• Tidak ada hasil yang ditemukan

ILMU PEMERINTAHAN INI UNTUK SEMUA ORANG Taliziduhu Ndraha, Kybernolog

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ILMU PEMERINTAHAN INI UNTUK SEMUA ORANG Taliziduhu Ndraha, Kybernolog"

Copied!
241
0
0

Teks penuh

(1)

ILMU PEMERINTAHAN INI UNTUK SEMUA ORANG

Taliziduhu Ndraha, Kybernolog

1

UNTUK HIDUP, KITA PERLU ILMU

Mengapa Kita Ini Ada?

Cogito Ergo Sum: Aku Berpikir, Maka Aku Ada---Rene Descartes (1596-1650) Salah satu hal teragung dan terbesar yang diwariskan oleh Para Bapa Bangsa dan Pendiri Negara Indonesia kepada kita adalah Pasal 28 UUD 1945 naskah asli dan pertama, berbunyi:

Kemerdekaan Berserikat Dan Berkumpul, Mengeluarkan Pikiran Dengan Lisan Dan Tulisan Dan Sebagainya Ditetapkan Dengan Undang-Undang Pasal sakti tersebut dikutip dari Koesnodiprodjo, Himpunan Undang-Undang, Peraturan-Peraturan, Penetapan-Penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1945 (SK Seno Jakarta, Juli 1951), dengan Kata Pengantar dari Prof. Dr Soepomo. Tidak seperti yang sering diucapkan dan ditulis orang, Pasal itu mengatur perihal

kemerdekaan berpikir, bukan kebebasan berpendapat. Orang mudah berpendapat tanpa berpikir, tetapi melalui proses berpikir, pikiran bisa berbuah pendapat, buah yang matang, stabil dan berguna. “Pikir Itu Pelita Hati,” oleh “berpikir” lubuk hati segelap apapun menjadi terang, “Pikir Dahulu Pendapatan, Sesal Kemudian Tidak Berguna.” Benderangnya lubuk hari memungkinkan kita tidak “berpikir pendek”

melainkan “berpikir panjang,” sehingga walau hati panas, kepala tetap dingin.

Kita mengenal bermacam-macam bangunan. Bangunan dikenal dengan bahan atau zat bangunannya, konstruksi, dan fungsinya. Ilmu yang tercantum dalam judul di atas adalah semacam bangunan. Dilihat dari bahan bangunannya, ilmu bermacam-macam adanya. Ada yang bahan bangunannya dari perasaan, ada yang bahan bangunannya dari kepercayaan, ada pula yang bahan bangunannya terdiri dari adonan pendapat dan retorika. Ilmu yang kita bicarakan ini adalah ilmu yang bahan bangunannya buah pikiran. Disebut “buah” karena pikiran itu dipersepsi sebagai pohon di tengah belukar, dari benih, tertanam di lahan, dengan akar dan daunnya, yang berbuah dan berdaurulang, di bawah terpaan badai, terik dan hujan. Ilmu yang bahan bangunannya

(2)

buah pikiran itu, lazim juga disebut ilmupengetahuan. Sama seperti pohon bercabang, ilmu pun bercabang dan beranting pula. Seperti bangunan fisik yang disebut menurut fungsinya, katakanlah tumahtinggal, kantor, pabrik, dan gudang, ilmu juga disebut menurut fungsinya. Ada Matematika, Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Humaniora. Jadi ilmu adalah bangunan buah pikiran yang kita perlukan sebagai alat pendukung kehidupan. Sudah barang tentu, sama seperti bangunan lainnya, sejauh mana ilmu mengantar dan mendukung kehidupan di dalam lingkungannya dari waktu ke waktu dan dari suatu tempat ke tempat lain, bergantung pada kualitas bahan (zat) bangunan, konstruksi bangunan, dan keberfungsiannya.

Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah, ilmu apa atau ilmu seperti apa yang kita butuhkan, terlebih pada zaman sekarang ke depan? Namun untuk bisa menjawab pertanyaan sepenting itu, perlu dijawab dulu pertanyaan berikut.

2

SIAPAKAH KITA INI?

Bagian Pertama: Manusia

Gnothi Seauton

Kenalilah Dirimu Sendiri!---Socrates (469-399)

Mengenal Kualitas Manusia

Kualitas adalah karakteristik yang membedakan satu dengan yang lainnya. Jika kualitas ditimbang, ia diberi nilai, dan nilai yang disepakati atau dipaksakan disebut norma. Kualitas dasar manusia itu terdapat di ruang pengakuan (keimanan,

kepercayaan) setiap orang. Orang Indonesia yang mengaku berTuhan YME

menyatakan bahwa manusia --- yaitu dirinya --- adalah ciptaan ALLAH yang paling mulia. Pengakuan itulah yang menjadi sumber sistem nilai sentral bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945 seperti yang dimaksud oleh para Bapak Bangsa dan Pendiri Negara Indonesia. Gambar 1 menunjukkan arkeologi konsep Manusia dan Kualitas Manusia. Di sana terlihat 6 generasi sekaligus tujuh kelompok kualitas manusia, yaitu.

1. Manusia sebagai ciptaan ALLAH, makhluk paling terhormat 2. Manusia sebagai penduduk

3. Manusia sebagai masyarakat 4. Manusia sebagai wargabangsa

(3)

5. Manusia sebagai warganegara

a. Sebagai pembayar (wajib-bayar) pajak b. Sebagai pembela (wajib-bela) Negara c. Sebagai konstituen (berhak-pilih-dipilih)

6. Manusia sebagai pemerintah (dengan kualitas derivatnya)

7. Manusia sebagai yang-diperintah (dengan 8 kualitas derivatnya)

Dalam perjalanan sejarah, manusia mengalami degradasi kualitatif seperti terlihat pada kelompok 7 Gambar 1.

ALLAH mencipta

CIPTAAN<---HUBUNGAN PEMERINTAHAN--->

MAKHLUK

MANUSIA-->MEMBUMI 1 CIPTAAN | MANUSIA

| PENDUDUK-->BERMASYARAKAT | 2 CIPTAAN

| MANUSIA

| PENDUDUK | WARGAMA-

| SYARAKAT-->BERBANGSA | 3 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK KUALITAS MASYARAKAT

MANUSIA WARGABANGSA-->BERNEGARA | 4 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK | MASYARAKAT | BANGSA | WARGANE-

| GARA--->BERPEMERINTAHAN 7 5 CIPTAAN

YANG DI- MANUSIA PERINTAH PENDUDUK konstituen MASYARAKAT representatif BANGSA

terjanji NEGARA pelanggan<---hubungan pemerintahan--->PEMERINTAH

penagih penjanji konsumer tertagih korban provider

mangsa penanggungjawab 6

Gambar 1 Kualitas Manusia

(4)

Kualitas manusia pada generasi dan kelompok lima (Negara) adalah yang terpenting.

Kondisi itulah yang menyebabkan perubahan kualitas manusia di kelompok 7.

Generasi ini paling kontroversial dan dilemmatik. Di sinilah terletak takdir setiap orang. Pada generasi itu, kekuasaan adalah kebutuhan mutlak setiap warga untuk bisa hidup maju-berlanjut, tetapi begitu kebutuhan itu terpenuhi, begitu

kekuasaan itu terbentuk, warga kehilangan daya untuk mengontrol (memonev) kinerja kekuasaan itu, kekuasaan itu berliar-liar dan leluasa membuai warga hingga terlena sambil tertawa saat dihirup darahnya, dicabik dan dilahap tubuhnya. Bukankah kaum elit itu tidak lagi bertanya “apa yang kita jerang,”

melainkan “siapa yang kita mangsa?” Kita “dipaksa” atau terpaksa menerima kenyataan itu. Perilaku “berliar-liar” kaum elit itu semakin menjadi-jadi manakala jabatan publik dan kebijakan mereka disakralisasi (kings and queens can do no wrong, sabdo pandito ratu), ketaatan dan kepatuhan warga disalahgunakan (mikul duwur mendhem jero), dan vox populi saat pemilu dijadikan legitimasi perilaku

“berliar-liar.”

Pengetahuan tentang bagaimana manusia beroleh kualitas-kualitas derivat,

merupakan kebutuhan lainnya. Dilihat dari perspektif itu, kita adalah manusia yang kualitasnya dalam kondisi terpuruk, dan oleh sebab itu dibutuhkan perjuangan untuk memulihkan (mengangkat, membaharui, menyelamatkan) kondisi kita selaku manusia kembali pada kualitas semula. Landasan utama perjuangan yang dimaksud adalah Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia.

Ajaran HAM dan KAM

Pengakuan di atas melahirkan pengakuan berikutnya bahwa “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hatinurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan,” demikian Pasal 1 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948.

HAM adalah hak eksistensial, bawaan sebagai manusia, bukan pemberian Negara atau fihak manapun. Harus diakui, dilindungi, dan dipenuhi oleh Negara sebagai sistem kekuasaan tertinggi dalam wilayahnya. Kontroversi atau dilemma pemenuhan HAM oleh Negara ialah kenyataan bahwa Negara yang mengatur lebih lanjut implementasi HAM dan berkewajiban mengakui, melindungi dan

memenuhinya, cenderung melanggar HAM! Biasanya, Negara menolak

bertanggungjawab atas pelanggarannya dengan membatasi pelaku pelanggaran

(5)

pada “oknum” yang dijadikan kambing hitam. Apa yang terjadi antara Negara dengan warga, terjadi juga antara atasan dengan bawahan dalam suatu

unitkerja. Fakta itu terjadi sepanjang tahun 2011, sehingga sejumlah media menyebut tahun itu Tahun Dusta, Tahun Kebohongan, sementara media lain

menjulukinya Tahun Kekerasan. Padahal semua orang tau, dalam sistem kekuasaan,

“oknum” (bawahan) itu hanya alat, penanggungjawab adalah pengguna (atasan)-nya. Sindiran pojok Kompas 040112 berbunyi “Target e-KTP DKI tidak terpenuhi, yang mundur bukan Mendagri melainkan Wagub-nya!” tidak mengada- ada. Dengan dimasukkannya HAM ke dalam lingkungan Kementerian

HukHAM, Negara semakin leluasa melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM di segala bidang. Selanjutnya, konsep Hak, Wewenang, Kewajiban, dan

Tanggungjawab. Dan hubungan antar empat konsep itu terdapat dalam Bagian Dua Bab II Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise (2006).

Hubungan antara HAM dengan KAM (Kewajiban Azasi Manusia) pada umumnya timbal-balik. Artinya di mana ada hak, di sana ada kewajiban. Dalam perjanjian atau kesepakatan, hak fihak yang satu adalah kewajiban fihak yang lain. Perbedaaannya terletak pada subjek. Subjek HAM adalah setiap orang sejak terbentuk dalam

kandungan ibunya. Perlu dikemukakan bahwa manusia (setiap orang) memiliki HAM begitu ia terbentuk dalam rahim ibunya, tetapi tidak dapat dan tidak mungkin ia dibebani KAM (kewajiban asasi) pada saat yang sama. Dia dapat terbebani KAM seiring dengan kemampuannya untuk bertanggungjawab. Orang berKAM (hanya) sepanjang ia mampu bertanggungjawab. Bayi misalnya tidak atau “belum” berKAM.

Yang terbebani KAM adalah orangtuanya. Sesungguhnya demikian juga halnya hubungan antara Negara (orangtua) dengan masyarakat yang baru diserahi otonomi daerah!

Kita perlu mengetahui kaitan dengan HAM baik di hulu, di tengah, maupun di hilir kehidupan kita. Pembelajaran HAM tak terpisahkan dari Negara dan politik.

Persentuhan antara keduanya terjadi pada dua titik. Pertama, seperti dikemukakan di atas, negaralah yang berkewajiban mengakui, melindungi, menegakkan, dan

memenuhi HAM, dan kedua, dalam kenyataannya, negaralah yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM itu sendiri. Pelajaran HAM terkait dengan masyarakat.

Keterkaitan antara keduanya terjadi pada tiga titik. Pertama, masyarakat adalah pelanggan pelayanan HAM oleh Negara, sehingga masyarakat berfungsi mengontrol kebijakan Negara tentang HAM di hulu, kedua, masyarakat juga potensial melanggar HAM, dan ketiga, masyarakat sebagai pelanggan berfungsi memonev pelayanan HAM di hilir. Yang pertama jelas. Kita berusaha mengontrol kekuasaan di hulu melalui pemilu dan pembuatan kebijakan. Yang kedua dan ketiga memerlukan penjelasan. Suatu hari pada tahun 70-an ketika saya buru-buru pergi mengajar, tanpa

(6)

sengaja saya melanggar rambu lalulintas. Pelanggaran itu mau tidak mau harus saaya pertanggungjawabkan, dengan menanggung sanksinya. Sanksi pelanggaran seperti biasa, STNK dan KTP disita polantas, ditilang, dan diwajibkan melapor ke kantor keesokan harinya. Bisa-bisa disidang di pengadilan. Dengan alasan macam-macam, demi mengelak pertanggungjawaban itu, saya berusaha menyuap petugas dengan sejumlah uang. Mujur buat saja, saya kena batunya. Sang petugas mengajari saya dua hal:

1. Jika guru melanggar peraturan, apa lagi muridnya. Bukankah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari?”

2. Pengelakan warga untuk bertanggungjawab atas pelanggaran atau

perbuatannya, menumbuhkan budaya suap-menyuap khususnya dan korupsi umumnya antara warga dengan pejabat kekuasaan

Perihal ketiga jauh lebih dalam. Ternyata dalam hubungan pemerintahan, warga selalu dalam posisi nirdaya, sehingga kita tidak mampu memonev dan mengontrol kekuasaan di hulu (pemilu dan pembuatan kebijakan sumber-sumber secara cerdas ), di tengah (sehari-hari mengawal dan merawat), dan di hilir (bertanya, dan jika

jawaban Negara tidak kita percaya, melawan). Aksi unjukrasa saja dianggap anarki dan ditindas. Yang bertepuk tangan adalah fihak ketiga. Sejarah membuktikan betapa lemahnya kita sehingga diperlukan waktu 30 sampai 90 tahun akumulasi

kekecewaan, kehinaan, dan kemarahan yang tidak tertahankan lagi untuk nekad menumbangkan sebuah rezim pemangsa.

Di atas telah dikemukakan satu dilemma, yaitu kekuasaan adalah kebutuhan mutlak setiap warga untuk bisa hidup maju-berlanjut, tetapi begitu kekuasaan itu terbentuk, begitu kebutuhan itu secara formal terpenuhi, warga kehilangan daya untuk mengontrol (memonev) kinerja kekuasaan itu, kekuasaan itu berliar-liar dan leluasa membuai warga hingga terlena sambil tertawa saat dihirup darahnya, dicabik dan dilahap tubuhnya. Kita “dipaksa” atau terpaksa menerima kenyataan itu. Apakah ini adil? Barangkali untuk menjawab pertanyaan tersebut “terpaksa” pula dimunculkan dilemma kedua, yaitu: Negara berfungsi mutlak mencerdaskan dan memberdayakan bangsa, demikian Pembukaan UUD 1945 naskah asli, tetapi begitu bangsa cerdas, konon pula bilamana lebih cerdas darinya, Negara harus siap di hulu, tengah, dan di hilir untuk dimonev,

dikontrol, dikawal, dan pada saat tertentu dilawan dengan korban yang sangat tinggi oleh warga yang dicerdaskan dan diberdayakannya sendiri, sampai

jumpa takdir “the higher you are, the harder you fall.” Apakah Negara siap juga menerima hal itu?

(7)

Dilihat dari perspektif itu, kita adalah warga yang kualitasnya dibanding dengan kualitas pemangku kekuasaan Negara berada dalam kondisi sangat timpang, dan oleh karena itu mutlak dibutuhkan pendidikan kewargaan (civic education) yang mampu membentuk warga masyarakat yang cerdas (berpikir) dan bertanggungjawab, sehingga dayarusak dan korban dua dilemma di atas dapat tertekan seminimal mungkin, dan kesempatan untuk membangun hubungan yang selaras, seimbang, serasi, dinamis, dan berkelanjutan antara Negara dengan warga, terbuka. Pelayanan pendidikan kewargaan itu adalah kewajiban asasi Negara.

Nilai, Kebutuhan, dan Naluri Warga

HAM sebuah sistem nilai. Semua alat dan cara pemenuh kebutuhan dan naluri manusia disebut bernilai. Di bawah sistem otokratik atau sistem politik

berkepemimpinan lemah, nilai tertentu bisa dipaksakan berlakunya sebagai norma atau kaidah melalui berbagai cara dan alat. Norma ditegakkan dengan berbagai cara pula, misalnya pengaturan dan pembudayaan, tetapi di sini dikemukakan dua cara lainnya. Pertama, sakralisasi nilai, artinya nilai yang disepakati disakralkan, dalam arti fihak yang bersepakat memonopoli nilai (kebenaran), dan selanjutnya fihak yang lain dianggap berkesalahan. Kedua, pengakuan nilai, artinya nilai yang disepakati diakui secara sadar sebagai pola perilaku fihak yang berpengakuan itu saja, tanpa menganggap fihak lain berkesalahan. Negara berkewajiban menyelesaikan konflik antar pengakuan atau kepercayaan sesegera mungkin, dan tidak membiarkannya dengan harapan akan padam sendiri atau dilupakan orang. Jabaran sistem nilai HAM itu selanjutnya dapat dibaca dalam UU 39/99 tentang HAM, lihat Bab I Kybernologi Hak Asasi Manusia dan Kepamongprajaan (2010).

sakral-

---4-->DOGMA | isasi

PENGETAHU- karak- ditim- disepa- | AN TENTANG--->KUALITAS--->NILAI--->NORMA--|

SESUATU teristik | bang | kati* | | CREDO,

| | | | | penga- SELF- ---1--- 2 3 ---5-->COMMIT-

kuan MENT, KODE ETIK

Gambar 2 Teori Nilai

Walter Lippmann dalam The Public Philosophy (1956) menyatakan betapa

pentingnya “human needs and instincts” itu. “The ius gentium was meant to contain

(8)

what was common and universal, separated from what was peculiar and local, in the laws of all states. And beyond this practical common law for commercial

intercourse, the Roman jurists recognized that in theory there was also natural law, ius naturale, which is the law imposed on mankind by common human nature, that is by reason, is response to human needs and instincts.”

Lebih satu setengah abad sebelumnya, dalam bukunya setebal 32 halaman berjudul Schets der Regeerkunde, in betrekking tot hare oogmerken en middelen (Sketsa Ilmu Pemerintahan, maksud dan ikhtiar-ikhtiarnya), L. P. van de Spiegel menjelaskan hal- hal yang dibutuhkan manusia untuk mencapai kebahagiaan lahir-batin dunia-akhirat (LBDA) itu. Ia menyatakan bahwa manusia memperoleh kebahagiaan rohaniah manakala manusia menjalankan agamanya (Godsdienst), melakukan kebajikan utama kewargaan (Burgerlijke Deugden), dan mengerjakan kepandaian-kepandaian yang berguna (Nuttige Kundigheden), sedangkan kebahagiaan jasmani bergantung pada kebebasan (Vrijheid), keamanan (Veiligheid), kesehatan (Gezondheid), dan kemakmuran (Overvloed).

---> KEBUTUHAN ---> KETEGANGAN ---> DORONGAN --- | | | | | | ---KEKURANGAN <---KELEGAAN <--- PEMENUHAN <---

---> NALURI ---> KETEGANGAN ---> DORONGAN --- | | | | | | --- KERESAHAN <--- KEDAMAIAN <--- PENGENDALIAN <----

Gambar 3 Kebutuhan dan Naluri Manusia

Kebutuhan (needs, felt needs) adalah “apa saja” yang mendukung kehidupan.

Kekurangan “apa saja” itu menggerakkan (mendorong) orang yang bersangkutan untuk mencari pemenuhannya. Jadi identik dengan nilai. Sebelum terpenuhi, ia merasa tegang (terbeban) dan jika dapat ia merasa lega. Kelegaan itu disebut juga kepuasan. (satisfaction). Naluri (instincts) adalah kualitas bawaan. Disebut juga watak, tabiat, kecenderungan. Jika kebutuhan “harus” dipenuhi, naluri “harus”

dikontrol (dikendalikan) dengan norma-norma sosial agar tidak melampaui ambang batas toleransi kemanusiaan (Gambar 3).

(9)

Berbagai Teori Kebutuhan dapat dipelajari, terutama dalam buku-buku tentang Ekonomi, Bisnis, Psikologi, dan MSDM. Satu di antaranya adalah Teori Maslow tentang macam-macam kebutuhan dan hierarkinya. Kenyataan bahwa perilaku orang tidak selalu mengikutinya langkah demi langkah dari anaktangga yang satu ke

anaktangga berikutnya, Teori Maslow tetap berharga. Di samping itu, perlu diketahui bahwa konsep kebutuhan dasar manusia bersifat matriks, di satu sisi kebutuhan jasmani dan rohani yang tak terpisahkan satu dengan yang lain, dan di sisi lain

kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang yang juga saling berkaitan erat. Politik biasanya jauh lebih mengutamakan kebutuhan jasmani dan jangka pendek ketimbang kebutuhan rohani dan jangka panjang. Pemenuhannya bercabang, ada yang melalui private choice (pasar), dan ada yang melalui public choice (Negara), lihat Gambar 4.

Pemikiran tentang kehidupan sejajar dengan dan bermula pada pemikiran ekonomi, dari “kebutuhan manusia” sejak “terjadinya” di dalam kandungan. Pikiran ini

dideduksi dari Ontologi Pemerintahan di atas. Pemenuhan kebutuhan manusia selain bersifat komprehensif (segala bidang kehidupan) juga bersifat jangka panjang sejauh mungkin ke depan: “Gouverner c’est prevoir,” demikian ungkapan Perancis.

Kebutuhan perlu dibedakan dengan kepentingan. Kepentingan itu berada di ruang politik, tetapi kebutuhan di ruang kemanusiaan. Pada dasarnya, kebutuhan, lebih- lebih kebutuhan dasar (asasi) bersifat objektif. Kepentingan bersifat subjektif. Oleh kepentingan, sikap dan “pendirian” (pendirian semu) berubah-ubah sesuai dengan perubahan kepentingan. Itulah sebabnya kebutuhan dasar itu diposisikan sebagai hak asasi manusia, dan pemenuhannya sebagai kewajiban negara. Semua orang

membutuhkan makanan. Tetapi pada saat orang berniat dan berkesempatan memilih dan menetapkan makan apa atau makan siapa dan kapan, maka dasar

pertimbangannya adalah kepentingan. Jadi kepentingan itu subjektif.

--INDIVIDUAL-- --A-- PENGEN- PUB- | 9 | | 13 | --DALI-- --LIC----| |--NEGARA--| | 2 | AN (4) | | CHOICE | 10 | 12 | 14 | 1 HUMAN 3 | | | 7 --KOLEKTIF---- --B-- MANU- --RIGHTS ---HUMAN--| |--NILAI--|

SIA & INS- NEEDS | | 6 | 8 TINCTS | PEME- | | PRI-

--NUH--- --VATE----PASAR ”BEBAS”

AN (5) CHOICE 11

Gambar 4 Teori Kebutuhan

(10)

Maka berbahaya jika kita memilih (membeli) tanpa mengetahui apa yang

sesungguhnya kita butuhkan. Penjelajahan pokok bahasan ini dimulai filsafat HAM sampai pada Teori Maslow dan teori-teori lainnya di lingkungan MSDM.

Bagaimana dengan instinct (naluri)? Instinct adalah “an inborn pattern of activity or tendency to action common to a given biological species,” “a natural or innate impulse, inclination, or aptitude,” “natural intuitive power.” Naluri adalah kekuatan bawaan yang mendorong atau memotivasi subjek (pelaku) untuk bergerak,

mengambil keputusan atau tindakan. Sampai pada tingkat tertentu, naluri yang bersifat impulsif itu bisa konflik dengan pikiran yang bekerja berdasarkan

pertimbangan yang matang. Jika tingkat itu dianggap sebagai ambang batas harmoni atau konflik antara naluri dengan pikiran, maka yang diperlukan adalah alat untuk mengendalikan naluri agar bekerja di bawah ambang batasnya. Naluri yang bekerja melampaui ambang batas itu, lazim disebut sebagai keinginan, nafsu, serakah, gila, dan ungkapan sebangsanya. Daya-rusak nafsu seperti itu terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya bisa jadi sangat besar, terlebih jika kemampuan rasional untuk

mencapainya, lemah. “nafsu besar, tenaga kurang. . . ,” konon pula jika ia dalam kondisi lupa diri dan mabuk bandang!

Dengan sikap apa kita merespons kedatangan Dewa SiBermukaDua bernama Janus DuaribuDuabelas? Saya tidak punya ide. Tetapi bersama seorang Ahmad Syafii Maarif kita turut sedih dan meratap, karena pendirian luhur para Bapak Bangsa dan Pendiri Negara “Biar negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi,” telah diubah menjadi: “Biar negara jadi sapi perahan dan korupsi merajalela, asal aku tetap berkuasa ” (Kompas 040112).

Dilihat dari perspektif itu, kita adalah warga yang kebutuhannya untuk hidup meningkat dan menuntut pemenuhan, dan hidup dengan naluri yang

memerlukan pengendalian. Dari perspektif kebutuhan dasar manusia dengan alat pemenuhnya dan naluri manusia dengan alat pengendalinya, kita

memerlukan ilmupengetahuan tentang perjuangan untuk memperoleh pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan pengendalian nalurinya.

Kebutuhan tidak terpisahkan dari nilai. Nilai adalah kebutuhan. Setiap yang

dibutuhkan, bernilai, dan sebaliknya. Teori Nilai, Teori Sumber, dan Teori Kerja, merupakan tiga pilar teori yang lebih besar, yaitu Teori (Teori-Teori) Ekonomi. Di sini hanya Teori Nilai yang disentuh seperlunya. Pada dasarnya, ekonomi bukanlah urusan cari untung dengan merugikan orang lain, melainkan urusan hidup dan kehidupan. Oikos dan nomos. Hubungan antar tiga teori itu demikian. Pentingnya

(11)

nilai telah dikemukakan di atas. Semua yang ada, berguna, semua yang berguna, bernilai. Nilai adalah hasil pengolahan dan pengelolaan sumber-sumber, sementara kerja adalah kegiatan menggali, mengolah dan mengelola sumber-sumber. Bahasa akademiknya proses pengubahan input (sumber) menjadi output (nilai) yang dikehendaki. Supaya dayadukung sumber tidak merosot, sebagian nilai digunakan untuk melestarikan atau mencari sumber alternatif, agar hidup maju dan

berkelanjutan (Gambar 5). Nilai terdapat pada (“dalam”) setiap zat, barang, atau apa saja yang “ada.” Seperti “isi” dengan “bentuk” atau kemasannya. Dalam Teori

kerja

----> SUMBER ---> NILAI --- | (input) (proses) (output) | | | | | | sebagian nilai digunakan untuk | --- melestarikan sumber yang ada --- atau menemukan sumber alternatif

Gambar 5 Nilai, Sumber, dan Kerja

Budaya, nilai adalah muatan dan kemasan adalah vehiclenya. Dalam hubungan itu, ada tiga macam nilai. Nilai intrinsik yang melekat pada zat, barang, atau sesuatu yang ada (vehicle), bersifat objektif, nilai ekstrinsik yang dimasukkan orang ke dalam vehicle (misalnya ke dalam uang kertas yang nilai intrinsiknya hanya seribu rupiah diberi nilai ekstrinsik seratus ribu rupiah, jadi subjektif), dan nilai ideal yang belum ada kemasannya. Teori Nilai penting dalam pembahasan tentang sumber-sumber, proses, kualitas dan evaluasi Pelayanan Pemerintahan (Bab I Bukan Salah Ibu Mengandung, Tapi Bapa Salah Memandang (2011). Dalam bahasa sehari-hari,

kualitas, mutu, nilai, sering disalingtukarkan, yang satu dianggap identik dengan yang lainnya. Dalam Kybernologi, tiga konsep, yaitu kualitas, nilai, dan norma,

direkonstruksi seperti Ia Gambar 2 Nilai bisa juga berlaku atau diberlakukan tidak melalui proses penyepakatan bebas dalam batas-batas toleransi sosial (di bawah bidaya demokrasi yang sehat), dan bisa juga melalui dominasi atau paksanaan di bawah budaya politik partial atau otoritarian. Sakralisasi norma telah dikemukakan di atas.

Sumber, Kerja, dan Nilai

Nilai adalah hasil penggalian, pengolahan dan pengelolaan sumber-sumber, melalui kerja yang dilakukan oleh sumber manusia didukung oleh sumber buatan. Modelnya demikian (Gambar 6):

(12)

Masalah besar jangka panjang adalah sumber-sumber bagi upaya pembentukan nilai dan redistribusinya sehingga keadilan sosial terwudud bagi setiap kita. Redistribusi nilai itu disebut juga pembangunan, pelayanann dan pemberdayaan. Redistribusi nilai berkelanjutan mutlak memerlukan sumber-sumber yang berkelanjutan pula. Menureut Teori Sumber-Sumber, baik sumber alam (SA), sumber manusia (SM), maupun sumber buatan (SB, sumber kreatif, teknologi). Di sini Teori Sumber yang berbicara.

Setiap sumber mempunyai dayadukung (DD) dan memikul beban berberat

--SUMBER ALAM (SA)--- --DIGALI----

SUMBER | | | | REDIS- KE- (PASAL 33--|--SUMBER MANUSIA (SM)--|--|--DIOLAH----|--NILAI--TRI- ---ADILAN UUD1945)* | | | | BUSI SOSIAL --SUMBER BUATAN (SB)**- --DIKELOLA—

*naskah asli **melalui pembangunan

Gambar 6 Sumber, Kerja, dan Nilai

(beratbeban, BB). Jika DD >BB maka sumber berfungsi sumberdaya (SD: SDA, SDM, SDBU), tetapi jika BB > DD, sumber berfungsi sumberbencana (SB: SBA, SBM, SBBU). Dipandang dari perspektifr itu, NKRI terdiri dari lima bangsa (Gambar 7). Dalam hubungan itu, kondisi DD = BB merupakan satu titik keseimbangan

hipotetik, ambang batas (AB) antara keduanya. Dapat juga dikatakan, ABDD =

--- | SUMBERDAYA ALAM | | |---| SUMBERBENCANA | | KAYA | MISKIN | | ---|---|---|---|

| | | 1| 2| 5|

| WARGA | KAYA | BANGSA SATU | BANGSA DUA | |

| MASYA- |---|---|---| BANGSA LIMA | | RAKAT | | 3| 4| |

| | MISKIN | BANGSA TIGA | BANGSA EMPAT | | ---

Gambar 7 Negara Kesatuan RI terdiri dari Lima Bangsa

Berdasarkan Sumber-Sumber Daerah (Menggunakan Kacamata Moerdiono) Sumberdaya Buatan Tidak Terlihat

ABBB. Jadi supaya sumber menjadi sumberdaya, dayadukung sumber terkait harus ditingkatkan atau beratbebannya harus dikurangi. Perlu juga diketahui, bahwa dayadukung dan dayabencana suatu sumber berpengaruh terhadap

(13)

sumber lainnya (Gambar 8). Saat DD SA mendekati nol itu disebut titik kritik (critical point). Gambar 8 menunjukkan beberapa anggapan dan hipotesis:

1. Tingkat kemerosotan DD SA di Indonesia dan kecepatan kemerosotannya jauh lebih tinggi ketimbang Negara maju, sehingga SA cenderung berfungsi SBA 2. Peningkatan DD SM di Indonesia lebih rendah dan lambat ketimbang Negara maju, sehingga SM cenderung berfungsi SBM

INDONESIA SA--->SM--->SBU--- dayadukung men- bergantung bergantung | dekati nol pada SA pada budaya | beratbeban me- | ningkat pesat |

transformasi budaya |

| NEGARA MAJU SDA<---SDM<---SDBU<---

Gambar 8 Hubungan Antar Sumber-Sumber Berdasarkan Teori Margaret Mead dalam Cultural Patterns and Technical Changes (1955, 1957)

3. Transformasi budaya (SM) di Indonesia lebih lambat ketimbang peningkatan DD SBU, terjadi culture lag atau culture gap, sehingga SBU berubah menjadi SBBU

4. Kendatipun Indonesia bergerak, Negara maju bergerak jauh lebih cepat lagi, sehingga tanpa strategi yang kuat dan jitu, pada gilirannya Indonesia menjadi santapan Negara maju dan terundur ke belakang

5. Jika indeks kemerosotan DD SA Negara Indonesia dan kecepatan kemerosotannya lebih besar ketimbang indeks peningkatan DD SM dan pencepatannya, maka pada suatu saat ke depan bangsa Indonesia punah Oleh sebab itu, agar bangsa Indonesia (baca: daerah) tetap survive,

1. Sebelum dayadukung SA-nya mendekati nol, DD SM-nya harus sudah mendekati tingkat DD SM bangsa-bangsa maju, sehingga ketergantungan SM pada SA semakin berkurang

2. Laju kemerosotan DD SA (terjadinya titik kritik satu) dapat diperlambat atau dikurangi melalui perawatan, pengendalian eksploitasi, rehabilitasi, dan sikap bersahabat dengan SA

3. Peningkatan DD SM Indonesia mendekati DD SM bangsa maju, harus berhubungan positif dengan peningkatan DD SBU

4. Peningkatan DD SBU Indonesia harus didahului dengan transformasi budaya dari budaya “ya. . . tapi,” menjadi budaya “ya. . . maka” (titik kritik dua)

(14)

5. Pada titik-titik kritik itu dikonstruksi strategi Grand Design Pemerintahan Daerah

6. Pendidikan dan kesehatan, kendatipun diutamakan, harus berjalan bersama- sama dengan sektor-sektor terkait lainnya

7. Pembangunan diarahkan pada pembukaan lapangan kerja, transformasi lapangan kerja, dan kesempatan kerja bagi lapisan masyarakat bawah ke bawah

8. Ketergantung APBN (PAD) pada SDA semakin berkurang, sebaliknya ketergantungan APBN (PAD) pada kreativitas SDM semakin bertambah 9. Pajak sebagai sumber pendapat Negara/Daerah semakin intensif,

ekstensif dan diversifikatif, sebaliknya retribusi semakin dibatasi sampai mendekati nol

10. Kualitas SDM Indonesia mendekati kualitasi SDM bangsa maju, jika

budaya dikembalikan ke dalam ruang pendidikan, tidak di ruang entertainment dan devisa, dan transformasi budaya diprogramkan di sektor pendidikan

11. Melalui transformasi budaya terbentukan gaya hidup elitik, keserakahan, keborosan dan kemewahan dikendalikan, dibentuk gaya hidup sederhana, hemat, hidup sehat dan cerdas

12. Keberlanjutan pembangunan terjadi jika andalan sumberdaya secara bertahap dialihkan dari sumberdaya ekstraktif ke sumberdaya kreatif 13. Keberlanjutan penggunaan SDBU bergantung pada perawatan dan indeks penyusutan, melalui perhitungan engineering life dan accounting life SDA yang bersangkutan

14. Efektifitas pengelolaan dan konservasi sumberdaya bergantung pada penempatannya dalam RPJP secara berkelanjutaan

Bagaimana dengan Kerja?

Menurut George Thomason dalam A Textbook of Human Resource Management (1992), “work is an activity which demands the expenditure of energy or effort to create from ‘raw materials’ those products or services which people value.” (lihat Gambar 5). Di samping konsep work, ada beberapa konsep lainnya.

Di atas telah dikemukakan bahwa setiap orang neniliki naluri (instinct). Jika naluri disertai kesadaran atau pertimbangan, terjadilah kegiatan (activity). Kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan nilai, langsung maupun tidak, terlebih dalam arti ekonomi, disebut kerja (work). Kerja yang sedikit-banyak diatur secara formal disebut pekerjaan atau jabatan (job, occupation, position), dan job yang berdasarkan profesionalisme disebut profesi (profession). Dalam bahasa sehari-hari, work dengan job dapat saling dipertukarkan (Gambar 9). Lagi pula, kerja atau pekerjaan yang

(15)

INSTINCT---ACTIVITY---WORK---JOB---PROFESSION

Gambar 9 Work

dimaksud adalah kerja dan pekerjaan yang tidak melanggar hukum. Di antara lima konsep pada Gambar 9, work yang paling penting tetapi paling sukar diwujudkan.

Oleh sebab itu, penempatan kerja atau pekerjaan sebagai satu di antara HAM di dalam Pasal 27 (2) UUD 1945 naskah asli, sangat tepat. Bunyinya: “Tiap-tiap

warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Berdasarkan pasal 27 (2) UUD itu, setiap kebijakan Negara dan

implementasinya yang dengan alasan apapun mengakibatkan seseorang

kehilangan kerja atau pekerjaan sebelum mendapat kerja atau pekerjaan baru (lapangan kerja baru), kerja atau pekerjaan lain (transformasi lapangan kerja) sebagai gantinya, bertentangan dengan UUD.

Gambar 10 menunjukkan sebagian sistem dan mekanisme dinamika sumber manusia(wi) dari ruang makro (masyarakat) ke ruang mikro (lapangan kerja)

SOSIAL BUDAYA GEOGRAFI --- | --- --- --- | | | | | | | | | | | SUMBER | | PASAR KERJA | | LAPANGAN KEJA | | | | | | | | | | | | --- | | | | KESEMPATAN KERJA (KERKER)---> | | | | --- | | | | | | | | | |

POL | | MANUSIAWI | | FORMAL | | FORMAL | | HUKUM | | | | | | | |

| | --- | | | | <---RECRUITMENT (RECR) | |

| | --- | | | | | | | | | |

| | MAKRO | | INFORMAL | | INFORMAL | | | | | | | | | | | --- --- --- |

--- EKONOMI IPTEK SEJARAH

Gambar 10 Dinamika Kerja

secara langsung atau tidak langsung (melalui pasar kerja), dan sebaliknya penarikan tenaga kerja dari masyarakat oleh unit kerja mikro berdasarkan kebutuhannya

(16)

masing-masing, melalui recruitment. Dinamika tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, seperti politik, hukum, dan teknologi. Sudah barang tentu seberapa deras arus kesempatan kerja mengalir dari masyarakat ke lapangan kerja, dan

seberapa besar tenaga kerja tertarik memasuki lapangan kerja melalui recruitment, bergantung pada berbagai faktor seperti tergambar di atas. Misalnya di bidang pendidikan, sejauh mana pendidikan menghasilkan tenaga yang link and match dengan kebutuhan lapangan kerja mikro. Masalah besar timbul saat ditimbang dengan “penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” ternyata di hilir, kesenjangan vertikal antar lapisan masyarakat dan kesenjangan horizontal antar daerah, semakin tajam dan dalam, di tengah, korupsi, mafia, dan

pemborosan penyelenggaraan Negara semakin luas dan struktural, dan di hulu, kebijakan sumber-sumber sepenuhnya memihak kepentingan kekuasaan.

Dilihat dari perspektif Teori Sumber-Sumber, Teori Nilai, dan Teori Kerja, kita adalah warga yang semakin kehilangan sumber-sumber, dalam redistribusi nilai kita semakin tidak kebagian, dan semakin keras kita bekerja, semakin sedikit yang kita dapat (we do the hardest but we earn the least). Oleh sebab itu kita membutuhkan ilmupengetahuan yang memberi kita kekuatan untuk berjuang mati-matian agar pada suatu saat yang tidak terlalu lama kita memperoleh imbalan pengorbanan kita yaitu penghidupan yang layak bagi kemanusiaa. Kontrol atas implementasi Pasal 33 UUD, pelestarian sumber- sumber dan penemuan sumber alternatif merupakan conditio sine qua non bagi kehidupan kita pada skala mikro dan jangka panjang. Dalam pada itu, dilihat dari perspektif Teori Sumber-Sumber selanjutnya, ambang batas penggalian sumber-sumber sampai pada tingkat mikro, mutlak dijaga. Senantiasa

memperhitungkan kebutuhan kelestarian lingkungan sama dengan menjaga ambang batas penggalian sumber-sumber, agar penggalian itu tidak mengubah sumber menjadi sumber bencana melainkan merawatnya sebagai sumberdaya berkelanjutan. Untk selanjutnya bacalah Pengantar Teori Pengembvangan SDM (Rineka Cipta, 1999), Book Two Walter Lippmann The Public Philosophy, 1956, h.

84); Bab 4 Kybernologi 2003; Bab 2 Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005;

BagianDua Bab VI Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise, 2006; Bab V

Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008. James A. F. Stoner dan Charles Wankel, Management Prentice-Hall (1986, 421)

Kenalilah Musuhmu!

Seorang saja musuh sudah terlalu banyak. Namun kalaupun ada, perlu dikenal.

Kelompok yang biasanya di luar “kita” adalah kontestan, pesaing, lawan, dan musuh.

Dalam Ilmu Perang dan Ilmu Dagang, justru anggota kelompok itu perlu dikenal, dan

(17)

sedapat-dapatnya hubungan itu berubah, dari “mereka” menjadi “kita.” Itu pada salah satu sisi. Di sisi lain, siapatah musuh kita yang sesungguhnya? Musuh kita yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri. “Mulutmu harimaumu,” demikian bunyi pepatah orang bijak.

Jadi Siapakah Kita Ini?

Tabel 1 Siapakah Kita Ini?

---

| 1. Dilihat dari perspektif kualitas manusia, kita adalah warga yang |

| kualitasnya dalam kondisi terpuruk, dan oleh sebab itu dibutuhkan |

| perjuangan untuk memulihkan (mengangkat, membaharui, menyelamatkan)|

| kondisi kita selaku manusia kembali pada kualitas semula |

| 2. Dilihat dari perspektif ajaran HAM dan KAM, kita adalah warga yang |

| kualitasnya dibanding dengan kualitas pemangku kekuasaan Negara |

| berada dalam kondisi sangat timpang, dan oleh karena itu mutlak |

| dibutuhkan pendidikan kewargaan (civic education) yang mampu |

| membentuk warga masyarakat yang cerdas (berpikir) dan |

| bertanggungjawab, sehingga dayarusak dan korban dua dilemma di atas|

| dapat tertekan seminimal mungkin, dan kesempatan untuk membangun |

| hubungan yang selaras, seimbang, serasi, dinamis, dan berkelanjutan|

| antara Negara dengan warga, terbuka. Pelayanan pendidikan kewargaan|

| itu adalah kewajiban asasi Negara. |

| 3. Dilihat dari perspektif nilai, kebutuhan, dan naluri manusia, kita |

| adalah warga yang kebutuhannya untuk hidup meningkat dan menuntut |

| pemenuhan, dan hidup dengan naluri yang memerlukan pengendalian. |

| Dari perspektif kebutuhan dasar manusia dengan alat pemenuhnya dan |

| naluri manusia dengan alat pengendalinya, kita memerlukan |

| ilmupengetahuan tentang perjuangan untuk memperoleh pengakuan, |

| perlindungan, dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan |

| pengendalian nalurinya. |

| 4. Dilihat dari perspektif Teori Sumber-Sumber, Teori Nilai, dan |

| Teori Kerja, kita adalah warga yang semakin kehilangan sumber- |

| sumber, dalam redistribusi nilai kita semakin tidak kebagian, dan |

| semakin keras kita bekerja, semakin sedikit yang kita dapat (we do |

| the hardest but we earn the least). Oleh sebab itu kita membutuhkan|

| ilmupengetahuan yang memberi kita kekuatan untuk berjuang mati- |

| matian agar pada suatu saat yang tidak terlalu lama kita memperoleh|

| imbalan pengorbanan kita yaitu penghidupan yang layak bagi |

| kemanusiaan. Kontrol atas implementasi Pasal 33 UUD, pelestarian |

| sumber-sumber dan penemuan sumber alternatif merupakan condition |

| sine qua non bagi kehidupan kita pada skala mikro dan jangka |

| panjang. Dalam pada itu, dilihat dari perspektif Teori Sumber- |

| Sumber selanjutnya, ambang batas penggalian sumber-sumber sampai |

| pada tingkat mikro, mutlak dijaga. Senantiasa memperhitungkan |

| kebutuhan kelestarian lingkungan sama dengan menjaga ambang batas |

| penggalian sumber-sumber, agar penggalian itu tidak mengubah sumber|

(18)

| menjadi sumber bencana melainkan merawatnya sebagai sumberdaya |

| berkelanjutan. | ---

3

SIAPAKAH KITA INI?

Bagian Kedua: Masyarakat

Penduduk, Masyarakat dan Bangsa

Manusia berusaha memenuhi kebutuhannya di dalam dan melalui masyarakat.

Gambar 1 menunjukkan asal-usul masyarakat sebagai hasil interaksi antar manusia selaku penduduk bumi dan prospek perkembangannya. Manusia adalah sebuah

misteri. “It took less than an hour to make the atoms, a few hundred years to make the stars and planets, but three billion years to make the man!” demikian George Gamow dalam The Creation of the Universe” (1952). Sudah barang tentu, lebih lama lagi masa yang diperlukan untuk mengidentifikasi manusia sebagai “orang,” sebagai penduduk, kemudian sebagai masyarakat. Sebagai penduduk sangat rumit, karena semua makhluk adalah penduduk, tumbuh-tumbuhan (flora), binatang (fauna), dan manusia. Oleh naluri untuk hidup, antar penduduk terjadi hubungan assosiatif dan dissosiatif. Inilah proses dasar masyarakat, terlebih masyarakat manusia, yang dalam tulisan ini disebut masyarakat saja. Jika interaksi itu terjadi berpola dalam jangka waktu yang relative lama, terbentuklah masyarakat. Dalam hubungan itu, kebutuhan setiap orang ada yang bisa dipenuhinya sendiri, misalnya bernafas. Itupun dalam ruang bebas. Setiap orang berhak dan bebas bernafas. Setiap orang memiliki privacy. Tetapi ada kebutuhan yang pemenuhannya memerlukan kerjasama dengan orang lain di dalam masyarakat. Kebutuhan yang pemenuhannya memerlukan kerjasama warga, membentuk pola interaksi yang kuat. Melalui pola-pola interaksi itu, warga menggali dan mengolah sumber-sumber, mengelola kehidupan bersama, yang kemudian disebut urusan rumah tangga masyarakat yang bersangkutan. Hak warga masyarakat untuk mengolah sumber-sumber dan mengelola kehidupan bersama dalam masyarakat kemudian disebut otonomi sosial (otonomi bawaan, otonomi eksistensial). Setiap masyarakat memiliki otonomi.

Bagian pertama buku Robert M. McIver The Web of Government (1961) tentang

“The Emergence of Government,” menguraikan bagaimana suatu masyarakat hidup dan mengelola konflik kepentingan antar individu, dan bagaimana pemerintahan

(19)

terbentuk di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat atau himpunan masyarakat yang berhasil mencapai puncak budayanya sebagaimana diakui dan dihormati oleh

masyarakat lain di sekitarnya, berkualitas sebagai bangsa (nation). Setiap bangsa memiliki sovereignty. Ingat, badan dunia bukan Perserikat Negara-Negara melainkan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Kybernologi, nationaslism diartikan sebagai kesebangsaan.

Nasionalisme

Dalam Kybernologi, nationaslism diartikan sebagai kesebangsaan (Indonesia:

bhinneka tunggal ika, Amerika: e pluribus unum). Transformasi konseptual hubungan antar demokrasi, nasionalisme dengan kesebangsaan tersebut secara filosofis-historis diuraikan di bawah ini. Dalam hubungan itu, ditarik perbedaan antara nationality dengan nationalism. Nationality berarti kebangsaan, seperti yang tercantum dalam KTP atau paspor, sedangkan nationalism diartikan sebagai nasionalisme politik dan nasionalisme ekonomi. Nasionalisme politik merupakan kekuatan perjuangan kemerdekaan dan ketahanan nasional untuk mempertahankannya pada periode survival 1945-1950. Sekarang sisa sebagai merek dagang kekuatan sosial-politik.

Nasionalisme ekonomi yang sekarang mulai dicoba lagi di Amerika Latin, di Mesir dan Indonesia berjaya pada tahun 50-an (nasionalisasi Terusan Suez dan perusahaan asing), tetapi setelah itu pelan tetapi pasti mati suri. Saya mencoba menggelitiknya agar terjaga, lewat FIA UNTAG Jakarta melalui Seminar Nasional Nasionalisme Ekonomi Indonesia Menyongsong Kebangkitan Nasional Kedua Dalam Era Globalisasi Dunia tanggal 8 dan 9 Maret 1991 di Jakarta.

Tabel 2 Topik Seminar Nasional Nasionalisme Ekonomi Indonesia

--- TOPIK NARASUMBER PEMBAHAS

---

1 Aktualisasi Nasionalisme Dalam Moerdiono Letjend Hasnan Habib Pembangunan Nasional Jangka Albert Hasibuan

Panjang 25 Tahun Kedua

2 Sejarah Nasionalisme Indonesia Anhar Gonggong R. Z. Leirissa dan Perkembangannya di OngHokHam Masadepan

3 Aktualisasi Nasionalisme Dalam Andre Hardjana Taliziduhu Ndraha Demokrasi Ekonomi Indonesia: J. L. Martoatmodjo Nasionalisme Ekonomi di

Negara Berkembang

4 Aktualisasi Nasionalisme Dalam Alfian Dwi Susanto Pembangunan Politik Jangka Cahyo Kumolo

(20)

Panjang 25 Tahun Kedua

---

Topik pembicaraan dalam seminar itu seperti tercantum di Tabel 2. Lagi pula se minar tentu saja diantar oleh Ketua Panitia Drs Periah Babo Ginting, diarahkan dan dibuka oleh Rektor UNTAG Jakarta waktu itu Prof. Dr Sri Soemantri

Kartosoewignyo, SH. Trilogi nasionalisme yang digagaskan oleh Moerdiono waktu itu (Gambar 11), saya kembangkan dalam Bagian Dua Bab VI Kybernologi Sebuah Scientific Enmterprise (2006), dan kemudian saya terapkan dalam Bab IV tentang Reformasi Birokrasi, Dari Pemikiran Kualitatif Constructivist Menuju Birokrasi Berbasis Kybernologi (2011).

--- | | ---|----NASIONALISME---- | | | | |

| | | PEMBANGUNAN | MASYARAKAT PANCASILA | |----NASIONAL---|----ADIL DAN | | | JANGKA PANJANG | MAKMUR | | | |

---|---DEMOKRASI--- | | | ---

Gambar 11 Trilogi Nasionalisme Moerdiono

Upaya penggelitikan nasionalisme ekonomi itu agar ia siuman, bergema

sebentar, lalu hilang. Akhir-akhir ini menggeliat sedikit oleh kasus Mesuji dan Sape, tetapi hanya sampai pada sebuah karikatur Hak Asasi Kelapa Sawit yang dibuat oleh Oom Pasikom (241211), melengkapi karikatur-karikatur lain

tentang Freeport dan sebangsanya. Sedihnya ialah, jika fenomena tersebut difahami menurut Hukum Dollo, maka walaupun rezim 2015 menempuh Nasionalisme Ekonomi, kita tidak akan bisa kembali pada tahun 1950 ketika Bhinneka Tunggal Ika dideklarasikan. Kita terus terjajah. Sekali terjajah tetap terjajah, sekali tergadai hutang, tetap diperbudak hutang, demikian Hukum Dollo.

Setelah mempelajari sejarah perubahan besar yang terjadi di Inggris, Amerika, Perancis dan Rusia, Crane Brinton dalam Anatomi Revolusi (1962), tiba pada simpulan sementara bahwa revolusi-revolusi besar dunia meliputi kerangka yang terdiri dari lima komponen:

1. Kekecewaan masyarakat

(21)

2. Sikap bermusuhan anrtar kelas masyarakat 3. Larinya kaum cendekiawan

4. Mesin pemerintahan tidak berdayaguna 5. Saling curiga antar pemangku kekuasaan

Jika kita berpikiran, lima unsur tersebut merupakan kekuatan penggerak revolusi, dan sejarah mengajarkan bahwa revolusi adalah langkah besar untuk membangun

perubahan sosial yang stabil dan mendasar, manakala reregulasi dan reformasi tidak mempan, maka kondisi Indonesia saat ini sudah lebih dari cukup memenuhi syarat buat cetuskan sebuah revolusi. Tetapi Brinton benar, simpulannya belum tentu bisa digunakan di masa depan. Apakah dengan demikian, Indonesia akan terus terjajah?

Bhinneka Tunggal Ika

Wawasan kesebangsaan (nasionalisme Indonesia) dengan ajaran demokrasi ibarat dua bersaudara kembar. Demokrasi mengandung kekuatan yang membangun dan merekat kuat kesebangsaan. Juga berfungsi mencegah sakralisasi norma-norma sosial oleh sementara kalangan (Gambar 2). Demokrasi terletak di ruang Ilmu Politik, dan uraian tentang hal itu sudah sangat banyak. Dalam hubungan itu Kybernologi mempelajari buku kecil T. V. Smith dan Eduard C. Lindeman, The Democratic Way of Life (1951, 1953, 1955). Buku yang bernada filosofik itu dipilih karena rohnya seirama dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika (BTI). Coba saja Proposisi Satu yang ditulis Lindeman. Bunyinya “Through Diversity Toward Unity.” Bukankah itu setara dengan BTI? Proposisi itulah yang saya gunakan dalam mengonstruksi satu di antara 5 Grand Design Pemerintahan Daerah.

Nasionalisme dalam arti kesebangsaan itu berakar dalam filsafat Bhinneka Tunggal Ika tersebut di atas. Di zaman raja Asoka (ca 269-232) terdapat dua agama besar di Asia, yaitu Hindu dan Buddha. Untuk memperkokoh kekuasaannya, ia menganjurkan perdamaian di mana-mana. Pada suatu tiang batu peninggalannya tercantum sebuah pernyataan yang dapat disebut Doktrin Asoka, berbunyi: “Barangsiapa merendahkan agama lain dan memuji agamanya sendiri, (berarti) merendahkan agamanya sendiri.”

Dalam kitab Sutasoma, Empu Tantular mengemas ajaran itu dalam seloka yang sebagian berbunyi “bhinneka tunggal ika,” lengkapnya “Bhinneka Tunggal Ika, Tanhana Dharmma Mangrva,” artinya berbeda-beda tetapi satu jua, tahan karena benar serta satunya cipta, rasa, karsa, kata dan karya berdasarkan kebenaran yang tunggal. Dalam kerajaan Majapahit (1292-1525) nilai ideal “berbeda (beragam) tetapi (ber)satu” itu menjadi kenyataan: raja Hayam Wuruk (memerintah 1350-1389)

beragama Hindu, sedangkan perdana menterinya Gadjah Mada (menjabat 1331-1364) beragama Buddha. Apakah melalui perbedaan orang bisa tiba pada kebersamaan?

(22)

Bisa, “through diversity toward unity,” atau E Pluribus Unum, demikian proposisi satu Eduard C. Lindeman dalam T. V. Smith dan Eduard C. Lindeman, The

Democratic Way of Life (1955, 112), dan demikian juga makna Bhinneka Tunggal Ika. Bisa, jika sikap terhadap perbedaan, keberagaman, bahkan heterogenitas,

bertolak dari serenity: “Menerima secara sadar dan ikhlas apa adanya.” Masalahnya ialah, kendatipun makna Bhinneka Tunggal Ika mirip dengan E Pluribus Unum, apakah penerapannya di Indonesia sama dengan Amerika? Amerika menafsirkan dan mendudukkan “unum” itu sebagai “kesebangsaan.” Puluhan bahkan ratusan bangsa yang berbeda-beda (heterogen) tumpah ruah sepanjang masa di sebuah melting pot bernama Amerika, lebur menjadi sebangsa, bangsa Amerika. imenjadi bangsa Amerika. Yang lebur, yang berubah bukan warna kulit --- hitam tetap hitam, kuning tetap kuning --- atau ciri-ciri fisik lainnya, tetapi kesadaran kesebangsaan dalam suka dan duka. Tidak ada bangsa yang memonopoli kebenaran.

Pengalaman Amerika relatif sama dengan pengalaman Indonesia membangun

kesebangsaan pada awal abad ke-20. Nasionalisme adalah sebuah faham yang berada di dalam ranah politik, dan dipelajari oleh Ilmu Ilmu Politik. Pada aras filosofik politik Indonesia, nasionalisme dikaitkan dengan Pancasila, yaitu pada silanya yang ketiga: Persatuan Indonesia.sebagaimana tercantum dalam alinea keempat

Pembukaan UUD 1945. Dalam Penjelasan UUD bagian II sub 1 tertulis:

“Negara” --- begitu bunyinya --- melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam

pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara Persatuan. . . Persatuan adalah proses untuk bersatu. Yang berproses untuk bersatu itu apa?

Negara-negara atau unit kenegaraan yang ada? Mungkin DIY, tetapi di masa itu hubungan antara DIY dengan Indonesia tidak menjadi isu politik.Saat UUD itu dirancang, Negara Indonesia de jure dan de facto belum ada, jadi yang berproses untuk bersatu itu bukan unit kenegaraan. Itulah sebabnya Negara Indonesia

diproklamasikan tidak atas nama Negara tetapi atas nama Bangsa Indonesia. Di sana tidak ada konsep Negara Kesatuan tetapi Negara Persatuan, Dalam pikiran para Bapak Bangsa dan Pendiri Negara kita, yang paling kuat bekerja adalah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 berbunyi:

SOEMPAH PEMOEDA

Pertama

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

(23)

Kedua

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Djakarta, 28 Oktober 1928

Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928

Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari : Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI) Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java) Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)

Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond) Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)

Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia) Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)

Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon) Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)

Peserta :

1. Abdul Muthalib Sangadji 2. Purnama Wulan 3. Abdul Rachman 4. Raden Soeharto 5. Abu Hanifah 6. Raden Soekamso 7. Adnan Kapau Gani

8. Ramelan

9. Amir (Dienaren van Indie) 10. Saerun (Keng Po)

11. Anta Permana 12. Sahardjo

13. Anwari 14. Sarbini 15. Arnold Manonutu 16. Sarmidi Mangunsarkoro

17. Assaat 18. Sartono 19. Bahder Djohan 20. S.M. Kartosoewirjo

21. Dali 22. Setiawan

23. Darsa

24. Sigit (Indonesische Studieclub)

(24)

25. Dien Pantouw 26. Siti Sundari

27. Djuanda 28. Sjahpuddin Latif

29. Dr.Pijper

30. Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken) 31. Emma Puradiredja

32. Soejono Djoenoed Poeponegoro 33. Halim

34. R.M. Djoko Marsaid 35. Hamami 36. Soekamto 37. Jo Tumbuhan

38. Soekmono 39. Joesoepadi 40. Soekowati (Volksraad)

41. Jos Masdani 42. Soemanang

43. Kadir 44. Soemarto 45. Karto Menggolo 46. Soenario (PAPI & INPO)

47. Kasman Singodimedjo 48. Soerjadi

49. Koentjoro Poerbopranoto 50. Soewadji Prawirohardjo

51. Martakusuma 52. Soewirjo 53. Masmoen Rasid

54. Soeworo

55. Mohammad Ali Hanafiah 56. Suhara

57. Mohammad Nazif 58. Sujono (Volksraad)

59. Mohammad Roem 60. Sulaeman 61. Mohammad Tabrani

62. Suwarni 63. Mohammad Tamzil

64. Tjahija 65. Muhidin (Pasundan)

66. Van der Plaas (Pemerintah Belanda) 67. Mukarno

68. Wilopo 69. Muwardi

70. Wage Rudolf Soepratman

(25)

71. Nona Tumbel Catatan :

Sebelum pembacaan teks Soempah Pemoeda diperdengarkan lagu"Indonesia Raya"

gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya.

1. Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah

Pemuda, pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong.

2. Golongan Timur Asing Tionghoa yang turut hadir sebagai peninjau

Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda ada 4 (empat) orang yaitu :

a. Kwee Thiam Hong b. Oey Kay Siang c. John Lauw Tjoan Hok

d. Tjio Djien kwie

Teks Sumpah Pemuda butir Kedua berbunyi KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA

INDONESIA, jelas bahwa yang berproses itu adalah bangsa-bangsa, sukubangsa- sukubangsa, dari berbagai bangsa, menjadi satu bangsa dalam melting pot bernama Indonesia atau menjadi sebangsa, Bangsa Indonesia. Proses melting itu berjalan vertical dan horizontal dari bhinneka (keberbedaan) menuju tunggal ika

melalui interaksi berdasarkan kesadaran antar unsur-unsur yang bhinneka itu sendiri tanpa yang satu berubah (diubah) menjadi seperti yang lain.

Masalahnya ialah, kendatipun makna Bhinneka Tunggal Ika mirip dengan E Pluribus Unum, penerapannya di Indonesia berbeda dengan Amerika. Amerika menafsirkan dan mendudukkan “unum” itu sebagai “kesebangsaan,” jadi lebih manusiawi (bentuk Negara Amerika federal), ketimbang Indonesia yang tidak mendudukkan “tunggal ika” tidak dalam arti kesebangsaan. Dalam Teori dan Budaya Politik Indinesia, istilah

“kesebangsaan” itu nyaris tidak pernah terdengar. Yang paling banyak

disosialisasikan adalah Pasal 1 (1) UUD1945 berbunyi: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik,” dan bahwa “NKRI itu harga mati,”

tanpa penjelasan teoretik bagaimana “membayar harga mati itu.” Apakah “tunggal ika” dimaknai sebagai bentuk Negara “Negara Kesatuan?” Dengan nyaris tidak terdengarnya nada “kesebangsaan,” jawabannya ya. Hasilnya luarbiasa. Jika melalui pasang-surut proses sosial, heterogenitas yang berabad-abad tercurah di

“cawan” Amerika “melting” menjadi Amerika dan membangun kesebangsaan Amerika, maka di Indonesia yang pembangunan kekuasaan lebih diutamakan ketimbang pembangunan manusia, masyarakatnya terpecah menjadi lima

(26)

bangsa (Gambar 7), dan jurang antar lima kategori bangsa-bangsa itu semakil lebar dan dalam.

Bertolak dari sejarah yang menunjukkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika sebagai sistem nilai ideal di zaman dahulu di Indonesia bisa menjadi kenyataan, sebagaimana

diyakini oleh generasi muda Indonesia melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 seperti diuraikan di atas, maka adalah tepat tatkala Presiden Soekarno dalam pidato HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tgl 17 Agustus 1950 menyatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah sesanti (credo) bangsa Indonesia, bahkan dapat disebut visi

(walaupun Presiden Soekarno tidak secara eksplisit menyatakan demikian) bangsa Indonesia dalam membangun bangsa (Nation Building), kesebangsaan, dan

membentuk watak (Character Building) bangsa.

Bhinneka Tunggal Ika itu merupakan sebuah sistem nilai yang terdiri dari dua komponen besar yaitu “bhinneka” (fakta, das Sein) dan “tunggal ika” (ide, das Sollen). Antara dua komponen itu terjadi hubungan timbal-balik (interaksi) bahkan hubungan dialektik terus-menerus. Bhinneka Tunggal Ika itu kemudian dijadikan hukum positif dalam bentuk PP 66/1951. Tatkala Bangsa Indonesia masih berada di seberang jembatan yang bernama KEMERDEKAAN, visinya adalah seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea pertama dan kedua. Visi tersebut semakin jelas lima tahun kemudian setelah menyeberangi jembatan,

diperkaya dengan Bhinneka Tunggal Ika. Gambar 13 menunjukkan misi Pemerintah Indonesia yaitu memproses pengelolaan keunikan tiap masyarakat menjadi kekuatan matarantai nusantara, pengurangan (alleviating) kesenjangan vertikal dan horizontal antar masyarakat secepatnya, dan menggerakkan kemajuan bangsa, sehingga “the people who get pains are the people who share gains.” Bangsa Indonesia telah

VISI (PENGLIHATAN BATIN) MISI TUJUAN (KESEPAKATAN) Di- Lahir Dari Kesadaran Usaha Mencapai Tujuan tetapkan Berdasarkan Visi (alinea 1 & 2) (alinea 2 & 3) dan Naluri (alinea 1 & 4)

BHINNEKA---NATION BUILDING--->TUNGGAL IKA

tiap masyarakat unik pengelolaan sumberdaya sehingga semua masy. yg sumberdaya & sumber & sumberbencana melalui yg berbe-beda sadar se- bencana bervariasi perencanaan jangka bangsa dan bersama-sama kesenjangan antar daerah panjang (UU 25/04 SPPN membangun masadepan yg

& antar kelompok masy. dan UU 17/07 RPJP lebih baik | | | | | | --- P R O S E S --- |

| TAHAP | |

(27)

---|---

| | | | | |

DIVERGENT--->KRITIKAL--->TAHAP CONVERGENT 2005-2015 2010-2020 2015-2025

Gambar 12 Kerangka Grand Design Pemerintahan Daerah Model Bhinneka Tunggal Ika

memilih sistem penyelenggaraan tiga misi utama tersebut, yaitu sistem desentralisasi pemerintahan. Berdasarkan sistem itu, setiap masyarakat memiliki otonomi.

Seperti terlihat pada Gambar 12, proses Bhinneka Tunggal Ika itu terdiri dari tiga tahap, tahap pertama divergent, tahap ketiga convergent, dan tahap kedua peralihan antara keduanya, yang disebut tahap kritikal. Disebut demikian karena tahap ini sangat menentukan dan memerlukan kepemimpinan yang bersih tetapi kuat

(resilient). Pada tahap pertama, perhatian diletakkan pada otonomi daerah, terutama

NEGARA KESA- Power IMPLEMENTASI INDONESIA TUAN REPUBLIK ---> PASAL ---> MENJADI INDONESIA Building 33 UUD 5 BANGSA

Gambar 13 Begini (NKRI Input)?

sejak tahun 2000. Kebhinnekaan diaktualisasikan, masyarakat di-“mekar”-kan, dan konsep desentralisasi (otonomi) asimetrik (khusus) diterapkan. Tahap kedua

merupakan respons terhadap berbagai masalah dan tantangan yang ditimbulkan oleh proses tahap pertama, misalnya kesenjangan vertikal antar lapisan masyarakat dan kesenjangan horizontal antar daerah (masyarakat) dan ketidakadilan sebagai akibat ketimpangan distribusi sumber-sumber. Hal ini dijelaskan lebih lanjut melalui Teori Governance dan Teori Sumber-Sumber. Kegagalan tahap kedua menjauhkan

ketunggalikaan dari jangkauan (Gambar 13). Tidaklah berlebihan jika dinyatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika sebagai Grand Design Pemerintahan Daerah Indonesia adalah Filsafat Pemerintahan. Proses yang ditunjukkan dalam Gambar 14 itulah sesungguhnya proses kesatuan itu:

tujuan: keadilan sosial yaitu pengurangan seca- ra konsisten kesenjang- an vertikal antar la- pisan masyarakat dan kesenjangan horizontal antar daerah bersama-sama |

Gambar

Gambar 19 Tiga Mazhab Ilmu Pemerintahan
Gambar 50 Interface Antara Konsep Negara Dengan Manusia
Gambar 61 Garisdepan Pemerintahan
Gambar 62 Pesawat Take-off dan Landing
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pola aliran perakitan aliran perakitan dan stasiun kerja sekarang bahwa proses perakitan produk tipe Xtipe X terdiri atas 20

Dari deskripsi di atas, subjek perempuan berkemampuan tahfidz tinggi (SPTT) pada aspek generalisasi memenuhi kriteria sesuai dengan indikator pada rubrik observasi

Oleh karena itu, para guru yang bertugas mengelola pembelajaran biologi di sdc:olah di sam ping perlu memahami tentang pengembangan Silabus, guru juga perlu memahami

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian tepung kulit buah naga yang difermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae sebanyak 7% dalam ransum

menganalisis data faktual dan teoretis terkait pengamalan Pancasila 2.1.4 Mahasiswa mampu memaparkan argument filosofis Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa 2.1.5

Hal ini menjadi perhatian ketika mendesain sistem proteksi busbar karena ketika terjadi arus gangguan eksternal bernilai besar dapat menyebabkan arus yang dihasilkan pada

Pada kelas yang proses pembelajaranya menggunakan metode ceramah plus mendapatkan nilai rata-rata yaitu sebesar 23,23 skor dari jumlah soal sebanyak 30 soal, dari

Pada Bulan Desember 2015 NTP-R sebesar 101,83 atau mengalami kenaikan sebesar 0,19 persen dibanding bulan lalu yang disebabkan karena laju kenaikan indeks harga yang