• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Deskripsi Data

B. Hasil Penelitian

1. Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu

a. Pembelajaran dengan Bahasa Isyarat di Sekolah

Penelitian ini melihat kebijakan bahasa isyarat yang merupakan salah satu program dari pemerintah yang mengacu pada UU No 19 Tahun 2011 tentang pengesahan konvensi mengenai hak – hak peyandang disabilitas khususnya di pasal 2 mengenai “komunikasi” yang mencakup bahasa lisan dan bahasa isyarat serta bentuk - bentuk

58

bahasa nonlisan yang lain. Sasaran yang dituju dengan adanya kebijakan ini adalah anak - anak peyandang disabilitas dengan golongan tuna rungu. Kebijakan ini dibuat demi membantu para anak tuna rungu untuk mampu berkomunikasi dengan lingkungan sekitar masyarakat umumnya serta khususnya disekolah dalam menggunakan bahasa isyarat dan bahasa oral sebagai pendampingnya. Dalam hal ini untuk menganalisis penyelenggaraan Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu di SLB Maarif, peneliti melihat dari dua aspek yaitu aspek akademik dan sosial.

Bertitik tolak dari hasil pengamatan dan penelitian yang telah dilakukan melalui beberapa proses, SLB Maarif Muntilan merupakan sekolah yang dipercaya untuk mendidik anak disabilitas di daerah kabupaten Magelang. Sekolah dengan kapasitas anak sejumlah 170 anak terdiri dari anak tunanetra, tuna rungu, serta anak tunagrahita. Disini peneliti lebih cenderung mengarah kepada pengkhususan anak tuna rungu.

Anak tuna rungu mempunyai berbagai kemajuan dari segi pembelajaran, proses akademik mereka tidaklah berbeda jauh dengan anak normal pada umumnya. Pembelajaran di dalam maupun diluar kelas terbilang sangat menyenangkan walaupun dengan menggunakan bahasa isyarat, akan tetapi ada juga untuk menunjang pembelajaran

59

kepada anak dapat menggunakan bahasa oral, terjun ke lapangan langsung dan lain sebagainya.

Seperti yang dikatakan oleh Ibu M selaku pengampu kelas tuna rungu :

“Di sekolahan ini tidak selalu mempelajari bahasa isyarat namun lebih kearah bahasa oral untuk penerapannya di dalam kelas. Bahasa isyarat digunakan ketika dalam pembelajaran mengalami kesulitan sehingga guru menuliskan dipapan tulis serta menggunakan bahasa isyarat itu sendiri. Untuk anak dewasa lebih diutamakan bahasa oral sedangkan untuk anak kecil menggunakan bahasa isyarat atau bahasa ibu. Selain itu untuk anak SMA, demi menunjang kebijakan bahasa isyarat maka saya menggunakan laptop untuk mempermudah dalam pengajaran”

Hal senada juga disampaikan oleh Ibu WT

“Untuk pembelajaran disini bahasa isyarat menjadi bahasa sekunder dimana bahasa yang paling sering digunakan adalah bahasa oral. Sedangkan bahasa isyarat digunakan untuk memperjelas apa yang kita atau anak kerjakan. Untuk pembelajaran selanjutnya ada bermacam - macam inovasi pembelajaran dari yang kejadian -kejadian nyata, disini anak langsung belajar di lapangan karena anak tuna rungu memfokuskan diri belajar dalam penglihatan dan pengamatan. Untuk penggunaan laptop sendiri mungkin hanya untuk selingan saja”

Diperkuat dengan adanya pernyataan Ibu UK :

“Dengan menggunakan alat yang ada disekitar, terkadang anak juga terjun langsung ke lapangan untuk melihat hal - hal yang berhubungan dengan pelajaran mereka. Untuk laptop sendiri itu biasanya diterapkan di tingkat SMA sebagai penunjang”.

Dengan adanya proses pembelajaran menggunakan bahasa isyarat tersebut, anak - anak mempunyai rasa senang dikala mereka menggunakan bahasa tersebut. Dilain hal seperti yang dijelaskan di atas

60

terkadang anak menggunakan bahasa oral. Seperti yang dipaparkan oleh siswa A:

“Di sekolahan sendiri mengajarkan tentang bahasa isyarat walaupun dalam penerapannya masih diselingi bahasa oral untuk menunjang pembelajaran. Bahasa isyarat sepenunya dilakukan ketika ketika pada situasi istirahat antara satu anak dengan anak lainnya”

Serta paparan dari siswa B mengenai implementasi kebijakan bahasa isyarat sebagai berikut:

‘’Iya, pihak sekolah menerapkan bahasa isyarat, proses pembelajaran dilakukan melalui interaksi yang mendalam antara guru dan murid. Pelaksanaanya sangat menyenangkan dan membantu kedepannya”

Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa proses pembelajaran di SLB Maarif Muntilan tidak terjadi di dalam kelas saja, akan tetapi terjadi diluar kelas . Karena anak tuna rungu mengedepankan penglihatan untuk melakukan pembelajaran sehingga yang dilihat akan langsusng di proses di pikiran anak. Dilain tingakatan anak dewasa di SLB diberikan pengembangan belajar melalui laptop guna mengenalkan teknologi. Disisi lain untuk penerapan bahasa isyarat sendiri di sekolah ini berjalan seimbang dengan bahasa oral. Dimana bahasa isyarat lebih sering digunakan ketika anak berkomunikasi langsung dengan sesama anak, sedangkan untuk pembelajaran di kelas masih didampingi dengan bahasa oral untuk menunjang pembelajaran.

61

b. Pengembangan Bakat Anak Tuna rungu

Seiring pembelajaran yang dilakukan nantinya anak tuna rungu di sekolah SLB Maarif Muntilan memiliki berbagai bakat yang terpendam, bakat yang terpendam akan muncul serta bekerja bahu membahu dengan yang namanya kecerdasan intelegensi, dimana kedua hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. Untuk mendukung bakat setiap anak sekolah memberikan berbagai fasilitas seperti ruang computer, ruang menjahit, dan ruang speech theraphy . Kekurangan dalam hal pendengaran yang mereka alami seolah tidak akan memberikan dampak negatif melainkan mereka mampu mengolah menjadi sebuah hal - hal yang positif. Selain itu di sekolah ini guru selalu memberikan cara untuk mengembangkan bakat anak tersebut melalui pengarahan yang persuasive, tidak jarang bakat mereka diawali dari sebuah hobi. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Ibu BM :

“Semua berawal dari hobi yang dimiliki oleh anak. Ketika anak sudah menyukai sesuatu hal dan hal tersebut dijadikan suatu hobi. Hobi tersebut secara perlahan dikembangkan oleh anak dengan mengacu kepada kecerdasan apa yang mereka miliki” Didukung dengan adanya pernyataan dari UK:

“Disini satu anak dengan anak lainnya berbeda. Sehingga anak dengan berbagai ketrampilan mampu diliat sejak dini. Ketika guru melihat potensi anak maka upaya guru selalu mengarahkan dan memberikan pengarahan untuk mengembangkan kecerdasan dan potensi anak tersebut”

Pengarahan yang diberikan oleh pihak sekolah demi mengembangkan kecerdasan anak satu dengan yang lainnya berasal dari dua aspek,sehingga pengarahan tersebut mampu diserap dan di

62

aplikasikan melalui beberapa kegiatan yang bermakna seperti di bidang ketrampilan. Seperti yang dikatakan oleh BM:

“Ada, pengarahan bisa berasal dari dua aspek yaitu luar dan di dalam sekolah. Dimana di luar yaitu mendatangkan ekstra untuk menumbuhkan serta mengembangkan kecerdasan anak. Sedangkan dari dalam sekolah biasanya guru mendampingi anak dengan bakat melalui sifat otodidak seorang guru dimana sifat otodidak ini didukung oleh rasa kedekatan guru dengan murid yang mendalam”.

Guru yang memberikan serta mendampingi bakat anak secara otodidak bukan semata mata nantinya malah menjerumuskan anak tersebut dengan sifat otodidak guru, sebelumnya pasti guru akan mempelajari seluk beluk dari bakat anak sehingga dasar dari bakat anak tersebut mampu dipelajari sebelumnya. Pengarahan terus diberikan oleh guru kepada murid, guru kebanyakan melihat anak dengan bakat seperti ketrampilan yang sudah dibahas di atas, selain ketrampilan ada juga yang berminat dalam segi olahraga.Seperti pengakuan WT :

“Ada, misalnya dengan cara memberikan pengarahan kepada anak mengenai bakat mereka yang cocok ditempatkan di bidang apa . kebanyakan bidang yang ada itu ketrampilan dan olahraga yang paling menonjol”

Pernyataan di atas memberikan informasi dimana anak tuna rungu tersebut menjadikan hal yang mereka sukai ke arah hobi. Sehingga hobi tersebut akan mengembangkan bakat mereka secara perlahan dengan adanya pengarahan dari seorang guru, kemudian adanya pengarahan tersebut secara perlahan pula anak akan terbiasa untuk mengembangkan bakat - bakat mereka secara mandiri. Walaupun dengan adanya keterbatasan, anak tuna rungu dapat menggunakan

63

gerak tubuh mereka untuk mengungkapkan perasaan. Dengan adanya fasilitas yang disediakan sekolah juga akan menunjang kinerja dan bakat dari anak itu sendiri.

Bakat yang berawal dari kecerdasan intelegensi setiap anak pada umumnya akan dibagi menjadi dua pilihan dalam pengelolaannya. Pilihan pertama adalah bakat yang diarahkan atau dikelola menjadi hal – hal positif dan dikelola menjadi hal negatif. Sebagian orang pasti akan menganggap anak yang memiliki kekurangan di sekolah luar biasa akan mengelola kecerdasan mereka ke arah negatif.

c. Pengarahan Kegiatan

Namun di sekolah luar biasa Maarif ini seorang guru akan memberikan motivasi - motivasi juga, guna mendampingi anak dalam pengelolaan ke arah positif seperti yang diungkapkan oleh Ibu BM :

“Ada, disini anak - anak memiliki minat yang menjadikan mereka motivasi untuk melangkah ke depan. Motivasi tersebut diubah menjadi hal positif seperti kepintaran untuk memasak, menjahit. Dari kepintaran yang melekat pada siswa, sering sekali diikutkan lomba dan mendapatkan juara di berbagai tingakatan”.

Kegiatan tersebut searah dengan tujuan sekolah yang mengarahkan anak ke dalam hal positif , hal ini didukung oleh pernyataan ibu WT :

“Disini anak - anak mengarahkan kegiatan serta mengelola kecerdasan mereka ke arah positif seperti sama halnya dengan tujuan sekolah”

Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan interaksi di dalam kelas tersebut menghasilkan anak untuk

64

mengelola kegiatan - kegiatan menjadi hal positif. Senada dengan tujuan sekolah dimana kegiatan yang dilakukan oleh siswa haruslah menjadikan mereka insan yang bertumpu pada kegiatan yang baik dan lebih lebih kearah postif, karena kegiatan positif tersebut akan menuntun mereka ke arah yang maju.

Kegiatan positif yang dikembangkan oleh setiap anak disini tidaklah sama, ada anak dengan keterbatasan intelegensi golongan menengah keatas, sehingga mereka dapat menemukan bakat yang cocok sesuai dengan apa yang mereka mau. Namun, apabila ada anak dengan keterbatasan menengah kebawah untuk segi intelegensinya dikarenakan dia memiliki fisik ganda bagi seorang guru itulah yang menjadi tantangan untuk mereka merangkul dan mengarahkan lebih dekat lagi. Seperti pernyataan yang diucapkan ibu BM :

“Disini ada anak tuna rungu dengan fisik ganda. Di dalam hal ini anak tersebut juga mengalami susah dalam menerima pelajaran sehingga saya sebagai guru harus berinteraksi secara berulang - ulang untuk meyakinkan pelajaran yang diterima anak tersebut. Tidak jarang pula saya meminta bantuan anak sebangkunya untuk menjelaskan apa yang disampaikan dengan menggunakan bahasa isyarat mereka. Karena disini mereka lebih nyaman dan bebas untuk berkomunikasi dengan bahasa isyarat mereka sendiri”.

Di kesempatan yang lain untuk mengembangkan anak dengan keterbatasan intelegensi rendah ini guru pastinya sudah memantau setiap gerak gerik kegiatan anak, sehingga guru mampu mengatasi masalah masalah yang berkaitan dengan kecerdasan anak. Dilihat dari pengakuan bu UK:

65

“Tidak mungkin anak tersebut akan tersingkir, sehingga guru beruapaya untuk selalu membimbing dan merangkul setiap anak untuk diarahkan ke bidang positif”

Ibu WT:

“Kita disini tetap mengarahkan anak dengan berbagai kriteria yang ada, sehingga anak - anak pun merasa nyaman dengan adanya interaksi yang dilakukan oleh guru. Guru selalu memantau kegiatan dan kemampuan apa yang anak - anak sukai dan tidak disukai”

Demikian penuturan yang diberikan, untuk itu dapat disimpulkan dari penuturan di atas adalah anak dengan intelegensi rendah tidak akan tersingkir, melainkan akan diberikan suatu pendekatan agar anak tersebut tidak mengalami depresi di lingkungan kelas untuk menyeimbangkan dirinya dengan anak di kelas.

Di kelas sendiri dengan adanya proses pembelajaran di setiap waktunya seorang guru pasti mampu menganalisa mengenai karakteristik anak, dimana anak yang jenuh dengan adanya pembelajaran, anak dengan karakteristik semangatnya, dan lain sebagainya. Guru dapat menangani setiap masalah yang ada , salah satu contoh yang paling menonjol adalah dari pelajaran matematika. Untuk anak yang tergolong di SMA biasa saja terkadang matematika membuat anak mengalami kebosanan atau kejenuhan dengan berbagai hal yang berhubungan dengan angka. Tidak jauh beda anak SLB juga mengalami hal kejenuhan belajar. Seperti yang dikatakan ibu WT:

“Untuk masalah jenuh itu berbeda beda ya tingkatan kelas, di SMA mungkin ditemukan anak yang jenuh dalam belajar seperti dalam pelajaran matematika , namun sebaliknya di tingkatan SD

66

anak jarang bahkan tidak ada yang jenuh apalagi dalam bidang matematika karena anak bermain dengan uang kertas mainan” Penuturan di atas dilihat dari dua sisi yaitu sisi SMA dan SD. Untuk anak SMA muncul kejenuhan yang ada, sedangkan untuk anak SD belum ada kejenuhan yang menonojol karena guru lebih berusaha mengcover kegiatan matematika dengan cara bermain uang kertas mainan ataupun mengajak anak untuk bermain mengenal situasi di luar ruangan. Hal senada juga dituturkan oleh ibu UK:

“Pasti ada, tapi untuk mengetahui kriteria anak bosan itu diketahui oleh tiap guru yang biasanya membimbing di kelas. Sehingga kalau bosan guru sering mengajak anak keluar berinteraksi dengan lingkungan sekitar”

Jadi dapat ditarik kesimpulan dari pernyataan di atas dimana kejenuhan anak untuk belajar itu masih ada, apalagi dari segi pelajaran yang membutuhkan olah pikir seperti pelajaran matematika. Karena anak tuna rungu menggunakan penglihatan saja sehingga untuk menyerap pelajaran matematika menggunakan bahasa isyarat yang diselingi dengan bahasa oral. Di masing masing tingkatan memilki masalah sehingga guru dalam mengajar matematika memiliki inovasi tersendiri untuk membangkitkan motivasi dari setiap anak.

d. Penggunaan Bahasa Isyarat di Masyarakat

Interaksi sosial merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh satu individu yang melibatkan individu lain, kelompok, ataupun dalam lingkungan sekitar. Interasksi sosial dalam penelitian ini melibatkan seberapa penting dan pengaplikasian implementasi kebijakan bahasa

67

isyarat dalam mengembangkan kecerdasan intelegensi anak tuna rungu di lingkungan sekitar.

Sekolah luar biasa Maarif Muntilan mendididk anak tuna rungu pada khususnya, dalam penelitian ini pendidik melakukan secara perlahan dan bertahap. Pendidikan yang diberikan berkaitan dengan adanya kebijakan bahasa isyarat, penerapan bahasa isyarat ini akan dijabarkan seberapa pentingnya kebijakan tersebut di masyarakat. Dan kedepanya apakah bahasa isyarat dan anak tuna rungu ini mampu diterima keberadaannya di masyarakat. Seperti penjelasan Pak KSS :

“Di masyarakat belum begitu umum digunakan sehingga kebanyakan digunakan di lingkungan sekolah saja”

Karena di sekolah merupakan tempat yang membuat anak merasa tenang jika menggunakan bahasa isyarat, sehingga anak bebas menggunakan bahasa tersebut di waktu istirahat. Utamanya digunakan di dalam kelas saat terjadi pembelajaran, sehingga antara anak satu dengan yang lainya dikelas sangat menggunakan bahasa isyrat ini. Namun kembali lagi ketika keluar dari lingkup sekolah bahasa isyarat belum bisa diterima di masyarakat secara umum, seperti wawancara terhadap siswi A:

“Tidak saya gunakan di masyarakat, karena masyarakat tidak tahu apa yang saya bicarakan melalui bahasa isyarat”.

Didukung oleh pernyataan dari siswi B:

“Saya tidak menerapkan bahasa isyarat di masyrakat. Karena dismasyarakat hanya beberapa orang yang paham dengan pengertian saya”

68

Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan bahasa isyarat hanya mampu dipahami oleh beberapa kalangan saja belum merambah ke khalayak umum.

Kebijakan bahasa isyarat yang hanya dipahami oleh beberapa kalangan saja membuat anak - anak dengan keterbatasan pendengaran ini membuat komunitas yang disebut dengan MDF yang memberikan dukungan agar bakat setiap anak itu berkembang, seperti penjelasan dari siswi A:

“Iya mendukung, apalagi dengan adanya komunitas MDF yang berisikan anak tuna rungu. Disana saya dan teman - teman mampu berkomunikasi dengan bebas dan nyaman.

MDF (magelang deaf community) adalah suatu komunitas dimana tempat berkumpulnya anak anak tuna rungu untuk menyampaikan aspirasi ataupun sekedar bertukar pikiran. Komunitas ini mengutamakan bahasa isyarat untuk melakukan komunikasi satu sama lain, sehingga anak anak merasa bebas dan tidak canggung untuk saling bertukar pikiran.

Dari penjelasan di atas mampu disimpulkan bahwa untuk mengembangkan kecerdasan anak atau pun bakat mereka, dengan adanya kebijakan bahasa isyarat mereka terkadang keluar dari lingkungan sekolah, yaitu dengan adanya komunitas yang diisi oleh anak anak peyandang tuna rungu dengan sebutan magelang deaf

69

community . Komunitas ini memberikan banyak hal baru yang berkaitan dengan bakat, cerita, ataupun kegiatan kegiatan positif anak tuna rungu.

Setelah adanya MDF di lingkup luar sekolah yang berhubungan dengan pengembangan bahasa isyarat, dari segi teman juga memberikan motivasi untuk berjalannya bahasa isyarat ini seperti yang diungkapkan siswi B:

“Iya, di lingkungan masyarakat saya diberikan motivasi untuk mendorong bahasa isyarat saya”

Didukung juga oleh siswa A :

“Iya teman - teman saya saya mampu mendorong bahasa isyarat melalui perkumpulan”

Jadi dapat diambil kesimpulan apabila teman teman dalam lingkup sekitarnya juga memberikan peran penting untuk mendorong bahasa isyarat yang mereka miliki dan mulai berkembang di sekitar masyarakat.

Anak tuna rungu yang berada di lingkup masyarakat belum sepenuhnya berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat sekitar, ada rasa minder yang mereka alami. Tidak juga ketinggalan di lingkungan masyarakat sekolah anak dengan keterbatasan dari tunagrahita, tuna rungu, tunawicara pasti saling bertemu dan bermain bersama. Disini anak tuna rungu juga ada yang memiliki rasa minder untuk berada di lingkungan sekolah. Namun jumlahnya bisa dihitung , sehingga dengan adanya rasa minder tersebut guru jugalah yang harus

70

mendekati anak agar tidak larut dalam kesendiriannya. Seperti yang dikatakan ibu BM :

“Ada, karena mungkin ketuna runguan mereka berawal dari masa kecil sehingga untuk berkumpul di dalam masyarakat masih merasa menjadi bahan pembicaraan, padahal itu berawal dari pikiran yang tidak benar dari anak. Untuk menangani hal tersebut maka saya memberikan pendekatan secara intensif” Hal di atas juga diperkuat dengan pernyataan ibu WT:

“Bila dilihat dari segi tuna rungu tidak ada, namun ada beberapa yang cenderung menyendiri karena mereka tuna rungu double ada C nya”

Anak tuna rungu di SLB Maarif dengan kategori anak rendah diri dapat dihitung. Karena mungkin hanya ada anak 1 sampai dengan 2 dengan sifat mereka yang menutup diri dengan lingkungan sekitar. Biasanya anak tersebut karena memiliki double dengan adanya tambahan Cnya. Sehingga anak merasa malu di lingkungan sekolah. 2. Faktor pendukung Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam

Mengembangkan Kecerdasan Intelgensi Anak Tuna rungu

Suatu program yang telah dicetuskan tidak akan dapat berjalan atau berhasil secara maksimal jika didalamnya tidak ada indikator faktor pendukung. Begitu pula dalam pelaksanaan kebijakan bahasa isyarat dalam mengembangkan kecerdasan intelegensi anak. Pembelajaran yang terjadi di dalam kelas maupun diluar kelas mempengaruhi setiap kecerdasan anak. Dukungan dari segi internal maupun eksternal selalu diberikan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan pada umumnya.

71

Kebijakan bahasa isyarat muncul dari pada UU No 19 Tahun 2011. Disini pemerintah peduli dengan adanya anak disabilitas yang dikhususkan mengenai anak tuna rungu. Lebih lanjutnya di sekolah luar biasa Maarif Muntilan untuk bidang bahasa isyarat sendiri memiliki pendukung dari segi internal, seperti penjabaran dari Ibu BM:

“Dari segi internal anak - anak disabilitas tuna rungu ini lebih sering mengikutkan diri mereka ke dalam sebuah perkumpulan yang dinamai MDF (Magelang Deaf Community) yaitu perkumpulan yang diikuti oleh anak penyandang tuna rungu, dengan adanya komunitas ini anak merasa bebas untuk berkomunikasi dan saling mengembangkan kemampuan mereka” Dengan hal tersebut bisa dikatakan bahwa pendukung dari pelaksanaan kebijakan bahasa isyarat tersebut salah satunya yaitu didukung dengan suatu komuniats sendiri yang disana terdiri dari siswa yang aktif untuk menggunakan bahsa isyarat di antara teman teman sesama tuna rungu. Dengan bebas mereka saling bertukar pikiran, sehingga ketika kembalinya di dalam kelas, anak tidak canggung lagi untuk menggunakan bahasa isyarat di kelas. Komunitas tersebut dinamai magelang deaf community.

Pendukung yang kedua yaitu bahasa isyarat yang digunakan dari kecil atau bisa disebut dengan bahasa ibu. Dengan adanya pembekalan dari kecil perlahan menuju dewasa di sekolah pastinya seorang guru akan mendampingi dan mengolah bahasa isyarat dari anak untuk dapat digunakan minimal dalam lingkup sekolahan. Sebagaimana pernyataan Ibu WT:

72

“Pendukungnya dengan dibekalinya bahasa ibu atau bahasa isyarat yang perlahan lahan anak dan guru akan terbiasa memakainya.” Untuk mendukung pernyataan di atas, seorang anak secara perlahan harus aktif dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan untuk mengembangkan bahasa isyarat mereka agar terlihat luwes dalam hal penerimaan maupun pemberian pelajaran. Seperti yang diungkapkan oleh ibu UK:

“Pendukungnya ya dilihat dari keaktifan anak itu sendiri dalam belajar sehingga otomatis anak dalam belajar tersebut mampu mengelola bahasa isyarat seperti layaknya sibi”

Pendukung di poin kedua yaitu lebih mengedepankan mengenai keaktifan siswa untuk mengembangkan kebijakan bahasa isyarat tersebut. Dengan adanya bahasa ibu sebelumnya serta ditopang dengan keaktifan anak yang akan mendorong implementasi kebijakan bahasa isyarat ini untuk terus berkembang menuju kearah kecerdasan itelegensi anak.

Pendukung yang ketiga adalah dengan adanya suatu evaluasi untuk melihat seberapa jauh dan berkembangnya kecerdasan anak melalui kebijakan bahasa isyarat ini . dengan adanya evaluasi yang dilakukan maka diharapkan mampu memberikan solusi dimana nanti muncul masalah -