• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

2.1 Impulse Buying

2.1.1 Pengertian impulse buying

Impulse buying merupakan pembelian yang tidak direncanakan, dimana karekteristiknya adalah pengambilan keputusan yang dilakukan dalam waktu relatif cepat, pada saat melihat barang dan mengingat barang yang persediannya hampir habis, karena adanya kebutuhan dan penawaran yang menarik.

Menurut Rook (1987) impulse buying adalah pembelian yang terjadi ketika seorang konsumen mengalami dorongan tiba-tiba, kuat dan dorongan yang tetap untuk membeli sesuatu dengan segera. Selain itu menurut Rook

(1987) impulse buying cenderung mengganggu perilaku konsumen, sedangkan

pembelian kontemplatif lebih mungkin untuk menjadi bagian dari rutinitas

seseorang, karena seseorang yang melakukan impulse buying lebih

sebagai sesuatu yang "buruk" dari pada yang "baik" sehingga konsumen lebih cenderung merasa lepas kendali saat pembelian impulsif dari pada ketika melakukan pembelian kontemplatif.

Sedangkan Piron (dalam Madhavaram & laverie, 2004) berbeda

pendapat dengan definisi Rook (1987), ia menyiratkan bahwa reaksi

emosional dan kognitif harus menyertai pembelian, karena reaksi pengalaman emosional dan kognitif konsumen tergantung pada faktor-faktor ekonomi, kepribadian, dan budaya atas nama konsumen sedangkan karakteristik dan harga atas nama produk.

Selain itu Beatty dan Ferrel (1998) memperluas definisi dari Rook (1987), ia menyatakan bahwa impulse buying adalah pembelian tiba-tiba dan langsung tanpa niat sebelum berbelanja baik untuk membeli kategori produk tertentu atau untuk memenuhi tugas membeli tertentu. Perilaku tersebut terjadi setelah mengalami dorongan untuk membeli dan cenderung spontan tanpa banyak refleksi dan tidak termasuk pembelian item sederhana, yang merupakan item yang hanya persediaan barang di rumah telah habis. Sedangkan Verplanken dan Herabadi (2001) sebagai pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan tidak direncanakan, diikuti oleh konflik fikiran dan dorongan emosional.

Menurut Dincer (2010) impulse buying dapat didefinisikan sebagai sejauh mana seorang individu mungkin membeli sesuatu yang tidak diinginkan, segera, dan unreflective. Konsumen dengan kecenderungan

impulse buying yang tinggi memiliki kecenderungan dorongan secara umum untuk membeli barang-barang dari semua kategori produk.

Berdasarkan penjelasan dari beberapa pendapat ahli di atas dapat

disimpulkan bahwa impulse buying adalah pembelian yang tidak di

rencanakan, disertai dorongan emosional yang kuat serta reaksi kognitif harus menyertai pembelian, pengambilan keputusan yang cepat dan berlangsung secara tiba-tiba serta, mengabaikan konsekuensi berbahaya yang berujung kepada penyesalan. Adapun teori yang digunakan untuk variabel impulse buying yang menjadi landasan penilitian yaitu teori yang digunakan oleh Verplanken dan Herabadi (2001) .

2.1.2 Jenis-jenis impulse buying

Beberapa ilmuwan menyatakan tentang beberapa jenis impulse buying, salah satunya menurut Loudon dan Bitta (1993) terdapat beberapa jenis impulse buying yaitu :

1. Pure impulse buying yaitu dorongan untuk membeli produk baru, mencari variasi baru, atau pembelian terhadap produk diluar kebiasaan pembelinya. 2. Reminder impulse buying yaitu dorongan saat melihat barang pada rak toko, display, atau mengingat iklan dan informasi lain tentang sebuah produk.

3. Sugestion impulse buying yaitu dorongan yang didasarkan pada toko dan ditunjang dengan pemberian saran, baik dari sales promotion, pramuniaga, maupun teman.

4. Planned impulse buying yaitu pembelian yang terjadi ketika kondisi penjualan tertentu diberikan. Dorongan berupa intensi membeli berdasarkan harga khusus, kupon, diskon lain sebagainya tanpa merencanakan produk yang akan dibeliya.

Dalam penelitian ini peneliti tidak membatasi jenis impulse buying yang dilakukan oleh partisipan karena tidak adanya wawancara langsung terhadap partisipan.

2.1.3 Karakteristik impulse buying

Rook (dalam Eangle et al., 1995) menggolongkan seseorang yang melakukan impulse buying dapat memiliki satu atau lebih karakteristik, ia menggolongkan kedalam empat karakteristik yaitu spontanitas, kekuatan, paksaan, dan intensitas, kegembiraan dan stimulasi serta mengabaikan konsekuensi. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Spontanitas. Artinya bahwa pembelian dilakukan secara tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli saat itu juga, sering dalam menanggapi rangsangan visual langsung.

2. Kekuasaan, paksaan dan intensitas. Hal ini dapat menjadi motivasi untuk

menempatkan dan mengenyampingkan segalanya dan segera bertindak.

3. Kegembiraan dan stimulasi. Artinya dorongan seseorang yang mendadak

untuk membeli seringkali disertai oleh emosi yang ditandai sebagai hal yang "menggembirakan," "sangat gembira" atau "liar."

4. Mengabaikan konsekuensi. Artinya dorongan seseorang untuk membeli barang bisa begitu tak tertahankan dengan konsekuensi yang berpotensi negatif yang diabaikan.

2.1.4 Faktor yang mempengaruhi impulse buying

Menurut Dawson dan Kim (2009) faktor yang mempengaruhi impulse buying

dibagi ke dalam dua faktor yaitu faktor eksternal dan internal berikut penjelasannya:

1. Faktor eksternal

Menurut Youn dan Faber (dalam Dawson & Kim, 2009) faktor eksternal

impulse buying mengacu pada isyarat pemasaran atau rangsangan yang ditempatkan dan dikendalikan oleh pemasar dalam upaya untuk memikat konsumen dalam perilaku pembelian.

2. Faktor internal

Menurut Kacen dan lee (dalam Dawson & Kim, 2009) Faktor internal

impulse buying fokus langsung pada individu, faktor internal dan karakteristik individu yang membuat mereka terlibat dalam perilaku pembelian impuls. Faktor-faktor eksternal tersebut melibatkan ciri kepribadian konsumen yang menentukan tingkat impulse buying mereka, seperti kondisi emosional, componentnormative, dan faktor demografi. Stimulus internal diproses oleh konsumen melalui afektif atau kognitif yang menghasilkan perilaku impulsif atau non impulsif. Menurut Coley dan Burgess (dalam Dawson & Kim, 2009) Perasaan mungkin

mencakup dorongan tak tertahankan untuk membeli, emosi membeli yang positif, dan manajemen mood.

Sedangkan component normative menurut Rook dan Fisher (dalam

Dawson & Kim, 2009) sebagai penilaian konsumen tentang kesesuaian yang membuat pembelian impulsif dalam situasi pembelian tertentu. Konsumen terlibat dalam impulse buying hanya ketika mereka merasa sesuai dengan orang lain. Kecenderungan impuls konsumen digagalkan ketika mereka percaya impulse buying secara sosial tidak pantas.

Selain itu Stern (1986) menyebutkan bahwa terdapat sembilan faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan impulse buying. Faktor-faktor tersebut yaitu low price, Marginal Need for Hem, Mass Distribution, Mass Distribution, Self-Service, Mass Advertising, Prominent Store Display, Short Product Life, Small Size or Light Weight, Ease of Storage.

Penjelasannya adalah sebagai berikut yaitu: 1. Low Price.

Dari beberapa faktor yang paling banyak mempengaruhi impulse buying

adalah harga, harga mungkin faktor yang paling langsung dapat dirasakan oleh pembeli. Harga juga mempengaruhi pembelian impulsif barang kenyamanan misalnya, jika pembeli berencana untuk membeli dua batang sabun dengan harga sekitar Rp. 3000 masing-masing tetapi menemukan sabun pada penjualan khusus tiga buah sabun Rp. 7500, mungkin pembeli

akan membeli 3 buah sabun dengan harga khusus tersebut, sehingga hal ini

memungkinkan pembeli untuk melakukan impulse buying.

2. Marginal Need for Item

Beberapa barang yang dapat membuat nyaman atau dapat menyenangkan konsumen. Banyak barang kenyamanan dalam kategori bukan kebutuhan, karena barang-barang ini bukan tujuan utama dari perjalanan belanja, dan kebutuhan mereka tidak mendesak, mereka cenderung menjadi pembelian yang tidak direncanakan dan lebih cenderung menjadi barang impuls. 3. Mass Distribution

Semakin banyak outlet di mana suatu barang dapat tersedia, semakin banyak peluang konsumen harus mencari dan membelinya. Karena ia tidak belanja khusus untuk suatu barang, tetapi harus dibuat tersedia baginya di banyak tempat di mana dia mungkin berbelanja.

4. Self-Service

Tentu saja pelayanan diri sendiri memungkinkan pembeli untuk membeli lebih cepat dan dengan kebebasan yang lebih besar dari pada pelayanan petugas. Karena lebih banyak barang yang tersedia untuk pembeli untuk melayani dirinya sendiri, terjadi peningkatan kesempatan untuk membeli impuls.

5. Mass Advertising

Sebagian besar impulse buying didasarkan pada pengetahuan konsumen tentang suatu barang. Pengetahuan ini diperoleh dari pengalaman sebelumnya dengan barang atau melalui iklan.

6. Prominent Store Display

Display yang menonjol dari barang-barang tersebut diperlukan untuk meningkatkan kesempatan bagi konsumen melakukan impulse buying. Tampilan disini termasuk posisi peletakan rak, promosi dan kemasan yang menarik.

7. Short Product Life

Fakta bahwa pembeli cenderung membeli barang yang memiliki jangka waktu kadarluarsa lebih lama dibandingkan kadaluarsa yang lebih singkat sehingga pembeli sering mengurangi kebutuhannya untuk merencanakan hal tersebut.

8. Small Size or Light Weight

Berat atau ukuran adalah masalah yang berhubungan dengan barang yang mewajibkan pembeli untuk melakukan beberapa perencanaan khusus dan dengan demikian mengurangi impulse buying. Di sisi lain, kecil, ringan, barang yang mudah diangkut menjadi tidak masalah dan lebih memungkinkan pembeli untuk menjadi impulse buying.

9. Ease of Storage

Masalah di mana pembelanja harus menempatkan barangnya di dalam

rumah juga mempengaruhi impulse buying. Misalnya, pembelanja

terdorong untuk membeli banyak es krim tetapi, dia tidak memiliki ruang untuk menyimpan dalam freezer. Sebaliknya, barang-barang yang tidak ada masalah penyimpanan lebih mungkin menjadi barang impuls.

Jadi faktor yang mempengaruhi dalam penelitian ini adalah menurut Dawson

dan Kim (2009) dimana component normative dan faktor demografis

digunakan sebagai independent variabel (IV) dalam penelitian ini.

2.1.5 Perbedaan perilaku impulsif dan nonimpulsif

Perilaku impulse buying memiliki beberapa perbedaan dengan perilaku nonimpulsif. Menurut Rook dan Hock (1985), terdapat lima elemen penting yang membedakan perilaku konsumen impulsif dengan non impulsif yaitu:

1. Perilaku impulsif melibatkan keinginan tiba-tiba dan spontan untuk bertindak, mewakili perilaku sebelumnya yang sedang berlangsung, gagasan perubahan yang cepat dalam keadaan psikologis sesuai dengan representasi neurofisiologis, dimana dorongan digambarkan sesuai dengan gelombang perubahan aktif disepanjang serat saraf (Wolman dalam Rook, 1985). Dengan cara yang sama bahwa impuls saraf memicu beberapa respon biologi, impuls psikologis dapat dilihat sebagai agen stimulasi didorong oleh proses mental sadar dan bawah sadar.

2. Dorongan tiba-tiba untuk melakukan suatu kegiatan belanja yang

menempatkan konsumen dalam keadaan di sekuilibrium secara psikologis, dimana impulse buying dapat menyebabkan seseorang merasa kehilangan kendali untu sementara waktu.

3. Elemen yang ketiga dari impulse buying yaitu konflik psikologis dan perjuangan yang mungkin terjadi (Thaler & Sherin, dalam Rook, 1985). Freud (dalam Rook, 1985) melihat impuls seperti pertarungan antara dua

kekuatan yang bersaing, kesenangan dan prinsip realitas (id dan superego). Konsumen ditarik didalam dua arah, dan harus mempertimbangkan manfaat dari kepuasan untuk segera melawan apapun konsekuensi jangka panjang yang mungkin diakibatkan.

4. Elemen yang keempat aspek-aspek yang membedakan pembelian impulsif adalah evaluasi kognitif mereka dari atribut produk. Sebagian besar perilaku yang dimunculkan ketika impulse buying ialah otomatis, aktifasi efektif tinggi, dan kontrol yang rendah saat keputusan membeli.

5. Akhirnya seseorang sering mengkonsumsi secara impulsif tanpa

mempertimbangkan konsekuensinya. Indivdu hanya sedikit memikirkan konsekuensi dari perilakunya saat ini.

2.1.4Pengukuran impulse buying

Seseorang memiliki tingkat impulse buying yang berbeda-beda, untuk mengetahui tingkat impulse buying pada seseorang dapat menggunakan skala

impulse buying yang digunakan oleh skala Asugman dan Cote (1993). Sebelumnya Asugman dan Cote mengadaptasi skala afektif dari Larsen dan Diener yaitu Affect Intensity Measure Questionaire (AIMQ) (1993), skala kognisi dari Cacioppo, Petty dan Kao masing-masing dengan jumlah 18 item. Dari dua skala tersebut didapat 17 item yang sesuai untuk diklasifikasikan kedalam karakteristik dekriptif reactive buying (9 item) dan reminder buying

(8 item). Asugman dan Cote merevisi semua skala tersebut setelah mengujinya dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Dari hasil uji CFA

terdapat delapan item yang valid, lima item mengukur reactive buying dan tiga item mengukur reminder buying.

Selain itu Verplanken dan Herabadi (2001) mengukur impulse buying

dengan menggunakan impulse buying tendency scale (IBTS). IBTS terdiri dari 20 item yang mengukur dua apsek kognitif dan afektif. Aspek kognitif melihat mengenai kurangnya perencanaan dan kehati-hatian, sedangkan pada aspek afektifnya mengukur perasaan menyenangkan, kegairahan, tekanan, kontrol yang rendah dan rasa penyesalan.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat ukur yang digunakan oleh Verplanken dan Herabadi (2001), karena peneliti tidak membatasi jenis

impulse buying yang dilakukan partisipan dan hanya melihat secara kognitif dan afektifnya saja.

Dokumen terkait