BAB V
BAKUL SEMANGGI GENDONG DI KOTA SURABAYA
Dalam bab ini dideskripsikan tentang bagaimana eksistensi dan konsistensi bakul
semanggi gendong yang menjajakan semanggi dengan bermigrasi sirkuler ke Kota Surabaya,
serta maknanya.
A. Eksistensi Bakul Semanggi Gendong
Berdasarkan tabel tentang kharakteristik bakul semanggi gendong pada bab IV di
muka, dapat disimpulkan bahwa bakul semanggi gendong di kota Surabaya memiliki ciri-ciri:
1). Seorang perempuan kategori setengah tua dan tua dengan pengalaman puluhan tahun, 2)
Tingkat pendidikannya rendah, 3).Tingkat pendapatan tinggi jika dibandingkan dengan UMK
Kota Surabaya, 4).Pengalaman diperoleh dari budaya genetik atau turun temurun, dan 5).
Menjajakan ke Surabaya dengan bermigrasi sirkuler
Di samping karakteristik tersebut, bakul semanggi gendong Surabaya memiliki ciri
khas yang tidak dimiliki oleh pedagang atau bakul yang lain. Ciri-ciri khas tersebut di
antaranya: 1). Tradisional, baik dari bakul semanggi sendiri, seperti cara berpakaian,
dagangan yang dijual, kemasannya, sampai pada cara memasarkannya. 2). Hanya dilakukan
oleh perempuan, 3).Berasal dari satu lokasi tempat asal yang sama, 4)bermigrasi sirkuler
hanya ke kota Surabaya, 5). Cara menjualnya digendong, berjalan kaki, berkeliling ke
kampung-kampung di kota Surabaya, dan 6). Mempunyai pelanggan yang khas, orang tua.
Selain krakteristik dan ciri-ciri khas yang telah dijelaskan tersebut, bakul semanggi
gendong juga memberikan makna kepada diri merka sendiri tentang eksistensinya. Dari hasil
wawancara mendalam dengan 9 (sembilan) subyek bakul semanggi gendong, didapatkan data
Tabel 9 : Makna Bakul Semanggi Gendong
Berdasarkan penjelasan dan tabel 9 tersebut di atas bahwa proses mental yang
dialami oleh bakul semanggi gendong Surabaya adalah melalui proses interpretasi dari bakul
semanggi gendong sebelumnya dan merupakan hasil dari proses belajar, dengan memahami
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Kebiasaan-kebiasaan tersebut
adalah tradisi genetik, yaitu turun-temurun yang melekat secara melembaga dalam
lingkungan keluarga bakul semanggi gendong sendiri. Atas dasar pelembagaan inilah
memaksa orang-orang di lingkungan keluarga yang terlahir dari bakul semanggi gendong
juga harus melanjutkan tradisi generasi di atasnya yang menjadi bakul semanggi gendong
Surabaya.
Selain faktor tradisi turun-temurun, terdapat faktor-faktor lain yang ikut
mengantarkan individu-individu tersebut menjadi bakul semanggi gendong, diantaranya
adalah pendidikan yang rendah, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki terbatas,
pengalaman yang cukup, faktor lingkungan alam sekitar yang mendukung, serta pelanggan
yang setia di kota Surabaya.
teoritis khususnya dalam lingkup kajian ilmu sosial. Satu di antaranya adalah penulis
meminjam logika berpikirnya teori Embedednes dari Granovetter tentang keterlekatan.
Sebagai sebuah realita sosial, bakul semanggi gendong hadir dengan segala unsur
yang menjadi bagian hidup mereka. Singkatnya, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa
bakul semanggi gendong merupakan satu kesatuan yang lahir dengan identitas budaya
tersendiri yang menjadi ciri khas masyarakat Kendung.
Bicara tentang keterlekatan bakul semanggi gendong dibandingkan dengan
embedednes-nya Granovetter yang mengedepankan tentang jaringan, maka embedednes bakul semanggi gendong ternyata tidak hanya jaringan, namun banyak faktor seperti yang sudah
dijabarkan di muka tentang ciri-ciri khas bakul semanggi gendong. Dengan demikian,
keterlekatan pelembagaan yang terjadi pada bakul semanggi gendong akan melengkapi dan
menambahkan unsur-unsur keterlekatan yang telah ditemukan oleh Granovetter sebelumnya.
Selain itu pula, yang membedakan antara keterlekatan Granovetter dengan bakul semanggi
gendong adalah struktur masyarakatnya. Keterlekatan Granovetter terjadi pada struktur
masyarakat yang sudah modern, sedang keterlekatan bakul semanggi gendong pada struktur
masyarakat tradisional.
Terdapat perbedaan pula keterlekatan antara bakul semanggi gendong dengan
Granovetter, khususnya tentang jaringan untuk bermigrasi. Pada teori Granovetter, bermigrasi
banyak dilakukan karena ada keterlekatan dengan keluarga dekat atau teman yang dekat,
namun pada bakul semanggi gendong, bermigrasi dilakukan bukan karena ada hubungan atau
kedekatan dengan keluarga atau teman dekat, tetapi karena keterlekatannya dengan
pelanggan.
Jika ditarik kembali ke akar permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam
hadir dengan berbagai khazanah kebudayaan yang menjadi bagian terpenting dalam
kehidupan mereka.
Kebudayaan dipahami sebagai segala sesuatu yang terdiri atas berbagai komponen
yang saling terkait yang menjadi bagian dari sistem budaya masyarakat. Salah satu hal yang
bisa kita temukan pada bakul semanggi gendong adalah eksistensi dan konsistennya dalam
mempertahankan tradisi menjadi bakul semanggi gendong di tengah maraknya budaya
kuliner modern dan kuliner tradisional yang semakin bervariasi. Hal itu tercermin dari
fenomena bakul semanggi gendong yang dilakukan demi melanggengkan sebuah tradisi yang
telah dijunjung tinggi secara turun-temurun.
Sementara itu pula dikemukakan oleh pakar budaya, Koentjaraningrat yang dilansir
dari sebuah tulisannya, yaitu :
“Tradisi budaya tampak dalam adat-istiadat yang dianut oleh kelompok masyarakat.
Tradisi budaya menampilkan akumulasi keputusan-keputusan yang tergabung melalui proses
historis dari anggota masyarakat. Akumulasi keputusan-keputusan itu menyangkut pengertian
tentang sifat-sifat kelompok kebudayaan material, kewajaran dan keinginan untuk bertingkah
laku, suasana dari tingkah laku tersebut” (Soraya, 2009: 7).
Kutipan tersebut sekali lagi memberi gambaran bahwa tradisi budaya yang dianut
oleh bakul semanggi gendong tampak dari cara mereka dalam menjajakan dagangan
semanggi yang sejak dahulu hingga sekarang tidak ada perubahan, dan semuanya dilakukan
oleh kaum perempuan yang sudah berusia tidak muda lagi. Hal tersebut disinyalir merupakan
tradisi turun temurun keluarga bakul semanggi gendong sendiri dan banyak dilakukan oleh
masyarakat Kendung, khususnya perempuan generasi tua.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tradisi yang dilakukan bakul semanggi
yang menjadi landasan mengapa bakul semanggi gendongbegitu kuat mempertahankan
sebuah tradisi mereka, dan inilah yang menurut Granovetter adalah keterlekatan, dan
keterlekatan pada bakul semanggi gendong tersebut adalah keterlekatan pelembagaan yang
ada pada bakul semanggi sendiri (internal) dan keterlekatan dari luar bakul
gendong(eksternal).
Selain faktor tradisi turun-temurun/genetik, dan ketrampilan yang mumpuni, terdapat
faktor-faktor lain yang ikut mengantarkan individu-individu tersebut menjadi bakul
semanggi gendong, diantaranya adalah pendidikan yang rendah, pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki terbatas, pengalaman, faktor lingkunagan alam sekitar yang
mendukung, serta pelanggan yang setia di kota Surabaya.
Bakul semanggi gendong merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
masyarakat Kendung secara swadaya, mengelola sumber daya tumbuhan semanggi untuk
dijadikan suatu kuliner yang khas,dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya beserta
keluarganya. Bakul semanggi gendong di kota Surabaya merupakan salah satu bagian dari
ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan menekankan pada strategi bertahan hidup
(survival) bagi rakyat kecil dalam menjalani kehidupan. Sistem ekonomi kerakyatan berbasis pada kekuatan rakyat (Rintuh, 2005:5).
Menurut Fuad Hasan (1996,94): “Manusia sebagai wujud yang eksistensinya
menemukan peluang untuk aktualisasi diri terus menerus bukannya sekedar dihanyutkan oleh
realitas disekitarnya”. Ini berarti bahwa manusia sebagai subjek tidak bersifat pasif terhadap
lingkungan dan pengalaman-pengalamannya. Manusia dengan kemampuan akalnya, akan
mengolah dan merencanakan pengalaman-pengalaman baru.
E.B Taylor menempatkan konsep eksistensi atau survival sangat penting.
sebab selalu terjadi adanya budaya-budaya yang masih survive dikala sudah masuknya taraf
budaya yang lebih tinggi.
Lebih lanjut, Koentjaraningrat, (1998:17) mengemukakan bahwa nilai budaya
merupakan sebuah konsep yang hidup dalam alam pikiran manusia mengenai apa yang paling
berharga dalam hidup. Secara fungsional sistem nilai tersebut mendorong individu untuk
berperilaku seperti apa yang sudah ditentukan.
Menurut Kahl (1968, 9), sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara
emosional pada diri sesorang atau sekelompok orang, malah merupakan tujuan hidup yang
diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia tidaklah mudah, dibutuhkan
waktu, sebab,nilai-nilai tersebut merupakan wujud ideal dari lingkungan sosialnya.
Beberapa pernyataan tersebut sangat tepat dengan keberadaan bakul semanggi
gendong yang masih eksis di Kota Surabaya. Mereka mempertahankan tradisi lama dari
nenek moyangnya, dan diturunkan ke genarasi bakul semanggi gendongyang sekarang ini.
Tradisi tersbut sampai sekarang tidak berubah,yaitu tradisi menjajakan semanggi dengan
ciri-cirinya sendiri. Demikian pula halnya sistem nilai yang dianut juga tetap tidak berubah walau
perkembangan zaman sudah berubah. Nilai-nilai tersebut adalah
Asumsi pendekatan fenomenologi dalam melihat realitas bakul semanggi gendong
adalah bahwa bagi individu melakukan interaksi dengan sesamanya ada banyak cara
penafsiran pengalaman dan makna. Itulah yang sebenarnya membentuk realitas tindakan yang
ditampakkan dari keseharian bakul gendong semanggi.
Fenomenologi berupaya untuk memahami makna kejadian, gejala yang timbul dan
atau interaksi bagi individu pada situasi dan kondisi tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Ia
mengkaji masuk ke dalam dunia makna yang terkonsep dalam diri individu bakul gendong
menjawab pertanyaan pertanyaan bagaimanakah struktur dan hakekat pengalaman terhadap
suatu gejala bagi individu (Ritzer,1992:46; Orleans, 1997:1459; Campbell, 1994:234).
Pemahaman bakul semanggi gendong khususnya tentang eksistensinya, dilihat dari
because motives atau motif sebab, bagaimana mereka tetap eksis menjalankan usaha bakul semanggi gendong. Pertama, selama belasan tahun para bakul semanggi gendong sudah berpengalaman menjadi bakul semanggi. Selain faktor turun-temurun, telah banyak
pengalaman yang didapatkan seperti interaksi sesama bakul semanggi gendong terjalin baik.
Demikian juga interaksi bakul semanggi gendong dengan pelanggannya, seperti yang
disampaikan oleh subjek bakul semanggi gendong yang bernama ibu Salamah (56 tahun).
“Pengalaman kulo geh saking Mak kaleh Mbah kulo. Saklintune geh saking sederek kaleh morosepuh, konco-konco sami bakule, sakbendinten kan sering kepanggeh, sareng-sareng berangkat saking Kendung teng Suroboyo neteh bemo”.
Terjemahan: “Pengalaman saya diperoleh dari Mak (Ibu) dan Mbah (Nenek), serta
saudara perempuann saya dan mertua. Selain itu, diperoleh dari interaksi dengan sesama
teman bakul semanggi gendong, dimana hampir setiap hari berangkat dari Kendung menuju
Kota Surabaya bersama-sama naik angkot”.
Kedua, eksistensi bakul semanggi gendong juga didukung oleh mudahnya para bakul semanggi gendong mendapatkan bahan baku, yaitu dengan menanam sendiri, atau
mendapatkan dari juragan, yaitu orang yang memasok bahan baku semanggi dan disediakan
bagi para bakul semanggi gendong yang tidak menanam sendiri. Semua subjek bakul
semanggi gendong mengatakan bahwa untuk mendapatkan bahan baku semanggi cukup
mudah, seperti yang dikatakan subjek bakul yang bernama ibu Warsini (52 tahun) “ Saya
telah menanam sendiri semanggi di pekarangan rumah saya, biar sempit lumayan bisa tumbuh
terus asal harus selalu disiram air bila musim kemarau tiba”.
Sedang subyek yang lain memasok dari juragan, seperti yang disampaikan oleh ibu
“Saya biasanya membeli dari juragan Darsining yang sudah menyediakan
bahan-bahan semanggi’.
Ketiga, eksistensi bakul semanggi gendong didukung oleh semangat yang kuat untuk tetap menjajakan semanggi karena penghasilan yang diperolehnya cukup banyak. Hal tersebut
dapat dibandingkan dengan UMR tenaga kerja di Kota Surabaya yang pada tahun 2012
sebesar Rp 1.800.000,00 dan pada tahun 2014 ini mencapai Rp 2.200.000,00 per bulan.
Penghasilan yang diperoleh bakul gendong semanggi ternyata jauh lebih besar dibandingkan
dengan UMR tenaga kerja di Kota Surabaya, dan itulah yang menjadi motivasi tersendiri bagi
bakul gendong semanggi untuk tetap eksis, seperti yang disampaikan oleh subjek penelitian
yang bernama ibu Mu’ripah, umur 67 tahun, ibu Rukana, umur 66 tahun, dan ibu Ati, umur
59 tahun.
“Kulo sek semangat sadean semanggi soale hasile cukup lumayan sakbedinten mbeto yotro daos saget nyukupi kebutuhan kaleh nyangoni putu-putu kulo”.(Ibu Mu’ripah)
Terjemahan: Saya masih tetap semangat menjajakan kuliner semanggi karena
terdorong oleh penghasilan yang cukup lumayan dan setiap hari selalu memegang uang untuk
mencukupi kebutuhan dan untuk memberi uang saku cucu-cucu saya.
“Kulo sadean semanggi teng Suroboyo saget angsal yotro Rp125.000.- sampai Rp200.000,- sakbendintene, dados saget damel blonjo maleh kaleh nyangoni putu kulo’ (Ibu Rukana).
Terjemahan: ‘Saya menjual semanggi di Surabaya bisa dapat uang sekitar
Rp.125.000,- sampai Rp.200.000,- setiap hari, jadi bisa untuk belanja lagi dan memberi uang
saku cucu saya’.
menjajakan dagangan semangginya di Kota Surabaya. Bahkan salah satu bakul mengatakan
yaitu ibu Mu’ripah (66 tahun), bahwa: “Kalau tidak dijajakan di kota Surabaya, di sekitar
Kendung sendiri tidak laku, apabila laku harganya sangat murah dan tidak pernah habis,
sehingga rugi dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari”.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh subyek bakul semanggi gendong yang lain
seperti ibu Rukana, (65 tahun), ibu Salamah, (53 tahun), ibu Patemi, dan ibu Muni, seperti
berikut:
“Kulo niki sakben dinten sadeane geh teng Suroboyo, soale ked riyen mak kulo geh sadean ngriki, nopomale pun gada langganan, nek teng Kendung utawi Benowo geh kurang laku, wong teng ngriko gene, terus regine murah, dados hasile namung sekedhik”.
Diterjemahkan, “Saya ini setiap hari menjajakan ke Surabaya, karena sejak dulu ibu
saya juga menjajakan di sini, apalagi sudah punya langganan, kalau di Kendung atau Benowo
kurang laku, karena di sana tempatnya, sehingga hasilnya sangat kecil sekali”
Kelima, eksistensi bakul semanggi gendong juga dodorong oleh motivasi. Motivasi yang dimaksud bisa berasal dari dalam dan dari luar. Motivasi dari dalam karena dorongan
diri sendiri untuk meneruskan tradisi orang tua, dan kebutuhan hidup, dan motivasi dari luar
terdorong untuk memenuhi selera pelanggan dan mendapatkan penghasilan.
Pernyataan seperti tersebut seperti dikatakan oleh subjek bakul semanggi gendong
ibu Muni, sebagai berikut:
“Motivasi kulo sadean semanggi gendong niki geh nerusaken tradisine tiyang sepuh kulo kaleh kebutuhan sakbindintene tambah kathah. Lah niku saget angsal hasil sing cukup nek nyadene teng Suroboyo, soale pun gadhah langganan”.
Diterjemahkan; “Motivasi saya jualan semanggi untuk melanjutkan tradisi orang tua
saya dan kebutuhan yang tambah banyak. Itu bisa dicapai kalau menjualnya di Surabaya
karena di sana sudah punya pelanggan”.
Hierarki kebutuhan keluarga maupun kebutuhan perempuan bakul semanggi
yaitu kebutuhan dasar manusia untuk menjaga agar dia dan keluarganya tetap hidup, seperti
makanan, minuman, pakaian, dan perumahan.
Dari semua jawaban subjek bakul semanggi gendong, secara because motives (motif sebab), bagaimana bakul semanggi gendong tetap eksis, ternyata banyak faktor yang
mendukung, di antaranya adalah: 1) tradisi dan pengalaman turun temurun dari keluarga,
pengalaman yang cukup; 2) mudah memperoleh bahan baku semanggi; 3) penghasilan dari
menjajakan semanggi yang cukup banyak; 4) adanya pelanggan yang setia di Kota Surabaya,
hingga bermigrasi sirkuler, dan 5) motivasi, dari dalam dan luar, baik dari diri sendiri maupun
dari keluarga, serta lingkungan sekitar. Faktor-faktor tersebut telah melembaga dan melekat
bertahun-tahun lamanya hingga terjadi keterlekatan./embededness. Atas dasar hasil penelitian
terhadap subyek bakul semanggi gendong tersebut ditemukan proposisi sebagai berikut:
Bakul semanggi gendong di Kota Surabaya tetap eksis karena ada keterlekatan kelembagaan ekonomi dan sosiologi.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap subyek bakul semanggi gendong, bagaimana
mereka tetap eksis, secara in order to motives (motif supaya), agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya, seperti yang dijelaskan oleh subyek bakul
semanggi gendong bernama ibu Sumi (52 tahun), seperti berikut ini::
“Saya tetap menjadi bakul gendong semanggi supaya memperoleh kesejahteraan dan meningkatkan penghasilan. Saya ingin penghasilan yang cukup agar ekonomi keluarga saya lebih baik, sehingga dapat memenuhi kebutuhan, tidak hanya kebutuhan pokok, tetapi kebutuhan yang lainnya, misalnya dapat membeli tanah, membeli peralatan rumah tangga yang lebih baik, seperti : lemari es, televisi, kipas angin, dan yang lainnya”.
Menurut subjek bakul semanggi gendong yang sama, ibu Sumi, dikatakan
bahwa:
Dari hasil penelitian ini penulis menemukan proposisi bahwa:
Makna Eksistensi bagi bakul semanggi gendong adalah sebuah perjuangan dan perjalanan panjaang dan harus bermanfaat bagi kehidupan keluarga.
Penjelasan subyek bakul semanggi gendong, Ibu Sumi tersebut di atas, yang
mempertanyakan tentang eksistensinya dikaitkan dengan budaya kuliner khas kota Surabaya,
nampaknya tidak begitu penting, karena yang terpenting bagi dia (subjek Ibu Sumi), adalah
untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin lama semakin meningkat. Hal yang
terpenting bagi nya bahwa setiap hari dapat uang, sehingga bisa menjajakan semanggi lagi
dan keuntungannya dipakai untuk menambah kebutuhan keluarga.
Hal yang berbeda dari jawaban bakul semanggi gendong yang lain, dijelaskan oleh
ibu Mu’ripah, bahwa;
“Selain untuk mencari uang, keberadaan saya sebagai bakul gendong sangat dibutuhkan oleh masyarakat pelanggan semanggi maupun pemerintah kota Surabaya, bila ada acara di Kelurahan, biasanya semanggi saya diborong, demikian juga dengan acara ulang tahun Kota Suabaya, saya juga diminta menyiapkan semanggi gratis yang disiapkan untuk masyarakat. Kuliner semanggi gendong ini adalah kuliner khas Kota pahlawan dan harus tetap dilestarikan, apalagi sekarang sudah banyak anak muda yang menjual semanggi bukan digendong, namun di jual di dalam gedung dan menetap, itu berarti sudah menghilangkan tradisi bakul semanggi yang asli. Kalau sekarang saya menjadi bakul gendong seperti ini berarti saya menghargai leluhur saya sendiri”.
Eksistensi bakul semanggi gendong ini nampaknya tidak akan bertahan lama setelah
generasi bakul gendong yang ada saat ini. Hal tersebut disampaikan oleh para bakul gendong,
di antaranya: Ibu Patemi dan Ibu Munawaroh. Mereka mengatakan bahwa:
“Jaman sakniki mboten gampang marisaken tradisi bakul semanggi gendong niki teng anak-anak kulo. Lare-lare luweh seneng nyambut damel lintune, umpami teng pabrik, toko, super market, kantor-kantor, lan sak lintune, sing terose mboten soro kados kulo”
“Jaman sekarang ini sangat sulit untuk mewariskan tradisi bakul semanggi gendong kepada anak-anak saya. Mereka lebih senang bekerja yang lain, misalnya di pabrik, di toko-toko, super market, di kantor-kantor, dan yang lain, yang menurut mereka tidak sengsara seperti saya ini”.
“Eksistensi bakul semanggi gendong di Kota Surabaya bermotif ekonomi dan ekonomi tradisi”.
Bakul semanggi gendong akan mewakili masyarakat Kendung, Benowo, tentang
bagaimana cara dan sifat lokal untuk tetap dapat bertahan hidup (survive). Ini adalah realitas, tetapi juga sebuah proses ekonomi yang dilatarbelakangi oleh dukungan relasi sosial budaya
secara kekeluargaan yang turun-temurun.Sebagaimana disebut oleh Whitehead sebagai
realitas adalah proses (Laurer, 2003:188). Realitas bukan sesuatuyang dibuat-buat, tetapi realitas ditetapkan menurut kejadian yang mengandung kreativitas, saling ketergantungan dan
dialektika.
B. Migrasi Khas Bakul Semanggi Gendong Dan Maknanya
Salah satu unsur bakul semanggi gendong tetap eksis adalah adanya
embededness/keterlekatan bakul semanggi dengan pelanggan. Keterlekatan inilah hingga bakul semanggi gendong melakukan migrasi sirkuler ke Kota Surabaya. Lebih lanjut
bagaimana migrasi yang dilakukan bakul semanggi gendong, maka akan didiskripsikan
migrasi khas dan maknanya bagi bakul semanggi gendong sendiri.
Bermigrasi sirkuler bagi bakul gendong semanggi merupakan kegiatan rutin yang
setiap hari dilakukan. Migrasi bakul semanggi gendong adalah migrasi yang bersifat
sementara karena dilakukan setiap hari dan selalu pulang balik atau yang biasa disebut
dengan migrasi sirkuler, yaitu migrasi yang tidak menetap di daerah tujuan migrasi.
Migrasi sirkuler bakul semanggi gendong bertujuan tidak untuk mencari pekerjaan
atau yang lain, selain menjajakan dagangannya, yaitu semanggi gendong. Adapun migrasi
sirkuler bakul semanggi gendong mempunyai rute-rute tertentu (Tabel 6, Bab IV), dan
jadwal khusus, karena tidak ada perkumpulan atau paguyuban yang dibentuk secara khusus
untuk bakul semanggi gendong, sehingga rute yang dilalui terserah kepada bakul semanggi
gendong masing- masing. Hanya saja bakul semanggi gendong biasanya dalam bermigrasi
menjajakan dagangannya akan melewati rute yang setiap hari dilalui, dengan cara bergilir
setiap seminggu sekali melewati kampung-kampung yang sama, karena di situlah
pelanggan-pelanggannya menunggu kedatangannya.
Bakul semanggi gendong dalam melakukan tindakan migrasi sirkuler tentu dilandasi
berbagai alasan mendasar yang mendorong mereka. Ada beberapa hal yang memotivasi
mereka untuk melakukan migrasi. Motivasi berasal dari kata motivation yang berarti
dorongan, kata kerja motivasi yaitu motif berarti alasan dan daya penggerak
(Suryobroto, 1984). Salah satu teori motivasi yang terkenal adalah teori kebutuhan yang
dikemukakan oleh Abraham Maslow. Menurut Maslow bahwa setiap diri manusia itu terdiri
atas lima kebutuhan yaitu; kebutuhan fsiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial,
kebutuhan status atau ego dan kebutuhan aktualisasi diri. Pemenuhan kebutuhan yang
dinyatakan oleh Maslow didasarkan pada dua asumsi yaitu: pertama, kebutuhan seseorang
yang bergantung pada apa yang dimilikinya; kedua, kebutuhan yang merupakan hirarki yang
dapat dilihat berdasarkan kepentingannya (Alma,2001: 78).
Teori kebutuhan Maslow secara konseptual didukung dengan pendapat David
Mcclelland. Dalam bukunya berjudul The Achieving Society, David mengungkapkan bahwa dorongan untuk mencapai keberhasilan merupakan motif yang penting untuk menentukan
keberhasilan seseorang dalam berusaha (Alma,2001:27). Konsep The Need for Achievment, menjelaskan konsep mengenai kebutuhan atau dorongan untuk berprestasi dan tidak sekedar
untukmeraih imbalan material yang besar tetapi karena ingin mendapatkan kepuasan karena
Teori ini relevan dengan permasalahan yang akan dibahas, untuk memahami lebih
dalam lagi tentang makna bakul gendong semanggi bagi dirinya sendiri dalam
mempertahankan eksistensinya sehingga mereka tetap melakukan aktivitas bermigrasi untuk
menjajakan semanggi yang selama ini menjadi sumber perekonomian bagi kehidupan mereka.
Hasil penelitian terkait dengan migrasi bakul semanggi gendong, migrasi bagi
mereka memiliki makna yang berbeda-beda. Migrasi sirkuler bagi bakul semanggi gendong
ada yang bermakna ekonomi maupun non ekonomi, seperti yang dipaparkan di bawah ini.
Migrasi sirkuler bakul semanggi gendong bermakna ekonomi, seperti yang dikatakan
oleh para subyek penelitian, antara lain; ibu Ati, ibu Mu’ripah, ibu Rukana, ibu Muni, ibu
Warsini, ibu Munawaroh, ibu Patemi dan ibu Sumi, artinya bahwa: “Dengan melakukan
migrasi sirkuler, maka kami dapat merubah kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan
agar menjadi lebih baik, karena dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari,
termasuk membiayai anak sekolah”. Mereka mengatakan bahwa Tuhan tidak akan merubah
nasib suatu kaum kalau kaum itu sendiri tidak mengubahnya.
Migrasi sirkuler sebagai bakul semanggi gendong memiliki makna religius, bila
dikaitkan dengan pekerjaan Nabi Muhammad SAW, bahwa pada masa hidupnya, beliau
bekerja sebagai pedagang. Berdagang merupakan suatu migrasi sirkuler yang bertujuan ingin
merubah nasib.
Berkaitan dengan keyakinan agama bakul gendong yaitu agama Islam, menjajakan
semanggi atau berdagang semanggi adalah sebuah simbol dalam melaksanakan ajaran agama, hal ini berarti bahwa migrasi sirkuler memiliki makna kesadaran religiusitas, seperti yang
dikatakan oleh ibu Rukana, ibu Salamah dan ibu Mu’ripah, bahwa:
orang lain atau pelanggan yang kangen dengan kuliner khas Surabaya ini, sekaligus ikut melestarikan budaya kulinernya, itu adalah wujud ibadah”.
Makna yang lain dari migrasi sirkuler bakul semanggi gendong adalah makna
solidaritas, seperti yang dijelaskan oleh beberapa subjek bakul gendong antara lain, ibu
Rukana, ibu Mu’ripah, ibu Patemi dan ibu Muni, bahwa:
“Dengan migrasi sirkuler menjadi bakul gendong semanggi, kami ini bisa berangkat bersama-sama menyewa kendaraan, biayanya patungan, bahkan bila diantara kami belum ada uang akan ditalangi atau dipinjami dulu oleh bakul yang lain yang punya kelebihan uang”.
Kejadian seperti itu sering dialami oleh mereka, tidak hanya pada saat melakukan
migrasi saja, tetapi akibat dari perjalanan migrasi sirkuler tersebut mereka menjadi lebih
dekat antara satu dengan yang lain, apalagi mereka merupakan tetangga, baik tetangga dekat
maupun tetangga satu dusun, sehingga bila ada kesulitan akan saling membantu.
Migrasi sirkuler bakul semanggi gendong juga bermakna pengetahuan, artinya
bahwa:
“Dengan melakukan migrasi sirkuler kami memikili kesadaran yang baik tentang pengetahuan, terutama diri sendiri tentang anak-anak kami akan pentingnya pendidikan, sehingga terdorong untuk memberikan pendidikan terhadap anak-anak lebih baik seperti orang-orang Surabaya”.
Pernyataan ini dikatakan oleh subjek bakul semanggi gendong ibu Salamah, Ibu
Munawaroh dan ibu Sumi. Mereka menginginkan anak-anak mereka bisa bekerja enak
dikemudian hari, supaya tidak seperti mereka yang sengsara karena pendidikan mereka hanya
SD atau bahkan ada yang tidak tamat.
Migrasi sirkuler bakul gendong semanggi bermakna tradisi, artinya adalah bahwa
migrasi yang dilakukan oleh bakul gendong semanggi sudah merupakan tradisi yang turun
temurun dari para pendahulu keluarga bakul gendong tersebut, seperti yang dijelaskan oleh
subyek bakul semanggi bernama ibu Munawaroh, usia 54 tahun, asal Desa Kendung.
tetap mempertahankan tradisi keluarga tentang semanggi, apalagi ibu mertua saya sudah semakin tua, siapa lagi yang akan melanjutkan kalau bukan saya”.
Hal serupa juga dikatakan oleh subjek bakul semanggi gendong yang lain, Ibu Muni,
(59 tahun), seperti berikut:
“Saya merupakan warga asli Kendung yang telah lama menjadi bakul gendong semanggi. Sudah 26 tahun lamanya. Hampir seluruh keluarga saya bekerja sebagai bakul gendong semanggi. Menjadi bakul gendong semanggi merupakan suatu tradisi dalam keluarga saya pada jaman saya masih muda, bahkan jika salah satu anggota keluarga ada yang menolak untuk menjadi bakul gendong semanggi, terutama perempuan, maka ia akan dikucilkan”.
Bakul semanggi gendong merupakan kumpulan dari beberapa masyarakat biasa yang
berasal dari satu lokasi pinggiran kota Surabaya dan mengadu nasib di kota Surabaya.
Tuntutan ekonomi yang besar menjadi dorongan yang membuat mereka berjuang keras dan
mengadu nasib bersaing dalam perekonomian kota. Tuntutan pendidikan yang rendah serta
permodalan yang kecil, ditunjang dengan pengalaman dan tradisi genetik yang turun temurun,
menjadi alasan utama mereka memilih menjadi bakul semanggi gendong. Persamaan nasib
dan kebersamaan yang selalu dipupuk menimbulkan rasa persaudaraan yang tinggi diantara
bakul semanggi gendong. Memiliki tujuan yang sama untuk mendapatkan hasil yang banyak,
sesungguhnya mereka anggap sebagai hal yang utama, bagi mereka rasa solidaritas dan
persaudaraan merupakan pemenuhan kebutuhan yang tidak bisa tergantikan, seperti yang
disampaikan subyek bakul berikut:
“Geh kulo kadang sadean semanggi teng Suraboyo ketelasan krupuk puli soale tiang tumbas semanggi terus kaleh tumbas kerupuke kathah, dados cepet telas, tapi untung ketemu konco sing sami bakul semanggi, kulo saget nempel krupuke rumiyen, gih disukani”(Ibu Patemi,2012).
“Ya saya kadang jualan semanggi ke Surabaya kehabisan krupuk puli karena banyak pelanggan yang beli semanggi minta krupuk lebih banyak, jadi cepat habis, tetapi untung ada teman sesama bakul semanggi , sehingga saya bisa pinjam dulu dan diberi”
Bakul semanggi gendong sebagai bagian dari anggota masyarakat tentunya memiliki
gendong memiliki perilaku yang unik, ini terasa ketika mereka kekurangan krupuk puli atau
daun pisang untuk wadah, ternyata mereka saling membantu satu dengan yang lain, sehingga
terjadi budaya solidaritas yang tinggi.
Pada masyarakat Jawa, khususnya Jawa Timur, kebudayaan dikenal sebagai
kebudayaan arek. Budaya arek sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan
harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana(tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka
kesejahteraan akanJawa Timur sebagai sebuah wilayah didukung beragam corak
kebudayaan.Secara kultural Jawa Timur memiliki tiga corak budaya dominan yaitu, budaya
Mataraman, budaya Arek, dan budaya Pandalungan. Budaya Arek di wilayah utara mencakup
Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban, sementara untuk budaya Mataraman yang dipengaruhi
Solo dan Yogyakarta, mencakup Blitar, Tulungagung, Kediri, Ponorogo, Madiun. Untuk
budaya Pandalungan dipengaruhi budaya Madura.
Keberagaman corak budaya di Jawa Timur ini makin didukung oleh lingkungan
berupa pesisiran, gunung, dan sungai, serta kedekatan Jawa Timur dengan wilayah lainnya
seperti Madura, dan Bali.
Dilihat dari sisi budaya bakul semanggi gendong sendiri karena lokasi asal bakul
semanggi gendong secara geografis terletak di wilayah Surabaya Barat, namun secara budaya
termasuk budaya arek karena wilayah semanggi terletak di antara Surabaya dan Gersik.
Arek adalah sintesis perjuangan. Sebuah karakter yang berkodefikasi kultural. Tapi
bukan etnosentristik. Terbentuk dari alam yang keras, penuh bencana dan berkontribusi pada
Sebuah penyatuan berbagai konsepsi seduluran, seperti Cina, Arab dan Madura. Meskipun,
Madura secara intrinsik juga terbangun dalam konsepsi seduluran Cina dan Arab.
Menurut Autar (2012), Sintesis perjuangan arek adalah perlawanan naturalistik dan
komunal. Pijakan naturalistiknya sangat erat dengan kondisi alam yang penuh tantangan di
masa lalu. Inilah yang membedakannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain di Nusantara.
Daya juang yang tumbuh dalam manusia Arek adalah kemampuannya menempatkan diri
secara simultan. Tidak gradual seperti dalam masyarakat Jawa pada umumnya dan
kebudayaan yang banyak dipengaruhi kebudayaan Jawa maupun Sunda dan Melayu.
Satu hal lagi, adalah militansi. Arek bukan manusia yang mudah menyerah oleh
keadaan apapun, hal itu telah dibuktikan dalam sejarah bagaimana perlawanan arek-arek
Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia, dimana sekutu
ingin merebut kembali dengan menyerang dan menduduki kota Surabaya. Arek-arek
Surabaya dengan beraninya melawan tentara sekutu yang persenjataannya lebih modern dan
ternyata mereka berhasil merebut kembali Kota Surabaya ini ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Aspek-aspek keberanian dan kenekatan dari masyarakat pendukung budaya arek
(Basundoro, 2012), merupakan kontribusi dari keberanian dan kenekatan orang-orang
Madura. Keterbukaan dan egalitarian masyarakat pendukung budaya arek, merupakan
kontribusi dari budaya pesisir. Solidaritas yang kuat, guyub dan rukun merupakan kontribusi
dari budaya pedesaan yang agraris.
Dengan demikian, budaya arek merupakan hibrid atau gabungan atau cangkokan dari budaya pesisir Surabaya, budaya Madura, dan agraris dari pedesaan di kawasan
hinterland yaitu Surabaya pinggiran, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Malang dan sekitarnya.
Memasuki abad 20 hingga abad Millenium ini, Arek mengalami tafsir yang
Menerima secara sadar dan terbuka terhadap unsur-unsur pembentuknya, bukan
mempertahankan diri pada situasi kekinian yang telah mengalami kontaminasi historis.
Kontaminasi historis ini juga berakibat pada rendahnya pemahaman generasi masa kini
terhadap konteks sosio-kultural Arek. Yakni, masyarakat kampung dengan segala pandangan
keterbelakangannnya. kekumuhan dan ketidakberdayaan.
Masyarakat kampung, bukan masyarakat yang terstratifikasi seperti sekarang ini.
Tetapi adalah masyarakat baru yang terbentuk dari pembenahan moralitas dan disiplin
Hindu-Jawa. Jika ingin ditarik lebih jauh, maka masyarakat kampung adalah pembentuk jiwa,
ideologi dan pengetahuan yang selalu dikesampingkan dalam memahami kultur Arek.
Akibatnya, Arek menjadi ilusi masa lalu.
Arek dan kampung adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Melalui
dinamika kampung, Arek tersublimasi menjadi sebuah gerakan bersama. Pelabuhannya
adalah integrasi sosial yang mampu menyederhanakan problematika berkehidupan di
tengah-tengah masyarakat. Penyederhanaan ini bisa dimaknai sebagai pemberian nuansa
ketenteraman, keselamatan dan keguyuban. Disinilah kebiasaan-kebiasaan dikembangkan
menjadi tradisi maupun sebagai pengetahuan antar masyarakat dalam kultur Arek.
Menurut Leli Kusuma dkk. dalam penelitiannya yang berjudul “Ekspansi Pedagang
Acung Kintamani ke Daerah Domisili Wisatawan di Kota Denpasar” Tahun 2008
mengungkap bagaimana keberadaan pedagang acung yang berasal dari daerah Kintamani
Bangli berusaha masuk ke perekonomian daerah kota khususnya Denpasar dan mampu
mendominasi usaha dagang acung khususnya di daerah wisata perhotelan yang ada di
Denpasar.
Pedagang acung Kintamani datang bersaing dalam sistem perekonomian kota dan
menyesuaikan diri dengan sistem yang ada sehingga berhasil dalam melakukan usaha sektor
kelompok, sehingga lahir disintegrasi sosial. Selain itu, muncul pula alienasi kesadaran, yang ditandai oleh hilangnya keseimbangan kemanusian karena meletakkan rasio atau akal pikiran
sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang menampilkan rasa dan akal budi (Nazir,
1988:6).
Berbagai keterasingan tersebut sesungguhnya bertentangan dengan ajran-ajaran
atau kearifan lokal yang kita kenal selama ini baik di tingkat nasional maupun lokal. Di
tingkat nasional kita mengenal istilah gotong royong, tenggang rasa (tepa salira), dan musyawarah mufakat. Pada tataran lokal kita mengenal bermacam-macam konsep yang
maknanya sama. Noronga' uchugawoni, noro' uchu geo, alisi tafa daya-daya, hulu ta farwolo-wolo (berat sama dipikul, ringan sama dijinjing) kata orang Nias. Sigilik seguluk selunglung sebayantaka (susah senang kita harus sama-sama)kata orang Bali (Imawan 2004:1).
Secara sadar dan terencana perlu kiranya dikembangkan konsep sadar budaya,
termasuk revitalisasi kearifan lokal tersebut.Selain itu, penggalian atau penemuan kembali
kearifan-kearifan lokal dalam menumbuhkan budaya multikultural di antara berbagai etnik
perlu terus dilakukan dalam membentengi diri menghadapi gelombang pengaruh budaya
global.
Dari informasi tersebut tampak bahwasannya budaya masyarakat Indonesia pada
umumnya adalah gotong-royong dan bekerja sama masih mereka terapkan. Berhubungan
dengan budaya bakul semanggi gendong, secara umum sama seperti budaya masyarakat
Indonesia pada umumnya, tetapi secara substansial, budaya bakul semanggi gendong menurut
penulis telah dibentuk oleh budaya arek, yang memiliki ciri-ciri pantang menyerah, berani,
selalu menanamkan konsep seduluran, kental dengan kehidupan kampung, dan lain-lain.
tempat asal mereka berbatasan dengan Kabupaten Gresik yang merupakan hinterland
Surabaya di wilayah utara dan barat.
Dengan semangat bekerja keras untuk mempertahankan ekonomi dan tradisinya,
dibutuhkan bentuk solidaritas dan kekerabatan yang sangat kuat antar bakul gendong
semanggi.Hal tersebut menjadi bukti bahwa keberadaan mereka sebagai bentuk yang tidak
terorganisasi, bekerja keras menjajakan kuliner semanggi dan bersaing dengan perekonomian
kota metropolitan Surabaya yang keras, mereka mampu bertahan hingga sekarang. Dengan
demikian, dalam migrasi sirkuler khas bakul semanggi gendong dan misi budaya yang
mereka terapkan adalah budaya arek yang merupakan simbol keberanian, pantang menyerah,
dan mandiri.
Pemaparan tersebut membawa penulis menemukan proposisi:
Migrasi sirkuler khas bakul gendong semanggi di Surabaya telah membawa misi budaya arek yang lekat dengan simbol keberanian, pantang menyerah dan kemandirian.
Perspektif fenomenologi digunakan untuk memahami pemahaman bakul semanggi
gendong terhadap makna migrasi sirkuler yang dilakukannya.Pemahaman tentang
pemahaman ini diharapkan menghasilkan suatu temuan yang dapat menambahkan peneliti
mencapai "sesuatu itu sendiri" dan tujuan filsafatnya adalah suatu filsafat tanpa adanya
praduga-praduga. Ungkapan yang terkenal dari Husserl adalah "seseorang mengurung
dunianya yang bersifat objektif, dengan cara memahami dunia yang bersifat subjektif, oleh
karena itu diperlukan metode yang disebut "reduksi", dan dengan reduksi ini mendorong
kaum fenomenologi untuk mentransformasikan dirinya sendiri ke dalam sosok peneliti yang
tidak berkepentingan (Zeitlin, dalam Juhanda & Anshori, 1998: 216-217).
Penggunaa fenomenologi untuk memahami fonomena migrasi bakul semanggi
gendong sebagai sebuah keterlekatan kelembagaan dan realitas subjektif membutuhkan
yang paling penting adalah mengembangkan suatu metode yang akurat sehingga mampu
mendorong.Inti dari pemikiran Husserl tentang “reduksi" adalah untuk melampaui pemikiran
sampai bisa melakukan refleksi.Dengan refleksi maka sesuatu yang sebelumnya sudah
diketahui menjadi dipertanyakan kembali. Jika kajian migrasi selama ini telah diketahui
faktor-faktor penyebabnya, maka menjadi dipertanyakan lebih mendalam tentang bagaimana
proses dan makna migrasi bakul gendong bagi mereka? Fakta-fakta yang dulunya tidak
diperhatikan (dianggap tidak penting), proses "reduksi" menjadi suatu sikap yang
memperhatikan akan hal itu, sehingga mendapatkan sesuatu yakni makna migrasi bagi
mereka. Di saat peneliti mulai merefleksi dunia yang telah "tereduksi" maka segera akan
menemukan bahwa dunia bukanlah bersifat pribadi, tetapi suatu dunia makna dan nilai yang
telah diciptakan secara inter subjektif.
Dari hasil penelitian tentang makna migrasi sirkuler bagi bakul semanggi gendong,
dapat disimpulkan bahwa makna migrasi sirkuler yang dilakukan memiliki makna antara lain:
1) Migrasi sirkuler bakul gendong bermakna ekonomi; 2. Migrasi sirkuler bakul gendong
bermakna religius; 3) Migrasi sirkuler bakul gendong bermakna solidaritas; 4) Migrasi
sirkuler bakul gendong bermakna pengetahuan, dan 5) Migrasi sirkuler bakul gendong
bermakna tradisi.
Dengan demikian, tindakan bakul semanggi gendong melakukan migrasi sirkuler
khas ke Surabaya dapat penulis temukan proposisisebagai berikut:
Migrasi sirkuler khas bakul semanggi gendong semanggi di Kota Surabaya bermakna ekonomi, religius, solidaritas, pengetahuan, dan tradisi.
C. Makna Bakul Semanggi Gendong Bagi Bakul Semanggi Sendiri Dan Pelanggan.
mikro. Metode analisis data menggunakan first order understanding, yakni meminta peneliti aliran ini menanyakan kepada subjek penelitian guna mendapatkan penjelasan yang benar,
informasi inilah yang disebut eksternalisasi menurut pemahaman Berger. Selanjutnya. peneliti
melakukansecond order understanding, yakni peneliti memberikan interpretasi terhadap interpretasi subjek penelitian guna memperoleh suatu makna baru mengenai alasan yang
mendasari tindakan mereka memilih bekerja menjadi bakul semanggi gendong, dengan
menjaga eksistensi serta melakukan migrasi sirkuler, konstruksi sosial menjadi bakul
semanggi gendong dan maknanya, informasi inilah yang disebut objektivasi menurut
pemahaman Berger.
Pada konteks memahami makna bakul semanggi gendong ini digunakan pendekatan
fenomenologi Berger dan Luckman sebagaimana pandangan ini menyatakan bahwa tindakan
manusia adalah sebagai produk proses internalisasi dan eksternalisasi, artinya setiap tindakan
yang dilakukan manusia dilakukan secara dialektik bagi dirinya sendiri, serta dalam dirinya
dengan kondisi masyarakat di sekitarnya. Masyarakat adalah produk individu (eksternalisasi)
dan sebaliknya masyarakat mempengaruhi kembali individu (internalisasi), (Berger,
1994:210). Dalam konsep ini Berger menempatkan subjek terteliti sebagai subjek yang kritis
dan problematik, artinya menyertakan pengetahuan yang dimiliki oleh subjek peneliti.
Dengan demikian untuk memahami makna bakul semanggi gendong bagi dirinya
sendiri meliputi proses eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.
1. Eksternalisasi: Momen Adaptasi Diri
Proses eksternalisasi pada hakekatnya adalah proses penyesuaian dengan struktur
sosial yang ada. Dalam hal ini adalah struktur sosial masyarakat sekitar bakul gendong yang
didominasi oleh struktur masyarakat pedagang dan buruh.
Bakul semanggi gendong dimaknai di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar
mempertahankan tradisi keluarga yang turun- temurun, dan menjadi tulang punggung bagi
keluarga.
Usaha menjadi bakul semanggi gendong tidak semua orang mampu melakukannya.
Dengan keahlian memasak daun semanggi menjadi suatu kuliner yang khas dan menjadi ikon
kota Surabaya serta digemari oleh sebagian masyarakat kota Surabaya, tentunya akan menjadi
beban tersendiri bagi bakul semanggi gendong untuk menjaga dan melestarikannya.
Selama ini harus diakui bahwa masih sedikit dan terbatassuatu penelitian yang
mendalam dan komprehensiftentang bakul semanggi gendong.Kajian mendalam yang
dimaksud adalah melihat bagaimanaperilaku dan aktivitas para bakul semanggi gendong yang
lebih didominasi oleh aspek ekonomi yang ternyata menyimpan potensi dan nilai-nilai sosial
budaya. Nilai-nilai tersebut sesungguhnya merupakan suatu bentuk nilai yang muncul dari
tatanan kedaerahan yang berbentuk ikatan-ikatan budaya,persaudaraan, sehingga
nilai-nilaiinilah yang menjadi simbol kearifan lokal (local wisdom).
Bakul semanggi gendong terinstitusi dalam keluarga dan lingkungan, bahkan
lingkungan yang lebih luas, yaitu dusun. Ini merupakan institusi yang kompleks dari
norma-norma dan tingkah laku yang terus bertahan seiring dengan waktu untuk melayani tujuan
yang bernilai secara kolektif (Uphoff, 1986). Demikian juga pemikiran yang dihasilkan oleh
Martinussen (1997:289-295) juga terkait dengan pelembagaan ekonomi dalam keluarga,
dimana produksi yang menghidupkan rumahtangga sebagai kegiatan ekonomi dan kekuatan
serta aktivitas yang menggerakkan kehidupannya. Ketergantunangan ini merupakan yang
eksis antara rasionalitas pemikiran ekonomi dan hubungan moral (hubungan keluarga,
pertemanan, dan lingkungan).
Pelembagaan bakul gendong dalam keluarga dapat dilihat dari penuturan ibu Rukana
“Kulo niki pun dididik kaleh tiyang sepuh kulo ked alit niku bantu mendeti semanggi teng sawah, soale riyen Kendung niki kathah sawahe, geh ningali coro damel semanggi, dadospun biasa, mangkane pengalaman kulo geh saking mak kulo kiyambek”.
“Saya ini sudah dididik oleh orang tua saya sejak kecil yaitu membantu memetik semanggi di sawah, karena dahulu Kendung ini masih banyak sawah, terus melihat cara membuat/mengolah semanggi, jadi sudah biasa, makanya pengalaman saya ya dari ibu saya sendiri”.
Pelembagaan bakul semanggi gendong adalah pelembagaan yang telah berlangsung
lama. Menurut penulis, keterlekatan pelembagaan bakul semanggi gendong tersebut
merupakan khazanah budaya bakul semanggi gendong dan sebuah nilai tambah yang dapat
dikategorikan sebagai wujud modal sosial bagi masyarakat kampung Kendung, Sememi,
Benowo Kota Surabaya.
Eksistensi sebuah tradisi sangat ditentukan oleh sebarapa besar efek yang
ditimbulkan yang dapat dilihat dari fungsi pelaksanaan tersebut. Hal itu juga menjadi alasan
mengapa hingga saat ini masih terus ditemui di tengah masyarakat sekalipun masa telah
membawa perubahan dalam dunia teknologi dan sains yang semakin kompleks dan canggih,
hal itu tak lantas meredam dan menciutkan nyali dari bakul semanggi gendong untuk
melanggengkan tradisi menjajakan semanggi.
Menurut mereka hal tersebut merupakan sebuah wujud social capital yang layak untuk dijaga dan dipertahankan secara turun-temurun, seperti yang dipaparkan oleh bakul
semanggi gendong yang bernama ibu Rukana sebagai berikut:
“Kulo riyen sadean semanggi niki sing ngajari mak kulo, kulo taksih nem, gadah anak setunggal, terose mak kulo, tiyang setri teng Kendung ngriki gih pendamelame sadean semanggi teng kuto Suroboyo, riyen dereng rame kados sakniki, mangkane kulo ngontrak sak kamar kale konco-konco teng gene Asemrowo, soale nek saking Kendung mboten enten angkutan, terus wangsule seminggu pisan”.
Fungsi dan dampak sosial budaya yang menonjol yang dapat ditunjukkan dari tradisi
bakul semanggi gendong kala itu adalah turun temurun, khususnya terhadap kaum
perempuan, harus menjajakannya di kota Surabaya, dan memantapkan hubungan solidaritas
sesama bakul gendong dan pelanggan di Kota Surabaya untuk menambah keterikatan antara
satu dengan yang lainnya. Dari sini menunjukkan bahwa keterlekatan pelembagaan bakul
semanggi gendong begitu kuat. dan yang berbeda dengan teori Keterlekatan Granovetter
adalah bahwa di dalam pelembagaan bakul semanggi gendong adalah khas yaitu dilakukan
oleh kaum perempuan, turun temurun dan bermigrasi sirkuler.
Dengan demikian, sejak awal sudah penulis sampaikan dengan meminjam logika
berpikir Granoveter yang menekankan bahwa keterlekatan kelembagaan ada pada jaringan,
ternyata pada bakul semanggi gendong juga ditemukan walaupun dalam kategori tradisional,
yaitu jaringan dibangun dari antar bakul semanggi gendong sendiri, juragan dan pelanggan
yang setia. Satu lagi yang penulis temukan yang tidak terdapat pada keterlekatan Granovetter
adalah tradisi turun temurun yang dilakukan kaum perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa
keterlekatan kelembagaan yang ada pada bakul semanggi gendong adalah khas dan unik,
sehingga dapat menambahkan unsur teori keterlekatan dari Granovetter dalam kajian mikro
(studi kasus bakul semanggi gendong di Surabaya), bahwa keterlekatan kelembagaan dapat
bersifat turun temurun dan unik. Dengan demikian penulis dapat menemukan
proposisibahwa:
Keterlekatan kelembagaan ekonomi bakul semanggi gendong yang khas dan unik berpengaruh terhadap eksistensinya di Kota Surabaya.
Nilai-nilai sosial yang masih sangat melekat pada bakul semanggi gendong,
stigma-stigma yang diberikan oleh orang tuanya dahulu masih sangat kuat tertanam dalam jiwa setiap
sangat melekat pada jiwa para bakul yang masih menjujung nasehat yang diyakini
kebenarannya dari leluhur mereka.
Stigma “Nrimo ing pandum“ ini dipahami oleh bakul semanggi gendong sebagai perilaku fatalistik, yang mendukung tindakan pasif secara total, dan bukan pula sebagai
kepuasan mutlak terhadap hasil yang telah dicapai. Dari sisi budaya, akhir-akhir ini stigma
atau istilah “Nrimo ing pandum“ dipahami dan dilihat dari segi positif, yaitu bahwa setiap orang, masing-masing memiliki rezeki sendiri-sendiri dari Tuhan, dan merasa cukup dengan
pendapatan yang diperolehnya.
Hal ini terungkap dari sebagian pernyataan bakul semanggi gendong, yang bernama
Ibu Mu’ripah seperti berikut:
“Tiyang urip niku rezekine kiyambek-kiyambek, mulane kulo mboten ngoyo-ngoyo, anggere cukup digeh mangan kale nyangoni putu pun seneng”.(“Orang hidup itu punya rezeki sendiri-sendiri, maka saya tidak terlalu berambisi, yang penting sudah cukup untuk makan dan
memberi uang saku cucu sudah senang”).
Terdapat stigma lain yang juga sangat lekat pada jiwa bakul gendong, yaitu
“Rugi thithik sing penting dadi seduluran“, yang artinya bahwa rugi sedikit gak apa-apa, yang pentingjadi persaudaraan.
Ketika melakukan transaksi perdagangan dengan pelanggan, sebagian bakul
gendong mengaku mengambil keuntungan sedikit, bahkan kadang rugi, tetapi mereka
menanamkan suatu harapan pada diri sendiri bahwa:
“Mendapat keuntungan dari hubungan baik atau interelasi dengan pelanggan yang setia akan
jauh lebih untung”. (Ibu, Sumi, Ibu Munawaroh, Ibu Mu’ripah, dan Ibu Rukana,2012).
Nilai sosial yang juga muncul ketika baru saja bakul gendong menjajakan
dagangannya sambil beristirahat, kemudian datang seorang pembeli dan terjadi transaksi,
yang diperoleh pertama kali ke barang dagangan, seraya berkata “Laris-laris sing tuku perawan thir atau joko thing-thing“, walaupun yang beli pertama kali itu ibu-ibu atau bapak-bapak, bakul gendong tetap mengatakan seperti itu. Hal tersebut dimaksudkan supaya pada
hari itu mereka berjualan menjajakan dagangannya laku banyak dan sore hari saat pulang ke
rumah mereka membawa uang yang cukup untuk berjualan lagi dan kebutuhan keluarga
terpenuhi.
Berdasarkan uraian tersebut, dengan demikian penulis dapat menemukan sebuah
proposisi, adalah:
Bakul semanggi gendong adalah sebuah fenomena sosial yang nyata di dalam masyarakat, merupakan bagian ekonomi kerakyatan yang bergerak pada sektor ekonomi nonformal, pekerja keras, jujur, mandiri, dan memegang teguh petuah-petuah leluhurnya.
Bakul semanggi gendong juga melakukan interaksi sosial yang melibatkan berbagai
kebutuhan hidup baik secara individu maupun sosial, untuk hal itulah menjadi bakul gendong
merupakan sebuah pilihan.
Masyarakat (society) dan kebudayaan (culture) mempunyai hubungan yang sangat erat, karena: (1) masyarakat adalah wadah berkembangnya suatu kebudayaan, sedangkan
kebudayaan adalah isi dari masyarakat atau sebagai pelestari kehidupan masyarakat, karena
adanya seperangkat nilai-norma sosial- budaya yang berfungsi sebagai pengendali atau
control semua pola tindakan sosial warga masyarakat; (2) masyarakat adalah suatu organisasi
manusia yang saling berhubungan satu dengan yang lain, sedangkan kebudayaan adalah suatu
sistem nilai dan norma yang terorganisasi yang menjadi pegangan atau pedoman bagi aktifitas
sosial angggota masyarakat.
Menurut Durkheim,E.Dalam Berry(1981), bahwa ‟suatu masyarakat bukanlah hanya
yang dibentuk dari hubungan antar anggota masyarakat, sehingga menampilkan suatu realitas
sosial tertentu yang mempunyai ciri-ciri sendiri‟.
Menurut Durkheim pula, bahwa keseragaman tingkah laku individu dalam
masyarakat adalah produk sosial (masyarakat) atau ditentukan oleh konsensus anggota
masyarakat, dan keseragaman perilaku atau tindakan social tersebut bukan merupakan sifat
asli dari anggota masyarakat.
Jadi, diantara inti pandangan Durkheim tentang masyarakat adalah bahwa: (1)
masyarakat mempunyai kekuatan determinasi terhadap pola perilaku sosial atau tindakan
social individu; atau (2) struktur sosial mempengaruhi pola perilaku individu, bukan individu
yang mempengaruhi struktur sosial; dan (3) beragam peran individu dalam masyarakat sudah
ditentukan oleh system norma social yang telah disepakati oleh masyarakat
(Durkheim,E.1974).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kehidupan masyarakat
(kehidupan sosial) merupakan bentuk dari kehidupan sosial kolektif yang kelestariannya
banyak ditentukan oleh beragam aktivitas sosial individu, berdasarkan kepada nilai dan
norma sosial-budaya yang telah disepakati bersama oleh anggota masyarakat.
Ada beberapa ciri atau karakteristik kehidupan sosial kolektif, antara lain: (1) adanya
pembagian kerja yang relatif permanen antar anggota dalam kelompok tentang berbagai
kegiatan untuk pemenuhan beragam kebutuhan kelompok; (2) adanya rasa saling
ketergantungan antar anggota dalam kelompok dalam proses pencapaian tujuan kelompok;(3)
proses menjalin kerjasama tersebut didasarkan pada sistem nilai, norma yang telah disepakati
oleh sesama anggota kelompok; (4) diperlukan adanya pola komunikasi yang baik untuk
membangun hubungan kerjsama tersebut; (5) adanya perlakuan yang beragam antara anggota
kelompok, sebagai konsekuensi dari keberagaman kemampuan dan keahlian yang dimiliki
sistem pengendalian sosial terhadap pola perilaku anggota dalam kelompok agar tetap
berada pada garis visi dan misi kelompok (Popenoe,D.,1974; Koentjaraningrat,1989).
2. Objektivasi: Momen interaksi diri dengan dunia Sosio-kultural
Objektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia inter subjektif yang dilembagakan
atau mengalami institusionalisasi. Sebagai bagian dari komunitas sosial (masyarakat), bakul
semanggi gendong juga tidak terlepas dari orientasi nilai budaya yang berhubungan dengan
kerja, terdapat tiga kriteria masyarakat, yaitu:
1). Masyarakat yang memandang kegiatan kerja sesuatu kegiatan yang hanya
berhubungan dengan upaya mencari nafkah semata. Masyarakat seperti ini
mempunyai mentalitas sekedar survive. Sejauh hasil kerja itu sudah dapat memenuhi kebutuhan itu, maka berhenti pada titik itu saja;
2). Masyarakat yang memandang kegiatan kerja sebagai alat untuk mencapai status
sosial tertentu. Pada masyarakat ini kegiatan kerja hanya dalam rangka tujuan yang
berkaitan dengan kepentingan struktur sosial saja, maka kegiatan ini hanya
ditekankan pada kepentingan untuk mencapai status sosial saja, seperti kedudukan,
gelar akademis, dan sebagainya;
3). Masyarakat yang memandang kegiatan kerja sebagai suatu kegiatan yang lebih luas
maknanya, di antaranyamemandang kegiatan itu sebagai upaya untuk mencapai
hasil kerja yang baik dan bermutu. Pada masyarakat yang memandang kegiatan
kerja itu dengan perspektif yang lebih luas, kegiatan kerja tidak hanya dinilai
sebagai upaya untuk mencari nafkah atau dalam rangka kepentingan status sosial
semata, tetapi sudah mengarah pada kepentingan kerja itu sendiri, yaitu
memiliki ciri-ciri ketiga inilah yang dapat disebut sebagai orang yang memiliki etos
kerja yang tinggi (Sairin, 2002:322-323, dalam I Made Dian Syahputra, 2010).
Menurut penulis, bakul semanggi gendong bila dilihat dari kriteria kerja tersebut,
termasuk dalam kreteria yang ke satu, seperti yang dituturkan subyek bakul gendong berikut
ini :
“Pengalaman yang saya rasakan, selain setiap hari harus bergulat dengan waktu baik saat memasak semanggi dan kelengkapannya serta harus menjual berkeliling di Kota Surabaya yang sangat melelahkan, semua itu akan menyenangkan saat kembali ke rumah di sore hari dengan membawa uang. Dengan adanya uang, saya dapat berjualan lagi di esok hari dan yang tidak kalah penting dapat memberi uang saku sekolah cucu-cucu saya, itu sudah cukup merasa senang dan bahagia”.(Ibu Mu’ripah,2012).
Meski di era globalisasi ini telah muncul banyak varian makanan modern yang
menarik, tetapi tidak mampu mengurangi rasa kerinduan masyarakat kota Surabaya untuk
menikmati makanan tradisional yang satu ini yaitu semanggi. Hampir di setiap even kuliner
yang diselenggarakan di Surabaya,semanggi merupakan menu wajib untuk ditampilkan dan
dihidangkan kepada masyarakat. Hal ini bertujuan untuk upaya pelestarian budaya-budaya
tradisional, sebab jika tidak dilindungi maka budaya tersebut akan hilang atau punah.
Hal itu juga dituturkan oleh subjek bakul gendong, seperti berikut ini:
“Saya menjalani menjadi bakul gendong dengan ikhlas untuk melanjutkan tradisi keluarga dan membantu pemerintah kota dengan menjaga dan melestarikan kuliner tradisional ini sebagai aset budaya lokal Kota Surabaya, agar tidak cepat punah, apalagi bila di Kelurahan Sememi ada kunjungan dari Walikota Surabaya atau ada pertemuan-pertemuan yang bersifat kedinasan, baik di lingkungan Kelurahannya, Kecamatan, Kotamadya, bahkan tingkat Propinsi Jawa Timur, maka saya selalu ikut serta untuk menyuguhkan kuliner semanggi sebagai kuliner khas Surabaya yang sampai saat ini tetap ada dan hanya di sini” ( maksudnya, Surabaya),.(Ibu Mu”ripah,2012).
Selain subjek tersebut terdapat informan, Sekretaris Lurah Sememi, seperti berikut:
“Keberadaan semanggi di desa Kendung juga didukung oleh partisipasi pemerintah Kota Surabaya, khususnya Kelurahan Sememi ikut memfasilitasi tempat untuk bakul semanggi gendong dalam memasarkan kuliner semangginya. Salah satu contoh adalah dengan mengikutsertakan bakul semanggi gendong dalam event-evant kegiatan Kelurahan atau Kecamatan bahkan Kotamadya Surabaya” (Bapak Supangat,2012).
tanggal 31 Mei, pemerintah kota Surabaya selalu mengadakan festival makan gratis untuk warganya”.(Bapak Supangat,2012).
Diketahui pula bahwa penjaja semanggi tradisional berjualan semanggi tidak hanya
mendapatkan sisi komersial saja, namun mereka juga mendapatkan suatu rasa kebanggaan
dan kepuasan dengan melestarikan semanggi dan menjajakannya kepada masyarakat.
Secara objektif, rata-rata pelanggan semanggi adalah orang-orang tua, yang masih
mengenal makanan semanggi dan rasa khasnya. Ini berarti pelanggan sangat langka dan bila
tidak segera ditinjaklanjuti, terutama peran pemerintah yang diharapkan, maka bukan tidak
mungkin kuliner yang khas dan langka ini akan semakin dikejar waktu kemudian hilang.
Untuk itu mereka berharap pelanggan bertambah banyak, tidak hanya orang tua saja
tetapi anak muda juga menggemarinya, seperti yang dituturkan oleh subyek bakul berikut ini:
“Menjadi bakul semanggi gendong itu ada enak dan tidak enaknya. Enaknya kalau ketemu pelanggan di Surabaya dan membeli, rata-rata langganan saya adalah orang Surabaya yang sudah berumur, jarang anak-anak muda yang membeli. Apabila ada anak-anak muda yang membeli semanggi saya, saya ikut senang karena makanan tradisional ini untuk ke depannya ada yang masih menggemari, sehingga tidak cepat hilang” (Ibu Warsini, 2012).
Hal senada juga disampaikan oleh bakul semanggi gendong yang lain, seperti
berikut:
”Harapan saya semoga semanggi akan lebih banyak digemari, terutama anak-anak muda, makanya saya setiap hari selalu mampir ke tempat-tempat yang banyak anak mudanya, misalnya di kampus-kampus” (Ibu Rukana, 2012 ).
Sangat sedikit orang muda yang mengenal apa itu semanggi ( menurut subyek Ibu
Rukana, Ibu Mu’ripah). Atas dasar hasil penjelasan para subjek bakul semanggi gendong
tersebut, bagaimana proses pelembagaan ekonomi sosial bakul semanggi gendong bagi diri
mereka sendiri, pada momen objektivasi, dirumuskan proposisisebagai berikut:
Teori pemasaran yang amat sederhana pun selalu menekankan bahwa dalam kegiatan
pemasaran harus jelas, siapa dan menjual apa, dimana, bagaimana, bilamana, dalam jumlah
berapa dan kepada siapa. Adanya strategi yang tepat akan sangat mendukung kegiatan
pemasaran secara keseluruhan.
Definisi menurut Harper W (2000:4) bahwa pemasaran adalah “Suatu proses sosial
yang melibatkan kegiatan-kegiatan penting yang memungkinkan indidvidu dan perusahaan
mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui pertukaran dengan pihak lain
dan untuk mengembangkan hubungan pertukaran”. Definisi ini menjelaskan bahwa
pemasaran merupakan proses kegiatan usaha untuk melaksanakan rencana strategis yang
mengarah pada pemenuhan kebutuhan konsumen melalui pertukaran dengan pihak lain.
Sebaik apapun mutu sebuah produk, semenarik apapun bentuk rupanya atau sebesar
apa pun manfaatnya, jika tidak ada orang yang mengetahui tentang keberadaannya, maka
mustahil produk tersebut dibeli. Produk yang sudah bagus dengan harga yang sudah bagus itu
tidak dapat dikenal oleh konsumen maka produk tersebut tidak akan berhasil di pasar.
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan secara efektif agar informasi mengenai
hadirnya sebuah produk, dapat sampai kepada masyarakat atau konsumen. Upaya untuk
mengenalkan produk itu kepada konsumen merupakan awal dari kegiatan promosi.
Definisi menurut Gitosudarmo (2000:237) “Promosi merupakan kegiatan yang
ditujukan untuk mempengaruhi konsumen agar mereka dapat menjadi kenal akan produk
yang ditawarkan oleh perusahaan kepada mereka dan kemudian mereka menjadi senang lalu
membeli produk tersebut”.
Perkembangan perekonomian dan teknologi pada masa modern sangat berpengaruh
pada persaingan perdagangan dalam merebut pasar, seperti halnya bakul gendong semanggi
yang hanya memasarkan sendiri dan didukung kurang gencarnya promosi, terutama dari para
gendong semanggi dalam memenuhi kebutuhan yang lebih dari sekedar kebutuhan ekonomi,
yaitu konsumsi dan kebutuhan sosial saja. Padahal di balik apa yang telah dilakukan oleh para
bakul itu tidak sekedar untuk kebutuhan ekonomi mereka semata, namun ada misi yang lebih
besar yaitu mempertahankan aset budaya kuliner Surabaya. Semestinya para bakul gendong
semanggi tersebut tidak semakin terpinggirkan, selama ada campur tangan yang memberi
manfaat dari pemerintah, baik di tingkat Kelurahan, Kecamatan bahkan Kota Surabaya.
Selama ini peran pemerintah terhadap keberadaan mereka masih kurang, kecuali
hanya mengadakan festival jajanan gratis di saat hari ulang tahun Kota Surabaya. Itupun tidak
melibatkan semua bakul semanggi gendong untuk bisa berunjuk gigi di acara tersebut.
Dengan demikian, masih terjadi diskriminasi terhadap para bakul semanggi gendong, karena
ketidakberdayaannya dalam menembus pasar rakyat, dan itu amat memprihatinkan. Di lain
pihak, berbagai kuliner modern yang ada sekarang ini, dapat merebut pasardengan
menggunakan strategi yang didukung oleh modal yang besar, sehingga bisa melakukan
promosi dengan berbagai cara untuk merebut peminat sekaligus pelanggannya. Contoh;
MacDonald, KFC, Pitzahutt, Hokben, dan yang lainnya.
Kegiatan promosi yang baik akan menumbuhkan perhatian dan keinginan konsumen
untuk menggunakan produk tertentu sehingga permintaan akan produk tersebut meningkat. Di
samping itu kegiatan promosi yang baik akan meningkatkan popularitas produk, sekaligus
memelihara hubungan dengan konsumen.
3. Momen Internalisasi.
Bakul semanggi gendong memaknai dirinya sendiri sebagai seorang perempuan yang
hidupnya sengsara, karena sebagai tulang punggung keluarga. Menjadi bakul semanggi
gendong harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Oleh karenanya, menjadi
Tindakan seperti ini sudah menjadi satu tindakan yang rutin dilakukan setiap hari,
bersaing dengan merebaknya variasi kuliner tradisional yang lain dan modern, seperti yang
dituturkan subyek bakul gendong berikut ini:
“Masio jaman sakniki angel sadean semanggi, soale pun kathah jajanan lintu sing sae-sae, tapi kulo tetep mawon dados bakul semanggi gendong sing pun bertahun-tahun suwene saget nyukupi kebutuhan ekonomi keluarga”.(Ibu Ati, 2012).
“Meskipun pada zaman sekarang lebih sulit untuk menjual semanggi karena harus bersaing dengan makanan-makanan modern yang lain tetapi saya tetap berusaha konsisten untuk menjadi bakul semanggi gendong yang sudah bertahun-tahun lamanya untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga” (Ibu Ati, 2012)
Faktor ekonomi dan tradisi adalah faktor utama penyebab tetap bertahannya bakul
semanggi gendong menjajakan dagangannya di kota Metropolis Surabaya. Tidak dipungkiri
lagi bahwasannya mereka melakukan aktivitas sebagai bakul semanggi gendong agar mampu
tetap bertahan menjaga kelangsungan hidupnya, karena ini merupakan satu-satunya sumber
mata pencaharian mereka.
Ditinjau dari segi makna kesejahteraan mereka, ada beberapa hal yang harus
dipenuhi dalam kehidupan ekonomi yang utamanya yaitu pemenuhan kebutuhan individu dan
juga keluarga mereka. Bakul semanggi gendong yang mayoritas hanya mengandalkan hasil
berjualan semanggi sebagai pemenuhan kebutuhan tiap harinya, membiayai sekolah anak, hal
ini dikarenakan mayoritas mereka memiliki suami yang berprofesi sebagai petani penggarap
atau kuli serabutan yang penghasilannya tidak menentu, seperti yang dituturkan subyek
bakul gendong, berikut:
“Saya menjajakan semanggi ini agar dapat memberi nafkah dan kebutuhan anak sekolah. Suami saya hanya seorang petani dan kuli, kami mendapat penghasilan tidak menentu. Dari hasil menjajakan semanggi di kota Surabaya, kami bisa memenuhi kebutuhan setiap hari, terutama umtuk makan dan kebutuhan sekolah anak dan cucu” (Ibu Patemi, 2012).
Ungkapan senada juga disampaikan subjek bakul semanggi gendong yang lainnya:
suami saya kerja sebagai buruh bangunan, ya tidak tentu hasilnya, bahkan kadang mengangur. Kalau saya tidak berjualam semanggi, terus anak saya mau makan apa?”, (Ibu Sumi, 2012).
Dari ungkapan tersebut tampak bahwa menjadi bakul gendong semanggi merupakan
salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. B aku l ge ndo ng yang semuanya kaum
perempuan, sesungguhnya mereka memiliki ketegaran hati dan kuat. Umumnya mereka tidak
bergantung kepada hasil dari suami, mereka tetap mau berusaha untuk membantu
perekonomian keluarga sehingga mampu memenuhi kebutuhan anak-anak bahkan keluarga
besarnya.
Dalam penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa dari menjajakan semanggi, bakul
gendong mampu menamatkan anak mereka sampai menjadi seorang sarjana, seperti yang
dituturkan subyek bakul gendong berikut.
“Kulo bersyukur kale sing gawe urip, masio kilo soro, mugi-mugi anak-anak kulo saget urip sing enak. Mangkane kulo sekolahaken ngantos kuliah, dados sarjana, sakniki pun nyambut damel dados guru, terus adike dados pegawai kelurahan” (Ibu Mu’ripah, 2012).
“Saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, meskipun kita sengsara, mudah-mudahan anak-anak saya kelak bisa hidup enak. Maka saya sekolahkan sampai sarjana, sekarang sudah bekerja jadi guru, terus adiknya jadi pegawai kelurahan” (Ibu Mu’ripah, 2012).
Dari penuturan subjek bakul semanggi tersebut dapat terlihat bahwasannya menjadi
bakul gendong sekalipun, juga mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan juga bisa
merubah hidup ke tingkat yang lebih baik. Kemauan yang tinggi, kerja keras, dan motivasi
dari keluarga, ternyata mampu membuat seorang bakul semanggi gendong membiayai dan
menamatkan pendidikan anaknya hingga menjadi seorang sarjana dan secara tidak langsung
telah mampu menaikan tingkat kesejahteraan keluarga.
Selain subjek bakul semanggi tersebut, seorang bakul semanggi gendong lainnya
masiopanas, udan, tetep keliling kampung, lumayan saget kangge nambah kebutuhan sakbendinane, kulo saget nyekolahaken anak kulo sampek STM kale SMA, mbejeng kersane mboten soro kados kulo” ( Ibu Rukana, 2012).
“Saya sudah lama berjualan semanggi ke Surabaya, sudah 25 tahun lamanya, meskipun kepanasan, kehujanan, tetap keliling kampung, lumayan bisa untuk menambah kebutuhan setiap hari, saya bisa menyekolahkan anak saya sampai STM dan SMA, kelak hidupnya tidak sengsara seperti saya” (Ibu Rukana,2012).
Subjek bakul semanggi gendong yang lainnya juga berpendapat sama, seperti berikut
“Dengan menjadi bakul semanggi gendong,saya setiap hari bisa membawa uang sehingga tidak khawatir keluarganya tidak makan atau mencukupi kebutuhan yang lain, misalnya membiayai anak sekolah, untuk menyumbang keluarga atau tetangga yang punya hajadan” (Ibu Munawaroh, 2012).
Bahwasannya bakul semanggi gendong tetap bertahan berjualan untuk
melangsungkan kehidupan mereka tanpa harus bergantung kepada pihak manapun dan tidak
menjadi beban bagi pihak lain. Mereka tetap mampu memenuhi kebutuhan ekonominya,
selain itu mereka juga mampu membiayai pendidikan anaknya.
Bakul semanggi gendong juga mampu menciptakan pasar sendiri, tanpa tergantung
pada pasar yang ada. Ketika pasar tersegmentasi maka muncul kemudian relasi dan jejaring
yang dibangun antar pembeli (konsumen) dan penjual (pemasok).Jaringan ini dibangun
dengan bermodalkan kepercayaan satu sama lain untuk tujuan bersama, dengan harapan tidak
saling merugikan. Kepercayaan (trust) yang dibangun terlihat dari pemaparan ibu Mu’ripah (bakul gendong) dan ibu Maning (juragan/pemasok bahan semanggi), sebagai berikut:
”Saya setiap hari membeli bahan-bahan untuk keperluan semanggi kepada juragan yaitu bu Darsining dengan cara pinjam dulu dan besoknya dibayar, kenudian ambil lagi, begitu setiap hari, tapi kalau ada uang untuk beli langsung ya tidak pinjam” (Ibu Muni,2012).
Demikian juga yang disampaikan juragan ibu Darsining seperti berikut ini: