• Tidak ada hasil yang ditemukan

Monitoring Khusus Owa Jawa

Verifier 1: Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam

1. Pemanfaatan lahan berdasarkan klasifikasi tata guna lahan

Kasepuhan mengklasifikasikan tata guna lahan hutan menjadi 3, yaitu: (1) leuweung tutupan (hutan alam, hutan tua, hutan primer); (2) leuweung titipan (hutan cadangan, hutan sekunder); dan (3) leuweung sampalan (lahan garapan, kawasan budidaya). Ichsan (2009), menggambarkan cara pandang masyarakat dalam mempersepsikan hutan tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor pertimbangan, yaitu: faktor biofisik lingkungan, faktor pengaruh ketua adat dalam mempersepsi dan mengkategori peruntukan tata guna lahan, dan faktor dorongan adaptasi terhadap kebutuhan hidup dan keselarasan lingkungan.

Pemanfaatan SDA di hutan tutupan

Leuweung tutupan dikalangan masyarakat dikenal juga dengan istilah leuweung kolot atau leuweung geledegan yang diyakini sangat angker dan akan berdampak negatif terhadap pengganggunya. Secara etimologi leuweung berarti hutan dan tutupan mengandung 2 makna, yaitu: (1) bermakna tertutup tidak boleh dijamah, didatangi apalagi dieksploitasi; dan (2) bermakna penyangga, pelindung dan pendukung. Leuweung tutupan dipersepsi oleh masyarakat adat sebagai hutan primer yang lebat, ditumbuhi berbagai jenis tanaman, baik pohon besar atau pun kecil, pepohonannya rimbun, kerapatan pohon sangat tinggi dan terdapat berbagai jenis satwa liar, serta merupakan sumber mata air (Sirah Cai) yang tidak boleh dijamah, didatangi dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Leuweung kolot dan leuweung titipan merupakan kawasan yang telah diamanatkan oleh para sesepuh untuk tidak diganggu. Untuk masuk ke kawasan tersebut anggota msyarakat adat Kasepuhan harus meminta izin kepada tetua adat/sesepuh terlebih dahulu. Bila diketahui maksud dan tujuannya baik, restu akan diberikan oleh sesepuh. Restu itu sangat penting bagi mereka karena mereka percaya dengan restu dari sesepuh keselamatan lahir batin dapat terjamin selama melakukan aktifitas di hutan. Sebelum mereka ke hutan biasanya sesepuh akan memberikan panglay dan membakar kemenyan.

Di Leuweung Kolot terdapat beberapa mata air yang mengalir dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kepentingan sehari-harinya. Keberadaan mata air ini juga yang menjadikan kawasan ini sangat diminimalisir

pemanfaatannya, bahkan cenderung tidak bisa dimanfaatkan. Pemanfaatan hanya berupa pengambilan hasil hutan bukan kayu secara terbatas seperti buah, daun dan akar. Hutan tutupan sama sekali tidak boleh dibuka untuk kepentingan lahan garapan dan lembur/ pemukiman.

Pemanfaatan SDA di hutan titipan

Leuweung titipa/ leuweung cadangan adalah klasifikasi ruang berupa hutan alam, hutan sekunder, talun, atau kebun yang digunakan sangat terbatas dengan ijin dari sesepuh girang atau ketua adat. Adat kasepuhan mengatur pemanfaatan hutan ini dan melembagakan kepada masyarakat bahwa hutan titipan harus dipertahankan kelestariannya. Penggunaan hutan ini diperkenankan jika sesepuh girang telah menerima wangsit atau ilapat dari karuhun (nenek moyang). Penggunaan leuweung titipan apabila lahan di leuweung sampalan sudah tidak mencukupi kehidupannya.

Leuweung titipan ini mempunyai batas-batas yang jelas, dengan begitu daerah leuweung titipan tidak akan bertambah luas. Incu putu tidak dapat menentukan tempat dan luasan leuweung cadangan dengan semena-mena. Setiap ada incu-putu yang membutuhkan lahan akan senantiasa berhubungan dengan perangkat adat. Perangkat adat memutuskan segala sesuatunya dengan musyawarah. Dalam penentuan luasan bagi anggota kelompoknya mereka mempunyai pedoman ”saeutik kudu mahi, loba kudu nyesa” (sedikit harus cukup, banyak harus bersisa). Hal ini mengandung pengertian bahwa tidak ada patokan tertentu dalam penentuan luasan, namun prinsip yang digunakan berdasarkan kebutuhan. Di leuweung titipan ini kayu bisa dimanfaatkan dengan batasan-batasan tertentu. Diantaranya adalah bahwa pemanfaatan kayu hanya untuk kepentingan umum saja, tidak untuk kepentingan pribadi. Selain itu juga adanya pembatasan dalam kuantitas pemanfaatan kayu. Bilamana ada mata air di sekitar Leuweung cadangan maka pohon-pohon di sekitar kawasan mata air tersebut terlarang untuk dimanfaatkan. Begitu juga lahan di sekitar kawasan tersebut tidak bisa dimanfaatkan untuk garapan maupun pemukiman.

63

Pemanfaatan SDA di hutan garapan

1. Pertanian padi sawah

Pola pertanian sawah merupakan adaptasi dari perladangan berpindah, mengingat ada pembatasan bahkan larangan pembukaan hutan untuk perladangan. Tanah bekas ladang yang biasanya dibiarkan dan ditinggalkan agar terjadi suksesi secara alamiah, sekarang dicetak menjadi sawah tadah hujan atau pun sawah pengairan apabila didekatnya ada aliran air yang dapat dimanfaatkan. Adapun patokan untuk menggarap sawah dan upacara adatnya masih didasarkan pada pola perhitungan waktu bagi pertanian ladang (Nugraheni dan Winata 2002).

Masyarakat kasepuhan sangat menggantungkan hidupnya pada hasil bercocok tanam padi. Ketergantungan ini tidak hanya dalam konteks dalam pemenuhan pangan, lebih dari itu bercocok tanam padi merupakan gambaran dari integrasi keyakinan, pandangan dan sikap serta pola hidup masyarakat kasepuhan. Padi diyakini masyarakat Kasepuhan memiliki nilai sakral karena merupakan personifikasi dari Dewi Sri/Dewi Padi atau Nyai Pohaci, sehingga cara pemeliharaan dan penanganannya harus hati-hati sejak menanam, panen dan menjadi nasi lengkap dengan berbagai upacara adat yang menyertainya yang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT dan penghormatan kepada Nyai Pohaci. Padi bagi masyarakat adalah terlarang untuk dijual, hanya untuk kebutuhan subsisten ataupun dipinjamkan bagi yang membutuhkan. Menanam padi merupakan kegiatan yang sangat penting dan suci sifatnya

Dalam melakukan proses bercocok tanam, Kasepuhan memiliki patokan waktu musim tanam yang dihitung berdasarkan pedoman astronomi, yaitu berdasarkan rasi bintang atau planet tertentu dan peredaran bulan mengelilingi bumi seperti terlihat pada Tabel 19. Perhitungan ini berbeda dengan kalender masehi yang lazim digunakan sehari-hari. Di Kasepuhan terdapat pembantu Sesepuh Girang yang menjabat sebagai dukun tani yang tugasnya menghitung waktu yang sesuai tahapan dalam bertani.

Kearifan dalam pengelolaan lahan sawah terlihat dari pola penanaman padi yang hanya dilakukan satu kali dalam setahun. Menurut warga, selain untuk memutus siklus hama, pola tanam ini dimaksudkan agar tidak ada eksploitasi berlebihan terhadap tanah sebagai sumber daya alam utama. Selain aturan pola

tanam, warga Kasepuhan juga tidak diperkenankan untuk menggarap sawah pada lahan yang diketahui terdapat sumber mata air.

Tabel 19 Kalender pertanian Kasepuhan

Simbol Gejala Astronomi Kegiatan pertanian Kalender Islam

Kalender Masehi Tanggal Kerti

kana beusi tanggal kidang turun kujang

Bintang Kerti atau Bintang Tujuh mulai muncul di ufuk barat

Mempersiapkan alat untuk bertani, misalnya mempertajam kujang (seperti sabit) Bulan Haji/ Dzul Hijjah Maret Kidang ngarangsang ti wetan, Kerti ngarangsang ti kulon atau kidang kerti pahaurep-haeurep

Bintang Kidang merembang dari arah timur dan bintang Kerti dari arah barat, sehingga posisi kedua bintang berhadapan

Tanda musim kemarau panjang, tanda saatnya membakar ranting dan daun (Ngahuru)

Bulan Muharram April Kerti mudun, Kidang matang mencreng di tengah langit Kedua bintang menjadi sangat terang

Saat mulai menanam padi (ngaseuk) tiba

Bulan Muharram/ Syafar Mei Kidang medang turun Kungkang

Kalau kedua bintang mulai surut, hilang dari pandangan kita

Saat datang hama walang sangit (Kungkang) Bulan Rajab/ Syaban Oktober/ November Kidang Kerti ka kulon Kedua bintang bergerak kearah barat

Tanda datangnya musim hujan Bulan Hapit/ Rayagung Februari/ Maret

Sumber: Nugraheni dan winata (2002)

2. Pengelolaan kebun dan talun

Kebun adalah perkembangan lebih lanjut dari tanah bekas ladang yang dekat dengan pemukiman. Di lahan kebun, ditanami dengan tanaman untuk kepentingan dapur (sayuran), tanaman obat, dan tanaman keras yang buah atau daunnya dapat dijadikan makanan pohon pisang dan rambutan. Pemeliharaan kebun biasanya dilakukan para wanita dewasa dan anak-anak. Sementara talun adalah kebun yang terletak agak jauh dari perkampungan, biasanya di bukit-bukit. Jenis tanamannya biasanya tanaman musiman dan tanaman tahunan seperti duren, petai, cengkeh sehingga membentuk hutan buatan. Di talun ini biasanya tumbuh juga belukar dan tumbuhan liar lainnya sehingga membentuk system agroforestry tradisional. Kodir (2009) menemukan setidaknya 99 spesies tumbuhan yang terdapat di berbagai talun masyarakat Kasepuhan Ciptagelar diantaranya kelapa, aren, jengkol, jawerkotok dan kapol, durian, dadap, papaya, jeruk, cengkeh, petai,

65

alpukat, melinjo dan nangka. Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan, tanaman keras di kebun dan talun dimanfaatkan juga untuk kayu bakar dan konstruksi rumah. Aturan umum yang ditetapkan Kasepuhan dalam pengelolaan lahan kebun dan talun ini adalah larangan untuk menanam tanaman yang tidak bermanfaat dan dilarang oleh agama maupun pemerintah.

Dokumen terkait