• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. PLTA Cirata

4.9 Implikasi Kebijakan

Hasil analisis statistik dan analisis spasial menunjukkan bahwa terjadi dinamika kualitas air dan penggunaan lahan di lokasi dan sekitar PLTA. Implementasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela bisa diterapkan guna mencapai keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya air di PLTA tersebut. Berdasarkan analisis stakeholder, terdapat berbagai pihak (stakeholder) yang berkepentingan dengan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Kondisi penggunaan lahan dan kualitas air menjadi dasar penyusunan kebijakan perlindungan dan pengelolaan yang akan dijalankan oleh stakeholder terkait di lapangan. Selain itu, kebijakan dan pengelola yang akan terlibat harus memenuhi regulasi yang sesuai dengan

hasil legal review terhadap regulasi terkait perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. Kebijakan tersebut dilengkapi dengan berbagai prioritas kebijakan berdasarkan pandangan para pakar (knowledge based) yang diperoleh dari hasil proses hirarki analitik (AHP). Hasil berbagai analisis tersebut dijadikan sintesa untuk menyusun kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. Implementasi kebijakan ini akan berimplikasi terhadap berbagai aspek yang perlu dikaji secara cermat dan komprehensif.

Implikasi penerapan kebijakan tersebut mendorong perlunya penyusunan strategi untuk memperkuat sistem yang telah dirancang guna meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan. Manajemen konsensus perlu dilakukan secara implementatif dalam menentukan keputusan bersama berdasarkan kesepakatan antar pihak guna mencapai tujuan bersama. Hal ini untuk mengeliminasi ketidaksetaraan, ego sektoral dan konflik kepentingan di antara para pihak yang terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA. Pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar PLTA menjadi fokus utama dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sumberdaya air. Penyusunan tahapan program dan penanggung jawabnya secara jelas dan transparan berdasarkan kesepakatan akan menghasilkan implementasi yang optimal saat pelaksanaannya.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah arti penting sumberdaya air sebagai bagian dari ekosistem yang menyeluruh di wilayah PLTA. Meskipun visi dan misi utama pengelola PLTA adalah memproduksi listrik sesuai target yang telah dicanangkan, tetapi perlu diingat dampak dari eksploitasi sumberdaya air tersebut. Pemahaman tentang dampak lingkungan bisa membawa pengelolaan ke arah yang lebih berkelanjutan dengan memperhatikan aspek-aspek lainnya yang terkait. Produksi yang berlimpah untuk meningkatkan nilai ekonomi juga harus memperhatikan aspek lainnya, seperti aspek sosial dan lingkungan. Keuntungan pada aspek ekonomi harus bisa mendorong perbaikan aspek lainnya, seperti pemberdayaan masyarakat pada aspek sosial dan perbaikan kondisi penggunaan lahan pada aspek lingkungan.

Selain implikasi strategis yang bersifat umum tersebut, perlu juga dilakukan perumusan implikasi kebijakan operasional yang sesuai dengan karakteristik masing-masing lokasi PLTA. Meskipun secara umum terjadi degradasi lahan dan

kelemahan pengelolaan pada semua lokasi PLTA, tetapi karakteristik besaran kerusakan dan sistem pengelolaan yang ada pada setiap lokasi berbeda satu sama lain. Hal ini akan menjadi landasan implikasi kebijakan secara lebih operasional dan teknis untuk setiap lokasi PLTA.

Perubahan penggunaan lahan yang masif pada lokasi PLTA di Jawa Barat (Saguling dan Cirata) memberikan implikasi kebijakan yang lebih mengarah pada teknis rehabilitasi lahan terutama pada DAS hulu PLTA. Program-program yang mengarah pada perbaikan kondisi lahan harus didorong secara aktif baik oleh aktor kunci di pemerintahan pusat (Kemenhut), maupun aktor kunci di tataran operasional (PLTA). Penggalakan rehabilitasi lahan melalui kegiatan reboisasi guna menambah luasan lahan bervegetasi, terutama hutan akan sangat mendukung perbaikan lahan dan mengurangi ancaman erosi dan sedimentasi ke dalam Waduk Saguling dan Cirata. Pengurangan ancaman erosi dan sedimentasi akan meningkatkan umur teknis waduk dan efektifitas pembangkitan listrik. Selain itu, hal ini akan meningkatkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air yang menjadi pasokan air bagi PLTA Saguling dan Cirata.

Sementara perubahan penggunaan lahan pada DAS hulu PLTA Tanggari I dan II juga terjadi seperti di Jawa Barat. Namun besaran perubahan lahannya masih dalam tahap perkembangan dan belum semasif yang terjadi di Jawa Barat. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang bisa mendorong pencegahan perubahan penggunaan lahan dari lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun. Penegakan aturan dan pengetatan ijin pembangunan pada kawasan lindung yang menjadi daerah resapan air pada DAS hulu PLTA perlu terus digalakan. Selain itu, komunikasi eksternal dengan masyarakat pada bagian DAS hulu perlu diintensifkan untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya konservasi lahan terhadap keberadaan sumberdaya air. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mendorong kegiatan reboisasi lahan sebagai langkah perbaikan terhadap kondisi yang ada.

Perbaikan kualitas sumberdaya air juga bisa dilakukan secara internal oleh jajaran PLTA, melalui peningkatan kinerja operasional PLTA secara keseluruhan. Untuk PLTA Saguling dan Cirata bisa dilakukan dengan meningkatkan sistem operasional pembangkitan listrik, baik dengan mengoptimalkan teknologi dari

peralatan yang ada, maupun dengan meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia sebagai pengelolanya. Hal ini diharapkan akan memperbaiki tingkat kualitas air yang masuk ke dalam sistem PLTA dan dialirkan lagi pada badan air alaminya. Indikator perbaikan bisa dimonitor pada perbandingan parameter-parameter kualitas air yang masuk ke dalam inlet dan yang keluar dari outlet PLTA.

Sementara kondisi pada PLTA Tanggari I dan II yang menggunakan peralatan yang relatif lebih tua, diperlukan berbagai peremajaan guna meningkatkan kinerja peralatan PLTA. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia secara mendasar perlu dilakukan terhadap pengelola PLTA. Hal ini disebabkan sumberdaya pengelola PLTA relatif belum secara optimal memahami arti penting perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela terkait kepentingannya sebagai pengelola PLTA.

Berdasarkan hasil analisis nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air diperoleh karakteristik setiap PLTA yang berbeda secara signifikan. Pada PLTA Saguling nilai ekonomi hasil budidaya perikanan dan ekowisata relatif kecil dibandingkan nilai ekonomi lainnya. Sementara pada PLTA Cirata, serta PLTA Tanggari I dan II, nilai ekonomi hasil budidaya perikanan dan ekowisata relatif lebih menonjol dibandingkan nilai ekonomi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa PLTA Saguling belum menjadi lokasi budidaya ikan dan tujuan wisata yang relatif besar. Kondisi ini disebabkan karena letak dan akses ke PLTA Saguling relatif tidak mudah untuk kegiatan budidaya ikan dan wisata. Selain itu luas genangan Waduk Saguling relatif kecil karena berada pada daerah genangan dataran tinggi dengan karakteristik jurang sempit sebagai daerah genangannya. Kebalikannya dengan PLTA Saguling, PLTA Cirata serta Tanggari I dan II memiliki karakteristik genangan dan akses yang mendukung kegiatan budidaya perikanan dan ekowisata.

Implikasinya KJA pada Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II berkembang secara masif dengan jumlah relatif besar. Selain itu kedua lokasi PLTA ini banyak dikunjungi wisatawan dan bersinergi dengan aktifitas budidaya ikan KJA. Oleh karena itu, kebijakan yang harus didorong adalah pengelolaan aktifitas KJA dan ekowisata yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II. Mengingat jumlah KJA yang

relatif besar, pada Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II perlu pemantauan dan pemberian ijin usaha KJA yang sesuai daya dukung dan daya tampung, serta sesuai dengan zonasi pengelolaan waduk.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Karakteristik sumberdaya air berupa kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air yang dimanfaatkan PLTA saat ini menurun secara signifikan karena dipengaruhi perubahan penggunaan lahan pada DAS hulu PLTA.

a. Perubahan penggunaan lahan sangat signifikan terjadi pada DAS hulu PLTA Cirata dan Saguling (DAS Citarum) di Provinsi Jawa Barat. Luas hutan pada DAS Waduk Saguling menurun pesat dari 38.139,80 ha (17,12%) pada tahun 2001 menjadi hanya 12.531 ha (5,62%) pada tahun 2007. Selain itu, pada DAS Waduk Cirata, luas hutan juga menurun pesat dari 87.817 ha (18,87%) pada tahun 2001 menjadi hanya 23.392 ha (5,03%) pada tahun 2007. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari hutan terutama menjadi perkebunan. Hal ini akan berakibat negatif terhadap kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air yang menjadi pasokan utama air bagi PLTA. Sementara pada DAS hulu PLTA Tanggari I dan II (DAS Tondano) di Provinsi Sulawesi Utara, relatif tidak terjadi perubahan penggunaan lahan yang masif. Pada DAS Tondano hutan seluas 18.323 ha pada tahun 2001 berubah menjadi sekitar 18.098 ha pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan terjadinya pengurangan luas hutan pada DAS Tondano hanya sekitar 0,0021% setiap tahunnya. Namun hal ini juga cepat atau lambat bisa berakibat negatif juga terhadap kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air yang menjadi pasokan utama air bagi PLTA. b. Kualitas air waduk di lokasi studi, secara umum masih sesuai dengan

ketentuan kualitas air (Kelas 4) yang berlaku untuk keperluan operasional PLTA. Hasil uji-T menunjukkan indikasi bahwa kegiatan PLTA tidak menambah beban pencemaran air. Meskipun demikian, PLTA harus tetap menjaga kelestarian sumberdaya air sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun

2004 secara sukarela, guna mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

2. Kondisi institusi dan regulasi terkait program lingkungan PLTA dipengaruhi dinamika stakeholderdan regulasi yang sudah ada saat ini.

a. PLTA menjadi pihak yang paling berkepentingan, sehingga harus menjadi pihak yang proaktif pada tataran operasional. Sementara pada tataran strategis, pihak kunci yang paling berperan secara riil masih ada pada pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan), sehingga PLTA masih memerlukan dorongan pemerintah. Guna mencapai tujuan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air secara sukarela, PLTA harus melaksanakan komunikasi aktif dengan stakeholder kunci (Kementerian Kehutanan, PLN (Persero), PLTA, Perhutani/HTI, Dinas LH, Dinas Kehutanan, Dinas PU, Perusahaan Pengguna dan masyarakat), serta stakeholder pendukung lainnya.

b. Perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air bisa diimplementasikan berdasarkan peraturan perundangan yang sudah ada saat ini. Hal ini bisa diperkuat dengan adanya inisiatif sukarela dari PLTA, sehingga tidak terus menerus menunggu adanya dukungan regulasi dan dorongan pihak lain guna mengimplementasikan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan.

3. Sumberdaya air pada dasarnya memiliki nilai ekonomi jasa lingkungan yang besar baik ditinjau dari nilai guna (use value), maupun nilai bukan gunanya (non-use value). Besar nilai ekonomi total (TEV) per tahun dari jasa lingkungan sumberdaya air di PLTA: (1) Saguling mencapai Rp 885,95 milyar; (2) Cirata mencapai Rp 1.669,50 milyar; (3) Tanggari mencapai Rp 252,88 milyar. Peningkatan pemahaman terhadap nilai-nilai tersebut diharapkan mampu meningkatkan kesadaran semua pihak untuk memanfaatkan air secara bijak. Kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela bisa menjadi faktor penting dalam melestarikan dan meningkatkan nilai-nilai jasa lingkungan sumberdaya air di wilayah PLTA.

4. Model kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA bisa didesain berdasarkan analisis data situasional, pemilihan

alternatif kebijakan prioritas, maupun model hasil analisis sistem dinamik. a. Alternatif desain kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air

PLTA berbasis sukarela yang menjadi prioritas saat ini adalah insentif dan disinsentif. Tekanan pemerintah masih menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam implementasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. Pencapaian tujuan berupa kontinuitas PLTA, pengakuan publik dan liabilitas lingkungan memerlukan penguatan infrastruktur kelembagaan dan institusional.

b. Model dinamik perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA bisa didesain berdasarkan basis data dan basis knowledge (pengetahuan). Pemodelan kinerja sumberdaya air PLTA didasarkan data perubahan penggunaan lahan dan kualitas air, serta nilai guna jasa lingkungan. Pemilihan kebijakan prioritas menggunakan AHP, hasil analisis stakeholder dan perhitungan nilai bukan guna jasa lingkungan menjadi basis knowledge pemodelan. Model dinamik mampu memperlihatkan proyeksi pilihan-pilihan kondisi di masa depan yang bisa dijadikan penunjang penetapan kebijakan dalam perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela.

c. Berdasarkan sistem input-output dalam pengelolaan sumberdaya air, terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu kepentingan lingkungan hidup, kepentingan ekonomi, dan kepentingan sosial. Selain itu diperlukan aspek operasional sebagai langkah awal dalam mendorong kebijakan pada ketiga aspek lainnya. Salah satu mekanisme yang bisa digunakan untuk mendukung optimalisasi perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air bisa melalui mekanisme subsidi perusahaan (Corporate Sosial Responsibility – CSR), maupun skema pengelolaan nilai jasa lingkungan lainnya berdasarkan kesadaran dan partisipasi semua pihak.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela, maka disusun rekomendasi sebagai berikut:

1. Perlu segera ditetapkan kebijakan strategis hingga operasional untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan pada DAS Citarum dan Tondano guna mengurangi laju degradasi sumberdaya alam. Hal ini diharapkan akan meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas sumberdaya air sekaligus mendukung kinerja PLTA Cirata dan Saguling, serta PLTA Tanggari I dan II. Stakeholder kunci pada tataran operasional (PLTA) dan strategis (Kemenhut) diharapkan mampu melakukan implementasi dan mendorong stakeholder lainnya dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela di lapangan. Guna menghasilkan implikasi yang efektif, stakeholder diharapkan mampu mengidentifikasi secara detail permasalahan dan kebutuhan yang harus diselesaikan guna mendukung pencapaian tujuan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.

2. Komunikasi dan koordinasi antar seluruh stakeholder terkait perlu dilakukan untuk mendorong keberhasilan tujuan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Implementasi konsep sukarela (voluntary) perlu terus disosialisasikan dan didiseminasikan kepada semua pihak sebagai bagian komplemen (pelengkap) regulasi yang ada guna mendorong keberhasilan tujuan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela.

3. Perlu peningkatan pemahaman semua pihak tentang arti penting nilai ekonomi jasa lingkungan sumberdaya air PLTA melalui komunikasi eksternal yang intensif. Beberapa nilai pendekatan dalam penentuan nilai ekonomi total dalam perhitungan mendatang bisa menggunakan data yang lebih akurat sesuai dengan standar yang telah disepakati secara umum, seperti harga karbon sesuai skema kesepakatan internasional. Berbagai nilai jasa lingkungan terkait sumberdaya air di luar penelitian ini, diharapkan bisa diteliti lebih lanjut, contohnya nilai serapan karbon dari vegetasi air dan nilai ekologisnya sebagai penyerap pencemaran.

4. Penetapan kebijakan masa kini dan masa mendatang perlu dilakukan dengan memperhatikan sistem penunjang keputusan yang dibuat berdasarkan model dinamik dan model konseptual perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela. Implementasi mekanisme insentif dan disinsentif

diperlukan untuk mendukung tercapainya tujuan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.