• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merupakan bagian dan konsekuensi adanya perlombaan, kontes,

SUBKULTUR KEKUASAAN DENGAN SUBKULTUR SOSIAL

19. Merupakan bagian dan konsekuensi adanya perlombaan, kontes,

| CF = CP + CPP + OPOSISI | ---

Gambar 39 Posisi Oposisi (Lihat Gambar 38)

Sikap Oposisional = Kontrol Pemerintahan Sehari-hari = Kontrol Yang Dilakukan SKS Terhadap Prilaku SKK

Isu politik terakhir dilihat dari sudut Kybernologi adalah keputusan SBY selaku Capres Partai Demokrat (2009) untuk berduet dengan Boediono yang profesional dan menurut media tidak berakarrumput (tidak melalui kendaraan parpol). Di satu sisi hal ini sedikit-banyak mengabaikan tuntutan parpol agar cawapres direkrut dari parpol, dan di sisi lain ditafsirkan sebagai komitmen terhadap sistem pemerintahan presidential murni. Lebih lengkap lagi bilamana keputusan itu

didasarkan pada jiwa UUD naskah awal yang mendudukkan menteri negara pada dua posisi, sebagai pembantu presiden (politisi) dan sebagai kepala departemen/kementerian (profesional, “yang paling memahami departemen/kementeriannya,” lebih daripada presiden sekalipun, dengan segala konsekuensinya bilamana terjadi konflik antara dua posisinya itu!). Isu tersebut berujung pada pertanyaan, “Jika presiden begitu kuat, siapa yang mengontrolnya, mengingat ia dipilih langsung oleh rakyat?”

Menurut Kybernologi, siapa lagi kalau bukan pelanggan sebagai sebuah body yang diwakili oleh kekuatan oposisional! “Kisah Siti Khoiyaroh” oleh Hotman Siahaan (Kompas 010609h06) adalah potret kekuasaan kanibalistik yang sedang memangsa anak-anak bangsa yang tak berdaya yang terjadi justru beberapa saat sebelum kampanye pilpres duaribu sembilan!

19. Merupakan bagian dan konsekuensi adanya perlombaan, kontes,

persaingan, pertandingan, perlawanan, perjudian dan permusuhan di dalam masyarakat. Kualitas, nilai dan norma berbagai konsep

keberhadapan dua fihak, bervariasi (Tabel 5). Jika sistem dan budaya politik yang berlaku sekarang di Indonesia, meletakkan norma pemilu pada “penaklukan” dan “the winner takes all,” dengan nilai “kalah- menang,” maka itu berarti pemilu dikonsepsikan sebagai perjudian

Tabel 6 Tujuh Wujud Sikap Oposisional

--- KONSEP KUALITAS NILAI NORMA (IMBALAN)*

--- perlombaan kejuaraan juara 1, juara 2, dst piala, hadiah (interval)

kontes keterpilihan terpilih atau tidak mahkota, (contest) terpilih (nominal) kehormatan

persaingan keunggulan unggul atau keuntungan bisnis kemajuan tertinggal (ordinal)

pertandingan kemenangan menang, seri, piala, hadiah kalah (ordinal)

perlawanan kekuatan kuat atau lemah penaklukan (nominal)

perjudian ketepatan te- menang, kalah the winner takes bakan & bidikan all (taruhan) permusuhan kehidupan hidup atau mati the winner takes survivabilitas (nominal) all (musuh

dimangsa)

---

* yang berlaku sekarang (Gambar 1)

Kesannya memang seperti itu. Parpol yang kadernya terpilih

memosisikan dirinya sebagai “the winner,” dan berhak untuk “takes all,”

disusul dengan koehandel dan transaksi lainnya. Jika pemilu

ditempatkan dalam ruang menang-kalah, dengan imbalan “the winner takes all,” maka fokus perhatian terpusat pada tujuan tidak pada proses, dan oleh karena imbalan sangat menggiurkan, kesempatan terbuka lebar, maka “tujuan menghalalkan segala cara,” terlebih buat Indonesia yang terkesan bukan negara hukum melainkan negara peraturan. Nilai

menang-kalah itu pada gilirannya menumbuhkan benih kultus individu (pemujaan dan pendewaan tokoh) dengan topeng “Never change the winning team.” Jika itu terjadi, maka nilai “indispensable” tinggal

selangkah lagi. “Kalau bukan dia,” “untung ada dia,” “hanya dia,” “tidak ada yang lain,” “karena dia bisa itu, pasti dia bisa ini,” dan seterusnya.

Jika Proposisi Tiga Lindeman diperhatikan, maka oposisi sebaiknya dilihat bukan dari sudut norma (imbalan) tetapi dari sudut konsepnya.

Dari sudut itu, pemilu sesungguhnya berada di dalam ruang kontes, dengan keterpilihan, terpilih atau tidak terpilih, mahkota dan

kehormatan sebagai kualitas, nilai, dan normanya. Dalam hubungan itu, oposisi berfungsi mewasiti, mencegah dan

mengontrol kecenderungan penyimpangan sikap dan perilaku SKK dalam membuat dan menetapkan pilihan, dan mengawal

terpeliharanya syarat-syarat objektif keterpilihan itu di dalam masyarakat

20. Bagi sebuah kapal dalam pelukan bahari, oposisi adalah air, oposisi adalah samudera. Suatu saat ia dibimbing arus samudra, pada saat lain ia diterjang badai didera gelombang (Bab I Kybernologi dan Pengharapan, 2009) yang sama. Bila badai menerjang dan gelombang mendera, biduk dan kapal yang berjayar bersamanya, terpukul dan terpental. Tetapi justru Jalesveva Jayamahe, “Di Laut Kita Jaya,” karena laut tidak hanya menyediakan sumberdaya kebutuhan ekonomi tetapi jauh lebih luhur, laut mengajarkan kearifan universal. Di dalam pelukan oposisilah SKK jaya! Jika terjadi peristiwa alam, yang oleh manusia disebut bencana menimpa, yang terlebih dahulu diselamatkan adalah kaum terlemah, yaitu bayi dan perempuan, orang sakit dan penumpang, ABK kemudian, terakhir sang nakhoda, itupun jika masih ada

kesempatan. Keberanian dan kecakapan itu didukung oleh keluhuran budi dan kearifan jiwa, dengan menjunjung tinggi kaidah-kaidah

harmoni dan keselarasan dengan alam. Inilah Etika Bahari. Jika tidak, ialah juruselamat, ialah martyr, ialah tumbal, ialah korban, ialah

pahlawan, ialah syuhada. Mencapai sesuatu melalui (baca: dengan mengorbankan) diri sendiri. Etika Bahari erat berkait dengan

Kepemimpinan Bahari: “getting things done through him- or herself.”

Berapakah harga manusia? Bagi para politisi dan pejabat, manusia adalah persentase, hanya statistik, hanya angka-angka. Di tengah laut, ketimbang kapal terbenam karam, muatan kapal, milik saudagar dan barang pedagang, kepentingan partai dan ambisi kekuasaan, dapat dan harus dibuang ke tengah lautan, demi keselamatan kapal dan seluruh penumpang. Inilah Hukum Bahari. Laut dapat diibaratkan alam semesta, kapal diibaratkan Negara, dan isinya adalah adalah bangsa Indonesia yang etnisitasnya heterogen, budayanya majemuk, potensinya pincang, dan laju yang satu dibanding dengan yang lain tidak seimbang.

Kesenjangan vertikal dan kesenjangan horizontal. Di atas kapal memang politisi dan pejabat yang berkuasa, namun di tengah laut bukan

kapalnya, melainkan pelayarannya (kegiatan berlayar) itulah yang terpenting. Dalam hubungan itu, politisi dan pejabat seberkuasa apapun hanyalah satu di antara berbagai-bagai unsur yang diperlukan agar pelayaran terjadi dan berhasil tiba dengan selamat di tujuan.

Keselamatan. Inilah Filsafat Bahari (lihat juga Bab X Kybernologi Sebuah Scientific Movement, 2007). Mau berlayar di darat, di lautan pasir? Kesiapan puncak penyelamatan di darat ditandai dengan tempat perlindungan bawah tanah, sebuah silo padat logistik dan teknologi

bunker, galian jauh ke dalam perut bumi, terbuat dari baja kebal bom, anti peluru, aman berbulan-bulan, dan sangat dirahasiakan. Untuk itu arsiteknya dilenyapkan. Silo, bunker, bagi keselamatan siapa? Politisi dan pejabat! Jika demikian, mengapa SKK membenci setengah mati kaum oposisional?

21. Nilai-nilai kepemimpinan visioner jangka panjang bersumber dari visi Bangsa/Daerah.Visi Bangsa/Daerah berfungsi sebagai referensi bagi setiap rezim yang bekerja pada rel jangka panjang Nasional maupun Daerah. Dilihat dari perspektif Kybernologi, persoalannya sekarang ialah di ruang politik tidak ada Pemimpin Formal Jangka Panjang, melainkan rezim lima tahunan. Dalam hubungan itu, diperlukan kekuatan yang dapat berfungsi menjaga visi Bangsa dan visi Daerah agar tetap hidup, menjamin rel tetap utuh (sustainable), dan mengontrol setiap pengemudi kereta agar tidak keluar rel. Sudah barang tentu

pengemudi (Presiden, Kepala Daerah, DPR/DPRD, MA, dan sebagainya di struktursupra) tidak mungkin melakukan fungsi itu. Semua institusi negara dan aktor-aktrisnya adalah para Petaruh, masing-masing

mempertaruhkan kehormatan diri, masajabatan, dan semua yang

Tabel 7 Stakeholder Pemerintahan

--- FUNGSI STAKEHOLDER BISNIS FUNGSI STAKEHOLDER NEGARA

--- A B

--- 1 Mengumpulkan dan menjaga semua Semua sumberdaya adalah milik bangsa

uang taruhan bukan milik Negara atau Pemerintah Daerah negara menguasainya (pasal 33 UUD) dalam arti mengelolanya untjuk sbesar-besarnya kemakmuran Rakyat

2 Membayar kepada fihak yang Masyarakat sebagai konstituen, pelanggan menebak atau membidik tepat dan penonton, menanggung risiko, menjadi

korban atau dikorbankan

3 Mendapat uang taruhan bila tidak Mandat kembali kepada masyarakat ada bidikan atau tebakan yang jika Petaruh tidak menepati

tepat janji dan tidak bertanggungjawab

4 Berupaya agar aturan permainan Masyarakat selaku konstituen mengontrol ditaati oleh semua fihak terkait perilaku Petaruh di hulu melalui kebijak-

(mengontrol perilaku para petaruh) an & peraturan, sebagai pelanggan mengon-

| | ---pemerintahan (governance)---

Gambar 40 Sikap Oposisional Sebagai Negative Feedback Control Circuit DPR Tercabut Dari Asklarnya Pada Rute 5, 6, dan 3

sekarang harus berubah, diarahkan pada budaya prestasi dan kontestasi, bukan membangun budaya kalah-menang dengan imbalan pemenang berhak merampok fihak yang kalah. Paradigma oposisipun harus diubah menjadi paradigma penjagaan dan pengawalan dari hari ke hari, karena power tends to corrupt.. Hal ini telah dibahas panjang lebar di dalam Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV, dan Bab V Kybernologi Politik dan Kybernologi Administrasi (2009)

7

Dokumen terkait