• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Regulasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA

B. PLTA Cirata

4.4 Institusi dan Regulasi Terkait Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA

4.4.2 Tinjauan Regulasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA

Peraturan perundang-undangan yang diacu oleh ke-empat PLTA dalam melakukan perlindungan sumberdaya air pada tahap operasional adalah Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP-02/MENKLH/I/1988 tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Selain itu, terkait pengelolaan dan perlindungan kawasan yang lebih luas (DAS hulu PLTA), PLTA juga harus megacu pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Secara umum UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air terdiri dari 3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Hal ini menunjukkan bahwa untuk melakukan pengelolaan waduk dengan melakukan konservasi, pemanfaatan, pengendalian daya rusak air. Berdasarkan UU ini, penetapan kebijakan pengelolaan sumberdaya air berada pada pemerintah sesuai dengan wilayah penyebarannya. Wilayah sungai yang melintasi provinsi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, wilayah sungai yang melintasi kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, dan wilayah sungai yang hanya ada di kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Sementara PP Nomor 42 Tahun 2008, memberikan kewenangan kepada Dinas pada tingkat provinsi untuk membantu wadah koordinasi pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai-sungai lintas kabupaten/kota dalam penyusunan rancangan pola pengelolaan sumberdaya air.

Hal ini sejalan dengan arahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota yang mengatur kewenangan otonomi daerah. Pengelolaan DAS Citarum di mana PLTA Saguling dan Cirata berada yang melintasi dua kabupaten, menurut UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan tanggung jawab pemerintah

provinsi. Sementara DAS Tondano di mana PLTA Tanggari I dan II berada dalam satu kabupaten yang sama.

Sebagai langkah antisipasi, UU Nomor 7 Tahun 2009 ini juga melarang berbagai pihak untuk melakukan kegiatan yang bisa mengakibatkan daya rusak air. Selain itu, UU ini juga memberi peluang kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses penentuan kebijakan terkait pengelolaan sumberdaya air sekaligus memperoleh manfaat dari pengelolaannya. Berbagai peran masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan juga diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 yang tentu saja terkait dengan pengelolaan sumberdaya air sebagai salah satu aspek dari lingkungan.

Kebijakan lain terkait pengelolaan sumber daya air adalah pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran yang diatur dalam PP Nomor 82 Tahun 2001 dan PP No 42 Tahun 2008. Pengelolaan kualitas air tersebut dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumberdaya air. Perbaikan kualitas air pada sumber air dan prasarana sumberdaya air sendiri diatur untuk dilakukan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Sementara itu, penerapan konsep daya dukung dan daya tampung lingkungan perlu diimplementasikan dalam pengelolaan sumberdaya air, karena merupakan bagian dari aspek lingkungan. Hal ini ditegaskan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009.

Pengelolaan yang terkait kawasan lindung dan budidaya yang berada pada wilayah PLTA diatur dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU ini mengatur juga tentang pembangunan berkelanjutan dengan mendefinisikan keberlanjutan dalam konteks penataan ruang adalah diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Selain itu, kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan.

Terkait dengan pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku, PLTA berkomitmen untuk melakukan konservasi sumberdaya air sesuai dengan konsepsi yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang

Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP-02/MENKLH/I/1988 tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Konservasi air ditujukan untuk meningkatkan volume air, meningkatkan efisiensi penggunaannya, memperbaiki kualitas sesuai dengan peruntukkannya, dan menjaga keberlanjutan kemampuan sumberdaya air untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Gambaran berbagai hal tentang perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air dari aspek regulasi tersebut harus menjadi acuan dalam melakukan implementasi kebijakan. Kondisi saat ini pada empat PLTA yang diteliti, masih terjadi penurunan kualitas air akibat pemanfaatannya sebagai pembangkit tenaga listrik. Hal ini terlihat dari hasil analisis deskriptif kualitas air pada inlet dan outlet PLTA yang masih menunjukkan adanya penurunan kualitas air setelah dimanfaatkan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan regulasi yang melarang kegiatan yang bisa menyebabkan daya rusak air, termasuk penurunan kualitasnya.

Selain itu, pada sisi pengelolaan masih terjadi konflik kepentingan dan lemahnya koordinasi antar berbagai stakeholder terkait sumberdaya air. Hal ini bisa menghambat pencapaian pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan. Masyarakat dan pihak swasta lainnya yang diberi peluang untuk mendapat manfaat dari sumberdaya air juga masih melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah satunya pemanfaatan badan air waduk/genangan untuk kegiatan budidaya ikan KJA. Saat ini, sudah terjadi pemanfaatan Waduk Cirata dam Saguling untuk budidaya ikan KJA yang melampaui batas daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Selain itu, ada juga pemanfaatan waduk untuk budidaya ikan KJA yang tidak sesuai zonasi peruntukannya.

Berbagai kesenjangan antara regulasi yang harus ditaati dengan kondisi saat ini di lapangan menjadi gap yang harus dikurangi hingga dihilangkan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan penaatan terhadap berbagai peraturan yang

telah ditetapkan, serta inisiatif sukarela dari stakeholder guna mengimplementasikan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air.