• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII PENUTUP

7.1. Implikasi Teoritis

Pembahasan prihal gerakan petani sesungguhnya dapat dilihat melalui perpektif moral ekonomi petani, yang dipelopori oleh Scott (1976). Iamenyatakan bahwa kehidupan petani ditandai oleh hubungan moral sehingga melahirkan moral ekonomi. Ketika pertumbuhan negara hanya berupa perlindungan dan pertumbuhan fisik semata, sehingga pemenuhan atas kebutuhan dasar petani tidak lagi menjadi hal yang mendesak, maka yang tertinggal hanyalah kewajiban – kewajiban ekonomis kaum elite. Di mata petani miskin, kewajiban – kewajiban ekonomis kaum elite adalah memerhatikan kebutuhan petani, menyesuaikan tuntutan mereka akan tenaga kerja dan padi, serta menyediakan pangan di musim paceklik. Kekuatan moral dan harapan – harapan ini sudah cukup untuk menjadi bara api, yang dikemudian hari dapat berubah menjadi aksi kemarahan dan tindakan kekerasan, apabila terjadi pelanggaran terhadap kewajiban itu.

Scott (1976) tidak pernah menggambarkan petani sebagai sebuah kelompok masyarakat yang begitu reaktif, dalam artian begitu mudah melakukan pemberontakan. Ia menggambarkan petani sebagai sekelompok manusia yang yang lebih mengutamakan “dahulukan keselamatan” dan menjauhkan diri dari bahaya. Namun, apabila tekanan struktural dan kultural hingga kondisi subsistensi petani yang sudah melampauai batas toleransi, dimana tekanan tersebut berdampak sedemikian parah dan terjadi dalam tempo yang relatif singkat, maka tidak ada lagi pilihan bagi petani selain melakukan pemberontakan. Scott (1994) menganalogikan petani pada kondisi tersebut ibarat orang yang terandam didalam air hingga sebatas hidung, sehingga riak yang begitu kecil saja sudah dapat menenggelamkannya.

Begitupun dengan gerakan petani Banjaranyar, masuknya PT RSI (1983 – 1996) dan Perhutani (1996 – 1998) membuat petani Banjaranyar tidak dapat lagi melakukan penggarapan di atas tanah perkebunan. Bahkan mereka menyatakan bahwa kehadiran PT RSI tidak memberikan manfaat apa – apa bagi warga dan hanya menguntungkan para pemilik perusahaan dan pemerintah.

Konsep lain yang digunakan Scott (1976) dalam menjelaskan gerakan petani ialah konsep kepemimpinan dan struktur sosial. Struktur sosial yang ada dimasyarakat pedesaan, secara hirizontal ditandai dengan homogenitas yang tinggi dan secara vertikal ditandai dengan struktur yang berbentuk kerucut. Struktur kerucut seperti ini, posisi puncak statifikasi sosial dihuni oleh oleh kaum elite yang berjumlah sedikit, sedangkan pada lapisan bawah dihuni oleh para petani penggarap dan buruh tani dalam jumlah yang banyak. Struktur masyarakat yang seperti ini membuat faktor kepemimpinan menjadi faktor penting didalam gerakan perlawanan petani.

Struktur krucut seperti yang dikatakan Scott (1976), dapat ditemui di Desa Banjaranyar. Peran Bapak Oman dalam gerakan petani Banjaranyar, terasa begitu dominan. Bapak Oman tidak hanya bertindak sebagai pemimpin gerakan, tetapi juga sebagai motor sekaligus pemersatu dari gerakan petani Banjaranyar. Bahkan, gerakan petani Banjaranyar terkesan bergantung pada sosok Bapak Oman.

Gerakan petani Banjaranyar boleh jadi tidak pas apabila disandingkan dengan teori ekonomi politik sebagaimana disampaikan Popkin (1979) dalam The Rational Peasant : The Politic Economy of Rural Society in Vietnam. Tetapi, pernyataan Popkin (1979) bahwa gerakan perlawanan petani terjadi ketika sebagian besar individu merasa dirugikan setelah melakukan tawar menawar dengan negara, merupakan sebuah kenyataan di Desa Banjaranyar.

Gerakan petani tidak melawan kapitalisme, tetapi melawan perampasan tanah oleh para kapitalis perkebunan yang menyebabkan petani kehilangan eksistensi diri dan sumber penghidupannya. Popkin (1979) menolak pendekatan moral ekonomi Scott (1976) yang beranggapan bahwa gerakan petani sebagai reakasi difensif untuk mempertahankan institusi dan norma – norma tradisional dari ancaman kapitalisme dan kolonialisme. Bahkan, pasca dilakukannya redistribusi tanah, petani Banjaranyar justru berusaha untuk menjalin hubungan dengan pasar dengan memanfaatkan berbagai jaringan didalam ataupun diluar desa. Salah satu contohnya pada proses tata niaga kayu sengon di Desa Banjaranyar.

Di dalam tulisannya, Popkin (1979) lebih fokus pada tindakan - tindakan rasional petani. Petani merupakan individu – individu yang bebas

mengembangkan kreativitasnya secara rasional. Petani juga manusia yang ingin kaya, seperti kebanyakan orang lainnya. Pilihan strategi gerakan petani Banjaranyar dengan melakukan pendudukan lahan pada dasarnya bisa disebut sebagai sebuah pilihan yang rasional. Karena, meskipun dalam pelaksanaannya terlihat sisi – sisi komunalitas dan emosionalitas, tetapi tindakan masing – masing individu petani Banjaranyar (untuk ikut atau tidak ikut melakukan pendudukan lahan) sudah tentu melalui pemikiran dan pertimbangan individu secara rasional.

Kemunculan gerakan petani pada tahun 1998, memang melahirkan pertanyaan besar prihal situasi dan kondisi yang terjadi pada saat tersebut. Wolf (1966), menyatakan bahwa sebuah pemberontakan tidak akan mungkin terjadi pada situasi yang tidak mendukung. Pada awal tahun 1998 hanya segelintir manusia, baik itu yang berasal dari Negara barat ataupun timur, yang memperkirakan bahwa pada pertengahan tahun 1998 akan terjadi kejatuhan rezim Soeharto. Hal ini diperkuat oleh Geoff Forrester seperti dikutip oleh oleh Simon Philpott (2003) menyatakan bahwa Presiden Soeharto baru saja dipilih sebagai Presiden secara bulat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dua bulan sebelumnya, kendati para elit pendukung dan demonstrasi jalanan banyak menyuarakan ketidaksetujuan. Namun, hanya sedikit pengamat Indonesia yang meramalkan akhir kekuasaan Soeharto akan datang begitu cepat.

Kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998 menciptakan ketidakstabilan dibidang politik dan ekonomi, baik itu pada tingkat pusat atupun daerah. Sudah menjadi ciri rezim otoriter modern bahwa ketika pusat tidak dapat bertahan, maka segalanya akan berantakan dengan begitu cepat. (Simon Philpott, 2003).

Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mendesak lahirnya gagasan reformasi. Reformasi membuka ruang yang lebih besar bagi rakyat dalam menyuarakan aspirasinya, terutama dengan dukungan dari banyaknya organisasi non pemerintah yang memang pesat juga perkembangannya diseluruh dunia pada awal tahun 1990-an (Hulme dan Edward, dalam Pinky, 2007). Reformasi sendiri dimaknai sebagai sebagi suatu gerakan pembaharu yang bertujuan untuk mengoreksi bekerjanya berbagai instansi dan berusaha menghilangkan berbagai kebobrokan yang dianggap sebagai sumber malfunction

nya institusi – institusi, dalam suatu tata sosial. Reformasi juga berusaha membongkar nilai – nilai tetapi tidak seluruhnya, melainkan hanya selected aspects dari tata sosial yang ada. (Wiradi, 2009).

Semangat reformasi 1998 tidak hanya dirasakan oleh mahasiwa dan berbagai elemen masyarakat yang melakukan aksi turun ke jalan di kota – kota besar, tetapi juga dirasakan pada masyarakat di tingkatan akar rumput. Salah satu bentuknya, mengejawantah dalam aksi – aksi okupasi tanah yang dilakukan oleh masyarakat atas tanah – tanah yang pernah menjadi tanah garapan rakyat. Berdasarkan data Dirjen Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, hingga September 2000, jumlah luas tanah yang di reclaim mencapai 118.830 ha pada perkebunan Negara, dan 48.051 ha pada perkebunan swasta, termasuk lahan perkebunan PT. RSI yang kemudian digarap oleh petani Banjaranyar.

Tanah – tanah perkebunan yang kemudian digarap oleh warga memang tidak hanya bertindak sebagai simbol perjuangan. Namun, juga bertindak sebagai alat produksi yang kemudian diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup petani itu sendiri. Shanin (1966) berpendapat bahwa, apabila komoditas atau hasil produksi pertanian bila dapat dipertemukan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dari rumah tangga petani, maka akan mencipkan kemerdekaan relatif pada diri petani terhadap produsen pertanian lain dan pasar. Hal tersebut akan berujung pada terciptanya stabilitas relatif dalam rumah tangga petani, yang apabila terjadi krisis, mereka dapat mempertahankan keberadaannya dengan cara meningkatakan usaha kerja, menekan konsumsi mereka sendiri, ataupun mengatur kembali hubungan mereka dengan pasar.

Boleh jadi apa yang dikatakan Shanin (1966), merupakan suatu penjelasan dari apa yang terjadi pada petani Banjaranyar pasca redistribusi tanah. Pola pertanian kebun yang dilakukan oleh petani Banjaranyar memberikan keleluasaan dan kemerdekaan relatif pada rumah tangga petani terhadap produsen petani lain dan pasar. Hasil dari luasan tanah garapan yang rata – rata dua hingga tiga kavling per-keluarga petani, sudah dapat dipertemukan dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani.

Dalam konteks yang lebih makro, Saturnino M. Boras Jr (2010) menyatakan bahwa, neoliberalisme secara signifikan telah mengubah dinamika

hubungan pertukaran di dalam dan di antara negara – negara yang berada di utara- selatan. Proses serempak yang terjadi oleh globalisasi “dari atas”, desentralisasi sepihak “dari bawah”, dan privatisasi “dari samping” melalui negara sebagai pusatnya, memainkan kunci utama dalam pertumbuhan dan perkembangan sistem agraria, dan proses ini telah menggoncang masyarakat pedesaan hingga keakar – akarnya. Proses yang secara luas terjadi pada masyarakat pedesaan itu, celakanya terjadi secara bersamaan dengan gelombang restrukturisasi agraria, yang memberikan kekuasaan penuh pada kapital domestik dan korporasi untuk mendikte syarat – syarat pertukaran dan produksi pertanian.

Boras (2010) kemudian menekankan pada dampak, yang ia sebut sebagai ”pemenang dan pecudang” dalam proses restrukturisasi global-lokal saat ini. Orang – orang yang semula bermata pencaharian disektor pertanian, kemudian dengan cepat menghadapi kondisi yang teramat buruk. Buruknya kondisi masyarakat pertanian di pedesaan, berujung pada diversifikasi mata pencaharian (desa dan desa-kota, on-farm, off-farm, non-farm) yang dijalankan dengan terpaksa atau sebaliknya menjadi semakin tersebar luas. Akses dan kontrol terhadap tanah, pada gilirannya didefinisikan ulang dan hak kepemilikan atas tanah telah direstrukturisasi guna menopang kapital swasta. Proses global – lokal inilah yang kemudian mempengaruhi gerakan agraria dalam berbagai bentuk.

Fenomena muncul dan berkembangnya gerakan petani Banjaranyar yang kemudian tergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP), juga dapat dilihat sebagai salah satu dampak dari proses restrukturisasi global-lokal, seperti yang disampaikan Boras (2010). Kehadiran SPP tidak semata – mata menjadi gerakan yang “melokalisasi” perlawanan – perlawanan mereka sebagai respons terhadap desentralisasi yang parsial, ataupun berfokus pada segala macam aktivitas yang bertujuan untuk menggantikan fungsi negara dalam hal isu – isu pembangunan seperti memberikan pelayanan sosial pada masyarakat. Tetapi, SPP merupakan sebuah gerakan yang menyatukan berbagai macam permasalahan pada tingkatan yang benar – benar lokal, menjadi sebuah gerakan pada tingkatan regional, yang di dalam strategi gerakannya juga memanfaatkan segala macam sumberdaya dari berbagai level (lokal, regional, nasional, ataupun internasional). Kehadiran SPP bukan dalam rangka menggantikan peran dan fungsi negara, tetapi untuk

memaksa negara dan kekuatan ekonomi-politik (kapital swasta dan BUMN) lainya untuk dapat menjalankan kewajiban mereka untuk memenuhi kebutuhan petani.

7.2 Kesimpulan

Gerakan petani Banjaranyar dapat dilihat sebagai aksi perlawanan petani terhadap perampasan tanah oleh kapital swasta yang didukung negara melalui pemberian hak kelola tanah (HGU). Masuknya kapital swasta ke dalam komunitas petani Banjaranyar, dalam bentuk perampasan tanah, menyebabkan kehidupan petani semakin terpuruk dan menghadapi krisis subsistensi hingga kebatas toleransi. Kondisi ini berakibat pada : i) terjadinya degradasi sosial dan hilangnya eksistensi diri petani, khususnya permasalahan yang berkaitan dengan akses dan kontrol petani terhadap tanah. ii) petani mengalami diversifikasi mata pencaharian atau mobilitas profesi, secara horizontal : dari petani menjadi buruh industri atau pekerja di sektor informal dan secara vertikal : dari petani dengan lahan terbatas menjadi petani yang tidak memiliki lahan atau buruh tani. Hal inilah yang kemudian melahirkan anggapan bahwa kehadiran kapital swasta tidak membawa manfaat bagi masyarakat Banjaranyar.

Kondisi kehidupan petani yang sudah sedemikian terpuruk tetap saja tidak membuat petani Banjaranyar memiliki kemampuan dan keberanian untuk melakukan pemberontakan. Faktor kekuatan dan kekuasaan negara tetap menjadi persoalan untuk lahirnya sebuah pemberontakan petani. Oleh karena itu, lahirnya gerakan petani Banjaranyar tidak hanya didasarkan pada adanya faktor krisis subsitensi di tingkat petani, termasuk rasionalitas petani, tetapi juga karena terbukanya kesempatan akibat reformasi 1998, yang memungkinkan tokoh gerakan seperti Pak Oman untuk dapat mengorganisir petani Banjaranyar.

Pasca redistribusi tanah yang dilakukan pada tahun 2000, secara de facto

tanah eks-perkebunan sudah dikuasai oleh petani. Secara ekonomi kehidupan petani Banjaranyar yang mendapatkan tanah juga menjadi lebih baik, dalam artian terjadinya peningkatan penghasilan petani. Tanah – tanah garapan hasil redistribusi telah berhasil memberikan keleluasaan dan kemerdekaan relatif kepada petani terhadap petani lain dan pasar. Hasil pertanian dari tanah

redistribusi, setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsisten petani. Kiching (1982), menyebut fenomena ini sebagai labor – consumer balance yaitu petani bertindak sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen, memperhitungkan efisiensi pemilikan atau penguasaan tanah sesuai dengan kebutuhan hidup minimum berdasarkan jumlah anggota keluarganya.

Keberhasilan menguasai kembali tanah dan adanya peningkatan ekonomi sebenarnya tidak serta merta membuat seluruh persoalan yang ada menjadi selesai. Perbaikan ekonomi bagi para pemegang tanah garapan juga melahirkan permasalahan baru seperti munculnya kesenjangan sosial antara peserta

reclaiming dan bukan peserta reclaiming. Kenyataan bahwa gerakan petani Banjaranyar dapat bertahan hingga 12 tahun, pada beberapa kasus justru memperkuat posisi elite desa dan tidak signifikan membantu petani kecil sebagai pihak yang termarginalkan.

Gerakan petani Banjaranyar yang kemudian tergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP) memang berhasil meningkatkan posisi tawar petani di- hadapan para pemangku kepentingan (pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan swasta, BUMN, LSM) lainnya. Tetapi, petani yang meningkat posisi tawarnya adalah petani yang memiliki KTA SPP (Kartu Tanda Anggota SPP) dan tidak semua petani di Desa Banjaranyar merupakan anggota SPP. Pada tahun 2010 ketika penelitian ini dilakukan, para petani tidak bertanah atau buruh tani justru banyak didominasi oleh petani yang bukan anggota SPP. Pada kenyataannya kehadiran gerakan petani, justru melahirkan golongan elite baru di Desa Banjaranyar. Para elite baru ini yang kemudian disokong dengan kisah

heroik tetang aksi perebutan tanah dan kepemilikan de facto atas tanah redistribusi eks-perkebunan. Fenomena ini justru memperlihatkan bahwa petani miskin memiliki kecederungan yang begitu kuat untuk selalu berada dalam ”situasi kemiskinan” dimana petani miskin akan tetap menjadi pihak yang lemah dan termarjinalkan.

Keberadaan gerakan petani di Desa Banjaranyar hingga saat ini (1998 – 2010), boleh jadi dapat dipandang sebagai sebuah prestasi dalam konteks keberlanjutan sebuah gerakan petani. Tetapi, keberadaannya yang mengejawantah dalam bentuk organisasi gerakan (OTL Banjaranyar) secara terus menerus dalam

kurun waktu 12 tahun justru melahirkan masalah baru. Organisasi gerakan (OTL Banjaranyar) belum mampu bertranformasi menjadi institusi ekonomi yang dapat menyokong dan mepermudah kehidupan petani Banjaranyar. OTL Banjaranyar saat ini, sangat maksimal apabila menjadi pusat informasi “aksi reclaiming tanah Desa Banjaranyar”, tetapi kurang maksimal dalam hal membantu petani memenuhi kebutuhan seperti pupuk, modal tanam, akses pasar, bibit, dll.

Terlepas dari berbagai permasalahan itu semua, sesungguhnya gerakan petani Banjaranyar dapat dilihat sebagai sebuah gerakan kemanusiaan. Karena tanah menjadi sumber sekaligus taruhan hidup bagi petani. Terlebih lagi, tanah tidak hanya sebagai simbol eksistensi diri sebagai petani, melainkan juga simbol harga diri sebagai manusia pedesaan yang hidupnya bersumber dari sektor pertanian. Sehingga perampasan tanah bagi petani juga dapat dilihat sebagai perampasan hak hidup dari petani itu sendiri. Seperti halnya pameo yang ada di daerah Priangan Timur yang menyatakan bahwa, “tiadalah mungkin ada petani kalau tidak ada tanah yang bisa digarap”.

DAFTAR PUSTAKA

Aji, Gutomo Bayu. 2005. Tanah Untuk Penggarap, Pengalaman Serikat Petani Pasundan Menggarap Lahan – Lahan Perkebunan dan Kehutanan, Bogor : Pustaka Latin

Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas. 2001. Merampas Tanah Rakyat : Kasus Tapos dan Cimacan, Jakarta : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Bahri, Syaiful dkk. 1999. Gerakan dan Pertumbuhan Organisasi Petani di

Indonesia : Studi Kasus Gerakan Petani Era 1980-an, Jakarta : Sekertariat Bina Desa

Boras Jr, S., Edelman, M., Kay, C. 2010. Gerakan – Gerakan Agraria Transnasional, Yogyakarta : STPN Press dan Sajogyo Institute

Chrysantini, Pinky. 2007. Berawal Dari Tanah : Melihat ke Dalam Aksi Pendudukan Tanah, Bandung : Yayasan AKATIGA

Denzin, Noman K dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitattive Research, Yogyakarta : Pustakapelajar

Eckstein, Susan. 1989. Power and Popular Protest, Latin American Social Movement. Berkeley : University of California Press

Fauzi, Noer. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa ke Masa, Penyunting : Soediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, edisi revisi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

---. 1999. Petani dan Penguasa , Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan KPA

Freeman, Joe. 1979. A Model for Analyzing The Strategic Option of Social Movement. Jurnal, Cambridge

Handayani, Dwi Wahyu. 2004. Gerakan Petani Pagilaran : Kecamatan Blado Kabupaten Batang Jawa Tengah. Program Pascasarjanan Studi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Yogjakarta : Universitas Gajah Mada

Kartodirjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta : Pustaka Jaya

---. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia, kajian sosial ekonomi.

Yogyakarta : Aditya Media

Kitching, G. 1982. Development and Underdevelopment in Historical Perspective. London : Methuen & Co Ltd

Kuntowijoyo. 1993. Radikalisasi Petani : Esai – Esai Sejarah. Yogyakarta : Bentang Intervisi Utama

Marx, Karl. 1895. dalam Teodor Shanin (ed), Peasantry as a Class, Middlesex : Penguin Books, 1971

Moore, Barirington. 1966. Social Origins of Dictatorship and Democracy : Lord and Peasant in the Making of the Modern World. Middlesex : Penguin Books

Mustain. 2007. Petani vs Penguasan :Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara, Yogjakarta : Ar Ruzz media

Olson, Mancur. 1971. The Logic of Collective Action : Public Goods and The Theory of Group, Cambirdge : Harvard University Press

Philpott, Simon. 2003. Meruntuhkan Indonesia : Politik Postkolonial dan Otorianisme, penerjemah Nurudin MHD, Ali, Uzair Fauzan, Yogyakarta : LKIS

Popkin, Samuel L. 1979. The Rational, Peasant. The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press

Popkin, Samuel L. 1986. Petani Rasional. Jakarta : Penerbit Yayasan Padamu Negeri

Sadikin. 2005. Perlawanan Petani, Konflik Agraria, Dan Gerakan Sosial. Jurnal Analisis Sosial Vol. 10 No.1 Juni : Perdebatan Konseptual Tentang Kaum Marginal, Yayasan Akatiga

Salert, Barbara. 1976. Revolution and Revolutionaries : Four Theories, New York : Elsevier

Scott, James C. 1976. The Moral Economy Of The Peasent, New Heaven : Yale University Press

---. 1989. Peasant Resistance. New York : Rmunk Me Sharpe

---. 2000. Senjata Orang –Orang Kalah : Bentuk – Bentuk Perlawanan Sehari – Sehari Kaum tani, penerjemah : A. Rahman Zainudin, Sayogyo, Mien Joebhaar, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Shanin, Teodor. 1966. dalam Teode Shanin (ed), Peasantry as a Political Factor,

Middlesex : Penguin Books, 1971

Skocpol, Theda. 1991. Negara dan Revolusi Sosial : Suatu Analisis Komparatif Tentang Perancis, Rusia, dan Cina. Jakarta : Erlangga

Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni. 1998. Petani dan Konflik Agraria, Bandung : Yayasan AKATIGA

Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria : Perjalanan yang Belum Berakhir.

Yogyakarta : INSIST Press

Wolf, Eric R. 1969. dalam Teodor Shanin (ed), On Peasant Rebellion, Middlesex : Penguin Books, 1971

Lampiran 1. Dokumentasi

Gambar 6. Akses Jalan Menuju Tanah Garapan

Gambar 7. Jalan Desa

Gambar 9. Pemanenan Tanaman Kayu

Dokumen terkait