• Tidak ada hasil yang ditemukan

Monitoring Khusus Owa Jawa

IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

6.1 Implikasi bagi perbaikan rumusan standar pengelolaan

Standar pengelolaan taman nasional yang dirumuskan Ditjen PHKA dan IPB pada praktiknya masih memerlukan penyempurnaan karena masih dijumpai beberapa indikator yang sulit untuk diukur dan dinilai. Beberapa kelemahan standar pengelolaan yang dapat diidentifikasi berdasarkan hasil pengujian di lapangan adalah sebagai berikut:

1. Masih ada inkonsistensi istilah antara indikator, verifier dan pengertiannya pada indikator terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual (merujuk pada UU No. 41/1999, PP No. 34/2002, PP No. 6/2007 dan Permenhut No. 56/2006). Kesalahan dalam pemilihan istilah berpotensi menyebabkan kesalahan dalam menilai indikator (Leverington et al. 2008). 2. Terdapat bias dalam penilaian indikator berkembangnya pemanfaatan

sumberdaya alam berbasis kearifan lokal. Indikator ini pada kenyataan di lapangan sulit untuk dinilai secara obyektif karena: pertama, ada sistem nilai yang bertolak belakang antara pengelola dan masyarakat adat dalam pengelolaan SDA. Nilai didefinisikan oleh Koentjaraningrat (1992) sebagai konsepsi mengenai apa yang bernilai bagi kelompok masyarakat tertentu. Bagi

masyarakat Kasepuhan, hutan dipandang milik bersama (common goods) dimana semua anggota masyarakat mempunyai hak untuk mengakses sumberdaya alam seperti juga mempunyai kewajiban yang sama untuk melestarikannya sesuai aturan adat. Di sisi lain, pemerintah memandang status hutan berdasarkan kepemilikan (property right). Kedua, belum ada kaidah yang baku untuk melakukan penilaian kinerja taman nasional dalam mengakomodasi berkembangnya kearifan lokal, selain merujuk pada peraturan perundangan formal.

3. Indikator terlindunginya ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal sulit untuk dinilai karena pada kenyataannya pemanfaatan kelembagaan adat tidak selalu berkorelasi dengan kelestarian ekosistem alam. Meskipun kelembagaan adat berperan besar dalam pelestarian ekosistem alam, namun menurut Owen et al. (2002) harus diakui juga bahwa pada kenyataannya tidak semua masyarakat lokal/adat handal dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya. Kasus Kasepuhan Ciptagelar menunjukkan bahwa sebagian aturan adat justru tidak bersesuaian dengan aturan umum yang berlaku dan turut berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem alam. Contohnya aturan adat memperbolehkan membuka hutan titipan (leuweung titipan) yang notabene berada di dalam kawasan TNGHS untuk pemukiman dan lahan garapan jika sesepuh girang mendapatkan wangsit/ilapat dari leluhur (karuhun) untuk melakukan perpindahan Kampung Gede. Asep (2000) menduga bahwa perpindahan ini didasari atas tujuan untuk mengurangi tekanan populasi, menciptakan pola persebaran penduduk yang merata dan mendukung terpeliharanya keutuhan wilayah serta meningkatkan integritas dan loyalitas karena adanya pemerataan akses masyarakat terhadap pemimpinnya.

4. Belum ada definisi operasional yang jelas dan baku terhadap beberapa istilah teknis sehingga objek dapat diinterpretasi secara berbeda, misalnya obyek ekosistem unik dan obyek spesies penting. Menurut Leverington et al. (2008) salah satu syarat dari indikator yang baik adalah dipersepsikan sama sehingga tidak menyebabkan kesalahan interpretasi (Precise).

91

Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, direkomendasikan beberapa perbaikan sebagai berikut:

1. Penyesuaian indikator terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual menjadi ―Terkendalinya konflik pemanfaatan ruang di dalam kawasan untuk kegiatan ritual budaya‖. Istilah penggunaan kawasan hutan menurut pasal 38 ayat 1 dan 2 UU No. 41 tahun 1999 dan pasal 72 ayat 2 UU No. 34 tahun 2002 hanya dapat dilakukan di hutan lindung dan hutan produksi (tidak termasuk TN). Pemanfaatan ruang adalah istilah yang lebih tepat digunakan karena konsisten dengan indikator pertama terkait zonasi. 2. Pendeskripsian norma dengan skala yang lebih terukur untuk indikator yang

memiliki parameter kuantitatif. Pendeskripsian secara kuantitatif akan memudahkan penilaian terhadap indikator. Pada penelitian ini salah satu indikator yang dapat dikuantifikasi adalah indikator tersedianya alokasi anggaran untuk mengatasi permasalahan sosial budaya. Pada indikator ini dapat digunakan sistem rating 0%-100%, yaitu ketersediaan alokasi anggaran 0% untuk skala intensitas jelek sekali; 25% jelek; 50% sedang; 75% baik dan 100% baik sekali. Sistem rating ini salah satunya diterapkan pada metode CAPAS Scorecard Evaluation (Corrales, 2004).

3. Penyesuaian verifier pada indikator sebagai berikut:

a. Penambahan verifier ada/tidak proses konsultasi dan pelibatan masyarakat dalam penetapan taman nasional pada indikator terkendalinya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual. Verifier ini penting mengingat akar konflik antara masyarakat dan taman nasional adalah proses penetapan taman nasional yang top down dan hampir tidak pernah dikomunikasikan dengan masyarakat sehingga legitimasi taman nasional di secara de facto sangat lemah. Contohnya kebijakan perluasan TNGHS tahun 2003 melalui surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003. Menguatnya pengakuan internasional atas keberadaan masyarakat lokal/adat hendaknya menjadi pertimbangan penting agar kebijakan penetapan taman nasional tidak kontraproduktif dengan kecenderungan global. Salah satu hak masyarakat adat yang terus digaungkan oleh Forest People Programmes (2006) adalah tentang free,

prior, informad, Consent (FPIC), yaitu hak masyarakat untuk mendapatkan informasi (Informed) sebelum (Prior) sebuah program atau proyek investasi dilaksanakan dalam wilayah mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan (Free) menyatakan setuju (consent) atau menolak. Dengan kata lain hak masyarakat (adat) untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa yang mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam tanah adat mereka.

b. Menambahkan verifier ―ada/tidak dokumentasi pemanfaatan tradisional oleh masyarakat dalam pemanfaatan SDA yang arif‖ pada indikator berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal. c. Menambahkan verifier ada/tidak dukungan pendanaan dari para pihak

untuk menangani permasalahan sosial budaya pada indikator tersedianya alokasi dana untuk mengatasi permasalahan sosial budaya.

d. Meniadakan verifier alokasi dana untuk perlindungan dan pemeliharaan situs/benda warisan budaya pada indikator tersedianya alokasi dana untuk mengatasi permasalahan sosial budaya. Pada kenyataannya struktur anggaran Kementrian Kehutanan (DIPA 29 dan DIPA 69) tidak mengalokasikan pos anggaran terkait dengan hal tersebut dan selama ini masyarakat secara mandiri telah melakukan perlindungan dan pemeliharaan terhadap situs/benda warisan budaya. Selain itu, beberapa situs/benda warisan budaya di dalam dan sekitar TNGHS telah dikelola oleh pemerintah kabupaten karena ditetapkan sebagai cagar budaya.

Dokumen terkait