• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi temuan penelitian pada bagian bab ini mendeskripsikan tentang temuan- temuan yang telah dihasilkan dalam penelitian terhadap bakul semanggi gendong, yang diwujudkan di dalam proposisi-proposisi. Terdapat sembilan (9) proposisi yang ditemukan dalam penelitian ini, seperti berikut.

Proposisi Pertama

Makna sebuah eksistensi bagi bakul semanggi gendong adalah sebuah perjuangan dan perjalanan panjaang, baik dalam hubungannya dengan keluarga, sesama bakul gendong, juragan, serta pelanggan

Bakul semanggi gendong terinstitusi dalam keluarga dan lingkungan, bahkan lingkungan yang lebih luas, yaitu dusun. Ini merupakan institusi yang kompleks dari norma- norma dan tingkah laku yang terus bertahan seiring dengan waktu untuk melayani tujuan yang bernilai secara kolektif (Uphoff, 1986).

Demikian juga pemikiran yang dihasilkan oleh Martinussen (1997:289-295), terkait dengan pelembagaanekonomi dalam keluarga, dimana produksi yang menghidupkan rumahtangga sebagai kegiatan ekonomi dan kekuatan serta aktivitas yang menggerakkan kehidupannya. Ketergantungan ini merupakan yang eksis antara rasionalitas pemikiran ekonomi dan hubungan moral (hubungan keluarga, pertemanan, dan lingkungan).

Pekerjaan perempuan sebagai bakul semanggi gendong telah mengakibatkan selain memiliki peran ganda dan beban ganda. Sejak malam hari hingga siang hari, perempuan bakul semanggi gendong mempersiapkan diri dan pergi ke Surabaya untuk menjajakan semanggi.. Ketika kembali sore harinya, ia harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan kadang kala ikut membantu pekerjaan berkebun. Meski demikian ada juga yang menyerahkan urusan rumah tangga kepada suaminya. Padatnya kegiatan-kegiatan itu membuat perempuan

mengorbankan waktu untuk kegiatan individual dan istirahat, mereka mengabaikan kesehatannya, tidak mempunyai waktu untuk meningkatkan kemampuan dirinya, dengan kata lain mereka memaksakan diri demi ekonomi dan kebutuhan keluarga.

Perubahan kondisi sosial masyarakat secara universal tidaklah menjadi bumerang yang akan meredameksistensi budaya kuliner lokal masyarakat Kendung, Benowo, Kota Surabaya. Hal tersebut terbukti dengan langgengnya bakul semanggi gendong yang sampai saat ini masih eksis.

Temuan penelitian/ proposisi tersebut telah menguatkan pendapat dariGranovetter yang dikenal denganteori keterlekatan/embeddednesbahwa sebuah jaringan akan eksis bila ada keterlekatan diantara jaringan tersebut.

Proposisi ke dua

Eksistensi bakul semanggi gendong di Kota Surabaya memiliki motif dari bakul semanggi gendong sendiri, yaitu motif ekonomi dan motif ekonomi tradisi.

Banyak hal yang menyebabkan perempuan ikut mencari nafkah, termasuk perempuan yang terlibat di sektor perdagangan, antara lain: terdorong perasaan manusiawi untuk turut serta memberikan sumbangan kepada ekonomi rumah tangganya yang belum cukup (Sayogyo, P, 1983), manambah penghasilan keluarga, mengisi waktu luang (Ihromi, 1989), kondisi sosial ekonomi yang kurang menguntungkan dan demi kelangsungan hidup keluarga (Lewis, 1986), dan memperoleh penghasilan yang teratur sebagai sumber penting bagi rumah tangga (Stoler, 1975:135-136, dalam Arianto, 1994:4).

Eksistensi sebuah tradisi sangat ditentukan oleh sebarapa besar efek yang ditimbulkan yang dapat dilihat dari fungsi pelaksanaan tersebut. Hal itu juga menjadi alasan mengapa hingga saat ini masih terus ditemui di tengah masyarakat sekalipun masa telah

hal itu tak lantas meredam dan menciutkan nyali dari bakul semanggi gendong untuk melanggengkan tradisi menjajakan semanggi, karena menurut mereka hal tersebut merupakan sebuah wujud social capital yang layak untuk dijaga dan dipertahankan secara turun-temurun. Namun demikian dari sejumlah alasan-alasan tentang keterlibatan perempuan di sektor perdagangan, maka alasan utamanya adalah alasan ekonomi, yakni hasil pendapatan suami tidak mencukupi kehidupan keluarga. “tidak berfungsinya suami” oleh Reneen dan Dharma (Gardiner, ed, 1991:81, dalam Fatimah, 2001:43) dianggap sebagai salah satu latar belakang masuknya perempuan ke wilayah publik, maka sebagian besar waktunya tercurah dalam kegiatan usaha dagang.

Pasar yang dituju oleh mayoritas perempuan pedagang menurut Chebair dan Reichmann (1995:43 ) adalah menyukai pasar yang lebih lapang dekat rumah, dan mencoba pasar-pasar di luar tetangga dekat mereka, namun masih dalam kota mereka, untuk menjamin penghasilan yang cukup. Sementara laki-laki sedikit banyak mencoba ke pasar-pasar yang lebih jauh wilayahnya.

Penelitian Abdullah (1989), tentang wanita bakul di pedesaan jawa juga menunjukkan keterlibatan perempuan dalam perdagangan. Dimana perempuan sangat bangga dengan menjadi bakul, mereka memandang diri sendiri sebagai kelompok yang memiliki status sosial yang tinggi dibandingkan perempuan desa yang tidak ke pasar, karena secara ekonomi mereka juga lebih mampu. Mereka mengatakan bahwa mereka orang yang mengetahui lebih banyak dunia luar. Intensitas pertemuan antar pedagang dengan orang lain di pasar menjadikan mampu berbicara dan mengekspresikan pikiran-pikiran. Oleh karenannya, mereka mendapatkan tempat khusus di dalam masyarakat, mereka menemui status baru melalui perdagangan.

Secara umum, masalah yang diangkat dalam penelitian terdahulu tentang keterlibatan perempuan dalam perdagangan, lebih banyak memfokuskan tentang peran ganda

perempuan dan keterlibatannya dalam perdagangan karena untuk menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya. Sedangkan yang secara spesifik meneliti tentang makna dan eksistensinya, khususnya terkait dengan tradisi turun temurun yang dilakukan keluarga masih sangat sedikit dan jarang ditemukan. Kalaupun ada yang meneliti tentang strategi pedagang seperti penelitian Endrizal (2009) tentang strategi pedagang pasar tradisional menghadapi persaingan dengan pasar modern, penelitian Jamanirrizal (2009) tentang strategi pedagang kaki lima di kota Ranai Kabupaten Natuna, agar tetap eksis. Akan tetapi mereka meneliti pedagang secara umum, bukan secara spesifik pedagang perempuan saja seperti halnya bakul semanggi gendong semanggi di Kota Surabaya.

Evers (dalam Arianto, 1994:5) melihat akses yang dimiliki dan relatif rendahnya tuntutan dari sektor perdagangan, telah mendorong perempuan masuk ke dalamnya, selain kapasitas penyerapan yang sangat tinggi, hasil penelitian Evers di Jatianom Jawa Tengah, menunjukkan bahwa pilihan perempuan untuk terlibat di sektor perdagangan merupakan salah satu alternatif yang dapat di lakukan ketika perempuan harus mencukupi kebutuhan rumah tangganya, yakni harus mampu memperoleh penghasilan, dan hal ini tampak sangat besar terjadi di daerah pedesaan.

Dari berbagai penelitian yang sudah diungkapkan di muka membuktikan bahwa mayoritas perempuan dalam melakukan aksi perdagangan selalu didominasi oleh alasan ekonomi. Hal tersebut ternyata juga terjadi pada aksi perdagangan yang dilakukan oleh bakul semanggi gendong, namun selain alasan ekonomi masih ada lagi alasan yang lain.

Terdapat dua (2) alasan yang mendasari, walaupun tidak dapat dipungkiri mereka menjajakan kuliner semanggi, namun ternyata bukan semat-mata alasan ekonomi saja yang menjadi faktor penyebabnya, tetapi ada makna subyektif dari mereka bahwa dengan menjadi bakul gendong semanggi, mereka akan tetap eksis dalam ekonomi sekaligus tetap

Dengan demikian temuan penelitian ini berimplikasi teoritik menambahkan unsur tradisi pada teori Granovetter tentang keterlekatan dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan sektor informal/ pedagang kecil.

Proposisi Ke tiga

Keterlekatan pelembagaan bakul semanggi gendong adalah khas dan unik berpengaruh terhadap eksistensinya di Kota Surabaya.

Keterlekatan bakul semanggi gendong yang dimaksud adalah keterlekatan pelembagaan yang telah berlangsung lama. Menurut penulis, ketelekatan pelembagaan bakul semanggi gendong tersebut merupakan khazanah budaya bakul semanggi gendong dan sebuah nilai tambah yang dapat dikategorikan sebagai wujud modal sosial bagi masyarakat kampung Kendung, Sememi, Benowo Kota Surabaya. Telah dipahami bahwa modal sosial merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialaminya. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan modal sosial sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai.

Bakul semanggi gendong mampu menunjukkan kekuatan membangun hubungan, kepercayaan dan kerjasama sebagai tujuan bersama. Dan ternyata hubungan dan kerjasama ini merupakan modal sosial, sebagaimana yang dikemukakan oleh Fukuyama (2007:25), bahwa social capital memiliki keuntungan yang jauh melampaui wilayah ekonomi.

Budaya gorong royong dan bekerja sama masih diterapkan oleh bakul semanggi gendong. Walaupun dalam bentuk solidaritas ke sesama bakul semanggi gendong, tetapi hal ini sudah menjadi bukti bahwa keberadaan mereka sebagai bentuk yang tidak terorganisir,

namun mereka memiliki rasa kekerabatan antar sesama bakul semanggi gendong yang sangat kuat.

Oleh karena itu, hubungan-hubungan sosial yang dilakukan tentu juga memiliki tujuan, sebagaimana harapan yang ingin dicapai. Kondisi ini yang disebut dengan tindakan (sosial); yang diambil seseorang dan merupakan hasil dari keputusan pribadinya untuk melakukan sesuatu. Menurut pandangan Weber dan Parsons (Lawang, 2005:71) keputusan untuk bertindak biasanya diambil dengan pertimbangan makna atau nilai yang ada pada seseorang, yang dipandu oleh norma, nilai, ide-ide di satu pihak dan kondisi situasional di lain pihak, dan diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, dengan cara yang menurut pertimbangan subjektif efektif dan efisien .

Fungsi dan dampak sosial budaya yang menonjol yang dapat ditunjukkan dari tradisi bakul semanggi gendong kala itu adalah turun temurun, khususnya terhadap kaum perempuan, harus menjajakannya di kota Surabaya, dan memantapkan hubungan solidaritas sesama bakul gendong dan pelanggan di Kota Surabaya untuk menambah keterikatan antara satu dengan yang lainnya. Dari sini menunjukkan bahwa keterlekatan kelembagaan bakul semanggi gendong begitu kuat, dan yang berbeda dengan teori Keterlekatan Granovetter adalah bahwa di dalam kelembagaan bakul semanggi gendong adalah khas yaitu kaum perempuan, turun temurun dan harus migrasi sirkuler. Dengan demikian sejak awal sudah penulis sampaikan bahwa meminjam logika berpikir Granoveter yang menekankan bahwa keterlekatan ada pada jaringan, penelitian dilakukan di negara maju, ternyata pada bakul semanggi gendong juga ditemukan walaupun dalam kategori tradisional. Satu lagi yang penulis temukan yang tidak terdapat pada keterlekatan Granovetter adalah tradisi turun temurun dan kaum perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa keterlekatan pelembagaan yang ada pada bakul semanggi gendong adalah khas dan unik, sekaligus menambahkan kedua

Auguste Comte telah mengungkapkan di awal perkembangan sosiologi yang mencoba menggambarkan tahap perkembangan manusia yang berawal dari tahap teologis, metafisik dan positivistik. Menurut Comte, perkembangan manusia dibagi kedalam 3 tahap yaitu; pertama tahap teologik, kemudian berkembang ke tahap metafisika, dan ketiga berkembang ketahap terakhir, ialah tahap positif. Kesemua itu dapat dijelaskan lebih lanjut seperti dibawah ini.

1. Tahap Teologik

Tahap teologik bersifat melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam atau apa yang ada dibaliknya. Pada zaman ini atau tahap ini seseorang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terahir segala sesuatu. Menurutnya benda-benda pada zaman ini merupakan ungkapan dari supernaturalisme, bermula dari suatu faham yang mempercayai adanya kekuatan magis dibenda-benda tertentu, ini adalah tahap teologis yang paling primitif. Kemudian mempercayai pada banyak Tuhan, saat itu orang menurunkan hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatar belakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri. Dan kemudian menjadi monoteisme ini adalah suatu tahap tertinggi yang mana saat itu manusia menyatukan Tuhan-Tuhannya menjadi satu tokoh tertinggi. Ini adalah abad monarkhi dan kekuasaan mutlak.

2. Tahap Metafisik

Tahap metafisik sebenarnya merupakan suatu masa dimana disini adalah masa perubahan dari masa teologik, dimana pada masa teologik tersebut seseorang hanya percaya pada satu doktrin saja dan tidak mencoba untuk mengkritisinya. Ketika manusia mencapai tahap metafisika ia mulai bertanya-tanya dan mulai untuk

mencari bukti-bukti yang nyata terhadap pandangan suatu doktrin. Tahap metafisik menggunakan kekuatan atau bukti yang nyata yang dapat berhubungan langsungdengan manusia. Ini adalah abad nasionalisme dan kedaulatan umum sudah mulai tampak, atau sring kali tahap ini disebut sebagai abad remaja.

3. Tahap Positif

Tahap positif berusaha untuk menemukan hubungan seragam dalam gejala. Pada tahap ini seseorang tahu bahwa tidak ada gunanya untuk mempertanyakan atau pengetahuan yang mutlak, baik secara teologis ataupun secara metafisika. Pada tahap ini orang berusaha untuk menemukan hukum dari segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang pada akhirnya akan menghasilan fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Pada tahap ini menerangkan berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum.

Tahap ini menurut Comte adalah suatu tahap yang berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, bahkan berlaku bagi setiap masing- masing individu itu sendiri. Ketika seorang masih perpandangan teologis berarti ia masih berpikiran kuno/ketinggalan zaman walaupun ia hidup dizaman yang modern. Dan ketika orang berfikiran realitas (nyata) maka dia dapat sebagai seorang yang modern walaupun dimana saja mereka berada. Pendapat ini jika dilihat dari sudut pandangnya akanlebih menjurus kepada tahap dalam keyakinan hati nurani manusia itu sendiri.

Dari uraian Comte tersebut, penulis dapat mendeskripsikan secara singkat bahwa bakul semanggi gendong sebenarnya sudah sampai pada tahap yang ketiga, namun berpandanggan kuno walau hidup di jaman modern. Hal tersebut dikarenakan mereka masih sangat patuh dengan tradisi yang dilakukan oleh para

leluhur mereka hingga saat ini tanpa ada perubahan, khususnya dalam cara memasarkan kuliner semanggi. (Soekanto, 2010: 350).

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat digambarkan bahwa proses mental yang dialami oleh bakul gendong semanggi Surabaya adalah melalui proses interpretasi dari bakul gendong sebelumnya dan merupakan hasil dari proses belajar, dengan memahami kebiasaan- kebiasaan yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah tradisi genetik, yaitu turun temurun. Atas dasar tradisi inilah memaksa orang-orang di lingkungan keluarga yang terlahir dari bakul semanggi gendong juga harus melanjutkan tradisi generasi di atasnya yang menjadi bakul gendong semanggi Surabaya. Dengan demikian, secara pelembagaan, bakul semanggi gendong terjadi keterlekatan yang khas dan unik.

Hasil temuan penelitian ini berimplikasi teoritik menambahkan unsur khas dan unik pada teori Granovetter tentang keterlekatan.

Proposisi Ke empat

Migrasi sirkuler khas bakul gendong semanggi di Surabaya telah membawa misi budaya arek yang lekat dengan simbol keberanian, pantang menyerah dan kemandirian.

Migrasi sirkuler khas bakul gendong semanggi di Surabaya telah membawa misi budaya arek yang lekat dengan simbol keberanian, pantang menyerah dan mandiri.

Komunitas Arek dikenal mempunyai semangat juang tinggi, terbuka terhadap

perubahan, dan mudah beradaptasi. Komunitas Arek juga dikenal sebagai komunitas yang berperilaku bandha nekat. Perilaku bandha nekat ini disatu sisi bisa mendorong munculnya perilaku patriotik, tetapi di sisi lain, juga menimbulkan sikap destruktif. Surabaya merupakan kota kedua terbesar di Indonesia. Surabaya juga merupakan kota metropolitan yang menampung berbagai komoditas, mobilitas sosial, dan pasar barang dan jasa dari kota-kota

kedua di Jawa Timur, seperti Gresik, Mojokerto, Jombang, Sidoarjo, malang, Blitar, probolinggo, Jember, dan sebagainya. Disamping itu berbagai arus informasi, teknologi, perdagangan, industri, dan pendidikan dari luar Jawa Timur umumnya melalui Kota Surabaya.

Posisi Kota Surabaya sebagai kota metropolitan, pasar dari kota sekitarnya di Jawa Timur, dan pintu gerbang bagi arus informasi, pendidikan, perdagangan, industri, dan teknologi dari luar Surabaya menyebabkan masyarakat Kota Surabaya relatif terbuka dan heterogen. Hal yang menarik komunitas Arek ini dengan sikap keterbukaaannya itu bisa menerima berbagai model dan jenis kesenian apa pun yang masuk ke wilayah ini, tidak terlepas dari budaya kulinernya. Salah satu kuliner tradisional yang sangat kental dengan budaya arek adalah kuliner semanggi Surabaya. Dari hasil penelitian ini, penulis dapat menemukan satu temuan yang terkait dengan budaya arek pada bakul semanggi gendong.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keeksistensian yang masih terjaga pada bakul semanggi gendong di Surabaya tersebut merupakan suatu tindakan ekonomi dan sosial yang langka. Keberanian, ketangguhan, kekuatan serta semangat pantang menyerah yang ada pada bakul semanggi gendong merupakan wujud nyata dari budaya Arek.

Temuan penelitian ini berimplikasi secara teoritik menambahkan motif budaya terhadap hasil-hasil penelitian migrasi pada umumnya yang cenderung bermotif ekonomi, dan memodifikasi teori keterlekatan Granovetter yang berkait dengan migrasi, bahwa seseorang melakukan migrasi karena ada keterlekatan jaringan hubungan famili atau pertemanan, namun temuan dari penelitian bakul semanggi gendong kali ini, migrasi yang dilakukan oleh bakul semanggi gendong karena keterlekatannya dengan pelanggan dan sama sekali tidak ada hubungan famili atau teman.

Proposisi Ke lima

Migrasi sirkuler khas bakul semanggi gendong di Kota Surabaya bermakna ekonomi, religi, solidaritas, pengetahuan, dan tradisi.

Migrasi merupakansalah satu faktor dasar disamping faktor kelahiran dan kematian yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Dinegara-negara yang sedang berkembang migrasi secara regional sangat penting untuk dikaji secara khusus, mengingat meningkatnya kepadatan penduduk yang pesat di daerah-daerah tertentu sebagai distribusi penduduk yang tidak merata.

Definisi migrasi dalam arti luas menurut Lee,S.Everett.(1991: 7); migrasi adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah tindakan itu bersifat sukarela atau terpaksa; serta tidak diadakan perbedaan antara migrasi dalam negeri dan migrasi keluar negeri. Jadi, pindah tempat dari satu tempat tinggal ketempat tinggal lain.

Pada dasarnya, migrasi adalah pergerakan penduduk secara geografis, atau perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain. Hugo (1986:59-83) membedakan migrasi dalam dua kategori, yaitu migrasi permanen dan non permanen. Perbedaannya terletak pada tujuan pergerakan tersebut. Bila seorang migran bertujuan untuk pindah tempat tinggal secara tetap, migran tersebut dikategorikan sebagai migran permanen. Sebaliknya, apabila tidak ada niat menetap di tempat tujuan dikategorikan sebagai migran sirkuler.

Mantra menambahkan satu lagi bentuk yang disebut komutasi (nglaju), yaitu pergerakan penduduk yang dilakukan dengan cara pergi ke tempat kerja dan pulang ke rumah pada hari yang sama. Berbeda dengan migrasi permanen yang memboyong seluruh anggota keluarganya dan menetap di daerah tujuan, migrasi sirkuler adalah migran, yang meskipun bekerja di tempat tujuan, tetapi umumnya keluarga masih tetap tingggal di desa.

Dikatakan Jellinek (1986), bahwa migran sirkuler adalah migran yang meninggalkan daerah asal hanya untuk mencari nafkah, tetapi mereka menganggap dan merasa tempat tinggal permanen mereka di tempat asal, di mana terdapat isteri, anak, dan kekayaannya. Inilah yang dilakukan oleh bakul semanggi gendong bermigrasi sirkuler ke kota Surabaya. Tujuan bermigrasinya adalah untuk menjajakan kuliner semanggi dan menemui para pelanggan semanggi di sana, bukan untuk mencari pekerjaan yang pada umumnya orang melakukan migrasi dari desa ke kota. Hal inilah yang membedakan migrasi bakul semanggi gendong dengan migrasi migrasi yang lain.

Dengan demikian, migrasi bakul semanggi gendong dikatakan sebagai migrasi

sirkuler yang khas. Khas dalam pengertian ini adalah bahwa migrasi yang dilakukan bakul semanggi gendong tersebut belum atau mungkin tidak terjadi pada bakul atau pedagang lain. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan migrasi, seperti berikut.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chebair dan Reichmann (1995), yang mengatakan bahwa perempuan dalam melakukan aksi perdagangan menyukai di pasar yang dekat dengan rumah. Jelas hasil penelitian ini tidak terjadi pada bakul semanggi gendong, dimana bakul gendong semanggi dalam melakukan aksi menjajakan semanggi tersebut dengan cara migrasi sirkuler, yang jauh dari rumah. Karena kekhasannya itulah maka penulis sebut sebagai migrasi sirkuler khas bakul semanggi gendong Surabaya.

Menurut Lee. S. Everst (1991:9), faktor-faktor yang mendorong terjadinya migrasi ada empat faktor migrasi, yaitu:

a. faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, b. faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan, c. penghalang antara, dan

Menurut Lee, dalam setiap daerah banyak sekali faktor yang mempengaruhi orang untuk tinggal atau menetap di suatu tempat mereka bermigrasi atau menarik orang untuk pindah kesitu, atau ada faktor-faktor lain yang memaksa mereka untuk pindah. Untuk itu dapat penulis gambarkan pola Migrasi Lee seperti gambar berikut.

Gambar 8: Pola Migrasi Everst Lee

Terkait dengan banyak faktor yang mendasari tindakan seseorang melakukan migrasi sirkuler (faktor ekonomi dan non-ekonomi) dan banyak makna seseorang melakukan migrasi sirkuler (makna ekonomi) dan non ekonomi (relegiusitas, (2) kesadaran solidaritas, (3) kesadaran akan ilmu pengetahuan, dan (4) tradisi, maka implikasi hasil penelitian ini adalah memodifikasi teori migrasi kuantitatif Everett S. Lee yang dilihat sebagai realitas objektif menjadi teori migrasi yang kualitatif yang dilihat sebagai realitas subjektif. Implikasi hasil penelitian ini sama sekali tidak menolak teori migrasi Lee yang kuantitatif tetapi lebih pada menambah khasanah teori migrasi yang telah ada. Harapan dari penelitian ini terhadap kajian- kajian migrasi selanjutnya bisa sampai pada kajian kuantitatif-kaulitatif.

Dengan temuan penelitian ini sekaligus penulis ingin menambahkan unsur khas dari hasil penelitian Everst Lee, khususnya tentang migrasi sirkuler dan faktor pendorong seseorang melakukan migrasi, yaitu faktor ekonomi, tetapi migrasi sirkuler bakul gendong

semanggi tidak semata-mata faktor ekonomi, terdapat kenyataan faktor budaya yang dibawa oleh bakul gendong semanggi, yaitu budaya genetik dan budaya kuliner khas Surabaya yang

Dokumen terkait