• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5 Implikasi Kebijakan

Perkebunan kelapa sawit berkembang sangat pesat di Indonesia, dimana pada tahun 2005 luas perkebunan kelapa sawit diperkirakan mencapai 5,3 juta ha. Areal perkebunan meningkat dari 290 ribu ha (tahun 1980) menjadi 6.075 ribu ha tahun 2006 atau tumbuh 12,4% per tahun. Peningkatan luas lahan tersebut diikuti oleh peningkatan produksi dari 721 ribu ton (tahun 1980) menjadi 16 ribu ton CPO (tahun 2006). Secara kewilayahan, pengembangan perkebunan kelapa sawit awalnya hanya 3 propinsi lalu berkembang di 22 propinsi. Dari kondisi tersebut sektor perkebunan menyerap tenaga kerja sekitar 3 juta orang, belum termasuk subsistem pendukung lainnya (Deptan, 2007).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperlukan peningkatan kapasitas PKS. Hal sesuai dengan tingginya permintaan terhadap komoditas minyak sawit. Hingga tahun 2010 diperkirakan kebutuhan minyak sawit mencapai lebih dari 3 juta ton per tahun (Gapki, 1998). Kebutuhan terhadap minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya di pasar dunia juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati lain. Jurnal minyak nabati dunia Oil World meramalkan pada tahun 2015 minyak kelapa sawit akan mencapai 23 persen, sedangkan konsumsi minyak kedelai akan menyusut menjadi 21 persen (Bangun, 1998).

Permintaan terhadap minyak sawit akan mendorong peningkatan produksi minyak sawit yang pada akhirnya membutuhkan peningkatan kapasitas PKS.

Kondisi lahan perkebunan tersebut sangat beragam, mulai dari yang subur dan sesuai untuk perkebunan kelapa sawit hingga lahan-lahan marginal yang kurang subur. Tanaman kelapa sawit banyak menempati tanah-tanah yang bereaksi masam sampai agak masam. Tanah-tanah tersebut memiliki tingkat kesuburan kimia yang rendah, dengan kesuburan fisik yang beragam mulai yang rendah hingga cukup baik.

Sebagian besar perkebunan kelapa sawit merupakan lahan kelas S3 (agak sesuai) yang umumnya merupakan lahan marjinal khususnya dalam hal kesuburan tanahnya sehingga keberhasilan pengusahaan perkebunannya sangat tergantung pada aplikasi pemupukan. Kebun kelapa sawit yang ada pada tahun 1999 sebagian besar berada di kelas S3 (agak sesuai) sekitar 38%, cukup besar di kelas S2 (sesuai) sekitar 28%, dan sangat sedikit di kelas S1 (sangat sesuai) sekitar 5%, serta di kelas NS (tidak sesuai). Kebun di lahan kelas S1 dan S2 hanya di jumpai di Sumatera khususnya di Sumatera Utara, sedangkan di luar Sumatera Utara umumnya berada di kelas S3 dan S2.

Upaya pemupukan secara berkesinambungan menjadi satu keharusan untuk mendukung produktivitas tanaman yang cukup tinggi mengingat kelapa sawit tergolong tanaman yang konsumtif terhdap unsur hara. Tercapainya produksi TBS yang optimal dan kualitas minyak yang baik merupakan tujuan dari pemupukan pada tanaman kelapa sawit. Kekurangan salah satu unsur hara akan menyebabkan tanaman menunjukkan gejala defisiensi dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan vegetatif serta penurunan produksi tanaman. Beberapa penelitian telah menunjukkan besarnya respon tanaman terhadap pemupukan, yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Sutarta, et al., 2004).

Penanaman kelapa sawit pada berbagai biofisik lingkungan yang berbeda menuntut adanya sistem manajemen pemupukan yang spesifik lokasi (site spesific) dalam rangka menjamin tercapainya produksi yang tinggi dan berkelanjutan. Beberapa perkebunan kelapa sawit terletak pada lahan dengan tingkat kesuburan yang rendah (marginal) sehingga diperlukan perhatian khusus jumlah dan jenis nutrisi yang harus diberikan. Selain itu, rendahnya kesuburan tanah ditambah dengan curah hujan yang tinggi menyebabkan hilangnya nutrisi tanah karena pencucian. Aplikasi dan penentuan dosis pupuk yang tepat hanya

104

dapat dicapai dengan melakukan percobaan pemupukan meskipun hal ini memerlukan waktu yang lama (7-8 tahun) untuk mendapat hasil yang memuaskan (Turner dan Gillbanks, 2003).

Pemupukan merupakan salah satu komponen biaya yang besar dalam perkebunan kelapa sawit, yaitu sekitar 25% dari total biaya produksi atau 50-70% dari biaya perawatan tanaman. Penelitian efisiensi pemupukan sangat penting dalam rangka menjamin tercapainya kelangsungan perudahaan secara berkelanjutan. Disisi lain penelitian pemupukan sangat membantu mencegah terjadinya aplikasi pupuk yang berlebihan yang akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Respon tanaman terhadap pemupukan berbeda bergantung kondisi agroekosistem dimana tanaman tersebut berada. Penelitian respon tanaman terhadap pemupukan sudah banyak dilakukan di Indonesia. Pujianto et al. (2006) menguji respon tanama kelapa sawit terhadap pemupukan MOP pada tiga agroekosistem berbeda.

Pemanfaatan produk sampingan proses pengolahan pabrik kelapa sawit yaitu LCPKS dan TKS sebagai salah satu sumber nutrisi bagi tanaman sekaligus sebagai bahan substitusi pupuk in-organik sangat membantu penghematan biaya. Untuk menjamin pengunaan bahan tersebut tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan maka perlu dilakukan serangkaian penelitian yang sistematis dan komprehensif. Pengunaan LCPKS sebagai bahan sustitusi nutrisi serta pengaruhnya terhadap perubahan sifat kimia tanah telah dilakukan sejak lama dan memberikan pengaruh positif bagi tanaman dan lingkungan (Liwang et al., 2006).

Biaya pemupukan yang tinggi tersebut menuntut pihak praktisi perkebunan untuk secara tepat menentukan jenis dan kualitas pupuk yang akan digunakan dan mengelolanya sejak dari pengadaan hingga aplikasinya di lapangan. Ketepatan penyediaan semua jenis pupuk di kebun merupakan masalah yang selalu dihadapi pekebun untuk mencapai keseimbangan har sesuai yang dianjurkan rekomendator pemupukan. Namun demikian, adanya berbagai jenis pupuk di pasar termasuk pupuk majemuk memberi peluang pada pekebun untuk memilih pupuk yang tepat bagi tanaman, dan mudah menanganinya. Selain itu bahan organik pada perkebunan kelapa sawit yang melimpah merupakan sumber hara yang perlu dimanfaatkan untuk tanama kelapa sawit maupun tanaman lain.

Kebutuhan pupuk sebagai salah satu input dari sistem produksi kelapa sawit cukup besar seiring dengan peningkatan luas areal pekebunan kelapa sawit. Hal ini juga berkaitan dengan penggunaan bahan tanaman dengan potensi produksi yang tinggi, serta penerapan kultur teknis lainnya secara lebih intensif sehingga mampu mengurangi faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Kelapa sawit memerlukan pemupukan baik pada tahap pembibitan, tanaman belum menghasilkan (TBM), maupun tanaman menghasilkan (TM). Tanaman kelapa sawit memerlukan pupuk dalam jumlah yang tinggi, mengingat bahwa 1 ton TBS yang dihasilkan setara dengan 6,3 kg Urea, 2,1 kg TSP, 7,3 kg MOP, dan 4,9 kg Kiserit. Dengan asumsi tanaman kelapa sawit dipupuk secara penuh, Poeloengan et al (2001) memperkirakan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2002 memerlukan 1,22 juta ton Urea, 0,82 juta ton RP, 0,94 juta ton MOP, dan 0,83 juta ton Dolomit.

Pencabutan subsidi pupuk telah menyebabkan naiknya harga pupuk sehingga kemampuan pekebun untuk membeli pupuk menurun. Sejak tahun 1998 realisasi pemupukan yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit masih belum sepenuhnya sesuai dengan sasaran yaitu tepat jenis, dosis, waktu, dan cara. Jenis pupuk yang dipakai dibeberapa kebun masih belum sesuai dengan spesifikasi yang iinginkan. Demikian waktu aplikasi pemupukan sering tidak sesuai dengan anjuran akibat sulitnya memperoleh pupuk, selain ketiadaan dana untuk pengadaan pupuk. Realisasi pemupukan pada beberapa perkebunan bervariasi dari 0% (tidak dipupuk) hingga 100% (dipupuk sesuai anjuran). Pemupukan yang tidak tepat waktu menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan hara, menyulitkan pengaturan tenaga kerja di lapangan, dan turunnya efektivitas dan efisiensi pemupukan khususnya jika pemupukan dilakukan pada bulan-bulan kering atau bulan yang terlalu basah.

Ketepatan pemupukan harus memperoleh perhatian pekebun, mengingat besarnya pengaruh pemupukan terhadap produktivitas tanaman. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemupukan dapat meningkatkan produksi antara 6,11% (Foot et al., 1987), 0,35% (Gurmit, 1989), 5,92% (Dolmat et al.,1989). Beragamnya pengaruh pemupukan terhadap produktivitas tanaman tersebut oleh beragamnya jenis tanah, umur tanaman, kondisi iklim dan tingkat pengelolaan kultur teknis yang diterapkan oleh pekebun.

Penggunaan pupuk majemuk pada tanaman kelapa sawit menghasilkan belum banyak dilakukan pekebun. Selain biaya per unit hara lebih mahal,

106

manajemen aplikasinya juga lebih sulit. Tanaman dalam satu KCD (kesatuan contoh daun) mungkin memerlukan hara dalam jumlah dan komposisi yang berbeda dengan tanaman pada KCD lainnya, sehingga akan menyulitkan aplikasi pupuk majemuk yang memiliki komposisi dan kandungan hara yang telah tertentu. Namun demikian, saat ini terdapat beberapa produsen pupuk yang mampu menghasilkan pupuk majemuk dengan komposisi sesuai dengan anjuran rekomendtor pemupukan, sehingga tidak perlu menambah pupuk tunggal lainnya.

Dalam hal ini keberadaan pupuk majemuk merupakan salah satu alternatif yang perlu dipertimbangkan pekebun. Pupuk majemuk memiliki keunggulan dibandingkan dengan pupuk tunggal, yaitu lebih praktis dalam pemasaran, transportasi, penyimpanan, dan aplikasinya di lapangan karena satu jenis pupuk majemuk mengandung keseluruhan atau sebagian besar hara yang dibutuhkan tanaman. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah dosis aplikasi pupuk majemuk harus selalu memperhatikan jumlah hara yang diperlukan tanaman.

Bahan organik yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit yang selama ini masih sering dianggap sebagai limbah merupakan sumber hara yang potensial bagi tanaman kelapa sawit, selain berfungsi sebagai bahan pembenah tanah. Bahan organik dalam tanah berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik tanah seperti struktur tanah, kapasitas memegang air (water holding capacity) , dan sifat kimia tanah seperti KTK (Kapasitas Tukar Kation). Aplikasi kompos tandan kosong kelapa sawit pada percobaan di pot dapat meningkatkan KTK media tanah dari 20,6 mejadi 39,7 me/100 g tanah (Darmosarkoro, et al., 2001). Bahan organik juga mengandung unsur hara, sehingga aplikasi bahan organik juga berfungsi memperkaya hara tanah termasuk unsur hara makro. Selain itu bahan organik juga berfungsi sebagai bahan pembenah tanah.

Aplikasi bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti struktur dan porositas tanah. PKS akan menghasilkan minyak sawit mentah (MSM) dan limbah baik padat maupun cair. Limbah PKS, baik padat maupun cair memiliki potensi dan pemanfaatan sebagai pupuk. Setiap ton TBS yang diolah di pabrik akan menghasilkan 220 kg TKS, 670 kg limbah cair, 120 kg serat mesocarp , 70 kg cangkang, dan 30 kg palm kernel cake (Singh, et al., 1990). TKS merupakan bahan organik yang mengandung 42,8 % C, 2,90% K2O, 0,80% N, 0,22% P2O5, 0,30% MgO dan unsusr-unsur mikro antara lain 10 ppm B, 23 ppm Cu, dan 51

ppm Zn. Setiap ton TKS mengandung unsur hara yang setara dengan 3 kg Urea, 0,6 kg RP, 12 kg MOP dan 2 kg kiserit (Long, et al., 1987).

Khusus untuk limbah cair, PKS memiliki potensi menghasilkan limbah cair per ton TBS yang paling besar dibandingkan dengan limbah lainnya (sekitar 50%). Lubis dan Tobing (1989) menyatakan bahwa setiap proses produksi 1 ton CPO dihasilkan limbah cair sebanyak 5 ton dengan BOD 20.000-60.000 mg/l. LCPKS akan menjadi bahan pencemar bila dibuang ke sungai. Keadaan tersebut akan membahayakan kehidupan manusia dan sejumlah biota di sungai. Ditinjau dari segi kandungan haranya, setiap 1 ton limbah PKS mengandung hara setara dengan 1,56 kg Urea, 0,25 kg TSP, 2,50 kg MOP, dan 1,00 kg kieserite (Lubis dan Tobing, 1989). Limbah cair PKS disamping sebagai sumber hara makro dan mikro yang penting bagi tanaman juga merupakan sumber bahan organik yang dapat berperan pada perbaikan sifat kimia dan sifat fisik tanah antara lain peningkatan kapasitas tukar kation (KTK) dan porositas tanah (Huan, 1987)

Terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari aplikasi TKS. Secara ekonomi, merupakan pendapatan tambahan bagi pabrik kelapa sawit melalui produksi produk yang memiliki nilai ekonomi (bahan insulasi) atau secara praktis melalui penjualan TKS sebagai bahan baku. Hal ini juga dapat mengurangi biaya pembuangan TKS, sebagai limbah pabrik. Secara ekologi, pemanfaatan TKS secara komersial akan lebih efektif, sehubungan dengan rendahnya polusi udara dan lingkungan. Hal ini juga akan mengurangi ketergantungan industri kehutanan terhadap kayu yang berasal dari hutan, sehingga pemanfaatan limbah padat ini akan memberikan solusi yang lebih baik bagi stabilitas lingkungan dan keseimbangan ekologi. Secara sosial, melalui pembangunan industri baru (industri bahan insulasi), tentunya akan menyerap tenaga kerja dan meningkatkan perkembangan wilayah termasuk infrastruktur, pendidikan, budaya, dan standar hidup di Indonesia.

Aplikasi pupuk majemuk merupakan salah satu alternatif dalam menjamin keseimbangan hara dalam aplikasi pemupukan. Aplikasi pupuk majemuk hendaknya tetap mengacu pada kebutuhan hara tanaman. Sementara pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit menjadi langkah penting dalam menyikapi semakin meningkatnya harga pupuk. Aplikasi pupuk organik dari limbah kelapa sawit telah banyak diterapkan pekebun guna meningkatkan efektifitas pemupukan, sekaligus sebagai sumber hara bagi tanaman. Selain

108

dapat digunakan pada perkebunan kelapa sawit, pupuk organik dari limbah kelapa sawit juga dapat digunakan pada tanaman pertanian lainnya.

Penelitian untuk menghasilkan green products dari bahan kelapa sawit perlu segera untuk dikembangkan, terutama ditujukan sebagai kompetitor dari produk kimiawi yang ada saat ini. Green products mempunyai nilai kompetisi dan penetrasi pasar yang sangat tinggi dibandingkan dengan produk yang dihasilkan bukan dari tanaman. Beberapa produk yang dapat dihasilkan dari kelapa sawit adalah Xylose dari tandan buah kosong, aceton, butanol, dan ethanol dari LCPKS, asam sitrat dari LCPKS, asam organik (asam asetat, asam propionat) dari LCPKS. Produk-produk ini dapat dikategorikan sebagai green-chemicals. Penelitian tentang biopolimer untuk bahan adhesiv dan coating berpeluang besar untuk tanaman kelapa sawit, dimana produk sampingan proses pengolahan kelapa sawit banyak mengandung bahan tersebut. Tanaman di daerah tropis mempunyai kelebihan dalam produksi seloluse yang lebih tinggi 2-3 kali dibanding dengan iklim lain. Secara umum Tandan Buah Kosong (TBK) kelapa sawit mengandung 35%-40% selolusa, 15%-21% lignin, dan 24%-27% hemiselolusa. Produk biopolimer-adhesive dari kelapa sawit dapat untuk menggantikan resin sintesis yang diproduksi dari produk petrokimia.

Pemanfaatan produk kelapa sawit sebagai sumber energi yang sudah digunakan secara luas seperti biodisesel. Penggunaan green energi membuka peluang penelitian yang cukup besar. Sumber energi yang dapat digunakan sebagai sumber energi dalam proses pengolah produk kelapa sawit untuk menggunakan bahan bakar fosil (Liwang, 2003). Penggunaan biomassa sebagai sumber energi yang terbarukan belum banyak dilakukan. Oleh karena itu peluang untuk meneliti pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi yang terbarukan masih sangat besar karena hasil penelitian ini dapat memberikan keuntungan baik dari segi finansial maupun lingkungan.

Selain keuntungan dari pemanfaatan pupuk hasil pengomposan, terdapat peluang pendapatan yang relatif tinggi dari kegiatan pengomposan limbah pabrik kelapa sawit yaitu mekanisme pembangunan bersih (CDM). Melalui mekanisme CDM, diharapkan akan memungkinkan adanya transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Seperti yang tertera pada Protokol Kyoto artikel 12, tujuan mekanisme CDM adalah: (1) Membantu negara berkembang dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas

rumah kaca di atmosfer; dan (2) Membantu negara-negara Annex I atau negara maju agar dapat memenuhi target penurunan emisi negaranya. Kegiatan usaha yang dapat dibiayai oleh proyek CDM antara lain di bidang perkebunan: fermentasi enterik; pengelolaan kotoran ternak; penanaman padi; lahan pertanian; pembakaran padang rumput sesuai peraturan yang ada; pembakaran limbah pertanian; dan bidang persampahan: pembuangan sampah padat di lahan; pengelolaan air buangan; insinerasi sampah; lainnya.

Manfaat yang dapat diperoleh dalam kegiatan CDM khususnya di bidang perkebunan adalah hadirnya proyek-proyek ramah lingkungan dengan biaya relatif lebih murah, adanya transfer teknologi dari negara maju dengan biaya terjangkau, dan terciptanya pembangunan berkelanjutan. Yang terpenting, salah satu syarat proyek CDM adalah adanya keuntungan proyek tersebut bagi masyarakat lokal, baik secara sosial, ekonomi, dan lingkungan. CDM merupakan satu peluang dalam perdagangan internasional yang permintaannya sangat terbatas.

Kegiatan pengomposan limbah PKS dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga akan mendapatkan sebuah kredit yang dinamakan CER (certified emissions reduction). Kredit yang dihasilkan dari CER ini akan dihitung sebagai emisi yang berhasil diturunkan oleh negara Annex I melalui CDM. Melalui proyek CDM, negara Annex I mendapat keuntungan yaitu dapat melakukan penurunan emisi dengan harga yang relatif lebih murah jika mereka harus mengembangkan proyek tersebut di negara mereka sendiri. Selain itu negara berkembang sebagai tuan rumah proyek CDM mendapatkan keuntungan berupa bantuan keuangan, transfer teknologi dan pembangunan yang berkelanjutan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait