demi rakyat.

Seluruh partisipan dari ketiga kalangan umumnya memiliki pendapat iklan ini menarik dan hanya satu yang menjawab tidak menarik dari kalangan pelajar SMA. Persepsi dari kalangan SMA iklan ini secara menarik memberikan informasi tentang latar belakang SBY dan Boediono, namun ada satu partisipan menganggap konten yang diberikan kosong karena tidak adanya visi dan misi yang disampaikan. Sedangakan kalangan mahasiswa berpendapat tidak adanya visi dan misi tidak mengurangi daya tarik iklan, karena informasi latar belakang kandidat juga penting untuk mengetahui pribadi kandidat walaupun ada salah satu kandidat yang menganggap informasi yang diberikan subyektif, hanya tentang sisi positif saja. Dari kalangan pekerja, persepsi yang timbul beragam antara lain informasi yang diberikan kurang, memperlihatkan kepribadian kandidat yang baik dan informasi yang kurang meyakinkan membuat orang percaya karena terlihat hanya sebagai sampul saja.

Iklan politik di media televisi memiliki kemampuan menggabungkan pesan verbal dan nonverbal dalam format audio-visual. Melalui televisi, apa

commit to user

yang ingin disampaikan oleh kandidat politik dapat tersimulasikan dalam rangkaian gambar dan audio. Setiap individu yang melihat iklan akan menginterpretasikan iklan tersebut sesuai dengan pandangan mereka sehingga menimbulkan emosi tertentu. Pandangan tersebut adalah persepsi. Menurut Lazarfeld et al (dalam Brader, 2006), semua jenis propaganda pada dasarnya adalah permainan emosi publik. Baden (dalam Brader, 2006) menambahkan bahwa iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek emosional dibanding intelektual. Dan dalam masyarakat Asia, seperti dikemukakan oleh Kaid (2006: 451), iklan dengan nuansa emosional yang menggunakan bahasa dan gambar yang membangkitkan perasaan atau emosi tertentu, seperti rasa gembira, patriotisme, kemarahan atau kebanggaan lebih disukai dan efektif.

Iklan semacam itulah yang dibuat oleh SBY dan Boediono dalam iklan politik versi “Pemerintahan Bersih Untuk Rakyat”. Secara verbal rangkaian informasi melalui narasi mengenai perjalanan karier SBY dan Boediono, dari awal mula semasa kecil, membentuk persepsi para partisipan seolah menjadi mengenal sosok pribadi kandidat dan perasaan emosional memiliki satu kesamaan sebagai rakyat biasa. Dan dari pengamatan penulis, partisipan perempuan menyukai jenis iklan semacam ini. Alfiana, mengatakan:

Iklan ini nunjukkannya yang lucu gitu, tentang sejarah mereka berdua. Sejarah mereka berdua tu juga dari rakyat biasa, jadi rakyat tu oh jadi mereka juga uda pernah merasakan penderitaan yang sama, jadi dari bawah bener-bener bukan dari yang anak proklamator atau apa lah anak penggede, mereka bener-bener dari bawah, mereka berusaha hingga akhirnya seperti sekarang.”

Di antara tiga calon presiden yang maju bertarung dalam Pemilu Presiden 2009, Susilo Bambang Yudhoyono adalah satu-satunya calon yang

commit to user

tidak membawa embel-embel nama besar keluarga. Kedua calon lainnya, Muhammad Jusuf Kalla, menyandang nama besar ayahnya, Hadji Kalla, seorang saudagar sukses. Sedangkan Megawati Soekarnoputri merupakan putri dari Ir. Soekarno, sang proklamator dan Presiden RI yang pertama.

Menindaklanjuti tentang informasi latar belakang SBY-Boediono, peneliti kemudian bertanya, apakah Alfi mempercayai dengan pesan yang disampaikan dari iklan tersebut? Ia menjawab:

“Saya si percaya dengan apa yang disampaikan di iklan itu, percayanya tu mereka tu bener-bener mengabdi untuk rakyat karena SBY tu kan awalnya dari TNI, dia membela demi segenap tumpah tanah air gitu ya kemudian kalau pak Boediono kan jadi guru, seorang dosen mengajar, itu kan juga mengabdi kepada bangsa.”

Persepsi yang tak lebih serupa juga diutarakan oleh Iin, penggambaran SBY dan Boediono pada iklan membuatnya percaya dengan tagline yang mereka usung yaitu “Pemerintahan Yang Bersih Untuk Rakyat”. Bahwa SBY dan Boediono akan mengabdi kepada rakyat dan tidak memperkaya diri.

Berbeda dengan partisipan perempuan, partisipan pria menanggapi iklan politik SBY-Boediono dengan lebih kritis dan beragam. Diptanta misalnya, ia menilai bahwa iklan yang hanya menonjolkan pencitraan pribadi kandidat merupakan iklan yang tidak berbobot karena ketidakadaan informasi visi dan misi dari kandidat. Diptanta mengatakan:

“Kalau liat dari iklannya. Menurut saya ya temanya kosong kurang berisi. Ya kalau mega tadi kan berisi iklannya, banyak isinya. Kalau ini kosong, cuma satu intinya dari rakyat untuk rakyat gitu saja, enggak ada kedepannya bagaimana. Kalau mega kan ada prospeknya begini-begini-begini.”

Dengan kata lain, di iklan politik Megawati informasi yang diberikan cukup lengkap, antara lain mengenai permasalahan kemiskinan yang dihadapi

commit to user

oleh negara Indonesia, sekilas latar belakang Megawati dan prabowo, dan upaya dari Megawati-Prabowo untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sedangkan iklan SBY-Boediono kurang menerangkan apa yang menjadi visi dan misi mereka dalam membangun negeri. Dari informasi sebelumnya, Diptanta mengaku bahwa ia mendukung SBY terpilih sebagai presiden, oleh kemudian penulis menanyakan apakah iklan SBY yang menurut Diptanta kosong ini berpengaruh mengubah minatnya kepada SBY? Diptanta kemudian memberikan pernyataan berikut ini.

“Kalau dari iklannya sih ga minat tapi kan udah suka dulu sama orangnya

dulu jadi tetap minat.”

Penilaian Diptanta tentang tanpa visi misi iklan menjadi tidak berbobot sangat berbeda dengan pandangan Farah, dari kalangan wanita, tidak adanya visi dan misi yang disampaikan, hanya informasi latar belakang kandidat, tidak mengurangi daya tarik iklan ini. Bagi Farah, informasi yang terfokus pada latar belakang sosok pribadi kandidat justru merupakan suatu awal yang baik untuk memperkenalkan diri kandidat terhadap masyarakat. Lebih jelas Farah mengatakan:

Menurut saya ini bagus ya jadi masyarakat tu melihat dulu bagaimana sih, siapa sih mereka, jadinya kan ohh.. seperti ini, seperti ini. Tentu kalau mereka sudah mengenal, kita sudah mengenal, barulah mereka menurut saya memberikan program visi misi mereka.

Lain lagi dengan pandangan miftah, dari kalangan pekerja, bagi dia semua iklan politik itu sama saja. Dalam artian, apa yang ditampilkan dan disampaikan dalam iklan tidak bisa sepenuhnya dipercayai sebagai representasi bagaimana kandidat tersebut di realita. Miftah mengatakan:

commit to user

Sama saja ya sebenarnya, kalau iklan kayaknya ga ada bedanya. Kurang..kurang meyakinkan. Bisa saja itu cuma iklan, iklan kan tidak langsung melihat orangnya atau melihat bagaimana dia bekerja. Ya..kelihatannya cuma sebagai sampul saja. Jadi tidak sepenuh bisa membuat orang yang melihat itu bisa percaya.”

Sejalan dengan pendapat Miftah, Listiyo berpendapat bahwa iklan yang hanya memperlihatkan sisi-sisi kebaikan kandidat saja bersifat kurang netral. Setiap orang pasti mempunyai kekurangan dan kelebihan. Jika hanya sisi positif yang yang diperlihatkan maka pertimbangan-pertimbangan pemilih menjadi tidak objektif. Namun Listiyo memaklumi dengan adanya iklan politik pencitraan, menurut dia politik selalu berhubungan dengan kekuasaan, dan kekuasaan bisa didapat melalui imej yang bagus. Oleh karena itu, tak heran bila SBY dan Boediono membuat iklan politik tentang pencitraan diri yang baik sebagai strategi kampanye.

“... Kalau di iklan ini jelas yang dipertunjukan adalah kebaikan sisi-sisi positif dari kedua calon pasangan pak SBY dan Boediono. Kan setiap pasangan memiliki kekurangan dan kelebihan, menurut saya ya..kenapa sisi negatif juga tidak dipertunjukkan agar bisa menjadi bahan pertimbangan-pertimbangan dalam masyarakat. Tapi dalam hal ini, pertanyaan itu bisa saya maklumi soalnya ini adalah politik. Lagi-lagi kita bicara tentang politik. Nah, politik itu kalau kekuasaan menurut saya berasal dari imej yang bagus. dalam hal ini mereka menumbuhkan sebuah imej, sebuah figur yang bagus. dan mengapa mereka mengiklankan ini, menurut saya itu salah satu strategi tim kampanye mereka.”

Lebih lanjut, penulis menanyakan apakah Listiyo setuju dengan iklan semacam ini? Ia menyatakan kurang setuju, karena menurut dia yang perlu untuk diketahui dari seorang calon pemimpin itu adalah moralnya. Dengan hanya menunjukkan kebaikan, masyarakat tidak bisa menyimpulkan moral seperti apa yang dimiliki oleh SBY dan Boediono. Kurangnya keterbukaan

commit to user

atau transparansi mengenai kandidat dalam iklan kampanye semacam ini, Listiyo anggap kurang cocok dilakukan di negara demokrasi.

“Kalau menurut saya sendiri kurang setuju, soalnya kalau menurut saya pemimpin itu yang penting adalah moral. Moral itu bisa dinilai dari keburukan dan kebaikan seorang pemimpin. Disini cuma ada kebaikan, lalu moral macam apa yang bisa disimpulkan oleh masyarakat kepada pak SBY dan Pak Boediono. Kalau dalam negara demokrasi si menurut saya iklan ini kurang mengena.”

Gambar merupakan salah satu wujud simbol atau bahasa visual yang didalamnya terkandung struktur rupa seperti garis, bentuk, warna, dan komposisi. Ia dikelompokan dalam komunikasi non verbal, dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan dan ucapan. Upaya memberdayakan simbol-simbol visual berangkat dari kenyataan bahwa bahasa visual memiliki karakteristik yang bersifat khas, bahkan istimewa, untuk menimbulkan efek tertentu pada pengamatnya.

Pada pesan non verbal iklan politik SBY-Boediono, Miftah, dari kalangan pekerja menganggap visualisasi yang diberikan tidak menarik. Kandidat menurut Miftah seharusnya juga memberikan perhatian tentang gambaran masyarakat sekarang ini, tidak hanya menunjukkan kehidupan pribadi Kandidat saja.

“Kalau secara gambar, saya rasa kurang menarik. Karena dia.. apa ya, didalam iklan itu hanya memeperlihatkan semasa hidupnya saja dari dia berangkat sampai dia menjadi presiden. Seharusnya kan selain itu dia juga menceritakan bagaimana kondisi si indonesia itu sekarang ini. Seperti yang di iklan megawati tadi, lebih baik saya rasa.”

Pesan non verbal lain yang ditangkap oleh partisipan adalah mengenai figur SBY dan Boediono. Luluk, dari kalangan mahasiswa, menangkap bahwa figur seorang tentara memberikan kesan SBY sebagai orang yang tegas,

commit to user

berwibawa dan memiliki displin tinggi. Sedangkan figur guru yang merupakan pendidik anak bangsa mengesankan Boediono dapat mengayomi rakyat dengan baik.

“Ya kalau SBY kan dari tentara, ya otomatis orangnya tegas, berwibawa trus displin. Trus kalau boediono lebih mengayomi, bersifat mendidik jadinya sebagai guru kan lebih mengayomi rakyatnya.”

3. Iklan Jusuf Kalla dan Wiranto (Iklan Positif Testimonial Kepositifan Kandidat)

Iklan politik televisi, menggabungkan antara audio dan visual menjadi kesatuan yang saling mendukung. Audiovisual iklan JK-Wiranto dalam menyampaikan pesan cenderung dinilai partisipan mudah menarik perhatian dan dan tidak kaku seperti biasanya sebuah iklan politik. Hampir seluruh partisipan sependapat iklan ini menarik dan hanya satu partisipan yang menyatakan tidak menarik. Namun sayangnya tidak semua partisipan dapat menangkap pesan yang terselip dalam iklan. Mereka tertarik dikarenakan lebih karena visualisasinya yang lucu. Tercatat tujuh partisipan menganggap singkatan-singkatan JK dianggap masih kurang penjelasannya sehingga kurang tersampaikan apa maksud dan tujuan dari singkatan-singkatan tersebut.

Durasi iklan JK-Wiranto versi kepositifan JK hanya 30 detik, pesan pencitraan kandidat disampaikan lebih banyak melalui simbol-simbol dan permainan kata singkatan-singkatan JK. Simbolisasi-simbolisasi tadi umumnya menggunakan berbagai metafora, dan diartikulasikan melalui berbagai tanda di dalam iklan politik mereka.

commit to user

Kesatuan pesan verbal dan nonverbal pada iklan JK-Wiranto diungkapkan oleh Listiyo dikemas secara kreatif. Visualisasi kepanjangan dari singkatan-singkatan huruf J dan K yang diucapkan oleh beberapa orang dalam iklan menyiratkan visi dan misi JK-Wiranto. Dengan tidak menyampaikan data-data dan menggunakan perspektif testimonial orang awam mengenai JK, Listiyo memandang iklan JK-Wiranto lebih aman diterima masyarakat karena tidak secara gamblang mengumbar janji.

Di situ secara visual.. tidak dengan gamblang dia mengumbar janji, tidak secara blak-blakan dia menunjukkan kelebihan. itu secara visual menurut saya. Kalau dari sisi pesan dan informasi, kurang lebih sama dengan pasangan lain standar, menarik. Kebetulan sejak pertama saya sudah tertarik dengan cara Jusuf Kalla untuk menyampaikan visi dan misinya. Secara keterbukaan dia lebih unggul diantara pasangan lain, dalam hal ini informasi- informasi yang diberikan cukup jelas walaupun yah.. masih simpang siur mungkin kalau berdasarkan iklan ini. Tapi ya.. cukup kreatif ide dari Pak JK untuk menyampaikan visi dan misinya untuk berkampanye. Informasi itu cukup.”

Tapi berbeda dengan Listiyo, persepsi mengenai iklan JK-Wiranto oleh partisipan lain lebih banyak dianggap tidak jelas apa yang ingin disampaikan. Pesan-pesan yang tersirat di dalam singkata J dan K tidak dapat diserap oleh partisipan lain dengan mudah. Kecenderungan yang ada adalah partisipan melihat visualisasi iklan politik yang menarik disertai jingle atau musik yang lucu, namun hanya sebatas enak ditonton. Informasi tentang visi dan misi kandidat kembali dipertanyakan seperti halnya pada iklan politik SBY-Boediono. Dengan lugas Diptanta berpendapat.

“Visualisasinya menarik tapi isinya ga ada. Ya kan masa rakyat suruh

commit to user

Senada dengan Diptanta, Farah dari kalangan mahasiswa, menilai iklan politik JK-Wiranto hanya sekedar menarik untuk dilihat, dengan adanya ilustrasi singkatan-singkatan JK. Tapi ia tidak bisa menangkap isi dan maksud dari iklan tersebut. Ia juga mempertanyakan mengapa tidak ada informasi mengenai Wiranto sebagai pasangan cawapres JK. Begitu juga dengan Alfiana, lebih jelas ia mengatakan:

Secara visualisasinya si menarik, beda.. dalam arti dia.. musiknya lucu. Trus ada kayak singkatan-singkatan gitu tapi secara visualisasi aja lucu. Kalau orang lihat “wah apaan tuh?” ga terlalu politik gitu, kalau orang lihat ga muluk-muluk politik gitu lho, bosen. Awal-awal kan ga sadar kalau itu politik. Tapi ga semua isinya bisa dimengerti karena pake singkatan-singkatan itu beberapa kabur gitu kayak istilah “jangan kelamaan”, jangan kelamaan apa? Kalau lihat gambarnya itu kan cuma bengong kelamaan.

Persepsi serupa juga terjadi dikalangan pekerja, Iin dan Widi melihat iklan ini menarik tetapi durasinya yang hanya sebentar dan kepanjangan-kepanjangan JK tanpa ada penjelasan lebih lanjut dirasa kurang memberikan informasi yang jelas. Sedangkan Miftah kembali menekankan bahwa semua iklan politik sama saja. Iklan politik tidak bisa merepresentasikan bagaimana kandidat itu dengan sejujur-jujurnya. Miftah menyatakan:

“Kalau iklan kan tadi saya sudah bilang iklan itu sebener bagaimana ya. Setiap mungkin kan yang bikin iklan ini bukan dari JK-nya sendiri, mungkin orang lain dibawahnya ya. Itu kan yang membuat iklan kan beda-beda, mungkin membuat iklan sini seperti ini, sini seperti ini, jadi sama saja. Sama saja dari iklan-iklan ini bagaimana ya, tidak bisa.. sepenuhnya merepresentasikan mereka. Mungkin itu cuma kiasan saja dari orang yang membuatnya. Seperti ini, seperti ini, JK seperti ini, begitu.”

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya visualisasi iklan JK-Wiranto mampu menarik seluruh partisipan dari berbagai kalangan. Perpaduan antara audio dan visual dikemas secara kreatif sehingga tidak terlihat kaku

commit to user

seperti halnya iklan politik pada umumnya. Pesan nonverbal yang melambangkan keberagaman target yang dituju oleh iklan ini nampak pada pakaian atau atribut yang dikenakan oleh orang-orang yang diwawancarai pada iklan. Seperti pandangan Annisa, ia melihat orang-orang yang diwawancarai tersebut mewakili kelompok-kelompok tertentu.

Disitu diliatin ada perwakilan dari berbagai kalangan, seperti agama-agama gitu, mahasiswa, anak-anak muda, anak sma gitu, ngasi pendapat tentang kepositifan JK tu gini, kepanjangan JK gini,gini.. misalnya jangan kelamaan, jadi JK akan bertindak cepat dalam menangani suatu masalah.. bagus sih”

Efektifitas iklan JK-Wiranto yang jika dari persepsi partisipan hanya mengedepankan visual yang bagus, dari pengamatan penulis cukup mendapat respon yang baik. Meski informasinya dinilai kurang dibanding dengan iklan Mega-Prabowo, ketertarikan terhadap pasangan kandidat yang dihasilkan dari iklan ini masih lebih baik daripada milik Mega-Prabowo.

B. Persepsi Pemilih Pemula Mengenai Pengaruh Iklan Politik

Usai memberikan persepsi mereka terhadap iklan politik televisi capres dan cawapres 2009, setiap partisipan diminta untuk mengemukakan ada tidaknya pengaruh (effect) iklan politik. Linda Kaid (dalam Putra, 2007) menjelaskan bahwa ada tiga pengaruh iklan televisi terhadap para pemilih, yakni pengetahuan pemilih, persepsi terhadap kontestan, dan preferensi pilihan. Pengaruh pertama ditunjukkan oleh identifikasi nama kontestan atau kandidat yang disebut sebagai brand name recognition. Untuk identifikasi nama, iklan lebih efektif dibandingkan komunikasi melalui pemberitaan, khususnya untuk kandidat atau

commit to user

kontestan baru. Para pemilih juga lebih mudah mengetahui isu-isu spesifik dan posisi kandidat terhadap isu tertentu melalui iklan dibandingkan dengan pemberitaan. Pemilih yang tingkat keterlibatannya sedikit dalam kampanye lebih terpengaruh oleh iklan politik.

Pengaruh kedua adalah efek pada evaluasi kandidat atau kontestan. Iklan televisi memberi dampak signifikan terhadap tingkat kesukaan terhadap kontestan atau kandidat, khususnya terhadap policy (kebijakan) serta kualitas kandidat yang meliputi kualitas instrumental, dimensi simbolis dan feno-tipe optis (karakter verbal dan nonverbal). Dampak tersebut bisa negatif dan bisa pula positif. Tingkat pengaruh tersebut tergantung pada konsep kreatif, eksekusi produksi, dan penempatan iklan tersebut.

Pengaruh ketiga adalah preferensi pilihan. Berbagai studi eksperimental menunjukkan, iklan politik mempunyai pengaruh terhadap preferensi pilihan, khususnya bagi pemilih yang menetapkan pilihan pada saat-saat terakhir. Variabel penting yang mempengaruhi preferensi tersebut adalah formasi citra dan tingkat awareness para pemilih terhadap kontestan. Pemilih yang keterlibatannya dalam dunia politik rendah lebih mudah dipengaruhi oleh iklan politik dibandingkan pemilih yang keterlibatannya lebih tinggi.

Dari ketiga iklan politik yang diperlihatkan, kecenderungan tipe iklan yang disukai oleh partisipan adalah iklan milik SBY dan Boediono, dipilih oleh tiga partisipan kalangan mahasiswa, satu pelajar SMA dan dua kalangan pekerja. Iklan JK-Wiranto dipilih oleh dua pelajar SMA dan satu dari kalangan mahasiswa. Sedangkan iklan Mega-Prabowo hanya dipilih oleh satu dari kalangan pelajar

commit to user

SMA dan satu kalangan pekerja. Satu partisipan dari kalangan pekerja yaitu Frenky memandang tidak ada satu pun dari ketiga iklan tersebut yang menarik. Sejak awal, dari hasil wawancara dengan frenky, ia memiliki sikap yang skeptis terhadap kinerja tiap kandidat calon presiden.

Partisipan Pemilih pemula dalam penelitian ini merupakan pemilih yang masih belum memiliki pengalaman dan jangkauan yang luas dalam dunia perpolitikan dan disebutkan pada penelitian sebelumnya bahwa iklan politik telah menjadi sumber informasi utama bagi pemilih yang masih awam tentang politik. Namun dalam penelitian ini, dari jawaban yang masuk lebih lanjut tentang iklan politik tersebut diperoleh kesan iklan politik di televisi cenderung hanya sebagai pertimbangan kecil dan berpengaruh sedikit dalam keputusan memilih para partisipan. Kesan kurang berpengaruh terutama berasal dari kalangan pelajar SMA dan Mahasiswa. Kecenderungan yang ada justru informasi politik melalui tayangan berita, debat politik di televisi dan informasi dari internet dianggap lebih banyak mempengaruhi mereka dalam menentukan pilihan. Dan para kandidat capres dan cawapres Pemilu 2009 dinilai telah sering di ekspos di televisi entah itu dalam program berita atau debat politik . Sedangkan dikalangan pekerja terdapat jawaban yang beragam, seperti yang tampak pada tabel 2.

Tabel 2:

Pengaruh Iklan Politik No. Kelompok

partisipan

Pandangan Tentang Pengaruh Iklan Politik

Dalam dokumen PERSEPSI IKLAN POLITIK PADA PEMILIH PEMULA (Halaman 110-128)

Dokumen terkait