• Tidak ada hasil yang ditemukan

ILMU APA SEPERTI APA YANG KITA BUTUHKAN?

| | ---pembentukan SKK siklus baru---

Gambar 18 Terminal dan Rute Gerakan Masyarakat

sesuai dengan penilaian warga. Apapun hasil penilaian warga terhadap SKK, SKK dipercaya atau tidak, dijadikan feedback (feedforward) bagi proses kekuasaan berikutnya, demikian terus-menerus. Lihat juga Gambar 17.

4

ILMU APA SEPERTI APA YANG KITA BUTUHKAN?

Ilmu Pemerintahan

Yang terlihat pada judul di atas adalah ilmu bernama Ilmu Pemerintahan. Ilmu yang untuk mudahnya ilmu itu didefinisikan saja dulu sebagai ilmu yang mempelajari fenomena pemerintahan. Mengapa ilmupengetahuan bernama Ilmu Pemerintayhan itu yang terpilih?

Bab I buku G. A. van Poelje, Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde (1953) diawali dengan

De bedrijfsleer of bedrijfseconomie omvat echter in haar totaliteit een aantal elementen, waarvan men het equivalent in de bestuursleer niet terugvindt de bestuursleer als leer van het overheidshandelen omvat een reeks problemen, waarmede de bedrijfsleer niet of nauwelijks in aanraking komt. Men kan het aldusuitdrukken, dat allerlei wetenschappen, die betrekking hebben op he teen of ander onderdeel van het particuliere bedrijsbeheer , ten slotte uitmonden in een algemene, alles overhuivende bedrijfsleer en dat deze leer van het beheren der particuliere bedrijven althans ten dele voorwaarde is voor het bestaan der daar boven uitrezende wetenschap van het openbaar bestuur.

Mang Reng Say menerjemahkan kutipan itu secara bebas demikian:

Adapun ajaran perusahaan atau ekonomi perusahaan itu dalam

keseluruhannya meliputi sejumlah unsur yang ekuivalennya tidak didapati dalam ajaran pemerintahan; di pihak lain ajaran pemerintahan sebagai ajaran tentang perbuatan-perbuatan penguasa meliputi serangkaian masalah yang sama sekali tidak atau hampir tidak pernah disinggung oleh ajaran perusahaan.

Hal ini dapat pula diterangkan demikian, bahwa berbagai ilmupengetahuan yang bertalian dengan salah satu bagian dari penguasaan (beheer) perusahaan partikulir pada akhirnya akan bermuara pada suatu ajaran perusahaan umum (algemene bedrijfsleer) yang meliputi kesemuanya dan bahwa ajaran tentang

penguasaan perusahaan-perusahaan partikulir ini setidak-tidaknya untuk sebagian merupakan syarat bagi adanya ilmupengetahuan yang lebih tinggi daripadanya, ialah Ilmu Pemerintahan..

Dengan perkataan lain, karena setiap kebijakan, keputusan, dan tindakan Negara (seharusnya) dibuat dan dilakukan berdasarkan pertimbangan dari berbagai segi (komprehensif dan objektif), maka setiap dan semua ilmupengetahuan yang mempelajari berbagai segi itu terkait dengan satu ilmupengathuan lain yang lebih

“tinggi” posisinya, yaitu Ilmu Pemerintahan. Kata “tinggi” diberi tanda kutip guna menunjukkan bahwa ketinggian di sini tidak berarti hiratki melainkan sebagai titik persentuhan bersama. Dalam bahasa Metodologi, hal itu berarti, pertama, pada tingkat aksiologi, setiap ilmupengetahuan bermuara pada Ilmu Pemerintahan, dan kedua, fenomena pemerintahan merupakan objek materia bersama bagi semua cabang ilmupengetahuan yang sisi aksiologinya menjadi masukan bagi proses kebijakan Negara.

Nama Ilmu Pemerintahan adalah terjemahan nama aslinya Bestuurskunde, Bahasa Belanda “besturen” berarti mengurus. Kata itu terdapat dalam judul salah satu buku klasik tentang Ilmu Pemerintahan, yaitu Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde (1953, cetakan pertama 1942), karangan G. A. van Poelje. Buku itu diterjemahkan oleh Drs B. Mang Reng Say menjadi Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan (Juli 1959). Buku itu merupakan bahan ajar utama bagi pendidikan calon-calon

pamongpraja sejak tahun 50-an. Pendidikan itu dilakukan dalam rangka membangun birokrasi Indonesia pada awal kemerdekaan, melanjutkan serta membumikan

program pendidikan calon-calon pangrehpraja di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Penggunaan Ilmu Pemerintahan sebagai bahan-ajar calon-calon pejabat pemerintah pemerintahan pada masa transisi dari budaya “pangreh” ke budaya

“pamong,” sejak awal, menorehkan cap “ilmu buat memerintah” atau “ilmu untuk pemerintah,” pada Ilmu Pemerintahan itu. Padahal, walaupun nama leluhurnya Regeerkunde (dari regeren, mengatur, regering, pengaturan), definisinya

is de Wetenschap om eene Burgermaatschappij te leiden, ter verkrijging van het grootste Geluk, waar voor dezelve

vatbaar is, zonder onwettige benadeeling van andere (ilmupengetahuan yang menuntun kehidupan bersama warga masyarakat dalam usahanya mengejar kebahagiaan lahir batin

(dunia akhirat) tanpa merugikan orang lain secara tidak sah

demikian L. P. van de Spiegel dalam buku kecil setebal 32 halaman berjudul Schets der Regeerkunde, in betrekking tot hare oogmerken en middelen (1796). Definisi van de Spiegel di atas menunjukkan betapa istimewanya ilmu bernama

Regeerkunde itu. Walau ia mengajarkan bahwa sementara kita warga, tidak boleh atau dilarang berbuat hal yang merugikan orang lain secara tidak sah, ternyata Negara boleh, Negara bisa. Bahkan Negara bisa mencabut nyawa kita secara sah. Mengerikan! Hal ini saja sudah cukup mendorong kita untuk

belajar dengan seksama, mengapa dan bagaimana bisa terjadi begitu dan mengapa ilmu tersebut tiba pada simpulan demikian?

Paradigma Ilmu Pemerintahan sebagai ilmu tentang penggunaan kekuasaan semakin kuat tatkala ilmu itu ditempatkan di dalam lingkungan Ilmu-Ilmu Politik dan

bangunannya dirancang sebagai bahan-ajar bagi calon-calon pejabat pemerintah khususnya Kementerian Dalam Negeri. Sama seperti pakaian oleh penjahit dibuat sesuai dengan pesanan pelanggan, temuan penelitian disusun sesuai dengan

kepentingan projeknya, demikian juga dengan calon pejabat kekuasaan. Mereka diajar, dilatih dan diasuh oleh lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan sesuai dengan kehendak pengguna, dalam hal ini rezim pemangku kekuasaan. Paradigma ini semakin mantap, dengan pemberian kewenangan menyelenggarakan perguruan tinggi kedinasan kepada berbagai kementerian untuk membentuk dan mendidik calon-calon pegawainya sendiri. Pembuat dan pengguna berada dalam satu tangan. Dalam

hubungan itu, Kementerian Dalam Negeri memiliki perguruan tinggi kedinasan sendiri sejak tahun 1956 (APDN).

Bangunan apapun, didirikan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan manusia, kebutuhan kita. Bangunan bernama Ilmu Pemerintahan itu demikian juga. Pada saatnya bangunan itu adalah barang dagangan. Komoditi akademik, demikian nama kenesnya. Diberi bermerek setenar-tenarnya, dikemas segemas-gemasnya, dan dipromosi segencar-gencarnya. Berbagai kelompok masyarakat dijadikan sasaran bidiknya. Ada yang dibangun untuk kader-kader politisi, dirancang untuk calon-calon pejabat, ada yang dipaket buat tokoh-tokoh berseragam dan ada yang disediakan khusus untuk tenaga-tenaga birokrat. Panggung gerainya juga tersebar di sini-sana, di kampus, di hotel, dan di dunia maya. Ada universitas, sekolah tinggi, diklat, bahkan ada lembaga “tertutup” dan ada yang “terbuka.” Tentu saja bangunannya mewah, arsitekturnya indah, letaknya di kawasan nyaman, dengan harga terbilang mahal. Di sana orang belajar sambil main dan bersenang. Alhasil, jadidiri Ilmu Pemerintahan yang terbentuk kemudian semakin jauh dari jatidiri Ilmu Pemerintahan yang

diletakkan oleh van de Spiegel. Jadidirinya semakin kabur dan hanya terlihat sebagai bayang-bayang Ilmu-Ilmu Politik dan Ilmu-Ilmu Administrasi belaka. Jurang

kesenjangan ini saya beberkan dalam Pengantar dan Kybernologi Kybernologi (2003) dan Bab I dan Bab II Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan (2005).

Masa Kegelisahan

Kekaburan dan kesenjangan itu disadari oleh berbagai komunitas, terutama komunitas akademik pembelajar fenomena pemerintahan. Dua dasawarsa Masa Kegelisahan Ilmu Pemerintahan (1980-2000), diuraikan dalam Bab IX

Kybernologi dengan Kepamongprajaan, Jarum dengan Benang (2011). Istilah

“kegelisahan” digunakan meniru ungkapan Hasrul Hanif ‘Arkeologi “Nalar”

Kegelisahan Sang Ilmuwan,’ dalam Jurnal Transformasi Vol 1 No 1 September 2003 JIP FISIPOL UGM.

Sementara JIP FISIPOL UGM maju pesat, di lingkungan APDN Malang (1957-1967) dan Institut Ilmu Pemerintahan sejak berdirinya pada tahun 1967 sampai berubah menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) pada tahun 2004, tidak ada matakuliah dengan body-of-knowledge (BOK) bernama Ilmu Pemerintahan. Selama itu, sebutan Ilmu Pemerintahan sekedar nama institut, nama jurusan, nama buku, judul seminar, dan sekedar kata. Bukan nama sebuah bangunan pengetahuan (body-of-knowledge, BOK) yang utuh, bulat, berkualitas akademik tertentu, yang digunakan sebagai alat buat hidup manusia untuk menjawab tantangan perubahan zaman.

Namun demikian usaha pencarian akan jati-diri seperti yang dilakukan oleh JIP Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2006), atau penemuan sebuah BOK Ilmu Pemerintahan yang mandiri, terus berlangsung melalui berbagai fora akademik, termasuk Temu Ilmiah tahun 1985 dan kemudian Seminar Nasional 21-22 Oktober 1991.

Seminar Nasional 21-22 Oktober itu merupakan sebuah seminar besar. Nyaris semua peserta dengan tekun mengikuti seminar dari awal sampai akhir hari kedua. Dalam seminar yang diselenggarakan berdasarkan keputusan Rektor IIP tgl 20 Juli 1991 No.

107 Tahun 1991 dengan Dr Taliziduhu Ndraha sebagai Ketua Steering Committee dan Ir Inne Juliati Purwantini, MS, sebagai Ketua Organizing Committee, dibahas tidak kurang dari 12 makalah disajikan oleh 12 orang narasumber, 95 orang peserta utusan pusat dan daerah, dan 47 orang utusan berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia, dan diliput oleh 12 media cetak nasional. Panitia juga menyiapkan

rekomendasi pentingnya Ikatan Ahli Pemerintahan Indonesia (IAPI) yang kemudian terbentuk dengan nama Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI),

membentuk Tim Formatur IAPI yang terdiri dari 7 orang, yaitu Prof Drs S. Pamudji (ilmuwan), MPA, Warsito Rasman (pejabat daerah), MA, Drs Soewargono, MA (PTK, IIP), Dr Afan Gaffar (PTN), S. Silalahi (pejabat pusat, DDN), MA, Drs Ibrahim Gani (alumni IIP), dan Drs M. Mas’oed Said (PTS), di bantu oleh sebuah sekretariat yang diketuai Drs Ryaas Rasyid, MA, dan menyiapkan draft anggaran dasarnya.

Berbeda dengan Temu Ilmiah yang lebih memusatkan perhatian pada bahan bangunan Ilmu Pemerintahan yang ada, Seminar menaruh perhatian lebih pada

perkembangan dan pengembangan Ilmu Pemerintahan ke depan. Beberapa highlights seminar diperlihatkan dalam Tabel 3. Afan Gaffar 1 Berparadigma ganda: bagian| Juwono Sudar- Kurikulum ketinggalan zaman Ilmu Politik dan akrab | sono

Afan Gaffar | Peningkatan jenjang pendidikan Ilmu| Bagaimana meningkatkan kualitas | Pemerintahan ke derajat S-2 dan S-3| bangunan pengetahuan (kajian)

Moerdiono | Membentuk system keilmuan pemerin- | (alumnus APDN Mlg)| tahan sebagai berikut: | | | | ILMU PENYELENGGARAAN NEGARA | | (Ilmu Pemerintahan dlm arti luas) | | | | | ILMU PEMERINTAHAN (arti sempit) | | | | | STUDI KELEMBAGAAN KEPRESIDENAN | | |

---

Seperti dikemukakan para pembicara dalam Temu Ilmiah, pengajaran Ilmu Pemerintahan di APDN, IIP, STPDN dan IPDN, memang padat bahan-ajar, bahkan pada dua lembaga yang disebut kemudian selain padat bahan-ajar juga padat bahan-latih dan padat bahan-asuh, padat-kata “pemerintahan,” namun semua bahan itu seperti suku cadang atau bahan bangunan yang diambil dari berbagai toko, dikumpulkan dan dimasukkan dalam gudang bernama gagah di atas: APDN, IIP, STPDN, dan IPDN. Di satu sisi tidak diseleksi menurut sebuah desain konstruksi bangunan (BOK) tertentu, dan di sisi lain tidak dipilih untuk kemudian direkonstruksi menjadi bangunan (BOK) tertentu pula.

Bukan hanya desain yang diperlukan. Tiap BOK harus rajin “check-up,” mengontrol diri agar tetap pada posisi normal science. Dengan perkataan lain, Ilmu Pemerintahan jika perlu direkonstruksi. Ritchie Calder (dalam Science in Our Lives,1955)

menyatakan bahwa “discoveries and inventions affected your life.” Menurut teori paradigma Thomas Kuhn (The Structure of Scientific Revolutions, 1962), ilmu pengetahuan mengalami pasang surut sepanjang sejarah. Gerak pasang-surut itu bergantung pada kenyataan sejauh mana ilmu yang bersangkutan mampu berfungsi dalam kondisi yang serba berubah dan berbeda.

Paradigma Ilmu Administrasi Publik misalnya mengalami perubahan. Pengalaman Tennessee Valley Authority (TVA, tahun 30an), dan pembangunan Dunia Ketiga pada tahun 50an, mendorong enfostering bahan bangunan dan rekonstruksi Ilmu Administrasi Publik (Fred. W. Riggs, ed. 1971 Frontiers of Development

Administration, CAG of the ASPA Duke Univ. Press, Durham). Demikian

signifikannya pengalaman TVA dan relevansinya dengan pembangunan nasional di Dunia Ketiga, sehingga perubahan itu menghasilkan body of knowledge (BOK) Administrasi Publik baru yang dikenal sebagai Administrasi Pembangunan (Development Administration).

Ilmu Administrasi Publik kembali mengalami perubahan paradigma, ketika Amerika Serikat pada akhir tahun 60an berada dalam “the time of turbulence,” dan Public Administration berada dalam “the time of revolution.” Ilmu Administrasi Publik direkonstruksi, dan terbentuklah The New Public Administration (Frank Marini, ed.

1971 Toward A New Public Administration The Minnowbrook Perspective Chandler Publ. Co. New York). Konstruksi Ilmu Administrasi Publik Baru dibuat di atas anggapan dasar bahwa dikotomi Politik-Administrasi telah mati, dan bahwa seorang Presiden haruslah seorang berkualitas politisi sekaligus seorang administrator.

Jika turbulences yang menerpa Amerika pada tahun 30an dan 60an mempengaruhi konstruksi Ilmu Administrasi Publik, dan melahirkan dua body of knowledge (BOK) baru ilmu itu sendiri, yaitu Development Administration dan The New Public

Administration, adakah pengaruh tiga kali turbulences (1965, 1998, dan 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005) yang dialami Indonesia terhadap konstruksi ilmu

pengetahuan yang relevan di Indonesia? Kalau ada, apa, dan kalau tidak ada, mengapa? Jika itu diperlukan, bagaimana supaya ada? Atau pertanyaan Ritchie Calder “How have discoveries and inventions affected your life?” dibalikkan menjadi

“How have our life affected discoveries and inventions?” Dalam hubungan ini yang dipertanyakan adalah “How far those social, political, and natural turbulences struck Indonesia, encouraging the reconstruction of bodies of knowledge (BOK) influencing the process of civil and public policy making?”

Pada pertengahan tahun 60an sebuah “turbulence” politik yang oleh sementara kalangan dicatat sebagai G30S PKI, menerjang Indonesia. Menjelang akhir tahun 90an, Indonesia kembali berada dalam “turbulence” politik-ekonomi-sosial dahsyat yang mampu meruntuhkan sebuah rejim kuat, namun keduanya tidak menimbulkan perubahan konstruksi dan bahan bangunan berbagai ilmu pengetahuan yang terkait dengan “turbulences” itu. Dari Universitas Indonesia terdengar suara melalui media cetak bahwa Ilmu Ekonomi telah mati di Indonesia, tetapi hanya sampai di sana.

Universitas Gadjah Mada sebagai “kiblat” Ilmu Pemerintahan sedikit berdesah: “cul-de-sac,” namun konstruksi dan bahan bangunan Ilmu Pemerintahan tetap terjebak di ruang bangunan Ilmu Politik dan Ilmu Administrasi Publik yang megah (Ref.

“Kuldesak Kajian Pemerintahan,” Jurnal Transformasi Vol. 1 No. 1 Sept. 2003, Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM). Dalam jurnal itu pemikiran Ilmu Pemerintahan dinyatakan mengalami kebuntuan (cul-de-sac). Ilmu Hukum juga menggeliat

(Republika, 6 Januari 05) dan Amir Santoso, seorang pakar Ilmu Politik (Kompas, 22 Januari 05) dari UI berpendapat bahwa “memerintah” itu “mengurus,” tetapi hanya sampai di situ.

Peristiwa tanggal 26 Desember 2004 sampai awal 2005 dapat dikualifikasi sebagai

“turbulence” ketiga yang menimpa Indonesia. Dilihat dari sisi objektif, peristiwa tersebut merupakan peristiwa alam (natural turbulence) semesta, yang berada di luar ambang batas kemampuan umat manusia. Manusia hidup di dalamnya dan dikuasai olehnya. Peristiwa itu adalah bagian fenomena alam yang lebih luas, termasuk wabah

penyakit, serangan hama, bahaya banjir, dan lain sebagainya. Dari sisi subjektif oleh media massa, peristiwa itu disebut bencana dengan berbagai kualifikasi superlatif, bahkan dikaitkan dengan suatu “kelalaian,” “kesalahan” ataupun “dosa” manusia.

Bencana itu sesungguhnya dapat diantisipasi dan korbannya dapat ditekan seminimal-minimalnya.

Dalam hubungan itu, harian Kompas tanggal 1 Januari 2005, halaman 6, menurunkan berita berjudul “Bangsa Yang Hidup Bersama Bahaya:”

Tak ada satupun bangsa di dunia yang ditakdirkan hidup berdampingan dengan segala macam marabahaya, kecuali bangsa Indonesia. Hidup di puncak gunung berapi di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa dan Kepulauan Maluku.

Bangsa Indonesia juga ditakdirkan hidup di atas tiga lempeng besar dunia:

Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik.

Kejutan tsunami di ujung Timurlaut Sumatera Minggu (26/12) pagi, saatnya bangsa Indonesia mulai mengoreksi diri bagaimana “bersahabat” dengan alam yang menyimpan kekuatan mahadahsyat.

Mencari Jalan Keluar

Dari kenyataan ini sekurang-kurangnya ada tiga pertanyaan yang dapat dimunculkan.

Pertama, seperti halnya turbulence lainnya, pesan apakah yang dibawa oleh turbulence ini kepada bangsa Indonesia? Sementara manusia berusaha menguasai alam, kekuatan alam tetap menguasai manusia. Alam mempunyai kemauan sendiri.

Peristiwanya datang pada suatu saat di suatu tempat yang oleh manusia dipersepsi misterius dan mendadak. Bencana itu sama seperti kematian, setiap saat pasti datang.

Namun, peristiwa alam selalu menunjukkan tanda-tanda keakanhadirannya.

Tanda-tanda itu hanya dapat terbaca melalui proses pembelajaran.

Kedua, sikap apa yang harus diambil dalam menghadapi kenyataan tersebut? Sudah barang tentu bukan sikap fatalistik, pasrah, ritualistik, tetapi sikap belajar. Semakin manusia belajar, semakin ia mengenal hukum dan perilaku alam, semakin jelas

langkah-langkah yang dapat ditempuhnya untuk mengurangi seminimal

mungkin korban bencana di masa depan. Semakin antisipatif manusia, semakin berkurang sifat mendadaknya bencana yang datang menimpa, dan semakin berkurang kepanikan yang ditimbulkannya.

Ketiga, apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasinya? Apakah makna pesan itu bagi masyarakat ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, khususnya Ilmu

Pemerintahan, bagi pemerintahan, dan bagi pelaku-pelaku pemerintahan? Di satu

fihak fenomena alam tersebut harus dipelajari oleh semua disiplin ilmu

pengetahuan guna mempercepat penyelamatan dan pemulihan korban, dan di fihak lain, setiap disiplin ilmu harus merekonstruksi dirinya agar

berkemampuan dan berkesiapan mengantisipasi peristiwa alam dan bencana sosial di masa depan dan hubungan timbal-baliknya dengan perilaku manusia.

Kegelisahan Ilmu Pemerintahan dasawarsa pertama 1980-1990 memuncak pada awal dasawarsa kedua 1990-2000 yang dalam sejarah politik Indonesia mungkin dapat disebut masa peralihan dari masa yang disebut orde baru ke masa yang diharapkan bekerja sebagai orde reformasi. Namun seperti telah dikemukakan, setiap gerak (bukan gerakan), baik gerak para teoretisi maupun gerak kaum praktisi Ilmu

Pemerintahan, baru sebatas wacana, dan wacana hanya sampai di sana. Masyarakat ILmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) yang terbentuk segera seusai SNIP 1991 tersebut di atas, tanpa mengurangi kerja keras manajemen, crews dan, dukungan Pemerintah Daerah, lebih pada Ilmu-Ilmu Politik dan Seni Pemerintahan (status quo) ketimbang pada rekonstruksi body-of-knowledge (BOK) Ilmu Pemerintahan itu sendiri. Suara dan gemanya tak lain tak bukan hanyalah his master’s voice belaka.

“Like father like son,” demikian ungkapan lainnya. Kegelisahan itu terasa sendu dan pilu, ketika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa seorang-demi-seorang sosok pemberani dan bersemangat pembaharuan Ilmu Pemerintahan mendahului kita.

Menemukan Kybernologi

Sebuah momentum datang wajar-wajar saja. Yaitu alih generasi kepemimpinan IIP.

Sebuah langkah biasa, tanpa Grand Design dan Big Roadmap segala, berjalan tenang saja, tanpa eska, tanpa gegap. Dengan berbekal sepucuk surat dari Rektor IIP Dr M.

Ryaas Rasyid, MA, pada suatu hari di bulan April 1996, tanpa konfirmasi terlebih dahulu, saya menaiki tangga rektorat UNPAD Bandung, menghadap Rektor UNPAD waktu itu, Prof. Dr H. Maman P. Rukmana, seorang berperawakan sedang dan amat ramah. Dalam tempo sepuluh menit pembicaraan selesai dan kami berjabat tangan.

Pada tgl 25 Mei 1996 bertepatan dengan HUT IIP, Piagam Kerjasama antara IIP dengan UNPAD tentang penyelenggaraan Program Magister Ilmu-Ilmu Sosial Bidang Kajian Utama (BKU) Ilmu Pemerintahan, ditandatangani di Jakarta,

disaksikan oleh Kepala Badan Diklat Departemen Dalam Negeri. Kerjasama itu pada tgl 25 Maret 2000 diperluas dengan Program Doktor Ilmu-Ilmu Sosial Konsentrasi Ilmu Pemerintahan. Berdasarkan Rapat Komisi I Senat UNPAD (1996), UNPAD meletakkan Ilmu Pemerintahan di dalam Ilmu Sosial, tidak di dalam Ilmu-Ilmu Politik. Apapun latarbelakang penempatan atau penyebutan program Magister dan Doktor Ilmu Pemerintahan itu di dalam Ilmu-Ilmu Sosial oleh UNPAD, hal itu

sejalan dengan kerangka pemikiran van de Spiegel di atas. Pandangan UNPAD tersebut kemudian saya jadikan bahan rekonstruksi pendekatan Ilmu Pemerintahan dari pendekatan kekuasaan (Ilmu-Ilmu Politik) ke pendekatan kemanusiaan dan lingkungan (Gambar 19). Maka ketika suatu saat sekilas teringat kuliah Drs Lukas Hutabarat, guru saya di KDC Medan (angkatan V, 1958) tentang Regeerkunde yang dipelopori oleh van de Spiegel dan kemudian Bestuurskunde oleh van Poelje, saya terpekik eureka! Semula, saya merasa bahwa penemuan ini terlalu kecil untuk layak disebut dan terlalu sepele untuk layak dicatat sebagai renaissance Ilmu Pemerintahan.

Entah duaratus tigaratus tahun kemudian. Tetapi mengingat bentangan zaman antara Abad Pertengahan dengan Aufklärung sebagai buah Renaissance, dan bentangan abad antara Regeerkunde dengan awal abad ke-21, masing-masing berjarak sekitar

duaratusan tahun, diperlukan keberanian untuk menyebut momentum tersebut sebagai renaissance minuskul atau renaissance dalam tanda kutip sekalipun. Melalui

renaissance ini saya menemukan dan membentuk konsep Kybernologi dari bahasa Latin kybern (kybernan, Belanda besturen, Inggris govern), pada tgl 8 Mei 2000. Dalam hubungan ini saya berhutang budi kepada rekan saya Moh. Ernan Arno Amsari, yang memberikan saya ilham melalui salah satu sesi mata kuliah Metodologi Ilmu Pemerintahan pada tahun 1996. Jadi dari sudut bahasa,

Kybernologi adalah Bestuurkunde dalam bahasa Latin (Greek).

Rekonstruksi bangunan ilmupengetahuan pemerintahan (body-of-knowledge, BOK) bernama Kybernologi (Science of Governance) itu secara bertahap, terus berlangsung sampai sekarang, sebagaimana dapat dibaca dalam buku-buku seri Kybernologi.

Pohon (science tree of) Kybernologi lahir pada tgl 23 September 2002, Mars Kybernologi tercipta tgl 19 Oktober 2002, Roda Kemudi Kapal sebagai lambang Kybernologi dibuat tgl 17 Desember 2002, buku Kybernologi seri pertama diluncurkan tgl 22 Mei 2003 oleh IIP. Komunitas Kybernologi Indonesia (KKI) dideklarasikan di Jakarta tgl 26 Mei 2004, dan pengurus Pusat KKI periode 2004-2007 dilantik oleh Dewan Pendiri pada tgl 8 Juli 2004. Berdasarkan Akte Notaris Rr Idayu Kartika, SH, tgl 23 Desember 2006 No.01 sebagaimana disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. C-1318.HT.01.02. Tahun 2007 tgl 20 April 2007, berdiri Yayasan Kybernologi Indonesia. Kode Etik Profesional

Kybernologi ditetapkan pada tgl 11 Desember 2009 dalam Upacara HUT ke-3 YKI bertempat di Auditorium BKKBN Pusat Jakarta Timur. Pada tgl 12 Oktober 2010, didahului dengan pernyataan perubahan nama KKI menjadi Masyarakat Kybernologi Indonesia (MKI), Sekretaris Jenderal Kemendagri atas nama Menteri Dalam Negeri mengukuhkan Pengurus Pusat MKI untuk periode 2010 sampai pada waktu yang akan ditetapkan kemudian setelah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

yang baru, disahkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ketua Umum Pengurus

yang baru, disahkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ketua Umum Pengurus

Dokumen terkait